Tempat lahir rama KH Raden Asnawi berada di Kabupaten

Jumat, 10 Agustus 2012 | 20:08 WIB
Oleh : FMB

Tempat lahir rama KH Raden Asnawi berada di Kabupaten

KHR Asnawi semasa hidup

Meski sering menghadapi ancaman hukuman, namun KHR Asnawi tidak pernah berhenti berdakwah. Kudus adalah daerah yang terkenal dengan nama kota Kretek dan kota Santri dalam wilayah propinsi Jawa Tengah. Kota ini dibangun oleh Sunan Kudus (Sayyid Ja'far Shodiq) dengan rentetan historisitas yang berpusat pada kerajaan Islam pertama di Jawa (Demak). Hal ini ditengarai dari inskripsi batu nisan yang ada di atas mihrab Masjid al-Aqsha Menara Kudus. Di belakang Masjid al-Aqsa Menara Kudus inilah, di Komplek Makam Sunan Kudus, hampir selalu ada saja yang mengaji. Baik yang dengan tujuan untuk berziarah, maupun santri yang niat tabarruk agar diberi kemudahan dalam berbagai urusan. Di antara deretan nisan di komplek makam tersebut, terdapat makam KH Raden Asnawi. Salah seorang ulama keturunan ke-14 Sunan Kudus (Raden Ja'far Shodiq) dan keturunan ke-5 KH Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati.

Kelahiran

Pada hari Jumat Pon, kisaran tahun 1861 (1281 H) di daerah Damaran lahir seorang bayi yang diberi nama Raden Ahmad Syamsyi. Putra dari pasangan H Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah ini lahir di sebuah rumah milik Mbah Sulangsih. Tempat tinggal Mbah Sulang begitu ia akrab disapa menjadi ramai didatangi oleh sanak saudara dan tetangga sekitar lantaran kelahiran anak pembarep. Sudah menjadi tradisi masyarakat Kudus, setiap ada babaran (melahirkan bayi), tetangga ikut merasakan bahagia dengan menjenguk ibu dan anak yang dilahirkan.

Seperti yang dikutip dari situs NU Online, H Abdullah Husnin terkenal seorang pedagang konveksi yang tergolong besar. Memang sudah menjadi hal yang lumrah, rata-rata penduduk di desa ini mempunyai penggautan (kerja) di bidang konveksi. Potensi ekonomi masyarakatnya mengandalkan kreatifitas memproduksi kain menjadi pakain, kerudung, rukuh, dan lain sebagainya.

Sejak kecil, Ahmad Syamsyi diasuh oleh kedua orangtuanya, dikenalkan pada pelajaran agama dan tata cara bermasyarakat menurut ajaran-ajaran Islam. Selain itu, Ahmad Syamsyi juga diajarkan berdagang sejak dini. Kemudian semenjak usia 15 tahun, pada kisaran tahun 1876, orangtuanya memboyong ke Tulungagung Jawa Timur. Di sana H Abdullah Husnin mengajari anaknya berdagang pagi hingga siang. Keinginannya mencetak putra saleh mengantarkan Husnin untuk mengikutsertakan Syamsi mengaji di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung. Waktu mengaji adalah sepulang dari berdagang mulai sore hingga malam. Tidak diketahui apa kitab yang ditekuni kala itu. Selain mengaji di Tulungagung, Ahmad Syamsi kemudian melanjutkan mengaji kepada KH Irsyad Naib Mayong, Jepara.

Pergantian Nama dan Mengajar Agama

Sewaktu umur 25 tahun, kira-kira pada tahun 1886, Ahmad Syamsi menunaikan ibadah haji yang pertama dan sepulangnya dari ibadah haji ini, KHR Asnawi mulai mangajar dan melakukan syiar agama. Kira-kira umur 30 tahun KHR Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji, ayahnya meninggal dunia, meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan selama 20 tahun. Selama itu KHR Asnawi juga pernah pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama H Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu KHR Asnawi telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya. Sepulangnya dari haji pertamanya, nama Raden Ahmad Syamsi diganti dengan Raden Haji Ilyas. Pergantian nama sepulang dari tanah suci sudah menjadi hal yang wajar, namun nama Ilyas juga tidak menjadi nama hingga wafatnya. Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya. Selanjutnya nama Asnawi ini yang menjadi terkenal dalam pengembanagan Ahlussunnah Waljamaah di daerah Kudus dan sekitarnya. Dari sinilah kharismanya muncul dan masyarakat memanggilnya dengan sebutan Kiai Sehingga nama harum yang dikenal masyarakat luas menyebut dengan Kiai Haji Raden Asnawi (KHR Asnawi). Sebagaimana lazimnya, sebutan Kiai ini tidaklah muncul begitu saja, atau dedeklarasikan dalam sebuah peristiwa, namun ia diperoleh melalui pengakuan masyarakat yang diajarkan agama secara berkesinambungan sejak KHR Asnawi berumur 25 tahun. Pada setiap Jumat Pahing, sesudah salat Jumat, KHR Asnawi mengajar Tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak kurang lebih 18 kilometer dari kota Kudus, dan jalan pegunungan yang menanjak ini ditempuhnya dengan berjalan kaki. KHR Asnawi juga selalu berkeliling mengajar dari masjid ke masjid sekitar kota saat salat Subuh. Secara khusus KHR Asnawi juga mengadakan pengajian rutin, seperti Khataman Tafsir Jalalain saat Ramadan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman kitab Bidayatul Hidayah dan al-Hikam saat Ramadan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadis Bukhari yang dilakukan setiap salat jamaah fajar dan setiap sesudah salat jamaah Subuh selama Ramadan bertempat di Masjid al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai KHR Asnawi wafat, kitab ini belum khatam, makanya diteruskan oleh al-Hafidh KHM Arwani Amin sampai khatam. Kegiatan tabligh KHR Asnawi untuk menyebarkan akidah Ahlusunnah wal Jamaah tidaklah terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, melainkan juga menjangkau ke daerah lain seperti Demak, Jepara, Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Di antara ilmu yang diutamakan oleh KHR Asnawi adalah Tauhid dan Fiqih. Karenanya, bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya, KHR Asnawi hingga kini masih selalu diingat melalui karya populernya yang kini dikenal dengan 'Shalawat Asnawiyyah'. Selain itu karya Asnawi seperti Soal Jawab Mu'taqad Seket, Fasholatan Kyai Asnawi (yang disusun oleh KH Minan Zuhri), Syi'ir Nasihat, Du'aul ‘Arusa'in, Sholawat Asnawiyyah dan syi'iran lainnya juga tetap diajarkan di pengajian-pengajian pesantren dan masjid-masjid hingga saat ini.

Bermukim di Tanah Suci

Di Mekkah, KHR Asnawi tinggal di rumah Syeikh Hamid Manan (Kudus). Namun setelah menikahi Nyai Hj Hamdanah (janda Almaghfurlah Syeikh Nawawi al-Bantani), KHR Asnawi pindah ke kampung Syami'ah. Dalam perkawinannya dengan Nyai Hj Hamdanah ini, KHR Asnawi dikaruniai 9 putera. Namun hanya 3 puteranya yang hidup hingga tua. Yaitu H Zuhri, Hj Azizah (istri KH Shaleh Tayu) dan Alawiyah (istri R Maskub Kudus). Selama bermukim di Tanah Suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, KHR Asnawi masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Para Kyai Indonesia yang pernah menjadi gurunya adalah KH Saleh Darat (Semarang), KH Mahfudz (Termas), KH Nawawi (Banten) dan Sayid Umar Shatha. Selain itu, KHR Asnawi juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, di antara yang ikut belajar padanya, antara lain adalah KH Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), KH Bisyri Sansuri (Pati/Jombang), KH Dahlan (Pekalongan), KH Shaleh (Tayu pati), KH Chambali Kudus, KH Mufid Kudus dan KHA Mukhit (Sidoarjo). Di samping belajar dan mengajar agama Islam, KHR. Asnawi turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama dengan kawan-kawannya yang lain. Pada waktu bermukim ini, KHR Asnawi pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat antara keduanya. Karena itu KHR Asnawi bermaksud ingin memperoleh fatwa dari seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan KHR Asnawi dan Syeikh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi fatwanya. Melihat tulisan dan jawaban KHR Asnawi terhadap tulisan Syeikh Ahmad Khatib itu, tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan KHR Asnawi. Karena belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syeikh Hamid Manan untuk diperkenalkan dengan KHR. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan yaitu sesudah salat Jumat. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan kepada KHR Asnawi dan diatur agar KHR Asnawi nanti yang melayani mengeluarkan jamuan.

Madrasah, Masjid Menara dan Penjara

Saat menjenguk kampung halamannya, bersama kawan-kawannya KHR Asnawi mendirikan Madrasah Madrasah Qudsiyyah (1916). Dan tidak berselang lama, KHR Asnawi juga memelopori pembangunan Masjid Menara secara gotong royong. Malam hari para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itulah, terjadi huru-hara pada tahun 1918. Di mana KHR.Asnawi dan kawan-kawannya terpaksa menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah Belanda yang menghina Islam. Di tengah-tengah umat Islam bergotong royong membangun Masjid Menara siang malam, orang-orang China malah mengadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Para Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam pun mengirim surat kepada pemimpin China, agar tidak menjalankan pawai lewat depan masjid Menara, karena banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. Permintaan itu tidak digubris. Pawai tetap digelar. Ironisnya, dalam rentetan pawai itu, juga menampilkan adegan yang sangat menghina umat Islam. Di mana ada dua orang China yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menyebutnya Cengge. Pawai China yang datang dari depan masjid Manara menuju selatan, itu pun berpapasan dengan santri-santri yang sedang bergotongroyong mengambil pasir dan batu dengan grobak dorong (songkro). Kedua pihak tidak ada yang mengalah. Hingga terjadi pemukulan terhadap seorang santri oleh orang China. Pemukulan terhadap salah seorang santri ditambah adanya Cengge itulah, insiden Cina-Islam di Kudus yang dikenal dengan huru hara China, terjadi. Ejekan dan hinaan dari orang-orang China terus saja terjadi. Hingga orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan. Para Ulama memandang beralasan untuk mengadakan pembelaan, namun tidak sampai pada pembunuhan. Ironisnya, dalam insiden tersebut, ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang China. Dan tanpa sengaja, menyentuh lampu gas pom yang menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang China maupun orang Jawa. Kejadian inilah yang berbuntut penangkapan terhadap KH Asnawi dan rekannya KH Ahmad Kamal Damaran, KH Nurhadi dan KH Mufid Sunggingan dan lain-lain, dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah. Mereka pun akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman 3 tahun. Tidak sekali saja KHR Asnawi di penjara. Pada zaman penjajahan Belanda, KHR Asnawi sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya tentang Islam serta menyisipkan ruh nasionalisme dalam pidatonya. Pun pada masa pendudukan Jepang. KHR Asnawi pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok KHR Asnawi dikepung oleh tentara Dai Nippon. KHR Asnawi pun dibawa ke markas Kempetai di Pati. Meski sering menghadapi ancaman hukuman, namun KHR Asnawi tidak pernah berhenti berdakwah, amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan di dalam penjara sekalipun, KHR Asnawi tetap melakukan amar ma'ruf nahi munkar. KHR. Asnawi tetap membuka pengajian di penjara. Banyak kemudian di antara para penjahat kriminal yang dipenjara bersamanya, kemudian menjadi murid KHR Asnawi. Pada masa-masa revolusi kemerdekaan terutama menjelang agresi militer Belanda ke-1, KHR.Asnawi mengadakan gerakan ruhani dengan membaca sholawat Nariyah dan doa surat Al-Fiil. Tidak sedikit pemuda-pemuda yang tergabung dalam laskar-laskar bersenjata berdatangan meminta bekal ruhaniyah sebelum berangkat ke medan pertempuran melawan penjajah.

Larangan Berdasi dan Prinsip Perjuangan

Dalam memperjuangkan Islam, KHR Asnawi memiliki pendirian yang teguh. Prinsip-prinsip hidupnya sangat keras dan watak perjuangnnya terkenal galak, sebab kala itu bangsa Indonesia sedang dirundung nestapa penjajahan. Keyakinan inilah yang dipeganginya sangat kokoh sekali. Bagi KHR Asnawi, segala hal yang dilaksanakan oleh Belanda tidak boleh ditiru. Bahkan tidak segan-segan KHR Asnawi memfatwakan hukum agama dengan sangat tegas, anti-kolonialisme, seperti mengharamkan segala macam bentuk tasyabbuh (menyerupai) perilaku para penjajah dan antek-anteknya. Salah satu diantara fatwanya yang keras ini adalah larangan untuk memakai berdasi dan menghidupkan radio, termasuk menyerupai gaya jalan orang-orang Belanda dan China. Fatwa larangan berdasinya ini sangat terkenal, hingga suatu ketika KH Saifuddin Zuhri melepaskan dasi dan sepatunya ketika mengunjungi KHR Asnawi. KH Saifuddin Zuhri kala itu sedang menjabat Menteri Agama, namun demi menghormati KHR Asnawi, ia bertamu hanya dengan memakai sandal tanpa dasi. Kemauan keras KHR Asnawi agar Islam tetap eksis tanpa campur tangan penjajah sudah menjadi pertaruhan jiwa dan raganya. KHR Asnawi memadukan pola keulamaan dan gerakan taushiyah dengan pesan melaksanakan jihad atas pemberontakan bangsa lain. Pada kisaran tahun 1927. KHR Asnawi membangun pondok pesantren di Desa Bendan Kerjasan Kudus, di atas tanah wakaf dari KH Abdullah Faqih (Langgar Dalem) dan dukungan dari para dermawan dan umat Islam. Pada tahun ini pula, Charles Olke Van Der Plas (1891-1977), seorang pegawai sipil di Hindia Belanda, pernah datang ke rumah KHR Asnawi untuk meminta kesediaannya memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas KHR Asnawi menolak penawaran tersebut. Dalam pandangan KHR.Asnawi, jika dirinya diangkat sebagai penghulu, maka tidak akan lagi dapat bebas melakukan amar ma'ruf nahi mungkar terhadap para pejabat. Beda halnya jika tetap menjadi orang partikelir, ia dapat berdakwah tanpa harus menanggung rasa segan (ewuh pakewuh). Pada tahun 1924, KHR Asnawi ditemui oleh KH Abdul Wahab Chasbullah Jombang untuk bermusyawarah guna membentengi pertahanan akidah Ahlussunah wal Jamaah dan menyetujui gagasan tamu yang pernah belajar kepadanya ini. Selanjutnya, bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H./31 Januari 1926 M. KHR Asnawi turut membidani lahirnya jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU). Semasa hidupnya, KHR Asnawi telah berjasa besar bagi Islam dan bangsa Indonesia melalui keterlibatannya dalam organisasi pergerakan kemerdekaan. Selain itu, KHR. Asnawi juga menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional dari berbagai kalangan, seperti Semaun, H Agus Salim dan HOS Cokroaminoto.

Syahadatain Terakhir

KHR Asnawi berpulang ke rahmatullah pada Sabtu Kliwon, 25 Jumadil Akhir 1378 H. bertepatan tanggal 26 Desember 1959, pukul 03.00 WIB. KHR Asnawi meninggal dunia dalam usia 98 tahun, dengan meninggalkan 3 orang istri, 5 orang putera, 23 cucu dan 18 cicit. Kepulangan ulama besar Kudus ke rahmatullah ini tidak terduga. Sebab satu minggu sebelum wafatnya KHR Asnawi masih masih nampak segar bugar ketika turut bermusyawarah dalam muktamar NU XII di Jakarta. Pukul 02.30 WIB Sabtu itu Asnawi bangun dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mengambil air wudu. Setelah dari kamar mandi Asnawi dengan didampingi istrinya, Nyai Hj Hamdanah, kembali berbaring di atas tempat tidur. Kondisinya semakin tidak berdaya. Dan dua kalimat syahadat (syahadatain/Asyhadu an laa ilaaha illallah wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah) adalah kalimat terakhir yang mengantarkan arwahnya ke rahmatullah. Kabar wafatnya KHR Asnawi disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00 WIB. Penyiaran itu atas inisiataif Menteri Agama RI KH Wahab Chasbullah yang dihubungi oleh HM Zainuri Noor.

(Disadur dari berbagai sumber oleh Syaifullah Amin)


Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini