Tari berpasangan dari Yogyakarta yang terinspirasi dari pertunjukan wayang golek adalah

Beksan (tari) Golek Menak adalah sebuah genre drama tari ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988). Gagasan penciptaan tari ini dicetuskan Sultan setelah menyaksikan pertunjukan Wayang Golek Menak yang dipentaskan oleh seorang dalang dari Kedu pada tahun 1941. Apabila dramatari Wayang Wong menceritakan kisah Ramayana dan Mahabharata, dramatari Golek Menak menceritakan kisah-kisah yang diambil dari Serat Menak.

Serat Menak bersumber dari Hikayat Amir Hamzah yang dibawa oleh pedagang Melayu dan disebarluaskan di wilayah Nusantara. Nama-nama tokoh yang berasal dari belahan dunia lain tersebut kemudian di adaptasi ke dalam bahasa Jawa, seperti nama Amir Hamzah berubah menjadi Amir Ambyah. Secara garis besar Serat Menak memuat kisah munculnya agama Islam melalui tokoh Amir Ambyah atau Wong Agung Jayengrana, seorang putra Adipati asal Mekkah.

Mewujudkan Gerakan Wayang Golek Kayu ke Dalam Gerak Tari

Untuk mewujudkan gagasannya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX menunjuk KRT Purbaningrat dan para penari terbaik keraton untuk mentransformasikan gerak wayang golek kayu, atau wayang tengul, ke dalam bentuk gerak tarian. Sultan juga mengundang Ki Widiprayitno, seorang dalang dari Sentolo, Kulonprogo, untuk memainkan wayang golek di Bangsal Kasatriyan Keraton Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX sempat mengawasi langsung proses awal dari penciptaan Beksan Golek Menak. Saat itu tercipta gerakan untuk tiga tipe karakter, yaitu karakter menak putri untuk tokoh Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaheli, menak gagah untuk Prabu Dirgamaruta dan menak alus untuk Raden Maktal. Gerakan tarinya menitikberatkan pada gerakan lambung, gerakan kaki yang diperingan, serta gerakan pacak gulu pada leher. Gerakan-gerakan tersebut adalah usaha untuk merepresentasikan gerakan wayang golek pada manusia.

Hasil eksperimen ini kemudian dipentaskan di Tratag Bangsal Kencana pada upacara Tingalan Dalem atau ulang tahun Sultan pada tahun 1943. Pentas tersebut mengambil cerita peperangan antara tokoh Dewi Sudarawerti melawan Dewi Sirtupelaheli dan Raden Maktal melawan Prabu Dirgamaruta. Namun masih terlalu dini menyebut tari yang dibawakan saat pementasan itu sebagai Beksan Golek Menak.

Selepas Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX semakin disibukkan dengan urusan-urusan negara. Proses penciptaan Beksan Golek Menak yang awalnya diawasi langsung oleh Sultan menjadi terbengkalai.

Pada tahun 1950, Sultan memindahkan kegiatan seni pertunjukan tari keluar tembok keraton. Bebadan Hamong Beksa didirikan di Dalem Purwodiningratan, lembaga ini masih di bawah koordinasi Kawedanan Hageng Punakawan Kridhamardawa. Dengan keberadaan Bebadan Hamong Beksa, Beksan Golek Menak mulai dikembangkan kembali.

Tari berpasangan dari Yogyakarta yang terinspirasi dari pertunjukan wayang golek adalah

Unsur Pencak Silat pada Tari Gaya Yogyakarta

Pada akhir Desember 1987, Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama dengan Yayasan Guntur Madu menginisiasi Sarasehan Tari Golek Menak Gaya Yogyakarta yang digelar di Anjungan Mataram, Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Dalam sarasehan, Sultan mengarahkan agar Beksan Golek Menak memasukkan ragam dan gerak pencak kembang (pencak silat) dari Sumatera Barat pada adegan perang. Sultan juga melihat perlu ditentukannya prinsip-prinsip Beksan Golek Menak yang bersumber pada tari klasik gagrak (gaya) Yogyakarta. Dalam kesempatan yang sama ini pula, diadakan peragaan bela diri pencak kembang dari Sumatera Barat dan peragaan Wayang Golek Menak oleh dalang Sukarno, putra dari dalang Ki Widiprayitno.

Selain sarasehan, diadakan juga peragaan Beksan Golek Menak yang telah disusun sampai saat itu. Pada akhir sarasehan, Sultan memberi waktu satu tahun untuk penyusunan iringan, tata pakaian dan rias, pocapan (dialog).

Penyempurnaan Beksan Golek Menak

Pada bulan September 1988, Sultan Hamengku Buwono IX kembali menginisiasi sebuah pementasan Beksan Golek Menak yang mengakomodasi enam lembaga tari di Yogyakarta. Keenam lembaga tersebut antara lain: yaitu Siswo Among Beksa, Mardawa Budaya, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo, Surya Kencana, dan Institut Seni Indonesia. Enam lembaga tersebut kemudian bekerja keras untuk menyempurnakan Beksan Golek Menak.

Namun sejarah mencatat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah lebih dahulu wafat sebelum Beksan Golek Menak hasil penyempurnaan tersebut berhasil dipentaskan dalam satu pergelaran Wayang Wong Menak dengan episode Kelaswara Palakrama di Bangsal Kepatihan pada tanggal 17 Maret 1989. Karena itu, hingga kini prinsip-prinsip pementasan Beksan Golek Menak belum mempunyai bentuk baku dan masih terbuka untuk dikembangkan. Boleh dikata bahwa Beksan Golek Menak masih terus mengalami penyempurnaan dan penyesuaian.

Walaupun demikian, hingga saat ini, penokohan, busana, hingga konsep pementasan, tidak jauh berbeda dengan pementasan pada tahun 1980-an. Busana yang digunakan pada tarian Beksan Golek Menak menyesuaikan penokohan wayang golek yang memiliki busana tertutup dan berlengan panjang. Beberapa penokohan juga memiliki aksen busana yang kental, seperti Dewi Adhaninggar, tokoh dari negeri Tartaripura (Mongol) yang menggunakan busana dengan citra putri Cina. Riasan para tokoh pun, baik pria maupun wanita, dibuat hampir sama dengan penokohan wayang golek. Iringan musik tari menggunakan seperangkat gamelan seperti biasanya, namun ditambah dengan irama kendang sunda. Sedang untuk dialog, digunakan bahasa Jawa yang digunakan dalam Keraton Yogyakarta, yaitu bahasa Bagongan.

Menonton pertunjukkan dramatari Beksan Golek Menak seakan menyaksikan semangat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam merayakan kemerdekaan Indonesia yang memiliki beragam budaya. Beliau dengan sengaja mendorong penciptaan sebuah genre baru ke dalam tari gaya Yogyakarta dengan memasukkan unsur gerak dan irama dari bagian Nusantara yang lain. Karena baik kesenian Yogyakarta maupun budaya Nusantara lainnya telah memiliki awal baru dalam masa kekuasaan beliau, bergabung menjadi satu di bawah payung Indonesia.

 

Tari Golek Menak merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Penciptaan tari Golek Menak berawal dari ide sultan setelah menyaksikan pertunjukkan Wayang Golek Menak yang dipentaskan oleh seorang dalang dari daerah Kedu pada tahun 1941. Disebut juga Beksa Golek Menak, atau Beksan Menak. Mengandung arti menarikan wayang Golek Menak.

Karena sangat mencintai budaya Wayang Orang maka Sri Sultan merencanakan ingin membuat suatu pagelaran yaitu menampilkan tarian wayang orang. Untuk melaksanakan ide itu Sultan pada tahun 1941 memanggil para pakar tari yang dipimpin oleh K.R.T. Purbaningrat, dibantu oleh K.R.T. Brongtodiningrat, Pangeran Suryobrongto, K.R.T. Madukusumo, K.R.T. Wiradipraja, K.R.T.Mertodipuro, RW Hendramardawa, RB Kuswaraga dan RW Larassumbaga.

Proses penciptaan dan latihan untuk melaksanakan ide itu memakan waktu cukup lama. Pagelaran perdana dilaksanakan di Kraton pada tahun 1943 untuk memperingati hari ulang tahun sultan. Bentuknya masih belum sempurna, karena tata busana masih dalam bentuk gladi resik. Hasil pertama dari ciptaan sultan tersebut mampu menampilkan tipe tiga karakter yaitu:

  1. tipe karakter puteri untuk Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaeli,
  2. tipe karakter putra halus untuk Raden Maktal,
  3. tipe karakter gagah untuk Prabu Dirgamaruta

Tiga tipe karakter tersebut ditampilkan dalam bentuk dua beksan, yaitu perang antara Dewi Sudarawerti melawan Dewi Sirtupelaeli, serta perang antara Prabu Dirgamaruta melawan Raden Maktal.

Melalui pertemuan-pertemuan, dialog dan sarasehan antara sultan dengan para seniman dan seniwati, maka sultan Hamengku Buwana IX membentuk suatu tim penyempurna tari Golek Menak gaya Yogyakarta. Tim tersebut terdiri dari enam lembaga, yaitu: Siswo Among Beksa, Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), Mardawa Budaya, Paguyuban Surya Kencana dan Institut Seni Indonesia (ISI).

Keenam lembaga ini setelah menyatakan kesanggupannya untuk menyempurnakan tari Golek Menak (1 Juni 1988), kemudian menyelenggarakan lokakarya dimasing-masing lembaga, dengan menampilkan hasil garapannya. Giliran pertama jatuh pada siswa Among Beksa pada tanggal 2 Juli 1988.

Lokakarya yang diselenggarakan oleh siwa Among Beksa pimpinan RM Dinusatama diawali dengan pagelaran fragmen lakon kelaswara, dengan menampilkan 12 tipe karakter, yaitu:

  1. Alus impur (tokoh Maktal, Ruslan dan Jayakusuma),
  2. Alus impur (tokoh Jayengrana),
  3. Alur kalang kinantang (Perganji),
  4. Gagah kalang kinantang (Kewusnendar, Tamtanus, Kelangjajali, Nursewan dan Gajah Biher),
  5. Gagah kambeng (Lamdahur),
  6. Gagah bapang (tokoh Umarmaya),
  7. Gagah bapang (Umarmadi dan Bestak),
  8. Raseksa (Jamum),
  9. Puteri (Adaninggar seorang Puteri Cina),
  10. Puteri impur (Sudarawerti dan Sirtupelaeli),
  11. Puteri kinantang (Ambarsirat, Tasik Wulan Manik lungit, dan kelas wara),
  12. Raseksi (mardawa dan Mardawi).

Bahasa yang digunakan dalam dialog adalah bahasa bagongan. Busana yang dikenakan para penari mengacu pada busana Wayang Golek Menak Kayu, semua tokoh berbaju lengan panjang, sedangkan cara berkain menerapkan cara rampekan, kampuhan, cincingan, serta seredan disesuaikan dengan tokoh yang dibawakan.

Giliran kedua jatuh pada Pusat Latihan tari Bagong Kussudiardja diselenggarakan di Padepokan Seni Bagong Kusssudiardja sendiri. Bentuk-bentuk tari yang ditampilkan merupakan garapan baru yang bersumber dari Golek Menak, dengan mempergunakan ragam tari yang pernah dipelajari dari kakaknya, yaitu Kuswaji Kawindrasusanta (seorang peraga Golek Menak pada saat proses penciptaan tari oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX).

Beberapa tipe karakter yang ditampilkan antara alain: puteri luruh, puteri Cina, gagah bapang untuk tokoh Umarmaya, gagah kinantang untuk tokoh Umarmadi. Disamping itu ditampilkan pula sebuah garapan kelompok dari tipe gagah kinantang yang diberi nama tari Perabot Desa, dengan gendhing-gendhing yang digarap sesuai keperluan gerak tari sebagai pengiringnya.

Giliran ketiga jatuh pada Sekolah Menengah Karawitan Indonesia Yogyakarta, dipimpin oleh Sunartama dan diselenggarakan pada tanggal 30 Juli 1988 S.M.K.I. menitik beratkan pada penggarapan ragam gerak yang merupakan dasar pokok dari tipe-tipe karakter dari Golek Menak dan memperhatikan gendhing-gendhing yang mengiringi tari agar penampilan tipe-tipe karakter bisa lebih kuat. Penyajian dari S.M.K.I. menampilkan tipe karakter dengan 14 ragam gerak berbentuk demonstrasi, tanpa menggunakan lakon, tata busana, tata rias, antawecana, swerta kandha tidak digarap.

Giliran keempat jatuh pada Mardawa Budaya yang menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 9 Agustus 1988 dipimpin oleh Raden Wedana Sasmita Mardawa. Mardawa Budaya menampilkan sebuah fragmen singkat tetapi padat dengan lakon Kelaswara Palakrama. Dalam penampilannya Mardawa Budaya menampilkan 14 tipe karakter.

Giliran kelima adalah Surya Kencana pimpinan raden Mas Ywanjana, yang menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 15 Agustus 1988. Surya Kencana memilih bentuk demonstrasi dan menampilakan 16 tipe karakter, serta berupaya memasukkan gerak pencak kembang dan silat gaya Sumatera Barat yang disesuaikan dengan rasa gerak Jawa.

Giliran keenam atau terakhir jatuh pada Institut Seni Indonesia Yogyakarta, yang menyelenggarakan lokakarya pada tanggal 22 Agustus 1988. Lokakarya bertempat di Fakultas Kesenian Kampus Utara, dipimpin oleh Bambang Prahendra Pujaswara, dengan menampilkan 15 tipe karakter dalam demonstrasinya. Demonstrasi tipe-tipe karakter kemudian disusul dengan penampilan sebuah fragmen pendek dengan lakok Geger Mukadam dipetik dari Serat Rengganis.

Para penggarap tari dari ISI Yogyakarta menitik beratkan pada garapan geraknya, iringan tari, tata busana, tata rias serta antawecana. Gerak pencak kembang dari Sumatera barat juga telah dimasukkan, bukan hanya pada adegan perang saja, tapi juga pada ragam-ragam geraknya. Bahasa yang dipergunakan untuk antawecana atau dialog adalah bahasa Jawa pewayangan.

Pada pertemuan pada tanggal 16 September 1988 dia Anjungan Daerah Istimewa Yogyakarta, sultan menyatakan kegembiraannya, bahwa enam lembaga tari di DIY telah menanggapi dengan baik permintaan sultan. Karena hasil lokakarya itu baru merupkan hasil awal dari proses penyempurnaan tari Golek Menak, sultan mengharapkan agar segmen disusul dengan rencana kerja kedua, yaitu pada bulan Maret 1989.

Tetapi sebelum sultan sempat menyaksikan kerja kedua dari Tim Penyempurnaan Tari Golek Menak yang akan jatuh pada bulan Maret 1989, sultan mangkat di Amerika Serikat pada tanggal 3 Oktober 1988. Beberapa minggu kemudian seluruh anggota Tim sepakat untuk meneruskan penyempurnaan tari Golek Menak, meskipun sultan telah tiada. Maka dalam pagelaran hasil penyempurnaan tari Golek Menak tanggal 17 Maret 1989 itu ditampilkan demonstrasi Wayang Golek Menak serta fragmen dramatari Golek Menak dengan cerita yang sama, yaitu kelaswara palakrama atau perkawinan antara kelaswara dengan Wong Agung Jayengrana.

Tim penyempurnaan tari Golek Menak bekerja sesuai dengan petunjuk-petujuk sultan. Tetapi karena perancangan tata busana seperti yang diinginkan sultan menuntut biaya yang besar, maka tata busana untuk pagelaran itu masih menggunakan busana yang telah ada dengan tambahan serta modifikasi seperlunya

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tari_Golek_Menak&oldid=17228317"