Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Uraian

Uraian materi

Pada kegiatan belajar satu kita sudah membahas mengenai kerajaan Mataram bercorak Buddha. Sekarang kita akan membahas tentang peninggalan kerajaannya berupa candi-candi bercorak Buddha di  Jawa Tengah. Candi sebagai bangunan tempat ibadah penganut agama Hindu-Buddha.  Candi juga berfungsi sebagai makam raja dan tempat penyimpan pusaka. Prof. HJ Krom dan Dr. WF Stutterheim mengartikan candi dari asal katanya CANDIKA. Candika = Dewi maut (di Indonesia dikenal Bethari Durga = Durga Sura Mahesa Mardhani) dan GRHA = GRAHA = GRIYA/GRIYO yang artinya rumah. Jadi Candi menurut mereka adalah rumah untuk bethari Durga = rumah dewi maut. Wujud Ciwa Durga Sura Mahesa Mardhani dapat kita jumpai di candi Prambanan pada Candi Ciwa, pada wujud patung yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Roro Jonggrang.

Tahukah kalian ? Candi, ada yang dibangun di atas bukit, di dekat sungai, di lereng gunung. Pertimbangan pertama saat akan membangun bangunan suci adalah melihat lokasi. Kemudian barulah bangunan candi dibangun berdasarkan arah mata angin.

Awalnya candi merupakan bangunan suci untuk pemujaan/upacara ritual kepada para dewa. Setibanya di Nusantara candi tidak hanya difungsikan untuk pemujaan (bangunan suci) tetapi juga untuk tempat perabuan  (baca=kuburan). Dimasa kerajaan Hindu-Budha berjaya di tanah air, jenazah para raja yang diyakini sebagai titisan dewa setelah dikremasi (diperabukan=dibakar) ditanam di dasar candi pada suatu wadah yang disebut peripih. Dalam istilah kuno proses ritual demikian diistilahkan dengan kata dicandikan, artinya dimakamkan di candi. 

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Peta peninggalan candi-candi di Pulau Jawa

Sekarang kita akan membahas mengenai candi Kalasan. Dari data yang ditemukan, prasasti canggal (barat daya Magelang) berangka tahun 732 M. Prasasti ditulis dengan huruf Pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta ini di bangun pada sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya. Candi ini ditemukan pada tahun 1806 oleh Cornelius.

Dalam beribadah umat, Buddha di Indonesia, khususnya yang ada di Jawa Tengah, mereka mempunyai semacam alur dalam melakukan ibadah. Mereka biasanya mengunjungi Candi Kalasan terlebih dahulu, lalu ke Candi Pawon kemudian berlajut ke candi Mendut dan terakhir atau disebut juga titik akhirnya di candi Borobudur. Hal ini dilakukan sebagai cermin dari tahapan-tahapan pencusian diri bagi umat Buddha.     Dibawah ini akan diuraikan satu-persatu sesuai keterangan di atas : 

Candi Kalasan  

Candi yang terletak di dusun Kalasan, Prambanan, Sleman Yogyakarta ini memiliki beragam keunikan yang tidak dipunyai oleh Candi lain mulai dari seni pahat baik dalam bentuk arca, relung, bilik, Kala, Mekara, Gana, dan juga bentuk stupa Buddha dan juga bentuk-bentuk sulurnya yang sangat halus karena mendapat sentuhan yang indah. Ini merupakan penegasan corak khusus kebudayaan bangsa kita, agar kita lebih mengenal watak bangsa sendiri dan juga paham akan diri.

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Candi Kalasan

Pada candi Kalasan Terdapat empat tangga yang menghubungkan batur /dalam, yang mempunyai hiasan-hiasan berbentuk genta atau stupa diatasnya. Papan batu yang ada di depan tangga sebelah timur bentuknya hampir menyerupai setengah lingkaran, yang mirip “Moonstone” di depan tangga kuil agama Buddha di India selatan, hal ini merupakan keunikan tersendiri yang ada di Candi Kalasan. Candi ini dibangun sebagai penghargaan atas perkawinan antara Raja dari Dinasti Sanjaya dan permaisuri dari Dinasti Sailendra. Pada dinding candi terdapat ornamen/ukiran yang dipahat dengan halus dan dilapisi dengan "vajralepa", bahan kekuning-kuningan terbuat dari getah pohon tertentu. Vajralepa berfungsi sebagai pelindung lumut dan jamur, memperhalus ukiran menjadi bagus. Di candi ini terdapat 52 stupa. Sekarang sudah tidak semuanya utuh baik bentuk maupun jumlahnya. Sekilas, bentuk Candi Kalasan mirip dengan Candi Mendut,namun sedikit lebih besar. Ukurannya; tingginya mencapai 24 meter dengan rincian batur = 1 meter, kaki = 3 mater, tubuhcandi setinggi 13 meter, dan atap setinggi 7 meter. Sedangkan penampangnya berukuran 16,5 x 16,5 meter.

Semua arca Buddha yang ada di candi Kalasan melukiskan para Dhyani Budda/Djina (dewa-dewa khayangan), dewa-dewa tertinggi di dalam mitologi agama Buddha, yang dihubungkan dengan empat penjuru mata angin.

Candi Pawon

Setelah kita membahas candi Kalasan,sekarang kita beralih ke peninggalan candi berikutnya yaitu Candi Pawon. Candi Pawon dipugar tahun 1903. Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur. Candi Pawon terletak 1,5 km ke arah barat dari Candi Mendut dan ke arah timur dari Candi Borobudur. Saat diteliti secara lengkap pada reliefnya, ternyata merupakan permulaan relief Candi Borobudur. Banyak orang mengira Candi Pawon merupakan sebuah makam, namun setelah diteliti ternyata merupakan tempat untuk menyimpan senjata. Candi ini terbuat dari batu gunung berapi.

Ditinjau dari seni bangunannya, merupakan gabungan seni bangunan Hindu Jawa kuno dan India. Candi Pawon terletak tepat di sumbu garis yang menghubungkan Candi Borobudur dan Candi Mendut. Semua bagian-bagiannya dihiasi dengan stupa (dagoba) dan dinding-dinding luarnya dengan gambar-gambar simbolis.

Borobudur memiliki hubungan yang kental dengan salah satu candi. Hubungan ini antara Borobudur dan candi Pawon lebih dekat, karena sebagai sebuah tempat untuk berziarah bermeditasi dan memurnikan pikiran mereka sebelum mengunjungi Borobudur.  Prasasti yang ada di Pawon mempunyai jiwa yang sama dengan yang ada di Borobudur. 

 

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Candi Pawon

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

relief dalam Candi Pawon

Candi Mendut

Berlanjut  ke pembahasan candi Buddha lainya yaitu Candi Mendut. Candi ini terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur. Bahan bangunan candi ini sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah,sedangkan tinggi bangunannya adalah 26,4 meter.

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Candi Mendut

Hiasan yang mencolok pada candi Mendut ialah Tiga arca di dalam candi Mendut, arca Dhyani Buddha Wairocana diapit Boddhisatwa Awalokiteswara dan Wajrapani. Dihiasi juga dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa dewata gandarwa dan apsara atau bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda. Kemudian ada juga Dua burung betet yang berbeda. Relief ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara namun berbeda kelakuannya karena yang satu dididik oleh seorang penyamun, sedangkan yang satu oleh seorang pendeta.

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Relief di Candi Mendut

Candi Borobudur

Candi terbesar nomor dua untuk umat Buddha di Dunia adalah Candi Borobudur, sedangkan Candi terbesar pertama adalah Candi Anggkor yang ada di negara Kamboja, tetapi Kita akan membahas lebih mendalam tentang Candi Borobudur saja.

Borobudur adalah sebuah mahakarya yang tak ternilai harganya. Sebagai salah satu keajaiban dunia. Candi ini megah ini didirikan oleh raja Samaratungga (Dinasti Sailendra) dengan bantuan seorang arsitek bernama Gunadharma. Borobudur memiliki kekayaan akan keindahan seni ukir dan pahatan yang di kolaborasikan dengan tata letak yang sempurna membuat setiap orang tertarik untuk menggunjunginya. 

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Reruntuhan candi Borobudur mulai diselidiki pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Ia ternyata seorang pengagum sejarah dan kebudayaan pribumi. Pada tahun 1815 menugaskan H.C.Cornelius untuk mengadakan penyelidikan. Tahun 1835 bentuk susunan Borobudur mulai terungkap oleh A. Shaefer, seorang seniman Jerman.  Antara tahun 1855–1891 ditemukan seluruh relief yang terdapat pada seluruh kaki candi. Pemugaran pertama candi Borobudur baru dilaksanakan tahun 1900 oleh tim yang diketuai Dr. J.L.A. Brandes. Candi Borobudur berhasil dipugar kembali pada tahun 1911. Candi ini telah beberapa kali mengalami pemugaran, hingga berbentuk seperti yang bisa kita lihat sekarang.

Mari kita mulai dari asal mula nama Borobudur sendiri masih belum didapat kejelasan yang pasti. Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Ia menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.

Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis  BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka bermakna, "Boro purba".Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.

Pada candi Borobudur ,struktur kaki terdapat dilapisan KAMADHATU (dunia paling bawah) yaitu perlambang dunia yang masih dikuasai oleh kama atau “nafsu rendah”.  Dalam tingkatan ini manusia digambarkan masih memiliki ketertarikan pada nafsu duniawi. Relief ini terdapat pada kaki candi Borobudur. Relief kisah Kammawibhangga terpahatkan di dindingnya meski hanya beberapa panel yang tampak. Menumpuk di atas lapisan kamadhatu terdapat empat lantai lapisan dengan dinding berelief yang dinamai para ahli arkeologi sebagai lapisan RUPADHATU (dunia yang lebih tinggi) melambangkan dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk (duniawi). Tingkatan rupadhatu melambangkan alam antara alam bawah dan alam atas. Pahatan patung Budha di lapisan ini, diletakkan di ceruk-ceruk dinding di atas selasar. Tigkatan paling atas (head) atap candi pada Borobudur disebut lapisan ARUPADHATU (dunia yang tertinggi) = lapisan tidak berwujud. Tingkatan ini berlantai dasar bundar melambangkan alam atas (golongan agamawan), symbol manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai sorga (nirwana). Patung Budha pada lapisan ini diletakkan di dalam stupa bertutup dengan rongga-rongga berbentuk belah ketupat dan persegi. Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tinggi.

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Susunan Candi Borobudur

Bangunan candi berbentuk limas dan apabila dilihat dari atas merupakan bujur sangkar. Bangunan candi terdiri dari 10 tingkat. Tiga tingkat yang paling atas berbentuk lingkaran dengan tiga teras. Teras pertama terdapat 32 stupa berlubang, teras kedua terdapat 24 stupa berlubang, dan teras ke tiga terdapat 16 stupa berlubang jadi jumlah keseluruhan ada 72 stupa berlubang yang masing-masing terdapat patung Buddha. Di tengah stupa-stupa tesebut terdapat stupa induk yang merupakan mahkota dari bangunan candi. Stupa induk bergaris tengah 9,90 meter,tinggi sampai bagian bawah adalah 7 meter. Di dalam bangunan Budha terdapat patung – patung Budha berjumlah 504 buah.

Struktur candi Borobudur mengingatkan kita akan konsep awal arsitektur bangunan di masa purba Indonesia berupa punden berundak-undak. Beberapa ahli arkeologi arsitek klasik berpendapat bahwa struktur candi Borobudur mendapatkan pengaruh kekuatan ‘lokal genius’ nenek moyang bangsa Indonesia di masa purba itu. 

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

stuktur Borobudur

INFO

Sejarawan J.G. de Casparis menuliskan "Kamūlān i Bhūmi Sambhāra Bhudhāra" , adalah nama asli Borobudur. Kamūlān sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra.Sedangkan Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa"

           Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 780 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak. Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

stuktur tanah candi Borobudur 

Borobudur tidak sembarang dibangun di tanah/tempat biasa, karena ini adalah sebuah mahakarya yang megah, maka dalam membuatannya terdapat beberapa lapisan tanah yang di persiapakan secara khusus.

Luas bangunan Candi Borobudur 15.129 m2 yang tersusun dari 55.000 m3 batu, dari 2 juta potongan batu-batuan. Ukuran batu rata-rata 25 cm X 10 cm X 15 cm. Panjang potongan batu secara keseluruhan 500 km dengan berat keseluruhan batu 1,3 juta ton. Dinding-dinding Candi Borobudur dikelilingi oleh gambar-gambar atau relief yang merupakan satu rangkaian cerita yang terususun dalam 1.460 panel. Panjang panel masing-masing 2 meter. Jika rangkaian relief itu dibentangkan maka kurang lebih panjang relief seluruhnya 3 km. Jumlah tingkat ada sepuluh, tingkat 1-6 berbentuk bujur sangkar, sedangkan tingkat 7-10 berbentuk bundar. Arca yang terdapat di seluruh bangunan candi berjumlah 504 buah. Tinggi candi dari permukaan tanah sampai ujung stupa induk dulunya 42 meter, namun sekarang tinggal 34,5 meter setelah tersambar petir.

Di setiap tingkatan pada dinding candi dipahat relief-relief. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jātaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu.  Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :

KARMAWIBHANGGA

Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batu yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala.

Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Karmawidhangga

LALITAWISTARA

Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banares. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur.

Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

relief Lalitawistara

JATAKA DAN AWADANA

Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa/perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an. Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Dwiyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana.

GANDAWYUHA

Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana.

Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

ARCA BUDDHA

Arca atau patung adalah tiruan bentuk makhluk yang dibuat dari batu,logam, kayu,plastik dan sebagainya. Ada arca sebagai sarana ibadah dan sebagai hiasan. Sebagai sarana ibadah merupakan simbol /gambaran Buddha. Arca Buddha berfungsi membantu umat Budhis dalam memusatkan perhatian atau konsentrasi pada saat melakukan upacara keagamaan dan meditasi. Selain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat banyak arca Buddha duduk bersila dalam posisi lotus (sikap sempurna di atas bunga teratai) serta menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung Buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan.  Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).

Secara sepintas semua arca Buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah.

Karakteristik arca Budha:

           Pada ujung kepala, rambut Sang Buddha keriting dan selalu searah jarum jam dan disanggul ushnisa). Pada dahinya terdapat tonjolan kecil yang disebut (urna). Pada leher Sang Budha jika diperhatikan terdapat garis-garis sebanyak tiga buah melambangkan kesabaran dan juga sebagai manusia sempurna. Arca Buddha memiliki telinga yang panjang sebagai gambaran kalau Buddha itu Maha Mendengar. Mata Buddha digambarkan setengah terpejam karena melambangkan orang yang melakukan yoga yang bertujuan untuk membantu konsentrasi. Setelah memejamkan mata kemudian perhatian diarahkan ke ujung hidung untuk bisa membantu konsentrasi.

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Arca Buddha

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Bagian tubuh, seluruh patung Buddha tidak ada yang memakai baju kebesaran, hanya memakai jubah. Jubah itu hanya menutup sebagian dadanya. Tidak ada yang penuh menutupi seluruh tubuhnya. Dada bagian kanan dibiarkan terbuka, sedangkan bagian kiri tertutup. Baju hanya berupa kain biasa menandakan sikap Buddha yang telah meninggalkan hal-hal duniawi.

Sikap tangan Buddha juga melambangkan hal yang berbeda-beda yang disebut Mudra. Mudra ini menjadi petunjuk atau identifikasi tentang apa yang sedang dilakukan Buddha. Sikap kaki bersila dan berada di singgasana berbentuk teratai, dinamakan padmasana. Kaki kanan telapak kakinya dibuka ke atas ditumpangkan pada kaki sebelah kiri. Sikap kaki kanan menjadi semacam penopang tubuh untuk relaksasi saat bermeditasi. Bahasa tubuh yang ditunjukkan oleh Buddha baik dari sikap tangan dan bahu menunjukkan sikap tubuh seperti orang sedang beryoga. Penempatan arca Buddha mengikuti arah penjuru mata angin.

Berikut adalah Dyani budha Arca Buddha menurut Mudra:

UTARA: Dhyani Buddha Amoghasidhi dengan Abhaya-Mudra (a= meniadakan, bhaya= bahaya). Arca budha dengan mudra/ sikap

 telapak tangan menghadap ke depan, maksudnya adalah meniadakan bahaya/ menolak  bahaya.

SELATAN:Dhyani Budha Ratnasambhawa. Arca Buddha bersikap tangan Wara-Mudra. Wara-Mudra melambangkan

 pemberian amal, memberi anugerah atau berkah.

BARAT:Dhyani Buddha Amitabha. Arca Buddha dengan sikap Dhyana-Mudra sikap tangan melambangkan

sedang bermeditasi atau mengheningkan cipta.

TIMUR :Dhyani Buddha Aksobhiya. Arca Buddha melambangkan Bhumispara-Mudra, sikap tangan yang menggambarkan

 saat Sang Buddha memanggil dewi bumi, sebagai saksi ketika ia menangkis semua serangan iblis (mara).

PUSAT :Dhyani Buddha Wairocana. Arca Buddha dengan sikap Dharma Cakra-Mudra melambangkan gerak memutar roda

 dharma. Di Candi Borobudur, Mudra ini digambarkan dengan sikap tangan yang disebut Witarka-Mudra.

Stupa

Adalah bangunan yang berbentuk seperti kubah, tempat menyimpan relik Buddha atau orang-orang suci. Relik ialah tubuh sebagian orang yang telah mencapai kesucian,setelah meninggal dan dikremasi, akan meninggalkan sejenis batuan/tulang.

Konon bentuk stupa bermula dari petunjuk Buddha Gotama. Beliau melipat tiga jubah nya membentuk bujur sangkar yang di tumpuk di atas tanah. Di atasnya diletakan mangkuk sedekah (patta) secara terbalik dan di atas mangkuk itu ditegakan sebuah tongkat. Dalam perkembangannya bentuk sederhana ini mengalami perubahan seperti sekarang. 

Sikap mudra yang berarti memanggil bumi sebagai saksi disebut

Stupa  Borobudur