BincangSyariah.Com – Terdapat perbedaan pendapat para ulama mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam. Tapi jika kita tengok dalam sejarah kesultanan Aceh pada awal abad ke-17 M, tidak kurang dari empat putri raja berturut-turut naik takhta pada abad ke 17 M atau sesudah tahun 1641. Padahal kita tahu Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat yang mengacu pada ketentuan hukum pidana Islam. Menurut Ito Takesi dalam The Word of The Adat Aceh A HIstorical Study of The Sultanate of Aceh, menyebutkan bahwa dipilihnya para Sultanah adalah untuk menghindari perselisihan dan perebutan Mahkota kerajaan di antara para keturunan Raja. Nah, Keempat Ratu tersebut ialah
Safiyatuddin Tajul Alam merupakan putri Sultan Iskandar Muda dan Istri dari Sultan Iskandar II. Safiyah merupakan sultanah pertama Kesultanan Aceh yang memerintah sejak 1641-1675 M. Dia menggantikan suaminya, Iskandar Thani yang wafat. Sebagaimana pendahulunya, Putri Iskandar Muda ini menerapkan hukum yang ketat bagi para pemabuk dan berusaha menjaga keseimbangan pemerintahanya dengan sejumlah undang-undang yang ketat. Akan tetapi kelemahan kepemimpinannya disebabkan karena semakin besar pengaruh Belanda di wilayah Kesultanan Aceh dalam bidang perdagangan dan politik.
Setelah Safiyatuddin mangkat, dia digantikan Sultanah Nakiyatuddin Nurul Alam yang memerintah sejak 1675-1678. Dia mendapat tekanan kaum wujudiyah yang mengatas namakan agama yang diperalat golongan politik tertentu yang ingin menduduki kursi kesultanan. Pada akhirnya Kaum wujudiyah berhasil menghanguskan istana dan Masjid Baitur Rahman serta sebagian besar Kota Banda Aceh. Mereka melakukan sabotase terhadap sebagian besar wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, hal ini membuat pemerintahannya lumpuh. Untuk memperkuat kedudukannya, Nakiyatuddin melakukan perombakan besar-besaran terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar Kerajaan. Dia juga menerapkan hukum yang tak jauh berbeda, khususnya pada kasus pencurian dimana hukuman mati, potong tangan dan kaki tetap berlaku.
Kemudian pada periode selanjutnya, setelah Sultanah Nakiyatuddin meninggal digantikan oleh Sultanah Zakiyatuddin Inayat Syah yang mengambil alih pemerintahan sejak 1678-1688. Menurut sejarah, sebagaimana Sultanah Safiatuddin mempersiapkan Nakiatuddin untuk menggantikannya, Nakiatuddin juga mempersiapkan Zakiyatuddin menjadi sultanah. Mereka semua dididik dalam keraton dengan berbagai ilmu termasuk ilmu hukum, sejarah, filsafat, kesusastraan, agama Islam, Bahasa Arab, Persia, dan Spanyol. Di bawah kekuasaannya Sultanah Zaqiyatuddin dengan cepat pendidikan dan ilmu pengetahuan maju, akses pendidikan untuk perempuan dibuka lebar. Sementara dalam bidang politik, Zaqiyatuddin bekerjasama dengan negara tetangga untuk saling bantu melumpuhkan kekuasaan VOC dengan mengikat perjanjian persahabatan.
Zakiyatuddin meninggal pada 1688 kemudian digantikan Kamalat Shah yang memerintah hingga tahun 1699. Pemerintahan Kamalat Shah mendapat perlawanan dari golongan Orang Kaya, tidaak seperti pendahulunya yang bisa diterima baik oleh masyarakat. Pihak oposisi menuntut agar kepemimpinan kerajaan dikembalikan kepada laki-laki. Pada tahun 1699, sang Sultanah memang mengundurkan diri. Namun, ia mengundurkan diri bukan karena tuntutan itu, melainkan fatwa dari Mekkah yang menegaskan pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal hubungan Kerajaan Aceh dan para ulama saat itu baik-baik saja. Ia bahkan selama pemerintahannya mendapat bantuan dari para ulama, khususnya Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiahkuala.
Sebutkan sultan yang pernah memimpin Kerajaan Aceh! Jawab: Sultan yang pernah memimpin Kerajaan Aceh sebagai berikut.
----------------#---------------- Jangan lupa komentar & sarannya Email: Kunjungi terus: masdayat.net OK! :) Newer Posts Older Posts
Salah satu sejarah kerajaan Islam di indonesia yang berada di Sumatera adalah Kerajaan Aceh. Kerajaan ini muncul sebagai kekuatan baru di Selat Malaka, setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Kerajaan ini muncul di abad ke-16 dimana para pedagang Islam yang tidak mengakui kekuasaan Portugis di Selat Malaka memindahkan jalur perdagangan di seluruh Nusantara. Peran Malaka diambil alih oleh Kerajaan Aceh selama beberapa abad sehingga terjadilah perkembangan pada perdagangan dan pelayaran. Silsilah Kerajaan Aceh Kerajaan Aceh dengan ibukota Bandar Aceh Darussalam, memiliki sultan pertama yang bernama Sultan Ali Mughayat Syah. Kerajaan Aceh mengalami kejayaannya sebagai kerajaan Islam di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Yang mana hal ini terjadi karena letak Kerajaan Aceh yang strategis, dekat jalur perdagangan Internasional pada masa itu. Dengan berkembangnya perdanganan di Kerajaan Aceh, banyak hal yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh dalam berbagai aspek, seperti kehidupan politik, ekonomi, social dan kebudayaan. Dan banyak sekali Peninggalan Kerajaan Islam di Indonesia khususnya di wilayah aceh. Berikut ini adalah daftar lengkap Silsilah Kerajaan Aceh yang pernah berkuasa pada sejarah Kesultanan Aceh Darussalam yang pernah terkenal dengan perkembangan perdagangannya :
Kehidupan Politik Kerajaan Aceh Berikut ini adalah Silsilah Kerajaan Aceh yang pernah memerintah Kerajaan Aceh dengan prestasi-prestasinya: Ali Mughayat Syah adalah raja yang pertama memerintah Kerajaan Aceh. Beliau bertahta dari tahun 1514-1528 M. Selama dalam kekuasaan beliau, Kerajaan Aceh melakukan ekspansi ke beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatera Utara, seperti di daerah Daya dan Pasai. Bahkan belian pernah mengadakan serangan terhadap Portugis di Malaka serta menyerang kerajaan Aru. (Baca Juga : Silsilah Kerajaan Mataram Kuno) Sultah Salahudin adalah putra dari Sultan Ali Mughayat Syah. Beliau melanjutkan kepemimpinan ayahandanya setelah Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia. Masa pemerintahan beliau berlangsung dari tahun 1528 hingga 1537 M. Selama beliau memerintah, Sultan Salahudin kurang memberikan perhatian terhadap kerajaannya sehingga akhirnya kerajaan mulai goyah dan mundur. Oleh sebab itu, pada tahun 1537 Sultah Salahudin digantikan oleh saudaranya yang bernama Sultan Alaudin Riayat Syah.
Pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah di Aceh berlangsung sejak tahun 1537-1568 M. Dibawah kepemimpinannya, Kerajaan Aceh berkembang menjadi bandar utama di Asia bagi pedagang Muslim mancanegara. Sejak Malaka berada di bawah pemerintahan Portugis, pedagang Muslim menghindari selat Malaka dan mulai beralih menyusuri pesisir Barat Sumatera, ke selat Sunda, lalu terus ke timur Indonesia atau langsung ke Cina. Letak Kerajaan Aceh yang strategis membuatnya menjadi bandar transit lada dari Sumatera dan rempah-rempah dari Maluku. Kedudukan ini didapat bukan tanpa hambatan. Kerajaan Aceh seringkali menghadapi rongrongan Portugis. Demi memenangkan persaingan, akhirnya Aceh membangun angkatan laut yang kuat. Di masa tersebut Kerajaan Aceh membina hubungan kenegaraan dengan Turki Ottoman yang dianggap memegang kedaulatan Islam tertinggi waktu itu. (Baca Juga : Peninggalan Kerajaan Singasari) Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda lah, Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaannya. Beliau naik tahta pada awal abad ke-17 menggantikan Sultan Alaudin Riayat Syah. Tindakan yang beliau ambil untuk memperkuat kedudukan Aceh sebagai pusat perdagangan adalah dengan memelopori sejumlah tindakan sebagai berikut.
Berbeda dengan strategi pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Thani lebih memperhatikan pembangunan dalam negeri dari pada politik ekspansi. Oleh sebab itu, walaupun beliau hanya memerintah selama 4 tahun, Aceh mengalami suasana damai. Hukum syariat Islam ditegakkan, bukannya menjalankan kekuasaan yang sewenang-wenang. Hubungan dengan wilayah taklukan dijalankan dengan suasana liberal, bukan tekanan politik atau militer. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani perhatian terhadap studi agama Islam mengalami perkembangan pesat. Perkembangan pesat untuk studi Agama Islam diperkuat oleh Nuruddin Arraniri, seorang ulama besar dari Gujarat yang menulis buku sejarah Aceh yang berjudul Bustanu’s Salatin. Selepas kepergian Iskandar Thani, Aceh mengalami kemunduran yang membuatnya menjadi lemah. Aceh tidak mampu menahan saat sejumlah wilayah taklukan melepaskan diri. Kerajaan itupun tidak mampu lagi berperan sebagai pusat perdagangan. Meskipun demikian, kerajaan Aceh tetap berlanjut sampai memasuki abad ke-20. (Baca Juga : Peninggalan Kerajaan Kutai) Kehidupan Sosial Kerajaan Aceh Setelah Kerajaan Aceh mengalami kemakmuran dan kejayaan, kemudian muncullah sistem feodalisme dan ajaran agama Islam dalam kehidupan social masyarakat Aceh. Sistem feodal adalah adanya lapisan sosial masyarakat Aceh yand berdasarkan pada jabatan structural, kualitas keagamaan dan kepemilikan harta benda. Kaum bangsawan yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan sipil bergelar Teuku, sedangkan kaum Ulama yang memiliki peran sangat penting dalam agama disebut Teungku. Selain itu masih ada golongan hulubalang atau ulebalang. Mereka adalah para prajurit. Dan golongan yang terakhir adalah rakyat biasa. Antara golongan Tengku dan Teuku sering terjadi persaingan dan perselisihan yang akhirnya menjadi Kerajaan Aceh menjadi lemah. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh Sehubungan dengan wilayah kerajaan yang sangat subur yang menghasilkan hasil bumi yang berlimpah ruah, hal ini berimbas positif pada kehidupan ekonomi Kerajaan Aceh. Dimana kehidupan ekonomi masyarakan Aceh berkembang sangat pesat. Adapun hasil bumi yang utama adalah berupa lada. Dengan meluasnya kerajaan Aceh ke banyak daerah di pantai barat dan timur Sumatera maka penjualan hasil bumi tersebut meningkat sangat banyak. Bukan hanya itu, penguasaan Kerajaan Aceh atas wilayah di Semenanjung Malaka semakin meningkatkan penjualan lada dan timah. (Baca Juga : Sejarah Kerajaan Tidore) Dengan menguasai Selat Malaka yang mana para pedagang dari luar Nusantara berdatangan untuk melakukan perdagangan, maka terjalinlah hubungan dagang antara Kerajaan Aceh dengan para pedagang dari bangsa Inggris, Belanda, Persia, Arab, Turki, Cina, Siam, India dan Jepang. Hubungan ekspor terjalin baik dimana Kerajaan Aceh mengekspor lada, timah, saapan, damar, kayu cendana, gandaruken, obat-obatan, getah perca dan damar. Sementara Aceh juga mengimpor anggur, beras, gula, sekar lumat, kurma, guci, timah, tekstil, katun, besi, batik, kertas, kipas dan opium. Dengan adanya aktivitas dagang yang sangat ramai ini, kapal-kapal yang digunakan dalam perdagangan ini bisa berlayar hingga ke daerah Laut Merah. Kerajaan Aceh yang menjadi pusat perdangan di tempat yang strategis kehidupan masyarakat Aceh berkembang di segala bidang yang akhirnya memunculkan persaingan degan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya. Penyebab Keruntuhan Kerajaan Aceh Ada beberapa faktor penyebab runtuhnya Kerajaan Aceh, yaitu
Setelah kurang lebih 4 abad Kerajaan Aceh berkuasa, akhirnya mengalami kerajaan ini mengalami keruntuhannya di awal abad ke-20 karena dikuasai oleh bangsa Belanda. Demikianlah sekelumit penjelasan mengenai Silsilah Kerajaan Aceh, yang merupakan salah satu kerajaan yang pernah berjaya dengan perdagangannya.
=Kompas.com, Tempo.co, dan Kpu.go.id Menangkan 02 ?
|