Sebutkan kata-kata yang digunakan seorang perawi dalam meriwayatkan hadis

Thu, 30 April 2015 09:55

Dalam menyampaikan ulang sebuah cerita, kita mungkin tidak begitu memperdulikan dengan cara apa cerita itu kita dapat. Kita tak pernah meributkan apakah sebuah cerita yang sampai kepada kita itu kita dapatkan dengan langung mendengar dari sumber pertamanya, ataukah kita hanya dapat cerita itu dari membaca sebuah tulisan.

Terlebih lagi, kita juga tak ambil pusing bagaimana dan dari mana sebuah cerita itu didapat oleh orang yang bercerita kepada kita, atau dari orang sebelumnya, dari orang sebelumnya dan seterusnya. Termasuk juga dalam menerima hadits Nabi.

Saat ini, ketika kita menerima suatu hadits kita cukup menyebutkan saja di kitab hadits apa sebuah hadits itu kita dapat. Kita memang tak terlalu membedakan antara ‘menceritakan, mengabarkan, mengatakan kepada kami, kami mendengar, saya mendengar, dll’. Tenyata para ulama dahulu membedakannya.

Hal itu berbeda dengan apa yang telah dilakukan para ulama dahulu dalam menerima sebuah informasi hadits. Ternyata ada shighat atau kata-kata khusus yang dipakai oleh para ulama, yang dari situ bisa digali informasi bagaimana seseorang itu mendapatkan kabar dari orang sebelumnya.

Dalam ilmu mushthalah hadits, ternyata para ulama telah mengidentifikasi shighat atau kata-kata khusus yang biasa digunakan dalam penyampaikan sebuah informasi hadits.

Pada tulisan sebelumnya, secara sekilas ada 8 cara dengan masing-masing shighat atau kata-kata khusus yang digunakan para ahli hadits dalam menyampaikan kembali sebuah hadits; seperti: as-sama’ min lafdz as-syaikh, al-qira’ah ‘ala as-syaikh, al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-i’lam, al-washiyyah, al-wijadah.

Awalnya dari kedelapan metode diatas, pada periode shahabat hanya yang pertama saja yang digunakan secara umum[1]. Para murid berada di sisi guru, melayaninya dan belajar darinya. Tak lama kemudian, metode yang paling umum digunakan adalah metode satu dan dua. Berikut penjelasan lebih detailnya:

1. Sama’ lafdzi as-Syaikh Atau Mendengarkan Suatu Lafadz Dari Guru Langsung

Bentuk: Seorang guru membacakan hadits, sedangkan murid mendengarkannya. Baik guru itu membaca dari kitab ataupun dari hafalannya, baik murid hanya mendengarkan atau mencatatnya juga[2].

Tingkatan: Metode tahammul ini merupakan tingakat pertama dalam urutan tahammul hadits. Inilah pendapat Jumhur Ulama’[3].

Shighat Ada’: Sedangkan shighat yang digunakan dalam menyampaikan sebuah hadits yang didapatkan dengan metode ini adalah:

  • Sebelum adanya pengkhususan shighat dari masing-masing metode tahammul, lafadz yang digunakan adalah[4]:

حدثني، أخبرني، أنبأني، سمعت فلانا يقول، قال لي فلان، ذكر لي فلان

  • Setelah terjadi pengkhususan istilah shighat tahammul, maka biasanya:
  1. Sama’: biasanya menggunakan (سمعت ) dan ( حدثني)
  2. 2. al-Qira’ah: biasanya menggunakan (أخبرني)
  3. 3. Ijazah: biasanya menggunakan (أنبأني)
  4. Sama’ al-Mudzakarah: Sama’ al-Mudzakarah berbeda dengan sama’ at-tahdits. Jika sama’ at-tahdits maka antara guru dan murid sudah mempersiapkan diri sebelumnya. Sedangkan dalam sama’ al-mudzakarah tidak ada persiapan sebelumnya. Biasanya menggunakan (قال لي ) atau ( ذكر لي) [5].

            Biasanya untuk meringkas tulisan, para Ulama’ hanya menuliskan (ثنا) untuk (حدثنا), dan (أنا) untuk (أخبرنا)[6].

2. al-Qira’ah ‘ala as-Syeikh/’ardhun Atau Membacakan Suatu Teks Di Depan Guru (العرض)

Bentuk: Seorang murid membaca hadits dan guru mendengarkannya. Baik seorang murid itu membacanya sendiri atau orang lain yang membaca dan dia mendengarkan, baik membacanya dari tulisan ataupun dari hafalan. Begitu juga guru itu mengikuti bacaan murid dari hafalannya atau dia memegang sebuah kitab atau orang lain yang tsiqah[7].

Hukum Riwayat: Meriwayatkan hadits dengan metode ini adalah shahih dan bisa diterima.

Tingkatan: Ulama’ berbeda pendapat tentang tingkatan metode ini dalam tiga pendapat:

  1. Sama dengan as-Sama’ (metode pertama). Ini pendapat Malik, al-Bukhari, Yahya bin Said al-Qahthan, Ibnu Uyainah, az-Zuhri, kebanyakan Ulama’ Hijaz dan Kufah[8].
  2. Di bawah as-Sama’, Ini adalah pendapat Jumhur Khurasan, as-Syafi’i, Muslim bin Hajjaj, Yahya bin Yahya at-Tamimi. Ini adalah pendapat yang shahih[9].
  3. Lebih tinggi daripada as-Sama’. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, dan salah satu pendapat Malik.

Imam Malik memberikan alasan bahwa, jika saja seorang guru salah atau lupa dalam menyampaikan suatu hadits, maka murid tidak bisa membetulkannya. Ada kalanya memang murid tersebut belum mengetahui haditsnya, atau karena keagungan gurunya, jadi murid enggan untuk mengoreksi.

                Berbeda jika murid membacakan hadits di depan gurunya, maka gurunya akan bisa tahu jika murid lupa atau salah dalam membaca hadits[10].

Shighat Ada’:

  1. Yang lebih hati-hati: (قرأت على فلان) atau (قرئ عليه وأنا أسمع فأقرَّ به)
  2. Boleh saja dengan shighat: (حدثنا قراءة عليه)
  3. Adapun yang banyak dipakai Muhadditsin adalah: (أخبرنا)

Ulama’ tidak membolehkan mengganti shighat (أخبرنا) dengan (حدثنا) atau sebaliknya dalam kitab-kitab yang sudah ditulis[11].

Nampaknya, metode ‘ardh ini merupakan praktik yang paling umum sejak awal abad kedua[12]. Dalam praktik ini, salinan-salinan diberikan oleh guru sendiri, karena banyak dari mereka memiliki juru tulis (katib atau warraq) sendiri, atau merupakan milik murid yang menyalinnya lebih dahulu dari kitab asli.

3. al-Ijazah Atau Pemberian Ijazah

Arti kata Ijazah dalam terminologi hadits adalah memberikan izin, baik dalam tulisan maupun hanya lafadz saja kepada seseorang untuk menyampaikan hadits atau kitab berdasarkan otoritas Ulama’ yang memberikan izin.

Ijazah ini bisa dengan musyafahah antara guru dan murid, atau pemberian izin dari guru dalam bentuk tulisan, baik murid ada atau tidak ada di depan guru[13].

Bentuk: Seorang guru berkata kepada muridnya, (أَجَزْتُ لك أن تروي عني صحيح البخاري), saya memberi ijin untukmu meriwayatkan dariku kitab Shahih Bukhari.

Macam-Macam Ijazah dan Hukumnya:

                Ada beberapa macam Ijazah, tapi Ijazah yang diterima riwayatnya dan dipakai oleh Kebanyakan Ulama’ adalah jika Ijazah itu dari seorang guru kepada murid yang tertentu atas sesuatu yang tertentu pula. Misalnya: Saya mengijazahkan kepadamu kitab Shahih Bukhari.

                Menurut imam Malik dan beberapa Ulama’, Ijazah seperti ini derajatnya sama dengan as-Sama’[14]. Disebutkan dalam kitab al-Ilma’[15] oleh al-Qadhi Iyadz (w. 544 H), sebuah riwayat sampai kepada Imam Malik bin Anas:

أخبرنا أبو طاهر الأصبهاني مكاتبة قال حدثنى أبو الحسين الطيورى أخبرنا أبو الحسن الفالى أخبرنا ابن خربان أخبرنا ابن خلاد أخبرنا أبو جعفر أحمد بن إسحاق بن بهلول أخبرنا إسماعيل بن إسحاق سمعت إسماعيل بن أبى أويس يقول سألت مالكا عن أصح السماع فقال قراءتك على العالم أو قال المحدث ثم قراءة المحدث عليك ثم أن يدفع إليك كتابه فيقول أرو عنى هذا.

Adapun Ijazah yang lain, misalnya Ijazah kepada orang yang tak tertentu, atau atas sesuatu yang tidak tertentu pula, misalnya: Seorang guru berkata, Aku mengijazahkan hafalanku, aku mengijazahkan kepada semua orang yang hidup di zamanku, maka para Ulama’ tidak mengambil riwayat dari hal tersebut. Meskipun ada pula yang membolehkan mengambil riwayat dari Ijazah seperti itu, tetapi pendapat ini adalah pendapat yang lemah.

Shighat Ada’:

  1. Yang lebih baik adalah menggunakan lafadz: (أجاز لي فلان)
  2. Boleh juga menggunakan lafadz: (حدثنا إجازة) dan (أخبرنا إجازة)
  3. Para Muhaddits banyak yang memakai lafadz: (أنبأنا)

4. al-Munawalah Atau Penyerahan Sesuatu

al-Munawalah disini maksudnya adalah menyerahkan kepada seseorang bahan tertulis untuk diriwayatkan.

Bentuk: al-Munawalah terbagi menjadi dua:

  1. al-Munawalah disertai dengan Ijazah.

Inilah bentuk Ijazah tertinggi, dimana seorang guru memberikan kitab kepada muridnya disertai izin untuk meriwayatkannya. Sebagaimana guru berkata kepada muridnya, Kitab ini saya meriwayatkannya dari guru saya, maka sekarang riawayatkanlah dari saya. Setelah itu, kitab menjadi milik murid atau guru hanya meminjamkan saja kitabnya untuk disalin[16].

  1. al-Munawalah tidak disertai dengan ijazah.

                Bentuknya adalah seorang guru memberikan kitab kepada muridnya. Hukum meriwayatkan hadits dengan al-Munawalah yang tidak disertai ijazah ini adalah tidak diterima, menurut pendapat yang shahih. Sedangkan al-munawalah yang disertai ijazah adalah diterima, dia berada dibawah as-Sama’ dan al-Qira’ah ala as-Syeikh.

Shighat ada’:

  1. Lebih baik menggunakan lafadz: (ناولني), jika munawalah disertai dengan ijazah, maka dengan lafadz (ناولني وأجاز لي).
  2. Boleh juga dengan lafadz: (حدثنا مناولة), (أخبرنا مناولة وإجازة).

Bersambung ke:

Footnote:

[1] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 45

[2] Al-Qadhi Iyadh Abu al-Fadhl Iyadh bin Amrun bin Musa bin Iyadh as-Sibti al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, (Kairo: Dar at-Turats, 1970 M, tahqiq As-Sayyid Ahmad Shaqr, hal. 68

[3] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 69, Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 8

[4] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 159

[5] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 159

[6] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 53

[7] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 12

[8] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 71

[9] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 180

[10] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 74

[11] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 22

[12] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 53

[13] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 88

[14] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 79

[15] Al-Qadhi Iyadh al-yahshabi (w. 544 H), al-Ilma’ ila Ma’rifati Ushul ar-Riwayah wa Taqyidu as-Sama’, hal. 88

[16] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 162


Page 2

Wed, 22 April 2015 09:42

‘Copas dari group sebelah’, sebuah kata-kata yang khas sering kita temui sekarang, jika ada temen yang menyebarkan sebuah info di group media sosial. Hal ini bisa baik, tetapi banyak buruknya. Baik jika memang informasi yang disebar itu memang valid, faktual dan bisa dipertanggungjawabkan.

Hanya sebagai seorang muslim, kita kehilangan satu karakter keilmuan yang dijaga oleh ulama Islam sejak zaman dahulu; validitas informasi.

Terlebih jika informasi itu hanya sekedar isu belaka. Maka, ikut menyebarkannya berarti ikut bertanggunjawab atas benar tidaknya isu tersebut.

Imam Muslim bin Hajjaj (w. 261 H) menuliskan sebuah hadits dari Nabi Muhammad shallaallahu alaihi wa sallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع) رواه مسلم

Rasulullah bersabda, “Cukup seseorang dianggap tukang bohong, jika selalu menyebarkan apapun yang didengar”. HR. Muslim

Validitas Informasi Dalam Keilmuan Islam

Dalam literatur sejarah keilmuan Islam, kita bisa temukan beberapa bukti bahwa para ulama dahulu sangat menjaga validitas informasi yang akan disampaikan kepada orang lain. Salah satunya adalah ilmu sanad. Sebenarnya ilmu sanad tidak hanya berlaku pada hadits Nabi saja, melainkan dalam setiap cabang keilmuan Islam.

Syeikh Mala Ali al-Qari (w. 1014 H) menyebutkan dalam kitabnya Syarah Nukhtbat al-Fikr:

ثم اعلم أن أصل الإسناد خصيصة فاضلة من خصائص هذه الأمة

Ketahuilah bahwa sanad itu keistimewaan yang khusus dari umat ini. (Mala Ali al-Qari w. 1014 H, Syarh Nukhbat al-Fikr, h. 617)

Lebih dari itu, dalam keilmuan musthalah hadits seorang periwayat hadits dituntut untuk mengetahui bagaimana dan dengan cara apa sebuah hadits didapat , dari Nabi sampai kepada periwayat terakhir hadits itu. Satu cabang ilmu musthalah hadits ini sering disebut dengan tahammul dan ada’.

Pengertian Tahammul dan Ada’

Secara etimologi kata tahammul berasal dari kata ( mashdar): تَحَمَّلَ يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً  yang berarti menanggung, membawa[1], atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Secara terminologi tahammul adalah mengambil hadits dari seorang guru dengan cara-cara tertentu[2].

Sedangkan pengertian ada’, menurut etimologi adalah diambil dari kata اَدَى- يُؤْدِى- اَدَاءٌ  yang berarti menyampaikan sesuatu kepada orang yang dikirim kepadanya[3]. Adapun pengertiannya secara terminologi adalah sebuah proses meriwayatkan hadits dari seorang guru kepada muridnya[4], atau bisa diartikan dengan meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid.

Ulama’ Hadits sejak dahulu telah menjelaskan bagaimana hadits itu didapat seorang rawi dari gurunya, syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh orang yang mendengar hadits dan menyampaikannya kembali, serta shighat/ lafadz yang digunakan dalam menyampaikan hadits.

Hal ini tidak lain untuk memastikan tersambungnya hadits sampai kepada Nabi Muhammad shallaallah alihi wa sallam, sehingga akan hilang keraguan dalam diri dan yakin bahwa suatu hadits benar-benar datang dari Nabi. Hal itu menunjukkan bahwa begitu telitinya ulama hadits dalam menyeleksi kebenaran datangnya suatu hadits.

Sebuah informasi hadits yang diterima dari seorang rawi itu diteliti, apakah dengan mendengarkan langsung dari rawi sebelumnya, apakah mendengarkannya ketika sedang sendiri atau berjamaah dengan orang lain, atau sebenarnya tidak mendengarkan langsung tetapi menemukan di tulisannya.

Apa pentingnya mengetahui cara mendapatkan sebuah hadits? Seorang rawi yang terkenal sering melakukan tadlis dalam sanad, kita akan crosscek lebih lanjut lagi, apakah dia mendengarkan langsung dari orang sebelumnya atau sebenarnya dia tidak langsung mendengarkan tetapi dari orang lain. Tadlis sering diartikan dengan menampilkan sesuatu yang bagus dalam dzahirnya sanad, dan menyembunyikan aibnya.

Metode-metode Tahammul dan Shighat Ada’ Hadits

Secara ringkas, pada umumnya ulama membagi metode penerimaan riwayat hadits menjadi delapan macam, yaitu: 

  1. as-sama’ min lafdz as-syaikh: pembacaan oleh guru kepada murid
  2. al-qira’ah ‘ala as-syaikh: pembacaan oleh murid kepada guru
  3. al-ijazah: mengijinkan seseorang untuk menyampaikan sebuah hadits atau kitab
  4. al-munawalah: menyerahkan kepada seseorang bahan tertulis untuk diriwayatkan
  5. al-kitabah: menuliskan hadits kepada seseorang
  6. al-i’lam: seorang guru mengabarkan kepada muridnya bahwa ia mendengar suatu hadits
  7. al-washiyyah: mewasiatkan suatu kitab kepada orang lain tentang hadits yang telah diriwayatkannya
  8. al-wijadah: menemukan suatu tulisan dari seseorang yang di dalamnya terdapat hadits [5].

Dari kedelapan metode itu, dalam periode shahabat hanya yang pertama saja yang digunakan secara umum[6]. Para murid berada di sisi guru, melayaninya dan belajar darinya. Tak lama kemudian, metode yang paling umum digunakan adalah metode satu dan dua.

Footnote:

[1] Muhammad bin Mukram bin Mandzur, Lisanul Arab, (Baerut: Dar Shadir, t.t), juz 11, hal. 174

[2] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Jeddah: Makthabah al-Haramain, 1985 M), hal. 157

[3] Ibrahim Musthafa, Ahmad az-Zayyat dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Dar ad-Dakwah Majma’ al-Lughat al-Arabiyyah, t,t), Hal.10

[4] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 157

[5] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 8

[6] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 45


Page 3

Wed, 4 June 2014 09:37

Apakah yang dimaksud dengan takhrij hadits?

Takhrij secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kerja "خرّج, يخرّج, تخريجا". Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan, takhrij adalah: "menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat; atau menjelaskan suatu masalah

Sedangkan menurut pengertian terminologis, takhrij berarti;

التخريج هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته بسنده. ثم بيان مرتبته عند الحاجة المراد بالدلالة على موضع الحديث

"Menunjukkan letak Hadits dari sumber-sumber aslinya (sumber primer), untuk kemudian diterangkan rangkaian sanadnya, dan dinilai derajat haditsnya jika diperlukan.

Jadi, ada dua hal yang dikaji dalam takhrij hadits. Pertama, menunjukkan letak hadits dalam kitab-kitab primer hadits. Kedua, menilai derajat hadits tersebut jika diperlukan.

Tujuan utama dari takhrij hadits adalah mengetahui derajat suatu hadits, apakah maqbul atau mardud. Sebenarnya takhrij tidak hanya untuk hadits saja, tetapi juga kepada perkataan yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in.
  1. Dapat diketahui banyak-sedikitnya jalur periwayatan suatu hadist yang sedang menjadi topik kajian.
  2. Dapat diketahui status hadist, apakah shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian juga akan dapat di ketahui istilah hadist mutawatir, masyhur, aziz, dan gharib-nya.
  3. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah  mengetahui bahwa hadist tersebut adalah makbul (dapat di terima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadist tersebut tidak dapat diterima (mardud).
  4. Dapat diketahui pula hadits yang semula dhaif dari satu jalur, ternyata ada jalur lain yang hasan atau shahih.
Pertama yang jelas adalah Bahasa Arab. Karena literatur yang dipakai dalam takhrij hadits adalah kitab-kitab yang berbahasa Arab. Kedua, adalah ilmu Ushul al-Hadits atau lebih dikenal dengan Ilmu Mushthalah Hadits.Ketiga, lebih spesifik lagi adalah Ilmu at-Tarajum dan Ilmu al-Jarhi wa at-Ta’dil. Ilmu ini berkaitan dengan rawi dari setiap hadits yang akan kita takhrij, masa hidupnya dan penilaian ulama terhadapnya. Itulah kualifikasi dasar yang harus dimiliki seseorang jika ingin mencoba mentakhrij hadits Nabi. Bisa dikatakan iya, bisa tidak. Dikatakan ilmu baru karena memang ilmu ini belum berkembang pada masa awal Islam. Tetapi bisa dikatakan tidak baru, karena semangat dasar takhrij sudah ada sejak masa shahabat.Takhrij hadits dimaksudkan agar seseorang berhati-hati dalam menerima informasi hadits, apakah memang benar dari Nabi Muhammad atau palsu.

Bisa dikatakan Abu Bakar as-Shiddiq adalah orang pertama dari shahabat Nabi yang selektif dalam menerima informasi hadits dari Nabi, jika beliau tidak langsung mendengarnya. Hal itu sebagaimana komentar dari ad-Dzahabi (w. 748 H):

كان أول من احتاط في قبول الأخبار

(Abu Bakar as-Shiddiq) adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima kabar dari Nabi. Sampai akhirnya takhrij hadits ini berkembang pesat pada abad ke-8 dan ke-9 Hijriyyah.

Sebutkan contoh kitab-kitab takhrij dari ulama terdahulu?

Sebagaimana disebutkan diatas, masa keemasan ulama dalam menulis kitab takhrij adalah abad ke-8 dan ke-9 Hijriyyah.
  1. Taghliq at-Ta’liq, karya: al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Kitab ini menerangkan tentang hadits-hadits yang disinyalir mu’allaq dalam kitab Shahih Bukhari yang jumlahnya sekitar 1341 buah hadits.
  2. Al-‘Ujab fi Takhrij ma Yaqulu fihi at-Tirmidizi, karya al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H).
  3. Nushbu ar-Rayah Li Ahadits al-Hidayah, karya: Abdullah bin Yusuf az-Zailaghi (w. 726 H). Kitab ini merupakan takhrij dari kitab al-Hidayah karya Ali bin Abu Bakar al-Marghinani (w. 593 H).
  4. Al-Badru al-Munir, karya: Sirajuddin ibn al-Mulaqqan (w. 804 H). Kitab ini mentakhrij hadits-hadits yang ada di kitab as-Syarhu al-Kabir atau Fathu al-Aziz bi Syarhi al-Wajiz karya Abdul Karim ar-Rafi’i (w. 623 H). Kitab as-Syarhu al-Kabir ini merupakan syarah dari kitab al-Wajiz karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).
  5. At-Talkhish al-Habir, al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Kitab ini juga mentakhrij hadits-hadits yang ada di kitab as-Syarhu al-Kabir atau Fathu al-Aziz bi Syarhi al-Wajiz karya Abdul Karim ar-Rafi’i (w. 623 H).
  6. Al-Mughni an Hamli al-Asfar di al-Asfar, karya: al-Hafidz Zainuddin Abu al-Fadhl al-Iraqi (w. 806 H). Kitab ini mentakhrij kitab Ihya’ Ulum ad-Din karya Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).
  7. Al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytahirah ala al-Alsinah, karya: Syamsuddin as-Sakhawi (w. 902 H). Kitab ini mentakhrij hadits-hadits yang masyhur dalam masyarakat.

Sebutkan kitab-kitab yang membicarakan teori takhrij?

  1. Ushul at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, karya: Mahmud at-Thahhan.
  2. Kasyfu al-Litsam an Asrar Takhrij Sayyid al-Anam, karya: Abdul Maujud Muhammad Abdullatif.
  3. Thuruq Takhrij Haditsi Rasulillah, karya: Abdul Mahdi bin Abdul Qadir.