Sebutkan hal yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya laba BUT

Indonesia - Dalam istilah perpajakan, terdapat istilah deductible expense yang dimana ini merupakan sebuah kebijakan atas biaya yang harus dikurangkan dengan cara menagih, mendapatkan, dan memelihara penghasilan (3M). Dengan berdasar pada Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008, dikatakan bahwa deductible expense merupakan suatu kebijakan biaya yang telah diatur untuk mengurangi penghasilan kena pajak atau penghasilan bruto dengan tujuan mendapatkan, menagih, serta memelihara penghasilan pajak. Dengan kata lain, deductible expense dapat diartikan sebagai biaya-biaya pengurang pajak.

Deductible expense merupakan kebijakan yang berlaku bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam bentuk usaha yang tetap. Biaya ini pula yang akan dikurangkan Wajib Pajak untuk dapat mengetahui besaran penghasilan neto sebagai dasar dari perhitungan Pajak Penghasilan (PPh).

Secara dasar, deductible expense memiliki 3 (tiga) prinsip umum agar suatu biaya ini dapat dikatakan atau dapat menjadi deductible expense, yaitu:

  1. Biaya tersebut merupakan biaya yang berhubungan dengan suatu kegiatan usaha
  2. Kegiatan usaha yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai pajak
  3. Biaya tersebut digunakan bukan untuk keperluan atau kepentingan pribadi

Sedangkan, apabila dilihat dari segi pengurangannya, biaya yang dikurangi oleh penghasilan bruto ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:

  1. Biaya yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
  2. Biaya yang memiliki masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun.

Baca juga Memahami Apa Itu Deductible Expense

Pajak Penghasilan pada Deductible Expense

Dengan berkaca pada Undang-Undang (UU) No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), Pasal 6 ayat (1), terdapat biaya yang dapat menjadi deductible expense, yaitu:

1.   Biaya yang berkaitan dengan kegiatan usaha baik secara langsung maupun tidak langsung, meliputi:

a.  Beban pembelian bahan

b.  Beban yang berkenaan dengan pekerjaan maupun jasa

c.  Beban atas upah, gaji, honorarium, bonus, tunjangan dalam bentuk uang, hingga gratifikasi

d.  Biaya bunga, sewa, ataupun royalti

e.  Beban atas perjalanan dinas

f.  Beban atas pengolahan limbah

g.  Biaya atas premi asuransi

h.  Beban promosi dan penjualan yang berdasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan

i.  Beban administrasi

j.  Biaya atas pajak, kecuali Pajak Penghasilan (PPh)

2.   Biaya penyusutan atas pengeluaran dengan tujuan memperoleh harta berwujud, maupun amortisasi atas pengeluaran sebagai perolehan hak atau biaya lainnya yang memiliki batas atau jangka waktu manfaat lebih dari 1 (satu) tahun

3.   Biaya atas iuran dana pensiun yang disahkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu)

4.   Biaya kerugian atas penjualan maupun pengalihan harta yang dimiliki, bahkan harta yang digunakan dalam perusahaan. Dimana untuk dapat dimiliki, mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

5.   Biaya atas kerugian selisih kurs mata uang asing

6.   Beban atas kegiatan penelitian maupun kegiatan pengembangan perusahaan yang dijalankan di Indonesia

7.   Beban beasiswa, magang, maupun pelatihan

8.   Biaya atas piutang yang nyata-nyata dan tidak dapat ditagih dengan syarat:

a.  Telah dibebankan sebagai biaya pada laporan laba rugi komersial

b.  Sebagai Wajib Pajak diharuskan memberikan daftar piutang yang tidak bisa ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

c.  Menyerahkan perkara penagihan yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri maupun instansi pemerintah yang dimana dapat menangani piutang negara, perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang, pembebasan utang antara kreditur dengan debitur yang bersangkutan, serta mempublikasikan penerbitan umum atau khusus, dengan pengakuan dari debitur apabila hutang telah dihapuskan dalam jumlah tertentu

d.  Persyaratan yang mengacu pada poin ketiga di atas, tidak berlaku untuk menghapuskan piutang yang tidak tertagih oleh debitur dengan jumlah yang kecil serta pelaksanaannya ini diatur dengan berdasar pada Peraturan Menteri Keuangan

9.   Biaya sumbangan dalam rangka menanggulangi bencana nasional sesuai dengan peraturan pemerintah

10. Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia

11. Beban atas pembangunan infrastruktur sosial

12. Biaya atas sumbangan fasilitas Pendidikan

13. Biaya atas sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga

Sementara itu, dalam UU No. 36 Tahun  2008, khususnya pada Pasal 9 juga dibuatkan kebijakan terkait biaya yang dikecualikan untuk menjadi deductible expense. Biaya ini umumnya tidak dapat menjadi pengurangan penghasilan bruto.

Namun, dalam Pasal 9 tersebut juga terdapat biaya tertentu yang dikecualikan sehingga dapat menjadi deductible expense. Contoh dari biaya tersebut merupakan premi asuransi yang dibayarkan oleh pihak pemberi kerja dan premi tersebut akan dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

Baca juga Serba Serbi Laporan Keuangan Fiskal: Apa Perbedaannya dengan Laporan Komersial?

Selain itu, terdapat juga pemberian makanan dan minuman yang tergolong sebagai natura sehingga tidak dapat menjadi deductible expense. Tetapi, pemberian makanan dan minuman ini dapat menjadi deductible expense apabila makanan dan minuman ini disediakan bagi seluruh pegawai sebagaimana yang sesuai dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. 51/PJ/2009 dan PMK No.167/PMK.03/2018.

Dalam hal ini biaya yang dapat dijadikan sebagai deductible expense telah diatur oleh masing-masing pasal yang berbeda, antara lain jenis biaya untuk BUT (Badan Usaha Tetap) diatur dalam Pasal 5 UU PPh, dan jenis biaya untuk penyusutan dan amortisasi diatur dalam Pasal 11 dan 11A UU PPh. Adapun, beban atau biaya yang dapat dikurangi oleh penghasilan brutonya, yakni terbagi menjadi 2 kategori, antara lain :

  • Beban atau biaya yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
  • Beban atau biaya yang memiliki masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun.

Sedangkan, bagi pengeluaran yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, maka pembebanannya akan dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Di sisi lain jika dalam 1 (satu) tahun pajak terdapat kerugian yang disebabkan penjualan harta ataupun terdapat selisih kurs mata uang asing, maka kerugian-keruguan tersebut juga bisa dikurangi dari penghasilan brutonya.

walaupun tidak/ belum dibagikan tetap harus bayar BPT.

Apakah hal ini tidak bertentangan dengan : isi pasal

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 257/PMK.03/2008

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH
DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893)

3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SESUDAH DIKURANGI PAJAK DARI SUATU BENTUK USAHA TETAP.

Pasal 1

(1)

Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
(2) Dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, dengan persyaratan sebagai berikut :

1. penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri; 2. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannnya, paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan; 3. penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut; dan 4. tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling singkat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah berproduksi komersial.

(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lagi dipenuhi, penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan atas BUT bersangkutan terhitung sejak diperolehnya Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan tersebut dan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 2

Wajib Pajak BUT yang melakukan penanaman kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2), wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang dilakukan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dan dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.

Pasal 3

(1) Wajib Pajak BUT yang melakukan penanaman kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai saat mulai berproduksi komersial.(2) Penentuan saat mulai berproduksi komersial dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk.

(3) Penentuan saat mulai berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan keadaan sebenarnya dan dengan memperhatikan saat mulai berproduksi komersial sebagaimana disampaikan Wajib Pajak BUT yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 4

Dalam hal perusahaan induk dari Wajib Pajak BUT adalah Wajib Pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, besarnya tarif untuk penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebagaimana ditentukan dalam P3B tersebut.

Pasal 5

Dalam hal penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak BUT dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, dasar pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 adalah Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan pembukuan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pasal 6

Tata cara pemberitahuan secara tertulis oleh Wajib Pajak BUT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 7

Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 113/KMK.03/2002 tentang Perlakuan Perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah Dikurangi Pajak dari Suatu Bentuk Usaha Tetap, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 8

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal 31 Desember 2008

MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI