Sebutkan hal hal yang menyebabkan perbedaan pendapat

Secara garis besar penyebab konflik dibagi atas 3 penyebab, yaitu  :

  • Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik antar individu. Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya. Membinasakan disini tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak disetujui. Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang mempengaruhi timbulnya konflik sosial.
  • Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi bisa juga antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula dikalangan khalayak kelompok yang luas. Selain itu, perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnosentrisme yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah yang paling baik. Jika masing-masing kelompok yang ada di dalam kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar penganut kebudayaan.
  • Perbedaan kepentingan. Mengejar tujuan kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.
Sebutkan hal hal yang menyebabkan perbedaan pendapat

Sebutkan hal hal yang menyebabkan perbedaan pendapat

Sebutkan hal hal yang menyebabkan perbedaan pendapat
Lihat Foto

freepik.com/pch.vector

Ilustrasi perbedaan kebutuhan individu

KOMPAS.com - Setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor tertentu.

Contohnya kebutuhan anak sekolah dan kuliah berbeda dengan kebutuhan pekerja. Contoh lainnya orang yang tinggal di daerah pesisir akan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan orang di daerah pegunungan.

Jika melihat contoh di atas, kita bisa menarik kesimpulan jika usia dan keadaan alam menjadi contoh faktor penyebab perbedaan kebutuhan setiap individu.

Apa sajakah faktor penyebab perbedaan kebutuhan setiap individu?

Mengutip dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), setidaknya ada lima faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan kebutuhan setiap orang, yaitu: 

Usia sangatlah berpengaruh pada jenis kebutuhan tiap individu atau kelompoknya. Seiring bertambahnya usia, bisa jadi kebutuhan individu akan semakin bertambah. Contohnya kebutuhan anak sekolah akan berbeda dan mengalami peningkatan ketika ia bekerja.

Baca juga: Apa Itu Redistribusi Pendapatan?

Usia juga dapat dikatakan menjadi tolok ukur kebutuhan seseorang. Walau tidak dapat dimungkiri, beberapa kebutuhan bisa digunakan di semua kalangan usia. Contohnya penggunaan gadget pada anak usia dini untuk aktivitas pembelajaran atau bermain.

Keadaan alam juga berpengaruh pada perbedaan kebutuhan setiap individunya. Sehingga mereka akan memilah atau menyeleksi mana kebutuhan yang dikira sesuai dengan kondisi geografis atau keadaan alam tempat tinggalnya.

Contohnya orang yang tinggal di daerah pesisir, udara atau hawanya cenderung panas sehingga lebih sering megenakan pakaian tipis. Sedangkan orang di daerah pegunungan cenderung mengenakan pakaian tebal karena hawanya yang dingin.

Perbedaan profesi juga berarti adanya perbedaan kebutuhan hidup dan akan pekerjaannya. Misalnya kebutuhan dokter dengan arsitek berbeda. Dokter membutuhkan stetoskop, sedangkan arsitektur membutuhkan alat teknis untuk merancang bangunan.

Profesi juga berkaitan erat dengan keadaan alam atau letak geografisnya. Contohnya nelayan menjadi profesi utama masyarakat pesisir. Sedangkan petani menjadi profesi utama masyarakat pegunungan.

Tentunya kebutuhan mereka juga berbeda. Nelayan membutuhkan jaring dan kapal, petani membutuhkan lahan dan bibit tanaman.

Baca juga: Pendapatan Per Kapita, Pendapatan Nasional yang Dibagi Jumlah Penduduk

Agama juga memengaruhi perbedaan kebutuhan. Biasanya kebutuhan ini digunakan untuk menjadi penunjang atau sarana peribadatan.

Contohnya umat Islam membutuhkan sajadah dan mukena. Umat Katolik membutuhkan salib dan Rosario. Umat Buddha membutuhkan hio untuk beribadah, dan lain sebagainya. 

Tingkat pendapatan tiap individu juga memengaruhi perbedaan kebutuhannya. Individu yang memiliki tingkat pendapatan tinggi, bisa jadi lebih memilih barang mewah sebagai kebutuhan utamanya karena dianggap memiliki kualitas lebih baik. 

Semakin tinggi tingkat pendapatannya, maka kebutuhannya semakin terpenuhi. Contohnya orang berpendapatan rendah hanya bisa membeli sembako. Sedangkan orang berpendapatan tinggi bisa membeli sembako hingga peralatan elektronik.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Skip to content

Oleh : Ustadz Andi Muhamad Hidayat, Lc

(disajikan pada penutupan kegiatan diskusi kela 5 dan 6 putra tgl 13 November 2016)

  1. Macam-MacamIkhtilaf(Perbedaan)

Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan muncul dalam dinamika kehidupan. Jangankan yang berasal dari manusia, yang berasal dari yang Maha Benar pun, Allah azza wa jalla, menimbulkan pro dan kontra. Dari hasil perkiraan perhitungan penduduk dunia berdasarkan agama, manusia di dunia ini yang bersepakat bahwa Allah itu Tuhan mereka (Islam) hanya 22% dari 6.879.200.000 penduduk dunia.

Oleh karena itu, perbedaan adalah sesuatu yang niscaya bagi kita, tidak bisa kita menghindari perbedaan. Allah berfirman : “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS 5:48)

Dalam makalah ini, kita tidak membahas hikmah di balik perbedaan tersebut, tetapi kita akan membahas kenapa berbedaan itu muncul, dengan harapan ini akan menumbuhkan pemahaman kita terhadap pendapat yang berbeda dengan kita. Di antara sekian banyak “asbab al-ikhtilaf” para ulama, kita akan mendapati bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena Al-Qur’an sendiri “menyengaja” timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil dihapus.

Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua:

Pertama, ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Dan ini mencakup serta meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan yang terjadi antar ummat manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah, faktor penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu perselisihan telah memasuki wilayah hati, sehingga memunculkan rasa kebencian, permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya, maka berarti itu termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir.

Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua:

  1. Ikhtilafdalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang melahirkan kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang biasa dikenal dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’ wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij, Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan lain-lain.
  2. Ikhtilafdalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Inilah perbedaan dan perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya, dan dalam tulisan ini pada khususnya.
  1. AntaraIkhtilaf(Perbedaan) dan Tafarruq (Perpecahan)

Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan), namun tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) bisa disebut sebagai bagian dari tafarruq (perpecahan). Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq atau iftiraq antara lain karena:

  1. Faktor pengaruh hawa nafsu, yang memunculkan misalnyata’ashub (fanatisme)
  2. Salah persepsi (salah mempersepsikan masalah, misalnya salah mempersepsikan masalah furu’ sebagai masalah ushul).
  3. Tidak menjaga moralitas, akhlaq, adab dan etika dalam berbeda pendapat dan dalam menyikapi para pemilik atau pengikut madzhab dan pendapat lain.
  1. Hakekat Ikhtilafdalam  Masalah-masalahFuru’
  2. Ikhtilaf(perbedaan pendapat) yang dimaksud adalah : perbedaan pendapat yang terjadi di antara para imam mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil dan sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan. Sehingga perlu ditegaskan di sini bahwa, yang dimaksudkan dengan ikhtilaf yang ditolerir itu bukanlah setiap fenomena perbedaan dan perselisihan atau kontroversi dalam bidang agama yang secara riil terjadi di antara kelompok-kelompok dan golongan-golongan umat di masyarakat saat ini misalnya. Karena faktanya, sudah banyak sekali bentuk dan materi perselisihan di tengah-tengah masyarakat muslim saat ini, bahkan yang melibatkan sebagian kalangan yang dikenal ’ulama’ sekalipun, yang sudah termasuk kategori masalah ushul dan bukan masalah furu’ lagi.
  3. Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalahfuru’ (ijtihadiyah) adalah fenomena yang normal, wajar dan alami, karena dua hal (minimal):

1) Tabiat banyak teks dalil syar’i (baik sebagian teks ayat Al-Qur’an, maupun khususnya teks Al-Hadits) yang memang dari awalnya telah berpotensi untuk diperdebatkan dan diperselisihkan.

2) Tabiat akal manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya. Maka hitungan matematikanya adalah: Teks dalil yang multi interpretasi + Akal yang berbeda-beda = Perbedaan dan perselisihan.

  1. Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalahfuru’ (ijtihadiyah) adalah fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf, dan merupakan realita yang diakui, diterima dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai kapanpun, karena memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap selalu ada, dan bahkan semakin bertambah banyak.
  2. Tujuan Mengetahui Sebab Terjadinya Ikhtilaf

Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para imam mazhab dan para ulama fiqih, sangat penting untuk membantu kita, agar keluar dari taklid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan sertajalan pemikiran mereka dalam penetapan hokum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan, meneliti system dan cara yang lebih baik serta tepat dalam mengistinbathkan suatu hukum, juga dapat mengembangkan kemampuan dalam hukum fikih.

  1. Sebab – Sebab Terjadinya Ikhtilaf

Dapat disimpulkan dan dikelompokkan kedalam empat sebab utama:

  1. Perbedaan pendapat tentang valid – tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
  2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.
  3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidahushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
  4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan, situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di madzhab Imam Asy-Syafi’irahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru , yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu.

Salah satu penyebab perbedaan pendapat atau ikhtilaf adalah diakibatkan oleh Perbedaan dalam memahami ayat al-Qur’an.Al-Qur’an merupakan pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:

  1. Ada sebagian lafaz al-Qur’an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak).

Contoh lafaz “quru” dalam QS 2: 228. Dimana quru’ bisa berarti suci bisa juga berarti haidh. Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru’ telah dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa haid.

  1. Perbedaan memandang lafaz ‘am – khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh.

Lafaz al-Qur’an adakalanya mengandung makna umum (‘am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh ‘am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi al-‘umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata “amwal” (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan “ah” pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan “ah” itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).

Dan persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat sebagai berikut:

  lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau

  lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan

  lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau

  lafaz khusus tetapi maksudnya umum.

Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).

  1. Beberapa Cara Menyikapi Ikhtilaf
  2. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.
  3. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderungghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
  4. Memahamiikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi umat. Dan ini adalah salah satu bagian dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-jama’ah sepanjang sejarah.
  5. Memadukan dalam mewarisiikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf. Sehingga dengan begitu kita bisa memiliki sikap yang tawazun (proporsional).
  6. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yangrajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui.
  7. Sementara itu terhadap orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, sangat diutamakan setiap kita memilih sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah & tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan masing-masing kita. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kemasyarakatan, kejamaahan dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan kompromi, termasuk sampai pada tahap kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang marjuh (yang lemah) sekalipun menurut kita.
  8. Menjadikan masalah-masalahushul (prinsip) yang disepakati (masalah-masalah ijma’) dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah (masalah-masalah khilafiyah) sebagai standar dan parameter komitmen dan ke-istiqamahan seorang muslim.
  9. Hikmah Adanya Ikhtilaf

            Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu :

  1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
  2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
  3. Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.
  4. Pelajaran dan Teladan dari Ulama Salaf
  5. Al-Imam Yahya bin Sa’id Al Ansharirahimahullah berkata : ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
  6. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafirahimahullah (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah) berkata : “Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : “ Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17).
  7. Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’irahimahullah) berkata, “Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
  8. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah berkata : “Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173).
  9. Al-Imam Sufyan Ats-Tsaurirahimahullah berkata, “Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69).
  10. Penutup

Demikianlah pelajaran dan teladan dari ulama salaf yang teramat berharga bagi umat islam, mudah-mudahan perbedaan pendapat (ikhtilaf) para ulama tersebut tidak menjadikan alat atau penyebab perpecahan dan permusuhan diantara umat islam, namun sebaliknya semoga ikhtilaf menjadikan bertambah luasnya khazanah keilmuan yang bermanfaat bagi kehidupan umat islam khususnya dan manusia pada umumnya.