Sebutkan hal hal yang dikehendaki dengan adanya tri kerukunan umat beragama

Sebutkan hal hal yang dikehendaki dengan adanya tri kerukunan umat beragama

Tri kerukunan antar umat beragama menjadi entitas penting dalam ranah kewarganegaraan Indonesia. Konsep yang terkandung di dalamnya merupakan konsep holistik yang secara keseluruhan telah mempererat seluruh aspek masyarakat dalam bernegara. 

Adapun pengertian Tri kerukunan antar umat beragama dapat digambarkan sebagai berikut.

Mengenal lebih dalam tri kerukunan antar umat beragama

Tri kerukunan antar umat beragama mengandung tiga nilai pokok utama, yaitu:

  • Kerukunan intern umat beragama
  • Kerukunan antar umat beragama
  • Kerukunan umat beragama dengan pemerintah

Baca juga: Hasil Sidang PPKI

Adapun masing-masing nilai pokok tersebut mengandung substansi yang berbeda sebagaimana maksud dari adanya tri kerukunan antar umat beragama bagi berlangsungnya seluruh kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara.

Konsep yang terkandung didalamnya memuat konsep holistik atau bersifat menyeluruh sehingga dapat merangkul seluruh warga negara tanpa melihat latar belakang mereka. Dalam ranah kedudukannya, Indonesia bukanlah suatu negara agama meskipun seluruh rakyatnya diwajibkan menganut salah satu agama resmi yaitu Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Bahkan sistem hukum yang berlaku pun secara keseluruhan hampir tidak ada kaitanya dengan hukum yang bersumber dari agama masing-masing.

Baca juga: Reproduksi Lumut Kerak

Meskipun demikian, Indonesia tetap menjunjung tinggi akan nilai-nilai keagamaan. Hal tersebut termaktub dalam undang-undang Dasar 1945 mengenai kekuasaan Tuhan, bahkan Pancasila menempatkan konsep ketuhanan sebagai sila pertama. Artinya meskipun Indonesia tidak menerapkan sistem ketatanegaraan dan hukum yang berdasarkan agama, namun kehidupan beragama tetap diatur dan dilindungi oleh negara. 

Jika melihat populasi agama, Islam menempati posisi pertama dengan jumlah penganut lebih dari 80% di Indonesia. Maka tentu potensi untuk menjadi negara yang berlandaskan agama Islam sangat besar. Namun demikian, potensi tersebut justru akan membuahkan risiko yang jauh lebih besar apabila benar-benar terealisasikan. Karena itulah Indonesia tidak menerapkan sistem ketatanegaraan dan hukum yang berbasis agama. Alhasil muncul tri kerukunan umat beragama yang menjadi penopang atas berlangsungnya kehidupan bagi seluruh warga negara.

Baca juga: Peran Supervisi Pendidikan

Keberadaan tri kerukunan umat beragama tidak lepas dari tujuan yang dikandung di dalamnya. Adapun beberapa tujuan tersebut meliputi:

  1. Meningkatkan ketaqwaan bagi seluruh umat beragama kepada Tuhannya,
  2. Menjamin kebebasan beragama di tengah-tengah ragamnya agama beserta penafsirannya,
  3. Menjadi sarana untuk menciptakan suasana kebersamaan dalam wujud ketertiban nasional,
  4. Menumbuhkembangkan sikap persaudaraan antar individu hingga munculnya hubungan timbal balik di seluruh lapisan masyarakat, dan
  5. Ikut andil dalam menyukseskan pembangunan bangsa serta menjaga keberagaman NKRI tetap utuh.

Baca juga: Pendiri Kerajaan Kalingga

Contoh tri kerukunan umat beragama

Kerukunan intern umat beragama

Tidak melakukan disharmonisasi meskipun berasal dari kelompok yang berbeda. Seperti yang kita tahu Indonesia selain memiliki ragam agama juga terdapat ragam kelompok di agama itu sendiri. Contohnya dalam agama Islam terdapat dua ormas terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan NU. Meskipun begitu setiap kelompok harus menjaga harmonisasi dan sama-sama melindungi peribadahan masing-masing kelompok.

Kerukunan antar umat beragama

Meskipun Islam menjadi mayoritas dengan persentase yang jauh lebih tinggi, namun harus mampu melindungi dan membuat penganut agama lain tetap merasa nyaman ketika melaksanakan ibadah sesuai keyakinan mereka. Ketika hari raya idul Fitri banyak kalangan umat non-muslim yang membantu proses peribadahan masyarakat muslim, hal ini juga tidak jarang terjadi ketika di hari Natal dan hari buka gambarnya lainnya.

Kerukunan umat beragama dengan pemerintah

Mengingat masalah hidup dalam bernegara selalu kompleks, tentu akan sulit apabila diatur sendiri oleh masing-masing agama yang ada. Oleh karenanya telah dibentuk kementerian Agama dalam sistem pemerintahan untuk mengatur semua kehidupan dan maslahat agama yang ada. Dengan adanya instansi tersebut seluruh penganut Agama harus tunduk dan patuh serta mengikuti arahan dari kementerian tersebut.

Demikian pengertian tri kerukunan umat beragama beserta tujuan dan contohnya yang bisa menjadi referensi Anda.

Tri Kerukunan Umat Beragama – Padang ekspres

MERAWAT KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Oleh Masykuri Abdillah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama dan ras, tetapi dikenal sebagai bangsa yang ramah dan toleran, termasuk dalam hal kehidupan beragama. Kemajemukan (pluralisme) agama di Indonesia telah berlangsung lama dan lebih dahulu dibandingkan dengan di negara-negara di dunia pada umumnya. Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir ini (terutama sebelum 2014) terjadi sejumah peristiwa yang menunjukkan prilaku keagamaan sebagian masyarakat Indonesia yang tidak atau kurang toleran. Hal ini masih mendapatkan sorotan dari berbagai lembaga internasioanl, seperti UN Human Rights Council (UNHRC), Asian Human Rights Commission (AHRC), U.S. Commission on International Religious Freedom (USCIRF), dan sebagainya.

Gejala tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara demokratis lainnya, termasuk negara-negara Barat yang selama ini masyarakatnya dikenal sangat toleran. Secara sosiologis hal ini merupakan ekses dari mobilitas sosial yang sangat dinamis sejalan dengan proses globalisasi, sehingga para pendatang dan penduduk asli dengan berbagai macam latar belakang kebudayaan dan keyakinan mereka berinteraksi di suatu tempat. Dalam interaksi ini bisa terjadi hubungan integrasi, damai dan kerjasama, tetapi bisa juga terjadi prasangka, ketegangan, persaingan, intoleransi, konflik, dan bahkan disintegrasi. Yang terakhir ini terjadi jika yang ditonjolkan dalam interaksi itu adalah politik identitas (identity politics) secara eksklusif. Politik identitas ini kini tidak hanya diekspresikan sebagai perjuangan kelompok minoritas seperti ketika istilah ini dimunculkan pada awal 1970-an, tetapi juga oleh sebagian kelompok mainstream atau mayoritas untuk mempertahankan identitas mereka mewarnai kehidupan masyarakat.

Toleransi dan Kerukunan

Toleransi mengadung pengertian adanya sikap seseorang untuk menerima perasaan, kebiasaan, pendapat atau kepercayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya. Namun Susan Mendus dalam bukunya, Toleration and the Limit of Liberalism membagi toleransi menjadi dua macam, yakni toleransi negatif (negative interpretation of tolerance) dan toleransi positif (positive interpretation of tolerance). Yang pertama menyatakan bahwa toleransi itu hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang/kelompok lain. Yang kedua menyatakan bahwa toleransi itu membutuhkan lebih dari sekedar ini, meliputi juga bantuan dan kerjasama dengan kelompok lain. Konsep toleransi positif inilah yang dikembangkan dalam hubungan sosial di negara ini dengan istilah kerukunan (harmony).

Jadi, kerukunan beragama adalah keadaan hubungan antarumat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian dan saling menghormati dalam pengamalan ajaran agama serta kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat. Eksistensi kerukunan ini sangat penitng, di samping karena merupakan keniscayaan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia (HAM), juga karena kerukunan ini menjadi prasyarat bagi terwujudnya integrasi nasional, dan integrasi ini menjadi prasyarat bagi keberhasilan pembangunan nasional.

Kerukunan umat beragama itu ditentukan oleh dua faktor, yakni sikap dan prilaku umat beragama serta kebijakan negara/pemerintah yang kondusif bagi kerukunan. Semua agama mengajarkan kerukunan ini, sehingga agama idealnya berfungsi sebagai faktor integratif. Dan dalam kenyataannya, hubungan antarpemeluk agama di Indoensia selama ini sangat harmonis. Hanya saja, di era reformasi, yang notabene mendukung kebebasan ini, muncul berbagai ekspresi kebebasan, baik dalam bentuk pikiran, ideologi politik, faham keagamaan, maupun dalam ekspresi hak-hak asasi. Dalam iklim seperti ini mucul pula ekspresi kelompok yang berfaham radikal atau intoleran, yang walaupun jumlahnya sangat sedikit tetapi dalam kasus-kasus tertentu mengatasnamakan kelompok mayoriras.

Adapun kebijakan negara tentang hubungan antaragama termasuk yang terbaik dan menjadi model di dunia. Hanya saja, sebagian oknum pemerintah di daerah dengan pertimbangan politik kadang-kadang mendukung sikap intoleran kelompok tertentu atas nama pemenuhan aspirasi kelompok mayoritas. Klaim aspirasi kelompok mayoritas ini pun tidak selalu sesuai kenyataan, karena suatu tindakan intoleran itu seringkali hanya digerakkan oleh kelompok tertentu dengan mengatasnamakan mayoritas. Meski demikian, kebijakan Pemda yang cukup arif dan adil, termasuk dalam konteks menjaga kerukunan umat beragama, jauh lebih banyak dari pada kebijakan yang dianggap mendukung sikap intoleran ini.

Pencegahan dan Penyelesaian Konflik

Konflik antar-umat beragama umumnya tidak murni disebabkan oleh faktor agama, tetapi oleh faktor politik, ekonomi atau lainnya yang kemudian dikaitkan dengan agama. Sedangkan yang terkait dengan persoalan agama, di samping karena munculnya sikap keagamaan secara radikal dan intoleran pada sebagian kecil kelompok agama, juga dipicu oleh persoalan tentang pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama serta tuduhan penodaan agama. Persoalan pendirian rumah ibadah merupakan faktor yang paling banyak mempengaruhi terjadinya perselisihan atau sikap intoleransi. Memang tahun 2014 toleransi beragama ini berkembang lebih baik dari pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi masih ada beberapa peristiwa gangguan atau penghentian pembangunan rumah ibadah yang sudah mendapatkan izin secara sah.

Di antara kasus pendirian rumah ibadah yang kini belum ada penyelesaian final adalah pendirian gereja GKI Yasmin di Bogor, pendirian gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, dan pendirian masjid Nur Musafir di Kupang. Sebenarnya perselisihan tentang pendirian rumah ibadah yang bisa diselesaikan secara arif dan damai jauh lebih banyak dibandingkan dengan penyelesaian yang berlarut-larut atau yang kemudian menjadi konflik. Namun, karena persoalan pendirian rumah ibadah ini dikaitkan dengan perlindungan kebebasan beragama, maka hal ini pun mendapatkan catatan dari badan-badan HAM dunia.

Sedangkan persoalan konflik dan ketegangan internal agama, tertama Islam, umumnya dipicu oleh adanya perbedaan paham keagamaan dalam hal yang sangat  mendasar (pokok-pokok ajaran agama) dan munculnya aliran kepercayaan (cult) yang mengaitkan dirinya dengan agama Islam, serta penghinaan agama, seperti kasus Ahmadiyah, Jamaah Salamullah dan Al-Qiyadah al-Islamiyyah. Sampai kini masalah Ahmadiyah belum selesai sepenuhnya, bahkan di Mataram kini masih ada pengungsi Ahmadiyah yang ditampung di Asrama Transito Mataram sejak 2006. Di samping itu, kasus perbedaan yang berkembang menjadi kekerasan adalah kasus yang menimpa penganut Syi’ah Sampang, yang sejak 2012 sampai kini masih diungsikan di rumah susun Puspo AgroSidoarjo.

Jika kasus-kasus semacam di atas terus berlangsung, dikhawatirkan kondisi kerukunan umat beragama ini akan rusak. Oleh karena itu, penguatan kerukunan dan toleransi itu perlu terus-menerus dilakukan, teterutama melalui sosialisasi pemahaman keagamaan yang moderat dan menekankan pentingnya toleransi dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Juga, perlu dilakukan upaya-upaya penguatan wawasan kebangsaan dan integrasi nasional, yang meliputi sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinnekaan. Dan tak kalah pentingnya adalah penguatan kesadaran dan penegakan hukum, baik bagi aparatur negara, tokoh politik maupun tokoh agama.

Di samping upaya-upaya tersebut, perlu dilakukan pula upaya-upaya pencegahan konflik (conflict prevention) melalui peningkatan dialog antarumat beragama dengan melibatkan tokoh agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sejalan dengan ini, perlu antisapasi dini terhadap potensi konflik atau ketegangan itu, sehingga potensi itu tidak berkembang menjadi konflik nyata dan kekerasan. Hal ini perlu disertai dengan langkah-langkah penyelesaian perselisihan atau konflik yang terjadi melalui musyawarah atau mediasi dengan melibatkan FKUB. Sedangkan pemerintah (Pemda) menfasilitasinya sebagai bagian dari kewajibannya dalam penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Tentu saja, kasus-kasus konflik atau perselisihan sekecil apapun harus diselesaikan dengan cepat dan bijaksana. Namun yang lebih mendesak adalah penyelesaian terhadap kasus-kasus yang sudah menjadi sorotan dunia internasional tetapi sampai kini belum diselesaikan dengan baik, seperti persoalan pendirian gereja GKI Yasmin di Bogor, pendirian gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, atau pendirian masjid Nur Musafir di Kupang. Demikian pula, penyelesaian kasus-kasus konflik internal agama, terutama pengungsian Ahmadiyah di Mataram dan pengungsian Syi’ah Sampang di Sidoarjo.

Menurut hemat saya, yang kebetulan pernah mengunjungi tempat-tempat konflik tersebut, penyelesaian itu sebenarnya tidak terlalu sulit. Yang terpenting adalah komitmen Pemda/Pemkot terhadap kerukunan serta adanya mediator yang bisa meyakinkan semua pihak yang terlibat dalam konflik atau perselisihan dengan mengakomodasi aspirasi mereka. Dalam kondisi tertentu memang diperlukan adanya kompensasi bagi pihak-pihak tertentu untuk memudahkan penyelesaian berdasarkan kerangka win win solution. Kita berharap pemerintahan Jokowi-JK bisa menjaga toleransi dan kerukunan ini serta menyelesaikan konflik atau perselisihan yang belum terselesaikan pada masa lalu.

* Masykuri Abdillah, Direktur Sekolah Pascasarjana dan Guru Besar UIN Jakarta.
Artikel ini telah dimuat dalam Kompas, 12 Januari 2015.