Sebutkan faktor pendukung kesultanan Demak berkembang menjadi kerajaan maritim

Sebutkan faktor pendukung kesultanan Demak berkembang menjadi kerajaan maritim

Sebutkan faktor pendukung kesultanan Demak berkembang menjadi kerajaan maritim
Lihat Foto

Wikipedia Commons/Gunawan Kartapranata

Wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8, membentang dari Sumatera, Jawa Tengah, hingga Semenanjung Malaya. Panah merah menunjukkan rangkaian ekspedisi dan penaklukan Sriwijaya.

KOMPAS.com - Kerajaan maritim adalah sebutan untuk kerajaan yang terletak di pesisir pantai dan masyarakatnya menjalankan kegiatan yang berkaitan dengan laut, seperti perikanan, perdagangan, dan pelayaran.

Kerajaan maritim Nusantara berkembang di Sumatera, Jawa, dan Kepulauan Maluku.

Salah satu kerajaan maritim Nusantara yang sangat kuat dan memiliki armada laut besar adalah Kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Sriwijaya mulai muncul pada abad ke-7, lebih tepatnya pada 683 M.

Kerajaan yang didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa ini disebut sebagai kerajaan maritim pertama di Indonesia.

Berdasarkan prasasti peninggalannya, Kerajaan Sriwijaya terletak di tepi Sungai Musi, atau sekitar Kota Palembang, Sumatera Selatan.

Pada masanya, kerajaan maritim ini pengaruhnya meliputi Indonesia, Semenanjung Malaya, dan Filipina.

Sriwijaya berhasil menguasai perdagangan nasional dan internasional sehingga meningkatkan kehidupan social ekonomi negaranya.

Faktor yang mendorong pernyataan ini adalah Sriwijaya berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara.

Baca juga: Kerajaan Sriwijaya: Letak, Raja-raja, Masa Kejayaan, dan Peninggalan

Kerajaan Sriwijaya, kerajaan maritim terbesar

Di Nusantara kerajaan pemegang hegemoni dan mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan internasional pada abad ke-7 adalah Kerajaan Sriwijaya.

A.      Sejarah Singkat Kerajaan Demak

Demak sebelumnya merupakan daerah yang dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit. Awal berdirinya Kerajaan Demak dimulai dari runtuhnya kerajaan Majapahit yang diberi tanda Candra Sengkala: Sirna hilang Kertaning Bumi, yang berarti tahun saka 1400 atau 1478 M yang disebabkan karena perang saudara sehingga wilayah kekuasaannya memisahkan diri. Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai kawasan yang mandiri. Berkembangnya Islam di Demak, menyebabkan Demak dapat berkembang sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan penyerangan terhadap Majapahit.

Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak  merupakan penganti langsung dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak berdiri pada tahun 1478 M, oleh Raden Fatah.  Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir.

Raja-raja yan pernah memerintah di Kerajaan Demak yaitu:

Raden Fatah memerintah Demak dari tahun 1500-1518 M. Di bawah pemerintahan Raden Patah, Kerajaan Demak berkembang dengan pesat karena memiliki daerah pertanian yang luas sebagai penghasil beras. Oleh karena itu, Kerajaan Demak menjadi kerajaan agraris-maritim.

Setelah Raden Fatah wafat, tahta Kerajaan Demak dipegang oleh Adipati Unus adalah putra sulung dari Radern Patah. Ia memerintah Demak dari tahun 1518-1521 M. Masa pemerintahan Adipati Unus tidak begitu lama, karena ia meninggal dalam usia yang masih muda dan tidak meninggalkan seorang putera mahkota. Adipati unus meninggal saat melakukan peryerbuan ke Malaka melawan Portugis.

       Sulltan Trenggana memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. Dibawah pemerintahannya, Kerajaan Demak mencapai masa kejayaan. Sultan Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah Jawa Barat.

Pada tahun 1546 setelah wafatnya Sultan Trenggana secara mendadak ia digantikan oleh Sunan Prawoto yang tidak lain adalah anak dari Sultan Trenggana sendiri.

B.       Kerajaan Demak Sebagai Kerajaan Maritim

Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai, yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. (sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi).

Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, di mana Bergola adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak. Kerajaan Demak Bintoro memiliki dua pelabuhan, yaitu:

·         Pelabuhan niaga = di sekitar Bonang (Demak)

·         Pelabuhan militer = di sekitar Teluk Wetan (Jepara)

Pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa, tidak satu pun kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas kekuasaannya dengan menundukan beberapa kawasan pelabuhan dan pedalaman di nusantara.

Letak kerajaan Demak sangatlah menguntungkan dalam bidang perdagangan dan pelabuhan. Pada tahun 1511 setelah Kesultanan Malaka ditaklukkan Protugis, banyak pedagang yang memutuskan tidak berdagang lagi ke Malaka. Kebanyakan para pedagang pergi ke Demak atau Banten sebagai penggantinya. Dikarenakan para pedagang islam tidak suka akan prilaku Protugis yang membawa nama agama kristen untuk menjalankan exspansinya. Hal inilah yang menyebabkan pedagang islam tidak melakukan perdagangan di Malaka karena akan mengingatkan kembali akan peristiwa perang Salib, dimana terjadi peperangan antara umat islam dengan Kristen. Sejak surutnya Malaka, Demak tampil menggantikan posisi Malaka pada waktu itu. Kerajaan Demak cepat menjadi pusat perdagangan dan lalu lintas (Dinar, 2013).

Lokasi kerajaan Demak yang strategis untuk perdagangan nasional, karena menghubungkan perdagangan antara Indonesia bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur, serta keadaan Majapahit yang sudah hancur, maka Demak berkembang sebagai kerajaan besar di pulau Jawa, dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah. Ia bergelar Sultan Alam Akbar al-Fatah (1500 – 1518).

Kehadiran Portugis di Malaka merupakan ancaman bagi Demak di pulau Jawa. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka pada tahun 1513 Demak melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka, yang dipimpin oleh Adipati Unus atau terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. Serangan Demak terhadap Portugis walaupun mengalami kegagalan namun Demak tetap berusaha membendung masuknya Portugis ke pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Adipati Unus (1518 – 1521), Demak melakukan blokade pengiriman beras ke Malaka sehingga Portugis kekurangan makanan.

Terjadi perang saudara dalam perebutan kekuasaan di Kerajaan Demak yang diakhiri oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang dibantu oleh Ki Ageng Pemanahan, sehingga pada tahun 1568 Pangeran Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Pajang. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Demak dan hal ini juga berarti bergesernya pusat pemerintahan dari pesisir ke pedalaman (Jannah, 2014).

Letak Demak sangat strategis di jalur perdagangan nusantara memungkinkan Demak berkembang sebagai kerajaan maritim. Dalam kegiatan perdagangan, Demak berperan sebagai penghubung antara daerah penghasil rempah di Indonesia bagian Timur dan penghasil rempah-rempah Indonesia bagian barat. Dengan demikian perdagangan Demak semakin berkembang. Hal ini juga didukung oleh penguasaan Demak terhadap pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir pantai pulau Jawa.

Sebagai kerajaan Islam yang memiliki wilayah di pedalaman, maka Demak juga memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi komoditi dagang. Selama periode kerajaan Demak 3.000 ton beras diekspor setiap tahunnya dipelabuhan Jepara ke Malaka. Komoditi lainnya seperti garam, rempah-rempah ikan, logam dan sebagainya. Kegiatan perdagangannya ditunjang oleh hasil pertanian, mengakibatkan Demak memperoleh keuntungan di bidang ekonomi (Musdadi, 2012).

Pertanian di Demak tumbuh dengan baik karena aliran sungai Demak lewat pelabuhan Bergota dan Jepara. Demak bisa menjual produksi andalannya seperti beras, garam dan kayu jati. Pada abad ke-16 demak menjadi pusat penimbunan beras hasil dari daerah-daerah sebelah Selat Muria. Demikianlah akhirnya Demak menjadi pengekspor tunggal hasil beras di daerah lautan Nusantara, ekspor lainnya adalah kain tenun Jawa, terutama kedaerah-daerah Indonesia Timur.Bagi daerah rempah-rempah itu kain tenun Jawa dapat menyaingi tekstil Impor dari India ataupun Cina. Meskipun rempah-rempah dan beras merupakan mata pencahariaan pokok bagi Demak dibandar-bandar Jawa dan di Bandar dunia Malaka, namun perdagangan antar Asia pun sebagaian besar dikuasai pula oleh Demak (Fadhillah, 2014).

C.      Keadaan Kerajaan Demak dalam Bidang Maritim

a.    Demak di bawah kepemipinan Pati Unus

Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kesultanan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.

b.      Demak di bawah Sultan Trenggono

Puncak kebesaran Demak terjadi pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521 – 1546), karena pada masa pemerintahannya Demak memiliki daerah kekuasaan yang luas dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Daerah kekuasaan tersebut berhasil dikembangkan antara lain karena Sultan Trenggono melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah kerajaan-kerajaan Hindu yang mengadakan hubungan dengan Portugis seperti Sunda Kelapa (Pajajaran) dan Blambangan. Kemenangan gemilang Fatahillah merebut Sunda Kelapa tepat tanggal 22 Juni 1527 diperingati dengan pergantian nama menjadi Jayakarta yang berarti Kemenangan Abadi.

Daerah-daerah Jawa lain yang berhasil dikuasai  seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggono. Sultan Trenggono meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto (Hidayat, 2009).

Sekitar tahun 1512-1513 dilaksanakan serangan terhadap Malaka, yang berahir dengan hancurnya armada laut dari Jawa. Dari seluruh angkatan laut gabungan bandar-bandar Jawa Tengah dan Palembang yang kembali hanya 10 kapal jung dari 100 kapal jung dan 10 kapal barang. Adipati Yunus memerintahkan supaya sebuah kapal perang jung besar berlapis baja, yang sebenarnya dapat diselamatkannya, didamparkan di pesisir Jepara dan dibiarkan disitu sebagai kenang-kenangan akan perang yang dilancarkannya “terhadap bangsa yang paling gagah berani sedunia”.

Tidak hanya itu saja kerajaan Demak juga membawa dan menanamkan kebudayannya terhadap kawasan expansinya. Kebudayaan pesisir Jawa Tengah yang melekat di daerah Kalimantan selatan yakni bahasa sentempat banyak bercampur dengan bahasa Jawa dan seni pertunjukan seperti wayan dan sebagainya. Hubungan antara Demak dan Banjar sepanjang tahun dapat dilangsungkan dengan kapal layar pada waktu kekuasaan Islam yang kuat di bandar-bandar pesisir utara Jawa.

Sukses merebut kekuasaan, pemerintahan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya “dihabisi” oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri adipati Jepara, dan hal ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.

Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh pasukan Joko Tingkir, menantu Sunan Prawoto. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang.

D. Peninggalan Kerajaan Demak

Benda-benda Peninggalan lainnya yaitu:

1.    Mihrab atau tempat pengimaman

2.    Dampar Kencana dan wadah/tempatnya

Selain peninggalan tersebut, peninggalan yang merefleksikan kemaritiman yaitu terdapat hiasan-hiasan dinding berupa piring-piring yang bermotif Tiongkok, oleh cerita rakyat dikatakan bahwa piring-piring tersebut merupakan sumbangan dari putri Cempa yang berjumlah 65 buah dan ditempelkan di serambi Masjid dan di sekitar Mihrab. Ada 3 buah  Guci (Gentong besar), beberapa tahun lalu benda-benda ini  berada di dekat makam dan yang lain di kolam dekat Masjid. Sekarang benda atau guci-guci itu dikumpulkan di dalam sebuah Museum. Museum berada di sebelah utara Masjid, di sebelah utara jalan menuju makam Raden Patah. Selain itu ada pula 2 buah lukisan marmer yang dipasang di atas pintu masuk sebelah dalam.

Juga masih tersimpan rapi sebuah Bedug dan kentongan yang dibuat oleh Walisongo dan sebuah Maket Masjid Agung Demak yang dibuat pada 1845 M dan benda-benda lainnya dapat dilihat di dalam Museum Masjid Agung Demak.

Musdadi. (2012). Pelayaran dan Perdagangan Indonesia Hingga Akhir Masa Kolonial Belanda. Makassar.