Sebutkan 3 bentuk perjuangan KH Hasyim asy ari

Ulama-ulama Nusantara, tidak terkecuali Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) terus berupaya meneguhkan legacy (warisan) ajaran Islam yang dibawa Wali Songo di Indonesia melalui dakwah ramah dan berkebudayaan. Upaya-upaya perjuangan tersebut mendapat tantangan tidak mudah karena bangsa Indonesia dalam kondisi terjajah.

Show


Dalam kondisi terjajah itu, keyakinan beragama rawan terombang-ambing sehingga KH Hasyim Asy’ari kembali bertekad memperkuat akidah dan syariat Islam kepada Muslim Nusantara yang terlebih dahulu sudah dilakukan oleh Wali Songo. Tentu saja sembari berjuang melepaskan bangsa Indonesia dari kungkungan penjajahan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia dengan ilmu.


Dari sini KH Hasyim Asy’ari merupakan sosok ulama yang terus mendorong rakyat untuk tekun belajar dan menuntut ilmu. Beliau belajar dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Tidak cukup menggali ilmu di dalam negeri, beliau juga memperkuat keilmuannya dengan belajar di Tanah Hijaz, Makkah.


Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di Makkah, Muhammad Asad Syihab dalam buku biografi KH Hasyim Asy’ari yang ditulisnya mencatat bahwa Hadhratussyekh pulang ke Tanah Air tidak membawa gelar besar yang kosong, tidak pula membawa harta dunia yang bertumpuk, namun kembali di dadanya ilmu yang bermanfaat untuk diajarkan kepada warga dan anak negerinya, memberi bimbingan dan pendidikan kepada mereka, dan menghidupi mereka dengan ruh Islam.


KH Hasyim Asy’ari berpesan: “Bangsa tidak akan jaya jika warganya bodoh. Hanya dengan ilmu suatu bangsa menjadi baik.” (Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri, 1994: 18)


Muhammad Asad Syihab dalam bukunya itu menyebut Kiai Hasyim Asy’ari dengan sebutan al-‘Allamah. Dalam tradisi Timur Tengah, istilah tersebut diberikan kepada orang yang mempunyai pangkat keulamaan dan keilmuan yang tinggi.


Meskipun Kiai Hasyim Asy’ari mumpuni dalam ilmu agama, tetapi ia tidak menutup mata terhadap bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah. Kegelisahannya itu dituangkan dalam sebuah pertemuan di Multazam bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke Indonesia.


Pertemuan tersebut terjadi pada suatu di bulan Ramadhan, di Masjidil Haram, Makkah. Singkat cerita, dari pertemuan tersebut lahir kesepakatan di antara mereka untuk mengangkat sumpah di hadapan “Multazam”, dekat pintu ka’bah untuk menyikapi kondisi di negara masing-masing yang dalam keadaan terjajah.


Isi kesepakatan tersebut antara lain ialah sebuah janji yang harus ditepati apabila mereka sudah sampai dan berada di negara masing-masing. Sedangkan janji tersebut berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi tegaknya agama Islam, berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan serta pendalaman ilmu agama Islam.


Bagi mereka, tekad tersebut harus dicetuskan dan dibawa bersama dengan mengangkat sumpah. Karena pada saat itu, kondisi dan situasi sosial politik di negara-negara Timur hampir bernasib sama, yakni berada di bawah kekuasaan penjajahan bangsa Barat. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 1985)


Sesampainya di tanah air, KH menepati janji dan sumpahnya saat di Multazam. Pada tahun 1899 M, beliau mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Dari pesantren ini kemudian dihimpun dan dilahirkan calon-calon pejuang Muslim yang tangguh, yang mampu memelihara, melestarikan, mengamalkan, dan mengembangkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Kiai Hasyim merupakan ulama abad 20 yang telah berhasil melahirkan ribuan kiai.


Bukan hanya untuk tujuan memperkuat ilmu agama, tetapi pendirian wadah pesantren itu juga untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah Belanda dan juga Nippon (Jepang). Sejarah mencatat, hanya kalangan pesantren yang tidak mudah tunduk begitu saja di tangan penjajah. Dengan perlawanan kulturalnya, Kiai Hasyim dan pesantrennya tidak pernah luput dari spionase Belanda.


Langkah awal perlawanan kultural yang dilakukan oleh pesantren menunjukkan bahwa pondok pesantren tidak hanya menjadi tempat menempa ilmu agama, tetapi juga menjadi wadah pergerakan nasional hingga akhirnya bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan hakiki secara lahir dan batin. Kemerdekaan ini tentu hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi tentu saja peran ulama pesantren sebagai motor, motivator, sekaligus negosiator tidak bisa dielakkan begitu saja.


Asad Syihab mencatat, ketika menangani penataan pesantren, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari menghadapi banyak tantangan dan rintangan. Kiai Hasyim Asy’ari dengan gigih menghadapi segala kesulitan dan hambatan dari pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda kala itu, yang hanya menginginkan kaum Muslimin dalam posisi terbelakang sehingga tak bisa melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.


Berbagai upaya dilakukan oleh Belanda, termasuk melakukan upaya kekerasan dengan menghancurkan pesantren. Untuk membenarkan tindakan represifnya itu, Belanda berdalih dan menuduh bahwa pesantren merupakan wadah perusuh, pemberontak, dan orang-orang Islam ekstrem. (Muhammad Asad Syihab, 1994: 19)


Tidak hanya itu, tindakan Belanda juga mengancam keselamatan jiwa KH Hasyim Asy’ari sehingga para santri kala itu berupaya keras menjaga keselamatan gurunya tersebut meskipun harus berhadapan dengan bedil-bedil Belanda. Perlawanan Belanda surut. Tetapi upayanya tidak pernah berhenti. Namun, kaum santri dan umat Islam semangatnya justru semakin membuncah dalam membela tanah air dan kemerdekaan bangsa Indonesia.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon

Jombang (beritajatim.com) – Peran Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI, sangat besar. Gerakan-gerakan perlawanan melawan penjajah banyak bermula dari pesantren yang didirikan pada tahun 1899 ini.

Bukan itu saja, perjuangan menyebarkan ajaran agama dan mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan ekonomi masyarakat dan penguatan civil society, juga dilakukan oleh Kiai Hasyim. Banyaknya kader-kader terbaik bangsa yang lahir dari lembaga ini, juga merupakan bukti bahwa Pesantren Tebuireng tidak pernah lelah berjuang.

Baca Juga:

  • 65 Persen Walisantri Setuju Putra-putrinya Kembali ke Tebuireng
  • Gus Sholah: Siapa pun yang Diputuskan KPU Harus Kita Dukung
  • Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar Ziarah ke Makam Pendiri NU di Jombang
  • Mahfud MD dan Pakar Hukum UII Beri Catatan Kritis RUU PKS
  • Kebersamaan Dalam Kepulan Asap Sate

Dikutip dari Tebuireng online, peran vital itu semakin dikukuhkan dengan keikutsertaan para pengasuh dan alumninya dalam percaturan politik nasional. Dua orang tokohnya, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim, bahkan mendapat gelar pahlawan nasional.

Keduanya juga merupakan tokoh pendiri dan penerus perjuangan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Salah seorang keturunan Kiai Hasyim, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah menjadi presiden keempat Republik Indonesia. Karena itu, tidak berlebihan kiranya bila sebagian masyarakat menyebut Tebuireng sebagai ‘Pesantren Perjuangan’.

Sementara itu, mengutip dari Gatra edisi Satu Abad Pesantren Tebuireng pada 3 Mei 1999, salah satu sikap nonkooperatifnya terhadap penjajah, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa: umat Islam haram memakai dasi.

Gempuran pada simbol yang mewakili kultur penjajah ini ternyata ampuh dalam mengobarkan semangat heroik dan perlawanan rakyat. Dan setelah kemerdekaan Indonesia, pendiri pesantren Tebuireng ini kembali merepotkan penjajah Belanda yang hendak melakukan agresi. Pada 22 Oktober 1945, ia mengeluarkan resolusi jihad.

Ia menyerukan kepada umat Islam untuk berjihad melawan penjajah Belanda pada radius sekitar 90 kilimeter dari basisnya. Ketika itu, serdadu Belanda ikut masuk ke Surabaya dengan membonceng tentara Sekutu. Getaran resolusi jihad itulah, antara lain, kelak mengguncangkan dunia dengan lahirnya peristiwa bersejarah 10 November, yang kini dikenal sebagai Hari Pahlawan.

Baca Juga:

  • Jangan Sampai Ada Klaster Covid-19 di Muktamar Besar NU
  • PCNU Bojonegoro Imbau Jamaah Melakukan Salat Gerhana
  • Gus Ali Beri Motivasi Kepada Para Tahfidz
  • Santri IPSPN-NU Kabupaten Bojonegoro Dikukuhkan
  • Pesan Toleransi ‘Bumi Itu Bulat’ untuk Jember

Masih dalam kaitan menghadapi agresi Belanda, tahun 1947, sebelum wafat, Hasjim Asy’ari memelopori pembentukan milisi. Siang hari pesantren dipakai sebagai tempat belajar agama. Malamnya disulap jadi pusat latihan militer, sehingga terbentuk laskar Hizbullah, yang berlangsung sampai 1949.

Setelah Hadratus Syaikh wafat, laskar ini dikendalikan oleh putranya, KH Yusuf Hasyim (setelah Belanda hengkang, Yusuf Hasjim mengundurkan diri dari militer, dengan pangkat letnan satu).

Tentu saja, gerakan-gerakan tersebut membuat kompeni Belanda cemas. Karena membahayakan Belanda dalam penjajahannya di Indonesia. Oleh sebab itu, pada 1937, Belanda melakukan pendekatan. Melalui salah satu utusannya, Belanda menemui KH Hasyim Asyari untuk menganugerahkan bintang kehormatan dari emas dan perak.

Namun prediksi Belanda keliru. Karena rayuan tersebut tidak membuat pendiri pesantren Tebuireng Jombang ini luluh. Kiai Hasyim justru dengan tegas menolak anugerah itu. “Sikap tegas itu tidak lain untuk mempertahankan perjuangannya akan kedaulatan pesantren dan Indonesia,” demikian sebagaimana ditulis dalam Profil Pesantren Tebuireng, yang disusun Panitia Pusat PSB (Penerimaan Santri Baru) Pesantren Tebuireng 2017. [suf]