Ulama-ulama Nusantara, tidak terkecuali Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) terus berupaya meneguhkan legacy (warisan) ajaran Islam yang dibawa Wali Songo di Indonesia melalui dakwah ramah dan berkebudayaan. Upaya-upaya perjuangan tersebut mendapat tantangan tidak mudah karena bangsa Indonesia dalam kondisi terjajah.
Editor: Muchlishon Jombang (beritajatim.com) – Peran Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI, sangat besar. Gerakan-gerakan perlawanan melawan penjajah banyak bermula dari pesantren yang didirikan pada tahun 1899 ini.
Bukan itu saja, perjuangan menyebarkan ajaran agama dan mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan ekonomi masyarakat dan penguatan civil society, juga dilakukan oleh Kiai Hasyim. Banyaknya kader-kader terbaik bangsa yang lahir dari lembaga ini, juga merupakan bukti bahwa Pesantren Tebuireng tidak pernah lelah berjuang.
Baca Juga:
Dikutip dari Tebuireng online, peran vital itu semakin dikukuhkan dengan keikutsertaan para pengasuh dan alumninya dalam percaturan politik nasional. Dua orang tokohnya, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim, bahkan mendapat gelar pahlawan nasional. Keduanya juga merupakan tokoh pendiri dan penerus perjuangan Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Salah seorang keturunan Kiai Hasyim, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah menjadi presiden keempat Republik Indonesia. Karena itu, tidak berlebihan kiranya bila sebagian masyarakat menyebut Tebuireng sebagai ‘Pesantren Perjuangan’. Sementara itu, mengutip dari Gatra edisi Satu Abad Pesantren Tebuireng pada 3 Mei 1999, salah satu sikap nonkooperatifnya terhadap penjajah, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa: umat Islam haram memakai dasi. Gempuran pada simbol yang mewakili kultur penjajah ini ternyata ampuh dalam mengobarkan semangat heroik dan perlawanan rakyat. Dan setelah kemerdekaan Indonesia, pendiri pesantren Tebuireng ini kembali merepotkan penjajah Belanda yang hendak melakukan agresi. Pada 22 Oktober 1945, ia mengeluarkan resolusi jihad. Ia menyerukan kepada umat Islam untuk berjihad melawan penjajah Belanda pada radius sekitar 90 kilimeter dari basisnya. Ketika itu, serdadu Belanda ikut masuk ke Surabaya dengan membonceng tentara Sekutu. Getaran resolusi jihad itulah, antara lain, kelak mengguncangkan dunia dengan lahirnya peristiwa bersejarah 10 November, yang kini dikenal sebagai Hari Pahlawan. Baca Juga:
Masih dalam kaitan menghadapi agresi Belanda, tahun 1947, sebelum wafat, Hasjim Asy’ari memelopori pembentukan milisi. Siang hari pesantren dipakai sebagai tempat belajar agama. Malamnya disulap jadi pusat latihan militer, sehingga terbentuk laskar Hizbullah, yang berlangsung sampai 1949. Setelah Hadratus Syaikh wafat, laskar ini dikendalikan oleh putranya, KH Yusuf Hasyim (setelah Belanda hengkang, Yusuf Hasjim mengundurkan diri dari militer, dengan pangkat letnan satu). Tentu saja, gerakan-gerakan tersebut membuat kompeni Belanda cemas. Karena membahayakan Belanda dalam penjajahannya di Indonesia. Oleh sebab itu, pada 1937, Belanda melakukan pendekatan. Melalui salah satu utusannya, Belanda menemui KH Hasyim Asyari untuk menganugerahkan bintang kehormatan dari emas dan perak. Namun prediksi Belanda keliru. Karena rayuan tersebut tidak membuat pendiri pesantren Tebuireng Jombang ini luluh. Kiai Hasyim justru dengan tegas menolak anugerah itu. “Sikap tegas itu tidak lain untuk mempertahankan perjuangannya akan kedaulatan pesantren dan Indonesia,” demikian sebagaimana ditulis dalam Profil Pesantren Tebuireng, yang disusun Panitia Pusat PSB (Penerimaan Santri Baru) Pesantren Tebuireng 2017. [suf] |