Sebidang lahan yang tidak mampu berproduksi karena mengalami kerusakan disebut

Lahan kritis adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kondisi suatu wilayah atau lahan yang telah mengalami degradasi, sehingga kawasan tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya.

Lahan yang masuk dalam kategori kritis, yaitu jika usaha untuk mengambil manfaat produktivitas pada lahan tersebut tidak sebanding dengan hasil produksi yang diperoleh.

Persoalan kritisnya lahan hampir selalu dihadapi dan menjadi masalah serius bagi tata kelola kehutanan di Indonesia.

Pengertian Lahan Kritis

Terdapat berbagai penjelasan mengenai apa itu lahan kritis, antara lain:

Menurut Mulyadi dan Soepraptohardjo (1975), lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, dan biologi yang pada akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi.

Sedangkan menurut Kementerian Kehutanan, lahan kritis ialah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air.

Pengertian lahan kritis juga dijabarkan pada Undang-undang Republik Indonesia No. 37 Thun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air. Dalam UU tersebut, lahan kritis adalah lahan yang fungsinya kurang baik sebagai media produksi, meliputi tumbuhnya tanaman budidaya maupun non budidaya.

Munculnya lahan kritis di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh degradasi lahan atau penurunan kualitas lahan.

Degradasi lahan adalah proses kondisi lingkungan fisik yang berubah akibat kegiatan manusia ketika mengelola suatu lahan. Aktivitas tersebut dapat menyebabkan kondisi lahan berubah dan merusak kesehatan lahan.

Penyebab Lahan Kritis

Wilayah lahan dapat dikatakan kritis disebabkan oleh kegiatan manusia dan faktor-faktor alami. Namun, pada umumnya kerusakan lahan disebabkan oleh aktivitas manusia. Kerusakan ini terjadi akibat dari penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan, sehingga lahan tersebut menjadi rusak secara fisik, kimia dan biologis.

Selain akibat ulah manusia, rusaknya lahan juga dipengaruhi oleh iklim dan bencana alam. Berikut ini adalah beberapa faktor yang menyebabkan lahan kritis:

a. Faktor Alam

1. Kekeringan

Bencana alam seperti kekeringan biasanya terjadi pada wilayah yang memiliki curah hujan yang minim. Meskipun Indonesia memiliki iklim tropis, akan tetapi terdapat daerah-daerah yang sering mengalami kondisi kekeringan, seperti daerah NTB dan NTT sehingga dapat ditemui hutan sabana di wilayah tersebut.

Lahan-lahan di wilayah kekeringan cenderung kritis karena tanah memiliki kondisi kering dan kurang kadar air, sehingga tumbuhan sulit hidup dan beradaptasi.

2. Tergenang Air

Lahan kritis juga dapat disebabkan tanah yang memiliki kondisi tergenang air yang cukup lama. Genangan tersebut dapat menyebabkan humus dan mineral tanah tergerus dan sehingga menjadikan tanah jenuh dan tidak subur.

Sebidang lahan yang tidak mampu berproduksi karena mengalami kerusakan disebut
Pixabay

3. Erosi Tanah

Erosi tanah (masswasting) biasanya terjadi pada daerah dataran tinggi, pegunungan, dan lahan dengan kondisi miring. Apabila kondisi ini tidak dikelola dengan tepat, maka erosi tanah akan terjadi. Tanah akan bergerak turun dan mengikis lapisan tanah yang subur dibawahnya. Lebih parahnya, kondisi ini juga dapat menimbulkan tanah longsor.

4. Pembekuan air

Di Indonesia, faktor pembekuan air jarang mempengaruhi tanah sehingga menyebabkan lahan kritis. Kawasan tanah menjadi kritis akibat pembekuan air biasanya terjadi di wilayah kutub dan pegunungan yang memiliki cuaca dingin.

baca juga:  Reboisasi - Pengertian, Tujuan & Perbedaan Dengan Penghijauan

b. Faktor Non Alam

1. Alih Fungsi lahan

Alih fungsi lahan biasanya dilakukan guna memenuhi kepentingan industri, pemukiman dan tanaman perkebunan. Lahan yang beralih fungsi tersebut biasanya adalah wilayah daerah aliran sungai yang seharusnya berfungsi menjadi pengalir air hujan secara alami.

Selain menyebabkan lahan menjadi kritis, alih fungsi lahan juga dapat meningkatkan risiko pencemaran atau polusi air, serta gangguan siklus hidrologi.

2. Salah Pengelolaan

Dalam mengelola suatu wilayah atau lahan, terdapat aturan-aturan yang harus ditaati agar lahan tetap produktif dan memberikan manfaat. Salah satu caranya adalah melakukan pergantian tanaman tiap beberapa periode.

Misalnya pada 6 bulan lahan ditanami dengan padi, kemudian setelah itu dilakukan penggemburan dan ditanami tanaman lain, seperti jagung, kedelai dan lainnya.

Selain melakukan pergantian tanaman, perlu juga memperhatikan pemilihan pupuk, pestisida, metode pembajakan sawah, metode panen, dan sebagainya.

3. Tercemar Bahan Kimia

Penggunaan pestisida serta pupuk buatan pada lahan pertanian secara berlebihan dan terus menerus dapat menyebabkan tanah suatu lahan akan jenuh. Pestisida dapat bertahan di dalam tanah selama bertahun-tahun, hal inilah yang dapat menggangu kesuburan tanah.

Sebidang lahan yang tidak mampu berproduksi karena mengalami kerusakan disebut
Pixabay

Selain itu, pencemaran akibat limbah juga dapat merusak lahan. Misalnya kandungan limbah yang terbawa bersama aliran sungai, kemudian air dari sungai tersebut digunakan untuk pengairan lahan. Maka lahan tersebut akan tercemar dan menjadi lahan kritis.

4. Sampah Anorganik

Tanah yang terdapat sampah-sampah yang sulit terurai seperti plastik, styrofoam dan kandungan logam juga akan rusak. Perlu diketahui sampah-sampah jenis anorganik tidak dapat di daur ulang secara alami dengan cepat, butuh berpuluh tahun bahkan ratusan tahun untuk hancur.

Oleh karena itu, pengolahan sampah harus dilakukan dengan tepat. Selain itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kesehatan lingkungan perlu ditingkatkan.

Proses Terjadinya Lahan Kritis

Terbentuknya lahan kritis dapat ditemukan pada tanah yang kualitasnya kurang baik. Tanah yang memiliki kualitas rendah atau marginal biasanya digunakan untuk pertanian tanaman pangan.

Tanah yang memiliki masalah berupa sifat fisik, kimia dan biologi serta dikelola secara tidak tepat akan menyebabkan penurunan tingkat kesuburan tanah. Bila hal ini dibiarkan, makah tanah pada lahan tersebut akan menjadi lahan kritis.

Kegiata pertanian yang tepat dapat menyebabkan penurunan produktivitas tanaman, erosi, sedimentasi, longsor serta banjir.

Ciri dan Karakteristik

Lahan yang telah terdegradasi atau yang telah rusak, umumnya menunjukkan 2 ciri utama, yaitu:

1. Lahan Tidak Subur

Lahan pertanian dan perkebunan yang menempati lahan kritis akan menghasilkan panen yang tidak optimal. Hal tersebut disebabkan karena kandungan unsur hara pada tanah sangat kurang, sehingga kebutuhan makanan tanaman tidak terpenuhi.

2. Kandungan Humus Rendah

Tanah humus adalah jenis tanah yang bersifat subur karena mengandung bahan organik seperti daun-daun yang telah membusuk. Pada tanah yang mengandung humus, maka tanaman akan dapat tumbuh subur. Sedangkan pada tanah yang memiliki kandungan humus rendah atau miskin humus, maka tidak akan cocok jika dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.

Menurut data dari Dirjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Huntan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), menyatakan bahwa pada tahun 2017 lahan kritis di Indonesia telah mencapai 24,3 juta hektar atau 12% dari wilayah Indonesia. Jumlah lahan yang rusak tersebut juga terus meningkat setiap tahun.

Hal itu tentu lebih tinggi jika dibandingkan data pada tahun 2002 dimana 23,5 juta hektar jumlah lahan kritis di Indonesia. Rinciannya adalah 15,11 juta hektar berada di kawasan non-hutan dan 8,14 juta hektar pada kawasan hutan.

Sebaran Lahan Kritis di Indonesia

Luas lahan kritis di Indonesia semakin tahun semakin bertambah. Berbagai faktor menjadi penyebabnya, terutama faktor alam dan manusia.

Berdasarkan letak geografisnya, persebaran lahan-lahan dalam kondisi kritis di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Lahan Kritis Daerah Dataran Rendah

Lahan kritis di daerah dataran rendah biasanya disebabkan oleh genangan air secara terus menerus sehingga kandungan mineral dan unsur hara menghilang. Genangan air terjadi umumnya disebabkan oleh genangan air hujan, dimana daerah tergenang memiliki ketinggian rendah dibanding tempat lainnya. Lahan kritis ini tersebar di wilayah Demak (Jawa Tengah), Bojonegoro, Tuban, Gresik dan Lamongan (Jawa Timur)

baca juga:  El Nino & La Nina - Pengertian, Siklus, Waktu, Proses & Dampak

2. Lahan Kritis Daerah Pegunungan

Kawasan pegunungan identik dengan kawasan yang hijau, subur, dan terdapat banyak hutan sehingga kaya akan akan oksigen. Namun, ternyata kawasan pegunungan atau dataran tinggi juga dapat mengalami lahan kritis.

Penyebabnya adalah erosi tanah, longsor, dan kandungan tanah berupa batuan padas atau kapur. Lahan kritis jenis ini sebarannya adalah di wilayah pegunungan Kendeng (Jawa Tengah hingga Jawa Timur) dan pegunungan Ciremai (Jawa Barat) yaitu berupa hutan kerangas.

3. Lahan Kritis Pada Daerah Pantai

Pengikisan wilayah pantai akibat gelombang laut menjadi penyebab kritisnya lahan. Pengikisan yang disebut dengan istilah abrasi akan mengikis lapisan sedimen tanah. Hal ini terjadi karena muara sungai dan pantai terbuka diterpa gelombang yang cukup besar.

Oleh karena itu, penanaman bakau menjadi sangat penting untuk dilakukan. Laha kritis wilayah pantai antara lain muara sungai Cimanuk (Jawa Barat) dan muara sungai Kulon Progo (Yogyakarta).

Upaya Pencegahan

Pencegahan lahan kritis telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah di berbagai wilayah di Indonesia. Pengelolaan lahan marginal telah diupayakan sedemikian rupa agar tetap produktif.

Undang-undang No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutkan menyampaikan mengenai pencegahan alih fungsi lahan pertanian produkif, terutama lahan pertanian pangan.

Pada Undang-undang No 25 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga terdapat aturan mengenai tata cara penggunaan lahan agar sesuai dengan fungsi dan kemampuannya.

Selain itu, pada Undang-undang No 32 Thun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah diatur mengenai upaca pencegahan lahan kritis.

Tindakan nyata untuk mencegah degradasi lahan adalah melakukan rehabilitasi hutan dan lahan. Hal ini bertujuan untuk melindungi serta upaya konservasi karena dapat memberikan keuntungan sosial, seperti tata kelola air sebagai cara mengatasi banjir dan kekeringan, pencegahan erosi, serta menata siklus air.

Cara Memperbaiki Lahan Marginal

Lahan kritis perlu diperbaiki agar dapat memberikan manfaat optimal bagi manusia. Melalui data persebaran lahan berkondisi kritis, maka akan dapat dipetakan wilayah mana saja yang perlu diperbaiki atau bisa kita sebut rehabilitasi lahan.

Sebidang lahan yang tidak mampu berproduksi karena mengalami kerusakan disebut
Pixabay

Berikut ini adalah beberapa cara untuk mengatasi dan menanggulangi lahan kritis.

1. Peran Pemerintah, Masyarakat dan Korporat

Peran pemerintah dalam mengatasi lahan rusak tersebut ialah dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung lingkungan. Misalnya kebijakan terkait dengan alih fungsi lahan serta penerapannya.

Pemerintah juga wajib untuk mensosialisasikan kebijakan terkait penanggulangan lahan kritis. Apabila terdapat pihak-pihak yang masih melakukan pelanggaran seperti illegal logging, tentu sanksi tegas harus dilakukan.

Sedangkan masyarakat dan korporasi dapat berperan baik secara langung maupun tidak langsung. Pengetahuan akan lahan kritis juga perlu diketahui, agar masyarakat dan korporasi tidak secara serampangan mengambil alih lahan-lahan produktif untuk digunakan.

2. Pengembangan Keanekaragaman Hayati

Untuk mengatasi kondisi lahan kritis, dapat diterapkan pola tanam tumpang sari. Tumpang sari adalah penanaman aneka tanaman secara berdampingan. Hal ini akan memberi manfaat dan menjaga kandungan unsur hara dalam tanah tetap terjaga, karena tiap tanaman butuh unsur hara yang berbeda-beda.

3. Reboisasi dan Penghijauan

Upaya rehabilitasi dan penghijauan lahan-lahan kritis juga dapat dilakukan. Pemilihan tanaman harus dilakukan dengan tepat, yaitu dengan memilih tanaman yang memiliki akar tunjang kuat dan dalam, membutuhkan sedikit air, membutuhkan sedikit unsur hara, dan berupa tanaman endemik pada habitatnya.

4. Pembuatan Sengkedan atau Terasering

Terasering atau sengkedan ialah metode pembentukan tanah menyerupai tangga. Biasanya cara ini banyak diterapkan di lereng-lereng curam. Pembuatan tanah seperti tangga ini dapat membantu mengurangi laju air dari atas ke bawah. Sehingga tanah tidak mudah longsor dan menimbun lampisa tanah dibawahnya.

baca juga:  Hari Bakti Rimbawan - 16 Maret

5. Pengembalian Fungsi DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu kawasan atau area yang dikelilingi oleh beberapa titik alami yang terletak pada dataran tinggi dimana titik-titik tersebut berfungsi menjadi wadah penampungan bagi air hujan yang turun di kawasan tersebut.

Pengembalian fungsi aliran sungai merupakan salah satu upaya memperbaiki area resapan air. Selain itu, manfaatnya adalah untuk mempertahankan ketersediaan air, menanggulangi banjir, menanggulangi kekeringan, jalur hijau, menjaga eksosistem sekitar dan sebagainya.

6. Reklamasi Pertambangan

Industri pertambangan banyak menghasilkan lahan-lahan kritis. Penambangan emas, batubara, gas alam dan mineral lain umumnya mengeruk tanah hingga kedalaman tertentu hingga menemukan mineral yang akan ditambang. Pengerukan tersebut akan membuat kawasan tanah tersebut rusak bahkan amblas.

Lebih parahnya, setelah hasil tambang yang dicari habis maka lahan tersebut akan ditinggal begitu saja. Oleh karena itu, perlunya melakukan upaya reboisasi untuk mengembalikan fungsi lahan tersebut. Upaya pencegahan juga dapat dilakukan dengan tegasnya pemberian ijin tambang.

7. Penggunaan Pupuk Organik

Penggunaan bahan-bahan kimia untuk pupuk menjadi salah satu penyebab lahan kritis. Zat kimia yang digunakan tersebut tidak dapat hilang dengan cepat, karena memerluka waktu bertahun-tahun untuk hilang secara alami.

Oleh karenanya, penggunaan pupuk organik seperti pupuk kompos dapat menjadi pilihat yang baik. Pupuk organik yang berasal dari bahan alami yang mengalami pembusukan lebih ramah terhadap lingkungan. Bahan-bahannya seperti dedaunan dan kotoran hewan dapat memberikan unsur hara sekaligus memperbaiki sifat fisik, kimia, dan bilogi tanah.

8. Menggemburan Tanah Secara Alami

Untuk menggemburkan tanah, metode yang dapat dilakukan adalah metode pemulsaan (mulching). Metode ini dilakukan dengan cara menutupi permukaan tanag dengan sisa-sisa tanaman. Umumnya jerami adalah bahan yang digunakan untuk pemulsaan.

Selain jerami, tanaman azolla juga dapat digunakan untuk menggemburkan tanah. Tanaman azolla adalah tanaman paku air yang hidup bersimbiosis mutualisme dengan ganggang hijau biru (Anabaena azollae). Tanaman azolla berperan dalam memfiksasi nitrogen (N2) dan sekaligus dapat menjadi pupuk alami bagi tanaman.

Sebidang lahan yang tidak mampu berproduksi karena mengalami kerusakan disebut
Pixabay

9. Enceng Gondok

Enceng gondok merupakan jenis tanaman air yang dapat membantu mengatasi pencemaran air dan udara. Tanaman air ini dapat membantu menyerap logam berat yang terkandung pada aliran sungai yang tercemar limbah industri atau bahan kimia.

Enceng gondok dapat meminimalisir pencemaran udara dan air. Enceng gondok dapat menyerap logam berat yang terkandung dalam limbah industri.

Kasus Lahan Marginal di Indonesia

Lahan berstatus kritis di Indonesia tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Berdasarkan data terbaru, contoh lahan kritis di Indonesia salah satunya adalah di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara.

Lahan marginal atau kritis di Sumatera telah terjadi bertahun-tahun lalu, kemudian diambil langkah rehabilitasi pada pertengahan 2019 silam.

Upaya perbaikan lahan tersebut berpijak pada rencana Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang digagas Presiden Joko Widodo pada tahun 2019. Rehabilitasi dilakukan pada lahan seluas 207.000 Ha yang tersebar di 25 provinsi di Indonesia. Pemerintah menargetkan setiap tahunnya seluas 1,1 juta Ha, dimana diutamakan di 15 titik lokasi DAS prioritas.

Kasus lahan marginal di Danau Toba tersebut ditanggulangi dengan menanam tumbuhan macadamia. Tanaman ini dipilih karena memiliki nilai ekonomi tinggi, yaitu Rp 100 juta/Ha hingga Rp 500 juta/Ha.

Macadamia memiliki keunggulan dalam imengendalikan erosi, meningkatkan fungsi hidrologis, serta tahan terhadap kebakaran dan kekeringan. Dalam kurun waktu lima tahun, tanaman ini diharapkan mampu menghasilkan kacang macadamia dengan kualitas baik.

Tanaman macadamia integrifolia dapat dimanfaatkan sebagai pengganti tanaman hortikultura. Sebelumnya, tumbuhan ini juga telah diteliti oleh Balai Litbang Aek Nauli di kebun percobaan Sipiso-piso.

Tanaman macadamia rencananya akan menjadi salah satu pilihan sebagai solusi mengatasi kasus lahan berkondisi kritis di Indonesia.