Salah satu contoh kegiatan yang Merusak habitat hutan yaitu

Pelestarian hutan telah menjadi masalah serius di era pemanasan global. Benarkah pembukaan lahan sawit menjadi salah satu penyebab terancamnya keberadaan hutan?

Pemanasan global sudah lama menjadi isu serius di dunia. Makanya, pelestarian hutan merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup makhluk di bumi.

Banyaknya pepohonan dan tumbuhan lain di hutan berfungsi untuk menampung karbon dioksida. Dengan adanya hutan, pasokan oksigen cukup untuk kita bernapas dan hidup.

5 Cara untuk Melestarikan Hutan

Sebagai manusia, kita wajib berperan dalam melestarikan hutan. Setidaknya, inilah lima (5) cara yang dapat kita lakukan:

Reboisasi.

Reboisasi adalah penanaman kembali hutan yang semula gundul atau tandus. Cara ini dapat membantu menyerap debu serta polusi udara. Habitat makhluk hidup lain yang semula hilang bisa dibangun kembali. Reboisasi juga dapat membantu mencegah kemungkinan pemanasan global, sekaligus melepaskan lebih banyak oksigen ke udara.

Tebang pilih.

Memang, hasil hutan juga berfungsi sebagai pendukung ekonomi rakyat. Misalnya: kayu untuk pembuatan furnitur atau rumah. Namun, bukan berarti semua pohon yang ada di hutan boleh ditebang begitu saja, apalagi sampai tak bersisa. Inilah yang dinamakan dengan tebang pilih.

Tidak merusak hutan dengan sampah.

Inilah kebiasaan buruk manusia yang sudah pasti merusak lingkungan. Sampah-sampah didominasi oleh produk dari plastik. Bila menumpuk di hutan, lama-lama tanah akan menutupinya. Adanya residu plastik membuat pepohonan kesulitan menerima resapan air. Lama-lama, tanah menjadi rusak dan jumlah pohon pun berkurang.

Ikut melindungi serta menjaga habitat di hutan.

Suka merasa sedih melihat berita punahnya jenis flora dan fauna tertentu? Saatnya kita berperan lebih besar untuk melindungi serta menjaga habitat mereka. Apalagi, banyak satwa yang lama-lama punah karena diburu oleh manusia. Jangan lupa, ajak juga sesama manusia untuk memelihara ekosistem alam dan tidak merusaknya.

Mengurangi pemakaian kertas.

Manfaatkan teknologi digital untuk menyimpan semua data penting. Misalnya: menyimpan data di perangkat keras computer atau di cloud. Bila masih sulit dan tetap membutuhkan simpanan fisik, manfaatkan kertas produk daur ulang. Saat memfotokopi berkas, biasakan menggunakan dua sisi halaman kertas untuk berhemat.

Mengapa Pembukaan Lahan Sawit Mengancam Kelestarian Hutan?

Mengapa Pembukaan Lahan Sawit Mengancam Kelestarian Hutan?

Menjaga kelestarian hutan bukan perkara mudah. Banyak tantangan yang selalu ada. Deforestasi dan degradasi hutan merupakan sebagian dari tantangan tersebut. Konversi lahan hutan menjadi fungsi-fungsi lain membuat jumlah hutan semakin berkurang. Penyebab maraknya konversi lahan hutan adalah:

  • Pembukaan lahan sawit.
  • Kegiatan pertanian lain.
  • Konversi menjadi hutan produksi.
  • Untuk proyek transmigrasi.
  • Untuk mendukung industri pertambangan.
  • Untuk membangun infrastruktur.

Lalu, mengapa pembukaan lahan sawit menempati urutan pertama? Pembukaan lahan sawit adalah praktik konversi lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Praktik ini memang sudah lazim di Indonesia. Meskipun kelapa sawit adalah salah satu komoditas andalan Indonesia, praktiknya ternyata mengancam kelestarian hutan.

Mengapa demikian? Wimar Witoelar, aktivis lingkungan hidup yang juga berprofesi sebagai Direktur Yayasan Perspektif Baru, berpendapat bahwa kelapa sawit adalah tanaman berkultur tunggal. Tanaman ini dikenal tidak bersahabat dengan lingkungan. Makanya, beliau menyatakan bahwa sudah saatnya pembukaan lahan sawit tidak lagi dilanjutkan.

Alasan lainnya adalah kemungkinan bahaya ekologis yang menanti di masa depan. Misalnya: banjir serta kekeringan ekstrem. Memang, ada peraturan yang melarang pembukaan lahan bila lahan pilihan adalah hutan lindung. Namun, bagaimana bila hutan lindung tersebut kemudian dikonversikan menjadi hutan produksi?

Berdasarkan Undang-undang No.41 Tahun 1999, hutan produksi boleh dikonversikan lagi menjadi lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Makanya, banyak ahli yang berpendapat bahwa pembukaan lahan sawit sudah tidak terkendali, sehingga mengancam kelangsungan ekosistem lain.

Masih banyak lagi contoh pembukaan lahan sawit menjadi penyebab kerusakan lingkungan. Diki Kurniawan selaku Manajer Program Kebijakan serta Advokasi KKI (Komunitas Konservasi Indonesia) Warsi juga memaparkan bukti lain:

Di Jambi ada sekitar 2,1 juta hektar kawasan hutan. Namun, ironisnya, sebanyak 1,1 juta hektar sudah dijadikan taman nasional, seperti: Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Kerinci Sebelat, Taman Nasional Bukit Duabelas, dan Taman Nasional Berbak. Sisanya yang hanya sedikit barulah berupa kawasan hutan ekosistem dan hutan produksi.

Gita Syahrani, Direktur Eksekutif untuk Lingkar Temu Kabupaten, menceritakan data Kementerian Pertanian terkait konflik lahan dengan penduduk setempat. Ada 59 persen dari 1000 perusahaan yang terdata terlibat dalam konflik tersebut. Secara teori, perusahaan yang memerlukan lahan luas tidak mendapat izin dari masyarakat setempat yang menguasai lahan tersebut.

Salah satu penyebab konflik semacam ini terjadi adalah karena kurang tegasnya aturan soal izin lahan kelapa sawit. Selain itu, penduduk setempat yang sering tidak dilibatkan tidak mendapatkan keuntungan berarti dari adanya perkebunan kelapa sawit tersebut.

Lalu, Apa Solusi untuk Semua Masalah Ini?

Tidak bisa dipungkiri, kelapa sawit masih menjadi komoditas yang dibutuhkan oleh Indonesia. Salah satu produknya adalah minyak kelapa sawit untuk memasak.

Namun, bagaimana cara menyelesaikan masalah ini? Tidak hanya menyelamatkan lingkungan dari kerusakan permanen, masyarakat – terutama petani – juga butuh disejahterakan. Selain itu, reputasi bisnis kelapa sawit yang suram di pasar global juga harus diperbaiki.

Cobalah ISPO, solusi untuk memperbaiki masalah izin perkebunan kelapa sawit. Sebagai singkatan dari Indonesian Sustainable Palm Oil, ISPO adalah sertifikasi yang wajib diperoleh oleh pebisnis kelapa sawit yang ingin membuka lahan. Tanpa adanya ISPO, jangan harap siapa pun dapat membuka lahan sawit dengan mudah.

Selama ini, bisnis perkebunan kelapa sawit akrab dengan tuduhan merusak lingkungan, eksploitasi pekerja di bawah umur, hingga kepengurusan yang tidak jelas. Apalagi, ada lahan yang sudah terlanjur dijadikan perkebunan kelapa sawit, namun ternyata malah terbengkalai. Ada juga kebun sawit yang sudah jadi, namun izinnya tidak tercatat.

Prosedur Izin Pembukaan Lahan Sawit

Prosedur Izin Pembukaan Lahan Sawit

Meskipun banyak yang ingin pembukaan lahan sawit dihentikan karena tidak sejalan dengan kelestarian hutan, masih ada harapan untuk mengurangi kemungkinan tersebut. Berdasarkan Undang-undang Perkebunan dan Undang-undang Pemerintah Daerah, inilah prosedurnya agar status perkebunan sawit legal dan tidak merugikan rakyat:

  • Meminta Izin Lokasi Perkebunan lewat Gubernur atau Bupati setempat.
  • Setelah SK Pelepasan Kawasan dirilis oleh Menteri Kehutanan, Izin Lokasi Perkebunan sudah sah.
  • Meminta Izin Usaha Perkebunan dari Menteri Pertanian.
  • Meminta Hak Guna Usaha (HGU).

Baca juga: Hukum serta Aturan Pembukaan Lahan Sawit

Peran Mutu Institute Dalam Pelestarian Hutan

Mutu Institute membuka kelas-kelas pelatihan dan pendidikan alternatif. Salah satunya adalah training untuk sertifikasi ISPO. Sertifikasi yang sudah ada sejak 2011 ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah Indonesia.

Intinya, sertifikasi ISPO yang dirilis oleh Mutu Institute berupa kebijakan untuk terus berkomitmen penuh bersama pemerintah dalam mengurangi efek negatif pembukaan lahan kelapa sawit. Misalnya: menurunkan emisi gas rumah kaca akibat adanya pengurangan lahan hutan untuk kebun sawit.

Apakah pelestarian hutan masih tetap bisa diwujudkan, meski dengan adanya bisnis kelapa sawit? Dengan adanya pelatihan bermutu dari Mutu Institute dan sertifikasi ISPO, kenapa tidak? Selain itu, peraturan tegas dari pemerintah juga dapat membantu mengerem pembukaan lahan sawit yang tidak terkendali.

Ingin mengikuti Pelatihan/Training? Belum dapat Lembaga Pelatihan yang terpercaya? Segera hubungi kami melalui  atau 081918800013. Follow juga Instagram Mutu Institute di @mutu_institute untuk update pelatihan lainnya.

Salah satu contoh kegiatan yang Merusak habitat hutan yaitu

Indonesia kaya akan hutan yang menyimpan berbagai macam flora dan fauna. Menurut WWF Indonesia, keanekaragaman hayati yang terkandung di hutan Indonesia meliputi 12 persen spesies mamalia dunia, 7,3 persen spesies reptil dan amfibi, serta 17 persen spesies burung dari seluruh dunia. Spesies tersebut belum termasuk spesies yang belum ditemukan. Bahkan Indonesia dijuluki sebagai paru-paru dunia. Sayangnya, hutan Indonesia tidak selalu berkembang dalam keadaan baik. Kerusakan hutan menjadi isu yang selalu muncul setiap tahun. 

Tinjauan Dasar Hukum Tentang Kerusakan Hutan di Indonesia

Hukum berkaitan langsung untuk menjerat pelaku perusakan hutan di Indonesia adalah UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). UU P3H bertujuan untuk menjaga keberlangsungan hutan Indonesia secara kontinu. Ketentuan perundangan ini adalah lex specialis (ketentuan khusus) dari UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (Kehutanan). UU P3H bertujuan untuk menjerat kejahatan kehutanan yang sistematis dan sulit untuk diselesaikan oleh UU No. 41 tahun 1999. 

Baca Juga:  Bagaimana Dampak Kebakaran Semak Australia pada Samudra? Inilah Yang Kita Ketahui

Salah satu pasal dari UU P3H yang secara gamblang melarang kegiatan perusakan hutan adalah Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22. Pasal tersebut mengatur bagaimana UU P3H mengatur salah satu kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan, yaitu penebangan liar. 

Pasal 19

Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Indonesia dilarang:

  1. Menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
  2. Ikut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
  3. Melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/ atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
  4. Mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung
  5. Menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
  6. Mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah, atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri
  7. Memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya
  8. Menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
  9. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Pasal 20

Setiap orang dilarang mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Pasal 21

Setiap orang dilarang memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi.

Pasal 22

Setiap orang dilarang menghalang-halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah

Faktor kerusakan hutan

Setiap tahunnya, selalu muncul kasus kerusakan hutan baru. Faktor yang mendasari kerusakan hutan bermacam-macam. Faktor-faktor kerusakan hutan antara lain:

Penebangan liar 

Penebangan liar secara ilegal di suatu kawasan hutan dapat menurunkan dan mengubah fungsi hutan.  Umumnya kayu hasil penebangan liar akan dijual kembali kepada penadah untuk nantinya akan dijadikan barang jadi dalam bentuk lain. Hutan akan kehilangan pohon yang memiliki daya serap akan air dan karbondioksida, sehingga timbul potensi longsor, banjir, dan peningkatan polusi pada masyarakat

Baca Juga:  Hukum Lingkungan dan Penegakannya di Indonesia

Kebakaran Hutan 

Kebakaran hutan dipengaruhi faktor iklim dan kesengajaan. Namun, di Indonesia kebanyakan kebakaran hutan terjadi karena faktor kesengajaan. Beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab sengaja membakar hutan untuk membuka lahan perkebunan maupun pemukiman.  

Alih fungsi hutan menjadi kebun kelapa sawit 

Alih fungsi hutan menjadi kebun kelapa sawit sering dilakukan oleh korporasi besar yang tak bertanggung jawab secara sistematis. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang menguntungkan dan selalu dibutuhkan. Sehingga beberapa pihak tak bertanggung jawab tersebut sengaja menggunakan hutan sebagai lahan untuk kebun baru mereka tanpa pertimbangan dampak negatif yang akan terjadi. 

Serangan hama 

Terkadang, serangan hama menyerang dan beberapa jenis pohon tertentu di dalam hutan. Tanpa penanganan yang serius, hama akan membuat pohon mati dan pada akhirnya perlahan-lahan jumlah pohon akan berkurang.

Limbah Industri

Kasus perusahaan membuang limbah industri di aliran sungai di tengah hutan sering kali terdengar. Limbah tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan sekitarnya termasuk kehidupan flora dan fauna. 

Jenis Pelanggaran Kerusakan Hutan

Berdasarkan faktor-faktor kerusakan hutan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa jenis kerusakan hutan yang bersumber dari pelanggaran yang dilakukan manusia. Pelanggaran tersebut sengaja dilakukan demi kepentingan pribadi tanpa mengindahkan dampak yang akan terjadi. Pelanggaran tersebut antara lain :

  1. Penebangan hutan
  2. Pembakaran hutan
  3. Alih fungsi hutan 
  4. Pembuangan sampah industri

Penanganan Kejahatan di Bidang Kerusakan Hutan

Salah satu kejahatan di bidang kehutanan yang masih diingat masyarakat adalah penebangan liar di kawasan hutan Sumatera Utara pada tahun 2019. kejadian penebangan liar tersebut terjadi di hutan Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Polisi Kehutanan (Polhut) Dinas Kehutanan Sumatera Utara melakukan penangkapan berdasarkan laporan masyarakat sekitar. 

Para pelaku penebangan liar melakukan aksi mereka menggunakan ekskavator, traktor jonder dan mesin pemotong kayu. Pohon sengaja ditebangi dari pagi hingga siang, dan pada malam hari hasil kayu dibawa menggunakan truk. Setelah pohon ditebangi sejak pagi hingga siang, kemudian pada malam hari potongan kayu dibawa menggunakan truk. Naas, penebangan liar tersebut telah berlangsung selama 10 tahun dan mengakibatkan rusaknya jalanan kampung sejauh 15 kilometer dan terjadinya longsor di sekitar lokasi yang tak jauh dari pemukiman warga.

Kasus penebangan liar di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara masih berada dalam proses hukum hingga saat ini. Berdasarkan kasus tersebut, dapat dilihat bahwa masyarakat sekitar hutan yang tak memiliki privilege lebih menjadi korban pertama yang terkena imbas dari kerusakan hutan. Dilihat dari sudut pandang hukum, kasus penebangan liar tersebut dapat dijerat dengan UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Semoga kasus di atas dapat menjadi pembelajaran bagi pelaku usaha agar tidak melakukan segala tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan hutan secara sembarangan.