Peran orang tua dalam pendidikan di sekolah

Orang tua yang berhasil menyekolahkan anaknya sering merasa tanggung jawabnya telah selesai. Padahal pendidikan anak adalah tanggung jawab yang berkesinambungan dan berkelanjutan antara institusi sekolah, orang tua dan masyarakat.

Sekolah yang sudah menerapkan GSM selalu menekankan pada pembentukan iklim dan lingkungan pendidikan yang aman, menyenangkan dan memanusiakan. Peran guru sangat penting dalam menciptakan perubahan tersebut. Dari situasi pendidikan yang konvensional, yang hanya fokus pada hasil ujian, menuju pendidikan yang membuat anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter dan ketagihan dalam belajar.

Dalam semua proses perubahan tersebut, di manakah peran orang tua?

Masalah mengenai keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah secara garis besar bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, kebanyakan pihak sekolah saat ini jarang sekali yang melibatkan orangtua dalam prosesnya. Pertemuan antara guru dan orang tua biasanya hanya berlangsung pada saat pembagian rapot saja. Selain itu orang tua juga hanya diundang ke sekolah untuk bersilaturahmi ketika sekolah sedang membutuhkan bantuan dana saja.

Akibatnya, antara guru dan orang tua terdapat jarak. Orang tua seolah-olah sudah menyerahkan tanggung jawab pendidikan kepada guru dan kemudian hanya terima jadi saja. Ketika pembagian rapot misalnya, masih ada orang tua yang hanya memedulikan ranking anaknya di kelas padahal pemberian peringkat itu justru menjadi hal yang dihindari dalam GSM. Guru dan orang tua tidak berada dalam satu frame yang sama dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang anak butuhkan.

Masalah yang kedua, inisiatif sekolah untuk merangkul para orang tua sudah ada, namun orang tua enggan karena kesibukan atau merasa hal itu tidak perlu. Akibatnya, pendidikan karakter memanusiakan yang sudah diusahakan menjadi tidak berkesinambungan dengan apa yang diterapkan oleh orang tua di rumah. Inkonsistensi antara lingkungan sekolah dan lingkungan rumah ini akan membuat anak-anak menjadi kebingungan.

GSM adalah sebuah gerakan yang seharusnya kolaboratif. Guru tidak bisa berjalan sendirian tanpa berkomunikasi dengan para orang tua. Hal yang bisa dilakukan untuk menjalin kerjasama sinergis antara guru dan orang tua bisa diciptakan dengan membentuk paguyuban orang tua yang diinisiasi oleh wali kelas.

Untuk mengawali komunikasi, wali kelas sebenarnya sudah dimudahkan dengan adanya teknologi dengan membuat grup WhatsApp. Wali kelas bisa aktif mengomunikasikan program-program GSM dan mendengar pandangan dari orang tua lewat grup tersebut. Hal itu kemudian bisa ditindaklanjuti dengan forum pertemuan orang tua yang rutin dilakukan agar terjalin kehangatan dan keakraban antar orang tua.

Menurut beberapa guru, ketika mengetahui program-program GSM, tidak jarang orang tua menunjukkan antusiasme dan apresiasinya. Antusiasme itu mendatangkan keinginan untuk membantu menyukseskan program GSM; misalnya dengan inisiatif untuk menyumbang air galon, karpet, kipas angin, maupun tikar untuk kebutuhan kelas anaknya di sekolah. Hal ini secara eksplisit menunjukkan bahwa orang tua ingin terlibat dalam proses pendidikan yang ditempuh anak-anaknya.

Selain itu, salah satu perwujudan menarik yang bisa dilakukan untuk menjalin kerjasama dengan orang tua adalah dengan adanya program parent teaching. Program ini memungkinkan orang tua siswa bergantian untuk merasakan menjadi pengajar di kelas anaknya sendiri. Hal yang diajarkan bisa beragam tergantung pada keahlian yang dimiliki. Program orangtua mengajar baru-baru ini dilakukan oleh SDN Karangmloko 2 dan SDN Muhamadiyah Sangonan I.

Di SDN Karangmloko 2, salah satu orang tua siswa mengajarkan untuk merawat kucing. Hal ini tentu akan mendatangkan sebuah pengalaman yang unik baik bagi siswa maupun bagi orang tua sendiri. Kemudian di SDN Muhamadiyah Sangonan I salah satu orang tua siswa mengajarkan membuat bunga-bunga hiasan meja dengan memanfaatkan sampah plastik.

Program parent teaching ini adalah sebuah usaha untuk mengajak orang tua peduli dan terlibat dalam proses pendidikan itu sendiri. Dengan datang ke sekolah dan melihat langsung lingkungan kelas, berkenalan dengan teman dari anaknya di sekolah, berinteraksi dengan guru-guru, dari sana akan terjadi komunikasi dan awareness mengenai bagaimana program GSM ini diterapkan dan juga kesadaran mengapa penerapan GSM menjadi penting dan perlu.

Selain itu, dengan program ini juga akan ada sebuah kebanggaan tersendiri dari masing-masing anak ketika orang tuanya mengajar di kelas sehingga ikatan yang terjalin antara orang tua dan anak pun akan semakin erat.

Pada akhirnya, memang proses pendidikan adalah proses yang berlangsung terus menerus, orang tua tidak bisa begitu saja menyerahkan tanggung jawab pendidikan pada sekolah. Orang tua harus berintegrasi dan terlibat dalam proses itu sehingga baik di rumah maupun di sekolah, anak-anak mendapatkan lingkungan yang kondusif dan mendukungnya untuk berkembang dengan optimal.

(Putri Nabhan)

Peran orang tua dalam pendidikan di sekolah

Psikolog keluarga Anna Surti Ariani (Nina) mengungkap bahwa peran keluarga memang sangat penting dalam perkembangan dan pendidikan anak. “Bicara tentang pendidikan anak, tentu ini tidak hanya tentang mengajari anak untuk bisa melakukan sesuatu atau memikirkan sesuatu. Pendidikan itu juga termasuk membuat anak menjadi individu yang lebih dewasa dan matang, untuk kehidupannya dalam jangka panjang, seumur hidupnya, bukan hanya ketika di usia sekolah. Artinya, peran keluarga menjadi sangat besar, karena terkait dengan semua aspek perkembangan dan pendidikan anak,” papar Nina. Lalu, apa lagi yang harus kita perhatikan dan terapkan sehari-hari untuk mendukung pendidikan anak?

Dorongan agar orang tua lebih terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka saat ini memang makin gencar dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI, yang sekarang juga memiliki Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Laman Kemdikbud pun sekarang dibuat lebih menarik, informatif, dan bersahabat bagi orang tua. Bahkan secara khusus terdapat laman Sahabat Keluarga. Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kedubayaan (Mendikbud) RI, Anies Baswedan, menekankan pentingnya peran keluarga sebagai penyokong pendidikan anak-anak. Orang tua tidak sekadar diajak untuk lebih terlibat, tidak boleh lagi cuek dan menyerahkan urusan pendidikan kepada guru di sekolah saja, tetapi juga menerapkan pendidikan serta pengasuhan yang menumbuhkan bagi anak-anak mereka. Berulang kali pula, Anies mengingatkan kita akan gagasan-gagasan cemerlang Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, yang banyak menekankan konsep pendidikan berbasis keluarga.

Pakar pendidikan Bukik Setiawan, dalam bukunya Anak Bukan Kertas Kosong, menuliskan 3 pemikiran Ki Hadjar Dewantara, yang salah satunya adalah pentingnya peran keluarga dalam pendidikan anak. Keluarga adalah pusat pendidikan. Orang tua mungkin bisa mendelegasikan pengajaran kepada kaum ahli, tetapi pendidikan anak tetaplah menjadi tanggung jawab orang tua. Peran orang tua tidak tergantikan oleh sekolah, lembaga pendidikan, ataupun lembaga bakat. Bukik mengingatkan kita pada tulisan Ki Hadjar yang mengatakan, “Pokoknya pendidikan harus terletak di dalam pangkuan ibu bapa, karena hanya dua orang inilah yang dapat berhamba pada sang anak dengan semurni-murninya dan se-ikhlas-ikhlasnya, sebab cinta kasihnya kepada anak-anaknya boleh dibilang cinta kasih tak terbatas.”

Beberapa mama yang berbagi cerita dengan Parenting Indonesia sepakat bahwa orang tua harus mengambil peran terbesar dalam menerapkan pendidikan bagi anak-anak mereka, tak peduli seberapa sibuk mereka dengan urusan pekerjaan. Secara luwes, mereka berbagi porsi atau peran dan saling melengkapi. "Suami lebih banyak mengasah motorik kasar anak dengan mengajak anak berolahraga, sementara saya lebih ke motorik halusnya, misalnya. Tetapi, anak bisa belajar dengan siapa yang dia suka. Mungkin suatu saat dengan saya, di kesempatan lain dengan papanya. Kadang yang menegakkan peraturan adalah papanya, sementara saya juga bisa tegas dalam memberi sanksi, jika anak melanggar peraturan,” ungkap Maya Safrina, ibu rumah tangga, mama dari Dira (10).

Sementara, Dian Putri, mama dari Dafi (9), lebih menekankan pembagian porsi pada urusan ‘software’ anak. “Sebagai mama, porsi terbesar saya adalah sebagai motivator pembentuk akhlak anak, kasih sayang, serta empati. Sementara, sebagai papa, suami saya mempunyai peran membentuk jiwa tanggung jawab, disiplin, role model dalam sikap dan pembentukan karakter kuat dan pemberani, terutama karena anak kami laki-laki,” papar Dian.

Jakarta -

Pendidikan saat ini merupakan hal yang dianggap penting untuk mendorong kesuksesan seseorang di masa depan. Namun banyak pula yang menanamkan pemikiran bahwa pendidikan hanya seputar akademis yang didapatkan dari instansi seperti sekolah.

Pemikiran atau mindset tersebut juga banyak tertanam pada para orang tua di Indonesia. Tak jarang orang tua menyerahkan keberhasilan anaknya pada sekolah. Padahal peran orang tua dalam pendidikan anak juga dibutuhkan.

Psikolog Anak, Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan sekolah bukanlah tempat laundry, sehingga orang tua bisa menyerahkan anak kepada sekolah dan menerima hasil bersih.

"Pendidikan apa pun bukan seperti itu, kita sebagai orang tua tidak bisa lepas tangan. Banyak penelitian yang bilang bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak itu justru pendukung keberhasilan anak. Jadi mau sebagus apapun sekolahnya tapi kalau orang tuanya tidak ada perhatian, tidak terlibat, itu belum tentu berhasil juga," ujar Vera dalam acara virtual Ruang Guru, Selasa (4/1/2021).

Vera juga menjelaskan bahwa keikutsertaan orang tua dalam mendidik anak bukan dengan ikut memberikan materi-materi akademis. Akan tetapi dengan memberikan pendidikan di luar akademisi misalnya membangun kepribadian. Hal paling mudahnya adalah duduk bersama dan bertanya bagaimana anak menjalani hari-harinya.

Oleh sebab itu, orang tua tidak bisa benar-benar menyerahkan pendidikan anak 100% kepada instansi pendidikan. Vera menilai hal tersebut perlu diubah sehingga orang tua ikut memberikan pendidikan kepada anak dan membantu kesuksesannya di masa mendatang.

VP Marketing Ruangguru, Ignatius Untung Surapati juga setuju akan hal ini. Hanya saja menurutnya mengubah mindset yang sudah terbangun pada para orang tua bukan hal mudah. Menurutnya, cara yang bisa dilakukan dengan saling membagikan ilmu dan informasi terkait mindset yang sehat akan pendidikan yang baik untuk anak.

Selain itu bersama Ruangguru, Ignatius Untung juga menghadirkan kampanye #IniBaruJuara yang mendorong sistem pendidikan inklusif serta pola pikir pro-growth di Indonesia, yaitu dengan memberikan pemahaman bahwa menjadi juara tidak hanya sukses berprestasi secara akademis.

"Belajar itu bukan sekadar masalah apa yang dipelajari tapi bagaimana kita mampu membangun konteks yang pas sehingga semangatnya terbangun, ketika semangatnya terbangun kan nggak ada yang lebih berharga dalam pendidikan buat saya ketimbang kemampuan untuk bisa membangkitkan semangat," tutur Untung.

"Saya melihat sosok pendidik atau sistem pendidikan Indonesia akan lebih dahsyat lagi ketika kita bisa merangkul anak-anak yang itu punya semangat belajar," tambahnya.

Duta Belajar Ruangguru, Nicholas Saputra yang juga aktor Indonesia ini menyambut baik kampanye ini. Sebab menurutnya tugas dari pendidikan adalah membuat seseorang menjadi lebih baik, apapun versinya, bakatnya, dan hal lainnya.

"Tentu penghargaan seperti ini penting sekali buat semua orang yang sedang belajar di usia berapa pun dan di tingkat apapun. Dengan begitu kita menemukan keadilan di dalam sistem pendidikan karena tujuannya adalah membuat seseorang lebih baik lagi untuk versi dirinya," jelas Nicholas.

Lewat Kampanye #IniBaruJuara Ruang Guru berharap mampu merangkul lebih banyak anak-anak agar semangat belajar tumbuh dari diri sendiri. Serta mengajak sistem pendidikan bahkan tenaga pendidik memahami pentingnya pendidikan inklusif dan pro-growth bagi kesuksesan anak Indonesia.

(prf/ega)