Firman Arifandi, Lc., MA Wed 1 February 2017 01:45 | 57540 views Bagikan lewat Show
Dalam banyak literatur Fiqih, tak sedikit kita bisa temukan pendapat ulama tentang urgensi keberadaan wali bagi wanita. Sebagian besar ulama menganggapnya sebagai bagian dari rukun dalam nikah yang bilamana tidak terpenuhi maka tidaklah sah pernikahan tersebut. Namun berbeda dengan madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa izin dan kehadiran wali hanyalah sebatas kepada hukum yang mustahab (disukai) dan tidak berpengaruh pada keabsahan akad nikah. Barangkali di tanah air dan sebagian besar negara dengan penduduk muslim, banyak yang menganut pendapat madzhab pertama, atau pendapat jumhur ulama yang mewajibkan izin dan keberadaan wali dalam nikah, bahkan hal ini tertulis dalam regulasi pernikahan dan tertera dalam undang-undangnya. Begitupula dengan negara yang dominan mengikuti madzhab Hanafi, tentunya mereka tidak menganggap izin dan keberadaan wali sebagai syarat sahnya pernikahan. Sehingga hal tersebut berpengaruh kepada tata cara pernikahan di negara tersebut, bahkan kepada undang-undang terkait perwalian dalam nikah. Seperti di Pakistan, wanita yang sudah masuk kategori dewasa, berakal sehat, dan mampu melakukan akad seperti halnya jual beli, maka dia berhak melangsungkan akad nikah baik dengan adanya izin wali ataupun tidak. Pendapat Jumhur Ulama Jumhur (mayoritas) ulama sepakat bahwa menikah tanpa wali dianggap tidak sah, mereka bersandar kepada dalil-dalil berikut: Hadist pertama: ما رواه الزهري عن عائشة وهو أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطلDiriwayatkan oleh Zuhri dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW bersabda: siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka nikahnya batil Hadist kedua: ما رواه ابن ماجة، والدارقطني عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا تزوج المرأة المرأة، ولا تزوج المرأة نفسهاDiriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Daru Quthni dari Abu Hurairah R.A bahwasanya Nabi SAW bersabda: Janganlah wanita menikahkan wanita lain, dan janganlah wanita menikahkan dirinya sendiri. Dari Al-Qur’an: وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” [QS. An-Nuur : 32]. Berdasarkan dalil-dalil di atas maka mayoritas para ulama berpendapat bahwa nikah tanpa wali adalah haram karena redaksi nushus yang spesifik menegaskan hal tersebut[1]. Sebagaimana ditegaskan oleh imam An-Nawawi dalam menanggapi hadist pertama di atas: وقد ذهب إلى هذا على وعمر وابن عباس وابن عمر وابن مسعود وأبو هريرة وعائشة والحسن البصري وابن المسيب وابن شبرمة وابن أبى ليلى والعترة وأحمد وإسحاق والشافعي وجمهور أهل العلم: فقالوا لا يصح العقد بدون ولى.Dan telah berpendapat Ali, Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Aisyah, dan Hasan Al Bashri, Ibnu Musayyib, Ibnu Syabarma, dan Ibnu Abi Laily, dan Ahmad, dan Ishaq, dan Syafi’i, beserta Mayoritas Ahli Ilmu: semuanya berkata bahwa tidak dibenarkan akad (nikah) tanpa wali[2]. Apa Alasan Madzhab Hanafi Membolehkan Nikah tanpa wali? Ternyata ada sejumlah dalil dan jawaban dari golongan Hanafiyah tentang kebolehan bagi seorang wanita menikah tanpa wali. Di antaranya adalah dari hadist: أنّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا (رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَمَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِSesungguhnya Nabi SAW Bersabda: Wanita yang belum menikah lebih berhak atas dirinya daripada walinya (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Malik dalam al Muawatho’) Selanjutnya dalil dari Riwayat Sahabat: عن سهل بن سعد قال: جاءت امرأة إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله؛ إني قد وهبت لك من نفسي. فقال رجل: زوجنيها. قال: قد زوّجناكها بما معك من القرآنDari Sahal bin Sa’ad berkata: Datang seorang wanita kepada Rasulullah SAW kemudian berkata: wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku kepadamu. Kemudian seorang sahabat berkata kepada Rasulullah: Nikahkanlah aku dengannya. Lalu Rasulullah SAW berkata : Aku nikahkan engkau dengannya dengan apa yang miliki dari bacaan Qura’an. (HR. Bukhari) Dari riwayat di atas, tidak ditemukan redaksi tentang apakah saat itu Rasulullah menanyakan tentang keberadaan wali dari wanita tersebut. justru yang difahami oleh madzhab ini adalah bahwa beliau SAW langsung menikahkan sahabat dengan si wanita tadi. Kemudian ada juga dalil dari ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan madzhab ini, diantaranya: وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِApabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. (Al-Baqarah : 232) Imam Jashos dari Hanafiah menjelaskan tentang ayat ini dalam kitabnya, Ahkamul Qur’an: وَقَدْ دَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ مِنْ وُجُوهٍ عَلَى جَوَازِ النِّكَاحِ إذَا عَقَدَتْ عَلَى نَفْسِهَا بِغَيْرِ وَلِيِّ وَلَا إذْنِ وَلِيِّهَا أَحَدُهَا إضَافَةُ الْعَقْدِ إلَيْهَا مِنْ غَيْرِ شَرْطِ إذْنِ الْوَلِيِّ وَالثَّانِي نَهْيُهُ عَنْ الْعَضْلِ إذَا تَرَاضَى الزَّوْجَانِDan ayat ini bermakna kepada sejumlah segi atas kebolehan nikah yang terjadi kepada wanita tanpa adanya wali dan tanpa izin dari walinya. Yang pertama adalah penyerahan otoritas akad kepadanya tanpa syarat harus izin kepada walinya, dan yang kedua larangan terhadap para wali untuk mencegah putrinya bila kedua calon mempelai sama-sama saling ridha[3]. Jawaban Madzhab Hanafi Terhadap dalil Mayoritas Ulama Dalam menanggapi dua hadist yang menjadi landasan Jumhur ulama, para imam madzhab ini berpendapat bahwa hadist pertama yang diriwayatkan Zuhri masih diragukan dan dianggap cidera, Karena saat Zuhri ditanya tentang hal tersebut malah tidak tahu[4]. Lalu pada hadist kedua, perlu dilirik kembali redaksinya menurut mereka. Dalam madzhab ini, hadist tersebut berlaku hanya untuk wanita yang belum baligh maka harus ada izin dari wali. Kemudian maksud dari “Janganlah wanita menikahkan wanita lain, dan janganlah wanita menikahkan dirinya sendiri” adalah larangan bagi wanita dewasa menikahkan wanita yang masih anak-anak sepanjang masih ada walinya, serta dilarang bagi wanita yang belum baligh menikahkan dirinya sendiri[5]. Secara garis besar semua dalil yang berkaitan dengan pelarangan nikah tanpa wali menurut madzhab ini, objek redaksinya dikhususkan kepada wanita yang belum baligh, tidak berakal, tidak merdeka, dan belum mumayyiz[6]. Adapun dalil dari AL-Qur’an yang digunakan landasan oleh Jumhur, tidak menunjukan pengkhususan kepada hak perwalian yang eksplisit menurut madzhab ini. Meski demikian, tidak semua ulama madzhab ini sepakat satu suara dalam hal ini, seperti Imam Abu Yusuf yang berpendapat seperti jumhur ulama. Adapula yang mengatakan bahwa akadnya sah namun tetap dihukumi makruh. Semua Wanita Boleh Menikah Tanpa Izin Walinya? Ternyata tidak semua wanita boleh menikah tanpa izin dari walinya, para ulama dari madzhab ini tetap membatasi siapa yang boleh menikah tanpa izin dari walinya. Dikatakan dalam kitab Fathul Qadir dikatakan: الْوِلَايَةُ فِي النِّكَاحِ نَوْعَانِ: وِلَايَةُ نَدْبٍ وَاسْتِحْبَابٍ وَهُوَ الْوِلَايَةُ عَلَى الْبَالِغَةِ الْعَاقِلَةِ بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا، وَوِلَايَةُ إجْبَارٍ وَهُوَ الْوِلَايَةُ عَلَى الصَّغِيرَةِ بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا، وَكَذَا الْكَبِيرَةُ الْمَعْتُوهَةُ وَالْمَرْقُوقَةُ.Perwalian dalam nikah itu ada dua jenis: jenis yang mandub dan mustahab, yakni perwalian atas wanita yang sudah baligh, berakal, baik itu perawan atau janda. Dan perwalian yang diharuskan yakni perwalian atas wanita yang masih kecil (belum baligh) baik itu perawan atau janda, begitupula wanita dewasa yang gila dan budak[7]. Bahkan dalam riwayat lain, imam Hasan As-Syaibani dari Hanafiah mengatakan bahwa yang boleh jika wanita dan lelakinya sekufu, jika tidak sekufu maka tidak boleh bagi wanita menikah tanpa walinya[8]. Imam Abu Hanifah mengqiyaskan akad nikah dengan akad jual beli pada umumnya, dimana beliau menitik beratkan kepada pelaku transaksinya adalah baligh, berakal, mumayyiz, dan pada intinya adalah mereka yang mampu melakukan transaksi jual beli secara sehat dan syar’i. Undang-Undang di Pakistan Terkait Nikah Tanpa Wali Berbeda dengan Indonesia, negara yang menamakan dirinya Islamic Republic of Pakistan ini, dominan memegang teguh madzhab Hanafi. Hingga pada konteks pernikahanpun secara de jure dalam regulasi pernikahan antar muslim diatur sesuai faham madzhab Hanafi, termasuk pada hak perwalian. Dalam Muslim Marriage Act, 1957 article 7 tertulis[9]: “The age at which a person, being a member of the Muslim community, is capable of contracting marriage shall be sixteen years : Provided that in the case of an intended marriage between persons either of whom being a male is under twenty-one years of age or being a female is under eighteen years of age (not being a widower or widow), the consent to such marriage, of the father if living, or, if the father is dead, of the guardian or guardians lawfully appointed or of one of them, and, if there is no such guardian, then of the mother of such person so under age. “Usia minimal bagi seseorang sebagai umat muslim yang diperbolehkan melakukan akad nikah adalah 16 tahun: ini bersyarat dalam hal kesepakatan melakukan nikah bagi laki-laki di bawah 21 tahun, atau bagi wanita di bawah 18 tahun (bukan duda ataupun janda), maka harus ada izin atas pernikahan tersebut dari ayahnya bila masih hidup, bila meninggal, maka izin dari wali atau wali sah yang diwasiatkan atau salah satu dari mereka, dan jika tidak ada wali, maka izin boleh dari ibu sang anak yang di bawah umur tersebut” Dalam undang-undang ini, menunjukan bahwa wanita di atas usia 18 tahun boleh menikah tanpa wali, dan ini banyak terjadi di Pakistan. Bahkan Federal Shariat Court banyak menangani sejumlah kasus terkait nikah tanpa wali yang kadang berbeda keputusan dengan High Court. Dalam hal ini, segala keputusan yang telah ditetapkan oleh Federal Shariat Court bila bertentangan dengan High Court dan cabangnya, maka yang diunggulkan adalah keputusan Federal Shariat Court, hal ini tertera dalam Constitution Pakistan article 203-GG yang berbunyi: “any decision of the Court in the exercise of its jurisdiction under this Chapter shall be binding on a High Court and on all courts subordinate to a High Court” “segala keputusan pengadilan (Federal Shariah Court) dalam menjalankan yurisdiksinya di bawah pasal ini, harus mengikat ketetapan High Court dan semua pengadilan di bawahnya. Kesimpulnya adalah, bahwa Undang-undang pernikahan di Pakistan dalam hal perwalian, memberikan kebebasan kepada wanita yang telah dewasa untuk menikah, baik dengan izin wali ataupun tanpa izinnya. Hal ini tentu mengadopsi dari pendapat madhzab Hanafi yang sangat kuat diikuti oleh muslim di negara ini, yang mana imam Abu Hanifah menganggap nikah dengan izin wali bagi wanita dewasa, berakal, baligh, dan mumayiz, hanyalah sebatas mustahab. Namun tetap bagi mereka, izin wali sangat diutamakan. Bagaimana dengan di Indonesia? Tentu faham madzhab ini tidak berlaku, selain karena kita lebih mengikuti pendapat jumhur ulama dengan dalil-dali tersebut, nikah di KUA tanpa walipun tidak akan sah secara yuridis. Wallahu a’lam bishhowab [1] Iwad Al Jaziry. Al Fiqhu ‘ala-l-madzahib al-arba’ah. 4/46 [2] Imam An-nawawi. Al Majmu Syarhu-l-Muhadzab. 16/149 [3] Abu Bakar Ar-Rozy Al Jashos Al Hanafi. Ahkamu-l-Qur’an. 2/100 [4] Al-Fiqhu ‘ala-l-madzahib al-arba’ah. 4/46 [5] Ibid. [6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-kuwaitiyyah. 14/192 [7] Ibnu-l-Humam. Fathul Qadir. 3/255 [8] Imam Sarakhsi. Al-Mabsut. 5/10 [9]Muslim Marriage Act, 1957 adalah Undang-undang pernikahan muslim yang berlaku di Pakistan. Baca Lainnya : more... Page 2
Hanif Luthfi, Lc., MA 69 judul
|