Pendapat Jumhur ulama tentang Wali nikah adalah bahwa akad nikah

Firman Arifandi, Lc., MA Wed 1 February 2017 01:45 | 57540 views

Bagikan lewat

Pendapat Jumhur ulama tentang Wali nikah adalah bahwa akad nikah

Show

Pendapat Jumhur ulama tentang Wali nikah adalah bahwa akad nikah

Dalam banyak literatur Fiqih, tak sedikit kita bisa temukan pendapat ulama tentang urgensi keberadaan wali bagi wanita. Sebagian besar ulama menganggapnya sebagai bagian dari rukun dalam nikah yang bilamana tidak terpenuhi maka tidaklah sah pernikahan tersebut. Namun berbeda dengan madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa izin dan kehadiran wali hanyalah sebatas kepada hukum yang mustahab (disukai) dan tidak berpengaruh pada keabsahan akad nikah.

Barangkali di tanah air dan sebagian besar negara dengan penduduk muslim, banyak yang menganut pendapat madzhab pertama, atau pendapat jumhur ulama yang mewajibkan izin dan keberadaan wali dalam nikah, bahkan hal ini tertulis dalam regulasi pernikahan dan tertera dalam undang-undangnya.

Begitupula dengan negara yang dominan mengikuti madzhab Hanafi, tentunya mereka tidak menganggap izin dan keberadaan wali sebagai syarat sahnya pernikahan. Sehingga hal tersebut berpengaruh kepada tata cara pernikahan di negara tersebut, bahkan kepada undang-undang terkait perwalian dalam nikah. Seperti di Pakistan, wanita yang sudah masuk kategori dewasa, berakal sehat, dan mampu melakukan akad seperti halnya jual beli, maka dia berhak melangsungkan akad nikah baik dengan adanya izin wali ataupun tidak.

Pendapat Jumhur Ulama

                Jumhur (mayoritas) ulama sepakat bahwa menikah tanpa wali dianggap tidak sah, mereka bersandar kepada dalil-dalil berikut:

Hadist pertama:

ما رواه الزهري عن عائشة وهو أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل

Diriwayatkan oleh Zuhri dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW bersabda: siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka nikahnya batil

Hadist kedua:

ما رواه ابن ماجة، والدارقطني عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا تزوج المرأة المرأة، ولا تزوج المرأة نفسها

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Daru Quthni dari Abu Hurairah R.A bahwasanya Nabi SAW bersabda: Janganlah wanita menikahkan wanita lain, dan janganlah wanita menikahkan dirinya sendiri.

Dari Al-Qur’an:

وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” [QS. An-Nuur : 32].

Berdasarkan dalil-dalil di atas maka mayoritas para ulama berpendapat bahwa nikah tanpa wali adalah haram karena redaksi nushus yang spesifik menegaskan hal tersebut[1].

Sebagaimana ditegaskan oleh imam An-Nawawi dalam menanggapi hadist pertama di atas:

وقد ذهب إلى هذا على وعمر وابن عباس وابن عمر وابن مسعود وأبو هريرة وعائشة والحسن البصري وابن المسيب وابن شبرمة وابن أبى ليلى والعترة وأحمد وإسحاق والشافعي وجمهور أهل العلم: فقالوا لا يصح العقد بدون ولى.

Dan telah berpendapat Ali, Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, Aisyah, dan Hasan Al Bashri, Ibnu Musayyib, Ibnu Syabarma, dan Ibnu Abi Laily, dan Ahmad, dan Ishaq, dan Syafi’i, beserta Mayoritas Ahli Ilmu: semuanya berkata bahwa tidak dibenarkan akad (nikah) tanpa wali[2].

Apa Alasan Madzhab Hanafi Membolehkan Nikah tanpa wali?

Ternyata ada sejumlah dalil dan jawaban dari golongan Hanafiyah tentang kebolehan bagi seorang wanita menikah tanpa wali. Di antaranya adalah dari hadist:

أنّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا (رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَمَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ

Sesungguhnya Nabi SAW Bersabda: Wanita yang belum menikah lebih berhak atas dirinya daripada walinya (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Malik dalam al Muawatho’)

Selanjutnya dalil dari Riwayat Sahabat:

عن سهل بن سعد قال: جاءت امرأة إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله؛ إني قد وهبت لك من نفسي. فقال رجل: زوجنيها. قال: قد زوّجناكها بما معك من القرآن

Dari Sahal bin Sa’ad berkata: Datang seorang wanita kepada Rasulullah SAW kemudian berkata: wahai Rasulullah, sesungguhnya  aku menyerahkan diriku kepadamu. Kemudian seorang sahabat berkata kepada Rasulullah: Nikahkanlah aku dengannya. Lalu Rasulullah SAW berkata : Aku nikahkan engkau dengannya dengan apa yang miliki dari bacaan Qura’an. (HR. Bukhari)

Dari riwayat di atas, tidak ditemukan redaksi tentang apakah saat itu Rasulullah menanyakan tentang keberadaan wali dari wanita tersebut. justru yang difahami oleh madzhab ini adalah bahwa beliau SAW langsung menikahkan sahabat dengan si wanita tadi.

                Kemudian ada juga dalil dari ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan madzhab ini, diantaranya:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya  apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. (Al-Baqarah : 232)

Imam Jashos dari Hanafiah menjelaskan tentang ayat ini dalam kitabnya, Ahkamul Qur’an:

وَقَدْ دَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ مِنْ وُجُوهٍ عَلَى جَوَازِ النِّكَاحِ إذَا عَقَدَتْ عَلَى نَفْسِهَا بِغَيْرِ وَلِيِّ وَلَا إذْنِ وَلِيِّهَا أَحَدُهَا إضَافَةُ الْعَقْدِ إلَيْهَا مِنْ غَيْرِ شَرْطِ إذْنِ الْوَلِيِّ وَالثَّانِي نَهْيُهُ عَنْ الْعَضْلِ إذَا تَرَاضَى الزَّوْجَانِ

Dan ayat ini bermakna kepada sejumlah segi atas kebolehan nikah yang terjadi kepada wanita tanpa adanya wali dan tanpa izin dari walinya. Yang pertama adalah penyerahan otoritas akad kepadanya tanpa syarat harus izin kepada walinya, dan yang kedua larangan terhadap para wali untuk mencegah putrinya bila kedua calon mempelai sama-sama saling ridha[3].

Jawaban Madzhab Hanafi Terhadap dalil Mayoritas Ulama

               Dalam menanggapi dua hadist yang menjadi landasan Jumhur ulama, para imam madzhab ini berpendapat bahwa hadist pertama yang diriwayatkan Zuhri masih diragukan dan dianggap cidera, Karena saat Zuhri ditanya tentang hal tersebut malah tidak tahu[4].

               Lalu pada hadist kedua, perlu dilirik kembali redaksinya menurut mereka. Dalam madzhab ini, hadist tersebut berlaku hanya untuk wanita yang belum baligh maka harus ada izin dari wali. Kemudian maksud dari “Janganlah wanita menikahkan wanita lain, dan janganlah wanita menikahkan dirinya sendiri” adalah larangan bagi wanita dewasa menikahkan wanita yang masih anak-anak sepanjang masih ada walinya, serta dilarang bagi wanita yang belum baligh menikahkan dirinya sendiri[5].

               Secara garis besar semua dalil yang berkaitan dengan pelarangan nikah tanpa wali menurut madzhab ini, objek redaksinya dikhususkan kepada wanita yang belum baligh, tidak berakal, tidak merdeka, dan belum mumayyiz[6]. Adapun dalil dari AL-Qur’an yang digunakan landasan oleh Jumhur, tidak menunjukan pengkhususan kepada hak perwalian yang eksplisit menurut madzhab ini.

Meski demikian, tidak semua ulama madzhab ini sepakat satu suara dalam hal ini, seperti Imam Abu Yusuf yang berpendapat seperti jumhur ulama. Adapula yang mengatakan bahwa akadnya sah namun tetap dihukumi makruh.

Semua Wanita Boleh Menikah Tanpa Izin Walinya?

                Ternyata tidak semua wanita boleh menikah tanpa izin dari walinya, para ulama dari madzhab ini tetap membatasi siapa yang boleh menikah tanpa izin dari walinya. Dikatakan dalam kitab Fathul Qadir dikatakan:

الْوِلَايَةُ فِي النِّكَاحِ نَوْعَانِ: وِلَايَةُ نَدْبٍ وَاسْتِحْبَابٍ وَهُوَ الْوِلَايَةُ عَلَى الْبَالِغَةِ الْعَاقِلَةِ بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا، وَوِلَايَةُ إجْبَارٍ وَهُوَ الْوِلَايَةُ عَلَى الصَّغِيرَةِ بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا، وَكَذَا الْكَبِيرَةُ الْمَعْتُوهَةُ وَالْمَرْقُوقَةُ.

Perwalian dalam nikah itu ada dua jenis: jenis yang mandub dan mustahab, yakni perwalian atas wanita yang sudah baligh, berakal, baik itu perawan atau janda. Dan perwalian yang diharuskan yakni perwalian atas wanita yang masih kecil (belum baligh)  baik itu perawan atau janda, begitupula wanita dewasa yang gila dan budak[7].

Bahkan dalam riwayat lain, imam Hasan As-Syaibani dari Hanafiah mengatakan bahwa yang boleh jika wanita dan lelakinya sekufu, jika tidak sekufu maka tidak boleh bagi wanita menikah tanpa walinya[8].

                Imam Abu Hanifah mengqiyaskan akad nikah dengan akad jual beli pada umumnya, dimana beliau menitik beratkan kepada pelaku transaksinya adalah baligh, berakal, mumayyiz, dan pada intinya adalah mereka yang mampu melakukan transaksi jual beli secara sehat dan syar’i.

Undang-Undang di Pakistan Terkait Nikah Tanpa Wali

                Berbeda dengan Indonesia, negara yang menamakan dirinya Islamic Republic of Pakistan ini, dominan memegang teguh madzhab Hanafi. Hingga pada konteks pernikahanpun secara de jure dalam regulasi pernikahan antar muslim diatur sesuai faham madzhab Hanafi, termasuk pada hak perwalian.

Dalam Muslim Marriage Act, 1957 article 7 tertulis[9]:

“The age at which a person, being a member of the Muslim community, is capable of contracting marriage shall be sixteen years : Provided that in the case of an intended marriage between persons either of whom being a male is under twenty-one years of age or being a female is under eighteen years of age (not being a widower or widow), the consent to such marriage, of the father if living, or, if the father is dead, of the guardian or guardians lawfully appointed or of one of them, and, if there is no such guardian, then of the mother of such person so under age.         

“Usia minimal bagi seseorang sebagai umat muslim yang diperbolehkan melakukan akad nikah adalah 16 tahun: ini bersyarat dalam hal kesepakatan melakukan nikah bagi laki-laki di bawah 21 tahun, atau bagi wanita di bawah 18 tahun (bukan duda ataupun janda), maka harus ada izin atas pernikahan tersebut dari ayahnya bila masih hidup, bila meninggal, maka izin dari wali atau wali sah yang diwasiatkan atau salah satu dari mereka, dan jika tidak ada wali, maka izin boleh dari ibu sang anak yang di bawah umur tersebut”

Dalam undang-undang ini, menunjukan bahwa wanita di atas usia 18 tahun boleh menikah tanpa wali, dan ini banyak terjadi di Pakistan.

Bahkan Federal Shariat Court banyak menangani sejumlah kasus terkait nikah tanpa wali yang kadang berbeda keputusan dengan High Court. Dalam hal ini, segala keputusan yang telah ditetapkan oleh Federal Shariat Court bila bertentangan dengan High Court dan cabangnya, maka yang diunggulkan adalah keputusan Federal Shariat Court, hal ini tertera dalam Constitution Pakistan article 203-GG yang berbunyi:

“any decision of the Court in the exercise of its jurisdiction under this Chapter shall be binding on a High Court and on all courts subordinate to a High Court”

“segala keputusan pengadilan (Federal Shariah Court) dalam menjalankan yurisdiksinya di bawah pasal ini, harus mengikat ketetapan High Court dan semua pengadilan di bawahnya.

                Kesimpulnya adalah, bahwa Undang-undang pernikahan di Pakistan dalam hal perwalian, memberikan kebebasan kepada wanita yang telah dewasa untuk menikah, baik dengan izin wali ataupun tanpa izinnya. Hal ini tentu mengadopsi dari pendapat madhzab Hanafi yang sangat kuat diikuti oleh muslim di negara ini, yang mana imam Abu Hanifah menganggap nikah dengan izin wali bagi wanita dewasa, berakal, baligh, dan mumayiz, hanyalah sebatas mustahab. Namun tetap bagi mereka, izin wali sangat diutamakan.

Bagaimana dengan di Indonesia? Tentu faham madzhab ini tidak berlaku, selain karena kita lebih mengikuti pendapat jumhur ulama dengan dalil-dali tersebut, nikah di KUA tanpa walipun tidak akan sah secara yuridis.

Wallahu a’lam bishhowab

[1] Iwad Al Jaziry. Al Fiqhu ‘ala-l-madzahib al-arba’ah. 4/46

[2] Imam An-nawawi. Al Majmu Syarhu-l-Muhadzab. 16/149

[3] Abu Bakar Ar-Rozy Al Jashos Al Hanafi. Ahkamu-l-Qur’an. 2/100

[4] Al-Fiqhu ‘ala-l-madzahib al-arba’ah. 4/46

[5] Ibid.

[6] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-kuwaitiyyah. 14/192

[7] Ibnu-l-Humam. Fathul Qadir. 3/255

[8] Imam Sarakhsi. Al-Mabsut. 5/10

[9]Muslim Marriage Act, 1957 adalah Undang-undang pernikahan muslim yang berlaku di Pakistan.

Baca Lainnya :

more...


Page 2

Pendapat Jumhur ulama tentang Wali nikah adalah bahwa akad nikah

Hanif Luthfi, Lc., MA

69 judul

Ibnu Taimiyyah Memotong Pernyataan Syeikh Abdul Qadir al-Jilani tentang Makna Istiwa, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 1 November 2021 - 19:51 | 3.094 views
Antara Albani dan Ibnu Qayyim Tentang Ziarah Kubur Hari Jumat
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 1 October 2021 - 07:00 | 3.452 views
Membaca Biaografi Ulama Menurunkan Rahmat, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 1 September 2021 - 07:20 | 1.701 views
Bahaya Takhbib
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 8 September 2020 - 11:05 | 8.009 views
Ayah Mertua Menikahi Ibu Kandung Menantu, Bolehkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 9 August 2020 - 11:56 | 12.072 views
Puasa Ayyam al-Bidh Khusus Bulan Dzulhijjah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 2 August 2020 - 07:43 | 3.687 views
7 Amalan Pahalanya Setara Ibadah Haji dan Umrah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 17 July 2020 - 19:29 | 10.052 views
Jika Hibah kepada Anak maka Berlakulah Adil
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 6 July 2020 - 12:00 | 5.203 views
Berjamaah di Rumah, Samakah Fadhilahnya?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 5 April 2020 - 09:09 | 8.037 views
MIL U atau MIL A?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 20 February 2020 - 02:02 | 7.813 views
Menikahi Wanita Ahli Kitab, Halalkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 8 December 2019 - 05:05 | 19.266 views
Mencium Tangan Kyai, Sunnah Siapa?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 28 November 2019 - 05:05 | 9.957 views
Kuburiyyun dan Anti Kuburan
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 18 November 2019 - 05:05 | 8.686 views
Menomori Hadits Bukan Tradisi Ulama Salaf
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 8 November 2019 - 05:05 | 3.174 views
Taklid Bagi Orang Awam
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 28 October 2019 - 05:05 | 10.131 views
Menuduh Kyai Ibnu Taimiyyah Klenik
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 18 October 2019 - 09:17 | 5.548 views
Ilmu Cocokologi al-Qur’an
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 8 May 2019 - 08:56 | 4.909 views
Kuis Bidah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 1 December 2016 - 09:58 | 9.432 views
Memahami Persoalan itu Setengah dari Jawaban
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 18 September 2016 - 16:17 | 9.299 views
As-Shalatu Jamiatun atau as-Shalata Jamiatan, Mana Yang Benar?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 8 March 2016 - 11:31 | 28.506 views
Ziarah Kubur Nabi itu Haram Menurut Madzhab Hanbali, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 8 November 2015 - 20:20 | 11.663 views
Siapakah yang Disebut Anak Yatim?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 22 October 2015 - 17:26 | 48.527 views
Susahnya Mengamalkan Hukum Waris Islam di Indonesia
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 15 October 2015 - 13:54 | 10.176 views
Bertanyalah Dalil Kirim Pahala al-Fatihah Kepada Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)!
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 3 September 2015 - 12:01 | 55.689 views
Wiridan dan Hizib Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H)
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 14 August 2015 - 10:00 | 48.372 views
Kekurangtepatan Terhadap Pemahaman Pernyataan Ulama Terkait Harus 11 Rakaat
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 25 June 2015 - 11:00 | 10.351 views
Dalil-Dalil yang Dipakai Dalam Membid'ahkan Tarawih Lebih 11 Rakaat
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 24 June 2015 - 11:00 | 16.892 views
Apakah Benar Bahwa Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Rakaat Adalah Bid'ah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 23 June 2015 - 11:00 | 10.564 views
Proses Pensyariatan Puasa Ramadhan
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 2 June 2015 - 12:41 | 11.777 views
Apakah Ada Hadits Dhaif dalam Musnad Ahmad?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 13 May 2015 - 17:00 | 29.644 views
Apa Saja Kitab Fiqih Madzhab Ahli Hadits?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 21 April 2015 - 21:03 | 16.011 views
Madzhab Fiqih Ahli Hadits
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 21 April 2015 - 13:36 | 17.990 views
Shalat Jum'at Tidak Ditempat yang Biasa Disebut Masjid, Bolehkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 9 April 2015 - 21:21 | 24.524 views
Bolehkah Bagi Musafir, Shalat Jum'at Dijama' Dengan Shalat Ashar?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 27 March 2015 - 11:02 | 21.685 views
Hadits Nabi Bisa Jadi Menyesatkan
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 13 March 2015 - 11:11 | 20.548 views
Benarkah Ishaq bin Rahawaih Meletakkan Tangan Diatas Dada Saat Shalat?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 6 February 2015 - 20:54 | 10.468 views
Letak Bersedekap Ketika Shalat: Sebab Perbedaan dan Dalilnya
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 5 February 2015 - 20:21 | 21.441 views
Meletakkan Tangan Diatas Dada Bukan Pendapat Ulama Madzhab Empat
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 4 February 2015 - 19:31 | 34.595 views
Sudah Belajar Ushul Fiqih Tetapi Masih Taqlid
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 14 January 2015 - 06:46 | 13.132 views
Kenapa Imam At-Thabari Didzalimi? (bag. 2)
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 30 November 2014 - 12:00 | 12.233 views
Imam At-Thabari Yang Terdzalimi
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 29 November 2014 - 12:00 | 15.931 views
Beasiswa Abu Hanifah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 27 August 2014 - 15:49 | 8.709 views
Kiat-kiat Shalat di Kereta Api
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 17 July 2014 - 08:18 | 13.651 views
Bener tapi Kurang Pener
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 6 July 2014 - 21:32 | 10.946 views
Hari yang Meragukan
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 29 June 2014 - 00:57 | 8.912 views
Ka Yauma atau Ka Yaumi?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 10 May 2014 - 00:00 | 10.746 views
Ulama Dikenal Karena Tulisannya
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 7 May 2014 - 11:05 | 9.844 views
Why: Siapa untuk Bertanya Kenapa
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 30 April 2014 - 12:20 | 11.212 views
Sujud Dengan Tangan atau Lutut: Khilafiyyah Abadi
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 5 April 2014 - 18:00 | 13.868 views
Jika Dhaif Suatu Hadits
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 2 April 2014 - 22:32 | 14.203 views
Model Penulisan Kitab Hadits
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 24 March 2014 - 13:41 | 10.380 views
Kartubi : Lahir Hidup dan Wafat di Jawa
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 12 March 2014 - 06:55 | 10.161 views
Khilafiyah Dalam Menshahihkan dan Mendhaifkan Hadits: Sebuah Keniscayaan (bag. 2)
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 27 February 2014 - 06:00 | 11.096 views
Khilafiyah Dalam Menshahihkan dan Mendhaifkan Hadits: Sebuah Keniscayaan
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 26 February 2014 - 12:00 | 14.240 views
Sejarah Perjalanan Ilmu Hadits (bag. 2)
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 19 February 2014 - 01:01 | 12.042 views
Sejarah Perjalanan Ilmu Hadits (bag.1)
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 18 February 2014 - 15:00 | 7.985 views
Ustadz Jadi Apa?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 28 January 2014 - 07:28 | 12.250 views
Menyadarkan Muqallid
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 25 January 2014 - 12:23 | 10.077 views
Qunut Shubuh : Al-Albani VS Ibnul Qayyim
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 23 January 2014 - 05:45 | 15.762 views
Serupa Tapi Tak Sama: Nama-Nama Ulama bag. 2
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 18 October 2013 - 14:38 | 9.515 views
Serupa Tapi Tak Sama: Nama-Nama Ulama bag. 1
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 18 October 2013 - 11:37 | 14.511 views
As-Syathibi: Pakar Bid'ah yang Dituduh Ahli Bid'ah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 17 August 2013 - 07:32 | 25.361 views
Mata Kaki Harus Menempel?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 10 August 2013 - 15:35 | 33.317 views
Tantangan Qawaid Fiqhiyyah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 21 June 2013 - 03:03 | 27.376 views
Puber Religi?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 18 May 2013 - 20:02 | 10.745 views
Shubuh Wajib Berhenti
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 24 April 2013 - 00:45 | 10.495 views
Menghukumi atau Menghakimi: Corak Fiqih Baru?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 17 April 2013 - 15:12 | 12.197 views
With Us Or Against Us : Corak Fiqih Baru?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 1 April 2013 - 07:04 | 9.128 views
Antara Kitab Fiqih Sunnah dan Shahih Fiqih Sunnah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 14 February 2013 - 16:45 | 37.009 views