Pemberian wajib dari seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya disebut dengan

Pemberian wajib dari seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya disebut dengan

Diunggah tanggal 03-02-2021 13:59:47

Pemberian wajib dari seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya disebut dengan

Di awal tahun ini, jagat media sosial kembali dihebohkan pasangan pengantin yang menikah dengan mahar kontroversi. Kali ini oleh Sigit Agus Setiawan dan Tiara Puspita Dewi yang menjadikan ular sanca sabagai mahar pernikahan mereka, di Bogor pertengahan bulan lalu. Sontak saja, hal  yang tidak lazim ini menuai pro kontra dan menambah panjang daftar mahar kontroversi sepanjang tahun 2020. Hal ini seakan menegaskan telah terjadi pergeseran makna mahar dari sebuah pemberian ikhlas dan penghormatan dari suami kepada istri, menjadi bahan lelucon menebar sensasi. Bagaimana sesungguhnya aturan tentang mahar pernikahan.                                  

Sensasi

Tahun lalu, ada Irmandi yang menikahi Arni Sumarni di Bekasi (22/6) dengan mahar Rp.500,- dan Firman Wahyudi yang menikahi Mei Susanti di Lombok, (3/7) dengan mahar sepasang sandal jepit.

Lain lagi dengan Iwan Setyawan di Ambon (4/11) yang  memberi mahar berupa  janji untuk tidak lagi minum (minuman keras) saat menikahi Fatmawati dan Rizki Muhammad di Bekasi menikahi Indri, (12/12) dengan sepasang ikan Cupang.

Di bulan September  2017, Yogyakarta dihebohkan pernikahan dengan mahar pembacaan teks Pancasila oleh Sudiyo untuk istrinya Warsini Haryati. Sedang   pada tahun 2016 kehebohan terjadi ketika Warsiti hanya meminta segelas kopi yang diracik sendiri calon suaminya dihadapan penghulu sebagai maharnya. Selang beberapa minggu setelah itu  di Aceh Singkil, seorang gadis bernama Rohana  hanya meminta segelas air putih sebagai mahar pernikahan.

Agaknya, semakin unik semakin murah dan  semaki heboh suatu mahar, semakin diminati karena akan  mendapat perhatian luas. Trend penggunaan mahar yang tidak lazim ini, berdasar penelusuran media, hanya terjadi sejak ramainya penggunaan hp android yang memungkinkan suatu peristiwa tersebar (viral) dengan sangat cepat.

Fenomena inilah yang membuat banyak pasangan milenial  memberikan mahar yang aneh, sama seperti nekatnya youtobers menantang bermacam risiko sekadar untuk mendapatkan momen video atau foto yang unik agar viwernya semakin banyak.

Pakar media sosial sekaligus pendiri Drone Emprit, Fahmi Ismail menyebut fenomena ini didorong  motif  mendapatkan perhatian. (Kompas, 27/12/2020). “Perhatian”, kata Fahmi, kini  menjadi  komoditi yang dicari dan laris diperjualbelikan di medsos. Hal itulah yang mendorong penggunanya melakukan hal-hal yang sensasional, tidak masuk akal dan penuh risiko.

Pemberian mahar yang tidak lazim, hanya untuk mendapatkan perhatian. Artinya, telah terjadi pergeseran makna mahar di kalangan calon pengantin ; dari pemberian penuh keikhlasan untuk memuliakan wanita yang dinikahi, menjadi bahan candaan untuk popolaritas dan kesenangan mendapatkan perhatian.

Esensi

Mahar atau maskawin adalah  harta yang wajib diberikan  suami kepada istri dengan sebab akad nikah, hukumnya wajib, (Musthafa al Bugha,  Alfiqh al Manhaj ‘ala Madzhab al Imam al Sfafi’i juz IV halaman 75). Walaupun suami istri sepakat meniadakan mahar, maka kesepakatan itu batal dan mahar  tetap wajib diberikan. Firman Allah ; “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan.” (QS. An Nisa :4). Syekh Muhammad Bin Qasim dalam Fathul Qarib halaman 234, menyatakan hukum menyebut mahar dalam akad nikah adalah sunnat.

Tujuan pemberian mahar tidak lain sebagai bentuk kesungguhan (shidq) suami dalam menikahi istrinya. Mahar adalah wujud penghormatan terhadap istri dan bukti betapa Islam sangat memuliakan wanita dengan memberinya hak memiliki harta.

Mahar yang sudah disepakati jenis dan jumlahnya serta disebut dalam ijab qabul adalah mahar musamma, sedang  yang belum disepakati atau tidak diucapkan dalam ijab qabul disebut mahar mitsil. Mahar boleh dibayar tunai atau berhutang. Namun bila istri  sudah dicampuri, suami wajib segera membayar maharnya. Firman Allah ; (“Istri-istri yang kamu camputi diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban” .QS. An Nisa : 24).                                                                            

Ragam

Syikh Muhammad Bin Qasim berpendapat, apapun dapat dijadikan mahar asalkan halal ditransaksikan (secara jual beli atau sewa menyewa), baik berupa uang, barang ataupun jasa dan tidak ada pembatasan jumlah. Hanya, disunatkan antara 10 sampai 500 dirham sebagai standar layak (Fathul Qarib,235). Bila dirupiahkan dengan kurs saat ini berkisar antara Rp39.000,- hingga  Rp19,5 juta. Kurang dari 10 dirham dianggap terlalu murah dan  bila lebih dari 500 dirham dinilai menunjukkan kearoganan.

Penggunaan  jasa sebagai mahar, dalam kitab Albayan fi Mazhab al-Imam asy-Syafi’i hal. 374 s.d 376 dinyatakan sah. Ditegaskan, apa saja yang dapat ditransaksikan secara sewa menyewa seperti tenaga binatang, sewa tanah, tempat tinggal, jasa  menjahit pakaian, membangunkan rumah, mengajari membaca al-qur’an  dan yang semisalnya, sah dijadikan mahar.

Kalangan Mazhab  Malik dan Hambali pada umumnya berpendapat sama dengan Imam Syafi’i, menganggap sah jasa sebagai mahar, tetapi keduaya menghukumi  makruh, sedang Abu Hanifah menghukumi tidak sah.

Iman Syafi’i berdalil pada Surah al-Qashas ayat 27 : “Dan Syu`aib berkata ;  sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun”. Juga Baginda Rasulullah SAW pernah mengawinkan perempuan dengan laki-laki yang  meminangnya dengan apa yang ada padanya dari Al-Qur’an. Maksudnya : untuk mengajari (istrinya) al-Qur’an. Namun menjadikan kitab al-Qur’an sebagai mahar, para ulama sepakat melarangnya.

Berdasar kedua dalil tersebut, maka setiap manfa’at dari (jasa) yang boleh menerima  bayaran  dengan sebab sewa-menyewa, boleh dijadikan mahar pernikahan.

Adapun janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, tidak bisa dijadikan mahar.   Janji disamakan dengan akad nikah yang tidak menyebutkan mahar atau tidak bermahar. Akad nikahnya sah, tetapi suami wajib membayar mahar mitsil. Yaitu, mahar yang standar jenis dan jumlahnya mengikuti apa yang pernah diterima saudaranya/ keluarganya dengan mempertimbangkan status sosial, pendidikan, kecantikan,  umur, kecakapan dan juga apakah ia perawan atau janda.

Mahar berupa binatang atau benda yang haram seperti minuman keras, anjing, babi, kotoran, sesuatu yang tidak diketahui, sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang belum dimiliki, dan manfa’at-manfa’at yang tidak dapat ditransaksikan dengan sewa menyewa, menurut  Syekh Yusuf Al-Ardabily dalam Kitab Al-Anwar li A’maalil Abrar hal 435, tidak sah, karena sesungguhnya mahar adalah  ‘iwadh (pengganti) dalam sebuah transaksi seperti jual beli dan ijarah (sewa).

Tentu juga tidak sah menjadilan mahar barang yang bukan milik sendiri  atau sesuatu yang tidak bernilai dan tidak bisa diperjualbelikan seperti sebutir gandung atau kuda yang belum pernah dilihat seperti apa keadaanya. Jika tetap dijadikan mahar,   suami wajib membayar mahar mitsil.

Secara umum apakah ular tergolong binatang haram dan buas walaupun terlihat jinak?. Dalam hal ini Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya memasukkan ular dalam salah satu dari lima jenis binatang yang boleh dibunuh walaupun di Tanah Haram (Burung gagak, elang, kalajengking, tikus, anjing yang suka menggigit dan ular) dalam riwayat lainnya : binatang buas pada umumnya.”

Agar penggunaan mahar yang aneh tidak semakin meluas,  penghulu harus lebih sering memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang apa yang layak dan tidak layak dijadikan mahar. Gejala pemberian mahar yang bermotif sensasi tentu sudah terdeteksi pada saat calon pengantin mendaftarkan kehendak nikahnya. 

Memang, penggunaan mahar yang tidak lazim tidaklah sampai mengakibatkan pernikahan tidak sah. Paling berat, maharnya  dihukumkan haram. Suami sebagai  pemberi mahar tidak mendapat pahala malah berdosa dan wajib memberikan mahar mitsil, yang nilainya justeru lebih besar.

Di lingkungan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur, pemberian mahar yang aneh-aneh belum terdengar, minimal tidak meluas. Kehati-hatian masyarakat dan antisipasi petugas KUA mampu meredam.  Sebut saja misalnya penggunaan mahar uang yang dimasukkan ke dalam figura yang saat ini sedang trend dinilai belum memenuhi syarat sebagai mahar karena uang yang dijadikan mahar sudah kehilangan fungsi sebagai alat tukar dan untuk mengambil isinya dengan membongkar, juga tidak mugkin mengingat harga figura jauh lebih mahal. Solusinya, mempelai pria diminta  memberikan uang dalam jumlah yang sama secara cash. Mahar yang di dalam figura, dianggap duplikat mahar sebagai kenang-kenangan perkawinan saja.

Penting sekali menyadarkan calon pengantin tentang hakekat pernikahan sebagai sesuatu yang sakral, yang seharusnya diniatkan untuk membangun rumah tangga yang bahagia dan kekal serta diridhai Allah. Mahar sebagai pemberian wajib seorang suami dengan penuh keikhlasan dan untuk memuliakan istri, jangan malah dijadikan candaan. Itu keterlaluan.  Na’uzubilahi min zalik.

sumber foto : https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2019/01/01/aadfa7ea-640f-4296-a18a-58a0f42de04c_169.jpeg?w=700&q=90

Penulis : Saubari (Kepala KUA Kertak Hanyar)
Editor / Redaktur : rajudin