Partai yang menginginkan timor timur merdeka dan berdaulat sepenuhnya adalah

Penentuan pendapat di Timor Timur, 30 Agustus 1999, menghasilkan opsi Timor Timur merdeka. Menyusul opsi ini di Timor Timur terjadi kerusuhan hebat.

KOMPAS.com - 44 tahun yang lalu, 28 November 1975, Timor Leste mendeklarasikan kemerdekaannya atas Portugal.

Melansir dari laman The Center for Justice and Accountability, kekosongan kekuasaan setelah penarikan pasukan Portugal kemudian banyak diisi oleh partai pro kemerdekaan dari akar rumput, yaitu Fretilin (Front Revolusioner untuk Timor Leste Merdeka).

Iklan – Artikel dilanjutkan di bawah

Mereka mengambil peran semi-pemerintah dalam waktu-waktu ini.

Tindakan ini pun mendapat reaksi keras dari partai-partai lainnya. Sebab, setiap partai memiliki misinya masing-masing.

Pada mulanya terbentuk tiga partai utama di Timor Timur yaitu, Partai Fretilin, Uni Demokrat Timur (UDT) dan Associacao Popular Democratica Timorense (APODETI).

Iklan – Artikel dilanjutkan di bawah

Fretilin menginginkan Timor Timur untuk merdeka dan berdaulat sepenuhnya. Sedangkan UDT menginginkan kemerdekaan secara bertahap. Di sisi lain, APODETI justru ingin agar Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia.

Fretelin pun akhirnya melawan UDT. Perlawanan ini banyak menimbulkan korban, termasuk yang berasal dari rakyat sipil.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: 19 Orang Meninggal dalam Insiden Santa Cruz, Timor Leste

Iklan – Artikel dilanjutkan di bawah

Dalam perkembangannya, UDT dan APODETI kemudian meminta bantuan Indonesia untuk meredam situasi yang terjadi.

Akhirnya, pada 7 Desember 1975, Indonesia mengirimkan pasukan militernya ke Timor Timur.

Namun, bukannya meredakan ketegangan yang ada, masuknya militer tersebut justru semakin memperkeruh konflik yang tengah terjadi. Korban-korban dari kedua belah pihak pun terus berjatuhan.

New York Agreement

Setelah upaya-upaya yang dilakukan untuk meredakan konflik tidak kunjung berhasil, Indonesia kemudian membawa masalah konflik Timor Timur ke PBB setelah melakukan perundingan dengan Portugal.

Melansir dari buku Midwifing a New State: The United Nations in East Timor karya Markus Benzing, pada 5 Mei 1999, dicapai kesepakatan antara Indonesia dan Portugal untuk membuat perjanjian referendum di Timtim.

Perjanjian tersebut dikenal sebagai New York Agreement.

PBB juga membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) untuk mengawal kesepakatan Indonesia dan Portugal dalam prosesnya menuju referendum Timtim.

Setelah membentuk UNAMET pada 11 Juni Juni 1999, Dewan Keamanan PBB juga menetapkan resolusi 1246, yaitu kesepakatan antara Indonesia, Portugal, dan PBB untuk menggelar referendum.

Dengan resolusi tersebut, PBB pun membentuk misi UNAMET untuk mengawal referendum yang akan segera digelar.

Baca juga: Wisatawan Timor Leste Antusias Ikut Festival Wonderful Indonesia

Referendum

Referendum kemudian dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 dan dilaksanakan dengan dua pilihan, yaitu menerima otonomi khusus untuk Timtim dalam NKRI atau menolak otonomi khusus.

Untuk kepentingan pemungutan suara, UNAMET menyediakan 850 lokasi tempat pemungutan suara.

Dikutip dari buku Self Determination in East Timor oleh Ian Martin, hasil referendum menunjukkan bahwa sebanyak 94.388 penduduk atau sebesar 21,5 persen penduduk memilih tawaran otonomi khusus.

Sementara, 344.580 penduduk atau 78,5 persen dari total penduduk Timtim memilih untuk menolaknya.

Kemudian, bendera merah putih pun secara resmi tidak lagi berkibar di Timor Timur pada Oktober 1999 menyusul pengembalian kedaulatan Timtim atas Indonesia kepada PBB.

Upacara penurunan bendera Merah Putih di Dilli menjadi pertanda lahirnya negara baru yang kemudian dikenal dengan nama Timor Leste.

Penulis: Vina Fadhrotul MukaromahEditor: Resa Eka Ayu Sartika

Ceknricek.com -- Hari ini 44 tahun yang lalu, tepatnya pada 28 November 1975, Timor Leste mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai negara berdaulat dari Portugis (Portugal). Deklarasi ini dibacakan setelah Revolusi Anyelir di Portugal dimenangkan oleh kelompok sosialis pada 1974 yang mengakibatkan negeri jajahan mereka, salah satunya Timor Timur menjadi daerah tak bertuan.

Pada 1974, rezim fasis (sayap kanan) pimpinan Marcelo Caetano di Portugal yang sudah berkuasa sejak 1920-an berhasil digulingkan oleh kelompok militer berhaluan kiri (sosialis) pimpinan Jenderal Spinola dalam Revolusi Anyelir. Sesudah kudeta berlangsung, konstitusi yang memenangkan kudeta tersebut mengharuskan wilayah jajahan Portugis yang sebelumnya berstatus provinsi di luar negeri untuk dilepaskan serta bebas menentukan nasibnya sendiri. 

Negeri jajahan Portugal, Timor Leste yang mendengar kabar ini pun sontak mengambil alih peran semi pemerintah setelah mereka dijajah Portugis sejak abad ke-16. Namun tindakan ini juga mengundang reaksi keras dari partai-partai lain di sana.

Dalam keadaan persiapan kemerdekaan di Timor Timur pada waktu itu, muncul partai-partai baru yang memiliki misi masing-masing. Tercatat seperti Partai Front Revolusioner Independen Timor Timur (Fretilin), Partai Uni Demokrat Timur (UDT), dan Demokrat Asosiasi Timor (Apodeti).

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Lebanon Merdeka dari Prancis

Fretilin menginginkan Timor Timur untuk merdeka dan berdaulat sepenuhnya. UDT menginginkan kemerdekaan secara bertahap, sedangkan Apodeti memiliki tujuan untuk berintegrasi dengan Indonesia. 

Konflik internal ini kemudian menyebar di kalangan akar rumput sehingga menyebabkan pertumpahan darah terjadi di Timor timur. Singkat cerita, UDT dan Apodeti kemudian meminta bantuan kepada Indonesia untuk meredam situasi tersebut.

Indonesia kemudian mengirim pasukan militernya pada 1975 dalam Operasi Seroja pada 7 Desember 1975. Namun yang terjadi mereka bukannya meredakan ketegangan, masuknya militer rombongan Benny Moerdani dan Prabowo Subianto ke Timor Timur malah memperkeruh keadaan.

New York Agreement

Pasca Operasi Seroja, pasukan Fretilin mengalami kekalahan. Satu tahun kemudian pada 17 Juli 1976, Presiden Soeharto memperkenalkan provinsi ke-27 mereka yang baru, yakni wilayah Timor Timur.

Lewat doktrin-doktrinnya, Orde Baru menyatakan bahwa Timor Timur adalah anak yang hilang dan telah kembali ke pangkuan pertiwi. Orde Baru juga menyatakan bahwa para nasionalis Timor Timur adalah pemberontak dan separatis yang harus ditumpas.

Partai yang menginginkan timor timur merdeka dan berdaulat sepenuhnya adalah
Foto: Istimewa

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Referendum Timor Leste

Tahun 1998, Orde baru lengser. Keadaan ini membawa angin segar bagi Timor Timur. Markus Benzing, dalam bukunya, Midwifing a New State: The United Nations in East Timor menulis, pada 5 Mei 1999, dicapai kesepakatan antara Indonesia dan Portugal untuk membuat perjanjian referendum bagi wilayah itu. 

Perjanjian tersebut dikenal sebagai New York Agreement. Tidak hanya itu, PBB juga membentuk United Nations Mission in East Timor (UNAMET) untuk mengawal kesepakatan Indonesia dan Portugal dalam prosesnya menuju referendum Timtim.

Setelah membentuk UNAMET pada 11 Juni 1999, Dewan Keamanan PBB pun menetapkan resolusi 1246, yaitu kesepakatan antara Indonesia, Portugal, dan PBB untuk menggelar referendum. Lewat UNAMET, dewan internasional akan mengawal proses pemungutan suara di Timor Timur.

Pemungutan Suara

Penduduk Timor Timur kemudian diajukan dua pertanyaan dalam referendum pada 30 Agustus 1999.  Keduanya ialah apakah akan menerima otonomi khusus untuk Timor Timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau menolak otonomi khusus yang diusulkan hingga menyebabkan pemisahan Timor Timur dari Indonesia.

Partai yang menginginkan timor timur merdeka dan berdaulat sepenuhnya adalah
Foto: Istimewa

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: India Merdeka Dari Inggris

Ratusan ribu orang kemudian berbondong-bondong untuk mengikuti proses referendum, di mana UNAMET menyediakan 200 lokasi yang tersebar di beberapa tempat di sana. Lima hari kemudian, dikutip dari buku Self Determination in East Timor karya Ian Martin, hasil referendum menunjukkan sebanyak 94.388 penduduk atau sebesar 21,5 persen penduduk memilih tawaran otonomi khusus. 

Sementara itu, 344.580 penduduk, atau 78,5 persen dari total penduduk di Timor Timur memilih untuk menolaknya alias memisahkan diri dari Indonesia. Dari sinilah kemudian secara resmi bendera merah putih tidak lagi berkibar di Timor Leste setelah resmi menjadi negara berdaulat pada 20 Mei 2002, dengan presiden pertama mereka Xanana Gusmao.

BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Thomas Rizal

Partai yang menginginkan timor timur merdeka dan berdaulat sepenuhnya adalah

Perbesar

Presiden RI ke-3 BJ Habibie saat melakukan silaturahmi dengan sejumlah tokoh bangsa dan tokoh gerakan suluh kebangsaan di kediamannya, Jakarta, Rabu (1/5/2019). Silaturahmi membahas kemajuan dan arah masa depan bangsa Indonesia. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Setelah pidato kenegaraan di gedung DPR/MPR, 15 Agustus 1998, Presiden BJ Habibie membicarakan masalah Timor Timur dengan tokoh masyarakat Katolik setempat, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo. Dalam pertemuan itu dibahas terkait tuntutan penarikan pasukan dari wilayah Timtim dan adanya sekelompok pemuda dan mahasiswa yang meneriakkan referendum dan pemisahan dari Indonesia.

Alhasil, Habibie memutuskan rencana untuk memberikan otonomi luas berstatus khusus. Timtim diberi kewewenangan luas di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Sementara dalam urusan politik luar negeri, keamanan eksternal, moneter dan fiskal masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat di Jakarta.

Dalam buku Mr Crack dari Parepare karya A Makmur Makka disebutkan, saat usulan itu dibicarakan antara Indonesia, PBB, dan Portugal, digelar juga sidang Kabinet Paripurna Bidang Polkam untuk membahas alternatif lain jika usulan itu ditolak dan mereka memilih memisahkan diri dari pangkuan ibu pertiwi.

Akhirnya untuk membahas persoalan ini, Indonesia, Portugal, dan PBB, kembali menggelar pertemuan di markas PBB New York, 16 Februari 1999. Ketiga pihak akhirnya sepakat menyerahkan persoalan ini kepada rakyat Timtim. Kemudian pada 12 Maret 1999, disepakati juga adanya jejak pendapat atas sponsor PBB untuk mengetahui keinginan rakyat Timtim. Kesepatan ini diumumkan oleh Kofi Annan, yang kala itu menjabat Sekjen PBB.

Langkah itu mendapat apresiasi Presiden Habibie dengan beberapa pertimbangan.

"Kalau kita menentukan caranya, ributlah. Karena itu, silakan. Boleh berbicara dengan diri sendiri, boleh bicara dengan bekas penjajah. Boleh dengan PBB. Mau bicara Australia silakan, tetapi tentukan sebelum pemilu," ujar Habibie kala itu di Istana Merdeka, Jakarta.

Bahkan Habibie mengaku bersyukur jika rakyat Timtim memilih untuk berpisah. Dengan begitu, masalah ini diharapkan dapat selesai dengan tuntas tanpa dipersoalkan lagi oleh dunia luar. "Biar kita tidak dihina," ujarnya.

Dalam jejak pendapat yang berlangsung pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur diberikan dua pertanyaan. Pertama, apakah menerima otonomi khusus untuk Timor Timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atau apakah menolak otonomi khusus yang diusulkan untuk Timor Timur, yang menyebabkan pemisahan Timor Timur dari Indonesia.

Rakyat Timor Timur memilih opsi kedua. Dukungan itu disuarakan oleh 344.580 atau 78,50 persen dari total 438,968 suara. Sedangkan sisanya sebanyak 94.388 suara atau 21,50 persen memilih opsi pertama.

Kemudian pada 26 Oktober 1999, Presiden RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menggantikan Habibie, menandatangani surat keputusan pembentukan UNTAET atau pemerintahan transisi di Timor Timur. Selanjutnya pada 30 Oktober 1999, Bendera Merah Putih diturunkan dari Timor Timur dalam upacara yang sangat sederhana.

Dan pada 20 Mei 2002, provinsi ke-27 Indonesia itu akhirnya lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi dan memperoleh status resminya sebagai negara anggota PBB.

Semenjak hari kemerdekaan itu, pemerintah Timor Timur memutuskan segala hubungan dengan Indonesia antara lain dengan mengadopsi Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai "balas budi" atas campur tangan Australia menjelang dan pada saat jejak pendapat.

Selain itu, juga diubah nama resminya dari Timor Timur menjadi Republica Democratica de Timor Leste dan mengadopsi mata uang dolar AS sebagai mata uang resminya.