Pandangan orang yang beriman kepada Allah SWT terhadap kehidupan dunia adalah

Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul[1], sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi umat manusia sepanjang masa, yang menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi. Agama Islam, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang diturunkan Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbul) berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ajaran Islam bersifat menyeluruh yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan meliputi bidang-bidang aqidah, akhlaq, ibadah, dan mu’amalah duniawiyah.

Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah[2], Agama semua Nabi-nabi[3], Agama yang sesuai dengan fitrah manusia[4], Agama yang menjadi petunjuk bagi manusia[5], Agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama[6], Agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam[7]. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah[8] dan agama yang sempurna[9].

Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup Tauhid kepada Allah[10], fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah[11], dan menjalankan kekhalifahan[12], dan bertujuan untuk meraih Ridha serta Karunia Allah SWT[13]. Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benar-benar diimani, difahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah[14] dan penuh ketundukan atau penyerahan diri[15]. Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama: a. Kepribadian Muslim[16], b. Kepribadian Mu’min[17], c. Kepribadian Muhsin dalam arti berakhlak mulia[18], dan d. Kepribadian Muttaqin[19].

Setiap muslim yang berjiwa mu’min, muhsin, dan muttaqin, yang paripuma itu dituntut untuk memiliki keyakinan (aqidah) berdasarkan tauhid yang istiqamah dan bersih dari syirk, bid’ah, dan khurafat; memiliki cara berpikir (bayani), (burhani), dan (irfani); dan perilaku serta tindakan yang senantiasa dilandasi oleh dan mencerminkan akhlaq al karimah yang menjadi rahmatan li-`alamin.

Dalam kehidupan di dunia ini menuju kehidupan di akhirat nanti pada hakikatnya Islam yang serba utama itu benar-benar dapat dirasakan, diamati, ditunjukkan, dibuktikan, dan membuahkan rahmat bagi semesta alam sebagai sebuah manhaj kehidupan (sistem kehidupan) apabila sungguh-­sungguh secara nyata diamalkan oleh para pemeluknya. Dengan demikian Islam menjadi sistem keyakinan, sistem pemikiran, dan sistem tindakan yang menyatu dalam diri setiap muslim dan kaum muslimin sebagaimana menjadi pesan utama risalah da’wah Islam.

Da’wah Islam sebagai wujud menyeru dan membawa umat manusia ke jalan Allah[20] pada dasarnya harus dimulai dari orang­-orang Islam sebagai pelaku da’wah itu sendiri (ibda binafsika) sebelum berda’wah kepada orang/pihak lain sesuai dengan seruan Allah: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka….”[21]. Upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan dilakukan melalui da’wah itu ialah mengajak kepada kebaikan (amar ma’ruf), mencegah kemunkaran (nahyu munkar), dan mengajak untuk beriman (tu’minuna billah) guna terwujudnya umat yang sebaik-baiknya atau khairu ummah[22]

Berdasarkan pada keyakinan, pemahaman, dan penghayatan Islam yang mendalam dan menyeluruh itu maka bagi segenap warga Muhammadiyah merupakan suatu kewajiban yang mutlak untuk melaksanakan dan mengamalkan Islam dalam seluruh kehidupan dengan jalan mempraktikkan kehidupan Islami dalam lingkungan sendiri sebelum menda’wahkan Islam kepada pihak lain. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam maupun warga Muhammadiyah sebagai muslim benar-benar dituntut keteladanannya dalam mengamalkan Islam di berbagai lingkup kehidupan, sehingga Muhammadiyah secara kelembagaan dan orang-orang Muhammadiyah secara perorangan dan kolektif sebagai pelaku da’wah menjadi rahmatan lil `alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.

[1] Q.S. Asy­-Syura/42: 13

[2] Q.S. An-Nisa/4 : 125

[3] Q.S. Al-Baqarah/2: 136

[4] Q.S. Ar-Rum/30: 30

[5] Q.S. Al-Baqarah/2: 185

[6] Q.S. Ali Imran/3: 112

[7] Q.S. Al-­Anbiya/21: 107

[8] Q.S. Ali Imran/3: 19

[9] Q.S. Al-Maidah/5: 3

[10] Q.S. Al-Ikhlash/112: 1-4

[11] Q. S. Adz-Dzariyat/51: 56

[12] Q.S. Al-Baqarah/2: 30; Al-An’am/6: 165; Al­`Araf/7: 69, 74; Yunus/10: 14, 73; As-Shad/38: 26

[13] Q.S. Al-Fath/48: 29

[14] Q.S. Al-Baqarah/2: 208

[15] Q.S. Al-An’am/6: 161-163

[16] Q.S. Al-Baqarah/2: 112, 133, 136, 256; Ali Imran/3 : 19, 52, 82, 85; An-Nisa/4: 125, 165, 170; Al-Maidah/5: 111, Al-An’am/6: 163; Al-Araf/7: 126; At-Taubah/9: 33; Yunus/10: 72, 84, 90; Hud/11: 14; Yusuf/12: 101; An-Nahl/16: 89, 102; Asy-Syuura/42: 13; Ash-Shaf/61: 9; Al-Mu’minun/23: 1-11

[17] Q.S. Al-Baqarah/2: 2-4, 213 s/d 214, 165, 285; Ali Imran/3: 122 s/d 139; An-Nisa/4: 76; At-Taubah/9: 51, 71; Hud/11: 112 s/d 122; Al-Mu’minun/23: 1 s/d 11; Al-Hujarat/49: 15

[18] Q.S. Al-Baqarah/2: 58, 112; An-Nisa/4: 125; Al-`An’am/6: 14; An-Nahl/16: 29, 69, 128; Luqman/31: 22; Ash-Shaffat/37: 113; Al-Ahqhaf/46: 15

[19] Q.S. Al-Baqarah/2: 2 s/d 4, 177, 183; Ali Imran/3: 17, 76, 102, 133 s/d 134; Al-Maidah/5: 8; Al-‘Araf/7: 26, 128, 156; Al-Anfal/8: 34; At-Taubah/9: 8; Yunus/10: 62 s/d 64; An-Nahl/16: 128; Ath-Thalaq/65: 2 s/d 4; An-Naba/78: 31

[20] Q.S. Yusuf/112: 108

[21] Q.S. At-Tahrim/66: 6

[22] Q.S. Ali Imran/3: 104, 110

Iman kepada Allah SWT juga memberikan manfaat di dunia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada hari ini umat Islam yang hidup di dunia senantiasa mengimani keberadaan Allah SWT. Dengan menyakini-Nya, maka manusia akan memperoleh manfaatnya di dalam kehidupan dunia. 

Dilansir dari laman Alukah pada Jumat (18/6), keimanan mempunyai buah yang matang dan hasil yang baik pula. Ini dapat mereka tuai selama hidup di dunia, di antaranya:

1. Petunjuk kebenaran

Di tengah pandangan ateisme dan sekularisasi, seorang Muslim perlu mengikuti jalan-jalan orang yang beriman. 

وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ ءَامَنُوا إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ "Dan sungguh, Allah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus" (QS Al Hajj 54).

2. Kehidupan yang baik

ۚ وَلَـنَجۡزِيَـنَّهُمۡ اَجۡرَهُمۡ بِاَحۡسَنِ مَا كَانُوۡا يَعۡمَلُوۡنَ‏ مَنۡ عَمِلَ صَالِحًـا مِّنۡ ذَكَرٍ اَوۡ اُنۡثٰى وَهُوَ مُؤۡمِنٌ فَلَـنُحۡيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةً‌

"Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan" (QS An Nahl 97).

3. Mendapatkan penolong

اَللّٰهُ وَلِىُّ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا "Allah pelindung orang yang beriman." (QS Al Baqarah 257).

وَمَنۡ يَّتَوَلَّ اللّٰهَ وَ رَسُوۡلَهٗ وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا فَاِنَّ حِزۡبَ اللّٰهِ هُمُ الۡغٰلِبُوۡنَ  "Dan barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allah itulah yang menang." (QS Al Maidah 56).

4. Mendapatkan keberkahan

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS Al Araf 96).

5. Mendapatkan kekuatan

 وَلِلّٰهِ الۡعِزَّةُ وَلِرَسُوۡلِهٖ وَلِلۡمُؤۡمِنِيۡنَ "Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin" (QS Al Munafiqun 8).

6. Mendapatkan kemenangan

اِنَّا لَنَـنۡصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا فِى الۡحَيٰوةِ الدُّنۡيَا وَيَوۡمَ يَقُوۡمُ الۡاَشۡهَادُ

"Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari Kiamat)." (QS Ghafir 51).

Sumber: alukah 

Pandangan orang yang beriman kepada Allah SWT terhadap kehidupan dunia adalah
Bersikap Seimbang untuk Dunia dan Akhirat

Oleh : Sofwan Hadikusuma, Lc, M.E

Jika ada yang bertanya, untuk apa sebenarnya manusia diciptakan di dunia ini? Sebagai seorang muslim, tentu akan mudah menjawabnya: untuk beribadah. Demikian karena tujuan penciptaan memang telah jelas dititahkan oleh Allah swt. yaitu dalam firman-Nya pada surat adz-dzariyat ayat 56 yang artinya berbunyi: “Tiadalah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (menyembahku)”. Ayat ini berlaku umum  menjelaskan bahwa tugas pokok kita sebagai manusia pada dasarnya adalah untuk beribadah semata. Namun demikian, apakah yang dimaksud dengan ibadah di sini hanya seperti yang kita bayangkan yaitu melaksanakan rukun Islam semata? Atau hanya berdiam di masjid berdzikir kepada Allah tanpa henti tanpa melakukan kegiatan apapun selainnya? Tentu tidak. Ketentuan bahwa satu-satunya tugas kita sebagai makhluk ciptaan Allah adalah untuk beribadah memang tidak dapat didustakan. Namun kenyataan bahwa kita hidup di dunia juga tidak dapat dikesampingkan.

Setiap manusia di dunia memiliki jalan takdir hidupnya masing-masing. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah saw. menerangkan bahwa nasib manusia pada hakikatnya sudah ditentukan, termasuk rezeki, ajal, amal, kesedihan, dan kebahagiaannya. Hal ini seharusnya meniscayakan adanya iman kepada Allah bahwa Dia lah satu-satunya yang berkuasa dan tiadalah manusia melakukan sesuatu apapun kecuali ditujukan untuk menggapai ridha-Nya.

Manusia memang diciptakan dengan berbagai macam watak dan karakter. Berdasarkan tingkat kesadarannya, aktivitas yang dilakukan tentu juga akan berbeda-beda. Seseorang dengan kesadaran bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, akan bisa menyeimbangkan kebutuhan duniawi dengan akhiratnya. Sementara seseorang dengan tingkat kesadaran tidak berimbang, akan lebih condong memprioritaskan salah satu dari keduanya.

Dari Anas ra. ia berkata, Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi saw. untuk bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka menganggap ibadah mereka sedikit sekali. Mereka berkata, “Kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan Nabi saw., padahal beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang.” Salah seorang dari mereka mengatakan, “Aku akan melakukan shalat malam seterusnya.” Lainnya berkata, “Aku akan berpuasa seterunya tanpa berbuka.”  Kemudian yang lain juga berkata, “Sedangkan aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah.”

Melihat kepada potongan hadis di atas, tentu ada rasa kagum bagaimana semangat ibadah para sahabat yang sangat tinggi. Namun ternyata, setelah kabar ketiga sahabat tersebut sampai kepada Nabi saw., beliau memiliki tanggapan yang berbeda. Beliau menegaskan bahwa telah berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah sehingga melupakan aspek kehidupan dunia, padahal amalan yang demikian tidak dicontohkannya. Pada lanjutan hadis dijelaskan bahwa Rasulullah saw. mendatangi mereka seraya bersabda, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertaqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang tidak menyukai sunahku, ia tidak termasuk golonganku.”

Sebaliknya, terlalu memperhatikan dunia hingga melupakan akhirat tentu juga tidak baik. Manusia memang diciptakan dengan akal dan dihiasi dengan keinginan (syahwat) pada keindahan-keindahan duniawi. Allah swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14 yang artinya adalah, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa wanita, anak, harta, kendaraan, termasuk sawah ladang adalah keindahan dunia yang wajar jika manusia condong kepadanya. Kecintaan terhadap beberapa hal tersebut pada dasarnya adalah sah karena fitrah manusia memang diciptakan demikian. Namun kemudian menjadi tidak wajar jika kecintaan yang timbul menjadi berlebihan, apalagi menjadikan kesemuanya itu hanya sebagai tujuan hidup tanpa memperhatikan urusan akhirat.

Sejatinya, dunia memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 29 yang artinya berbunyi, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” Dipahami dari ayat ini adalah bahwa bumi dijadikan untuk manusia, artinya manusi memiliki hak untuk memanfaatkan segala apa yang ada di dalamnya. Pemanfaatan itu tentu harus dipahami pada hal-hal yang mengandung maslahat saja, termasuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier, dalam ukuran yang diizinkan oleh syariat.

Tentu kita semua pernah mendengar atau membaca kisah viral seseorang yang memiliki kekayaan tiada bandingannya di muka bumi ini, Qarun. Dikisahkan bahwa pada awalnya Qarun adalah seseorang yang miskin. Lalu dia meminta Nabi Musa as. untuk mendoakannya agar diberikan kekayaan kepadanya. Doa itu akhirnya dikabulkan dan Qarun lantas menjadi orang yang kaya. Al-Quran menggambarkan betapa kekayaan tersebut sangat melimpah. Saking kayanya, bahkan kunci-kunci gudang hartanya sangat berat dan harus diangkat oleh beberapa orang kuat. Namun, kecintaannya yang berlebihan terhadap harta kekayaannya memunculkan perasaan sombong yang pada akhirnya mengantarkannya pada kebinasaan.

Imam Bukhari meriwayatkan satu hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. berkata, “Celaka budak dinar, dirham, dan kain (qathifah). Jika diberi dia ridha, jika tak diberi dia tak rela.” Melalui hadis tersebut, Rasulullah saw. menekankan bahwa sungguh tak elok manusia yang hatinya terpaku pada keberadaan harta. Menjadi kaya memang tidak salah, tapi menempatkan kekayaan pada hati tidaklah dianjurkan. Tercatat dalam sejarah, tidak sedikit para alim ulama yang mempunyai kekayaan yang banyak, namun kekayaan tersebut tidak menggoyahkan hati mereka dalam menyikapi kehidupan di akhirat.

Islam menganjurkan keseimbangan dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Tidak berlebihan pada dunia, sebaliknya juga tidak berlebihan pada akhirat. Dalam surat Al-Qashash ayat 77 Allah swt. berfirman, “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa akhirat memang telah disediakan sebagai tempat kembali, namun sebelumnya manusia juga ditakdirkan hidup di dunia. Dengan begitu, sebagaimana akhirat harus dipersiapkan, dunia juga harus dijadikan tempat mempersiapkan hidup di akhirat kelak.

Dalam sebuah ungkapan dikatakan bahwa dunia adalah ladang akhirat (ad-dunya mazra’at al-akhirah). Maksudnya adalah bagaimana kita harus bersikap terhadap dunia untuk menjadikannya sebagai ladang di mana kita menanam berbagai amal baik untuk dipanen nantinya di akhirat. Jika amal yang kita tanam berasal dari bibit yang kurang baik, kita harus bersiap memanen hasil yang kurang baik. Sebaliknya jika yang kita tanam berasal dari bibit yang baik, maka kita akan bergembira dengan hasil yang baik pula di akhirat kelak. Allah berfirman, “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun dia akan melihat (balasan)nya pula.”