Pada tahun berapakah program wajar 12 tahun dicanangkan

Pada tahun berapakah program wajar 12 tahun dicanangkan
Pelajar SD Juara Bandung saat belajar, Bandung, Kamis (6/8). Epidemi flu massal menjangkit puluhan hingga ratusan siswa SD dan SMP di Kota Bandung, untuk mengantisipasinya pihak sekolah mewajibkan siswanya memakai masker. Antara/Agus Bebeng

TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah akan memulai rintisan program wajib belajar 12 tahun tahun depan. Selama ini, program wajib belajar tersebut hanya dicanangkan selama 9 tahun atau setara dengan tingkat sekolah menengah pertama. "Menteri sudah mengajukan program rintisan," kata Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional Hamid Muhammad, saat dihubungi, Senin 26 September 2011. Menurut Hamid, program rintisan tahap awal akan berfokus pada tiga hal. Pertama, pemerintah akan menyiapkan daya tampung sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011, kata dia, sudah menyetujui tambahan anggaran. "Sudah diketuk tambahan untuk 8.000 kursi sekolah."Kedua, kata Hamid, pemerintah menambah jumlah beasiswa untuk lulusan SMP dan sederajat. Beasiswa diutamakan bagi siswa yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah.Fokus ketiga adalah pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah untuk 6,7 juta siswa SMA/SMK. Menurut Hamid, hal ini menjadi konsekuensi pencanangan program wajib belajar 12 tahun. "Kami usulkan Rp 200 ribu per anak per tahun," ujarnya. Dana BOS untuk SMA/SMK, menurut Hamid, rencananya akan disalurkan mulai tahun ajaran 2012/2013. Adapun mekanisme penyalurannya akan disesuaikan dengan mekanisme penyaluran BOS di tingkat pendidikan dasar.Saat ini, dana BOS disalurkan langsung dari Kementerian Keuangan ke kas pemerintah provinsi. Selanjutnya, dana disalurkan ke sekolah masing-masing. "Di pendidikan menengah ada kemungkinan akan sama," kata Hamid.

l RIRIN AGUSTIA

tirto.id - Meski berasal dari keluarga miskin, Soeharto masih tergolong beruntung. Dia bisa sekolah, walau bukan di sekolah pribumi elite macam Hollandsch Inlandsch School (HIS) yang merupakan sekolah dasar tujuh tahun dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda.

Sedari kecil Soeharto disekolahkan di Volkschool (sekolah rakyat tiga tahun) lalu lanjut ke Schakel School (sekolah lanjutan lima tahun). Sepengakuannya, pada 1939 Soeharto tamat dari Schakel School milik Muhammadiyah.

“Tamatan schakelschool itu disamakan dengan tamatan HIS," tulis Anton Moeliono dalam Pengembangan dan Pembinaan Bahasa(1981:72). Jadi sekolah Soeharto cuma SD saja, bukan SMP seperti banyak ditulis orang. Soeharto bisa saja melanjutkan sekolah menengah swasta, apa daya kantong keluarganya tak mendukung.

“Nak, tak lebih dari ini yang dapat dilakukan untuk melanjutkan sekolahmu. Dari sekarang kamu sebaiknya mencari pekerjaan saja," kata ayahnya.

Baca juga: Sekolah-sekolah di Zaman Belanda

Soeharto bukan orang paling sial di zaman itu. Jauh lebih banyak orang yang tidak sekolah zaman itu. Soeharto lebih punya peluang untuk tidak jadi petani miskin dengan bisa baca-tulis di zaman itu.

Bermodal ijazah SD itu Soeharto bisa jadi sersan di tentara kerajaan (KNIL) sebelum 1942. Itu sudah lumayan, jauh lebih banyak orang Indonesia cuma jadi serdadu bawahan dari mulai dinas hingga pensiun, karena buta huruf. Setelah KNIL bubar pada 1942, Soeharto tak perlu mencangkul di sawah. Soeharto bisa jadi polisi sebelum akhirnya jadi perwira PETA, bahkan akhirnya jadi jenderal. Lagi-lagi hanya bermodal ijazah SD dan kecerdasan alamiahnya.

Kira-kira hampir 45 tahun kemudian, ketika Soeharto sudah jadi Presiden Republik Indonesia sekitar 17 tahun, Soeharto punya Menteri Pendidikan & Kebudayaan bernama Nugroho Notosusanto, yang punya andil besar dalam pembelajaran sejarah di Indonesia. Nugroho—kelahiran 1930—bukan lulusan SD dan tinggi sekolahnya. Selain dikenal sebagai pejabat pendidikan, dia juga sastrawan dan sejarawan. Nugroho Notosusanto dikenal juga karena memimpin pengerjaan buku setebal 6 jilid Sejarah Nasional Indonesia (SNI).

Sebagai menteri sudah tentu, Nugroho Notosusanto berkunjung ke banyak daerah. Di masa Nugroho Notosusanto inilah mulai bergulir wacana yang hendak meratakan pendidikan Indonesia agar makin banyak warga Indonesia yang bersekolah, meski hanya sekolah dasar saja. Lalu muncullah program Wajib Belajar (Wajar). Bagi Nugroho itu bukan hal baru.

“Wajib belajar enam tahun atau serendah-rendahnya lulus SD sudah diamanatkan dalam UU No. 4 Tahun 1950," tulis Darmaningtyas dalam Pendidikan Rusak-Rusakan (2005:298). Namun pada era 1950, kondisi negara yang baru merdeka tidak memungkinkan pendidikan yang merata. Kepada Amal Bakti (1984) Nugroho mengaku, “sejak itu kita mengadakan percobaan wajib belajar di berbagai kabupaten."

Era Soeharto, dengan Nugroho sebagai menterinya, usaha wajib belajar, setidaknya wajib belajar 6 tahun, pun dimulai lagi. Soeharto ingin generasi muda berusia 7 hingga 12 tahun yang dibesarkannya paling tidak bisa bersekolah hingga lulus SD. Program Wajib Belajar ini akhirnya resmi dicanangkan pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 1984, seperti hari lahir tokoh pendidik Ki Hajar Dewantara, tepat hari ini 35 tahun lalu.

Baca juga: Andai Ki Hadjar Seorang Belanda: Sejarah Radikal Begawan Pendidikan

Peresmiannya program ini bertempat di Stadion Utama, Senayan, Jakarta. Sekitar pukul 15.30 sore Presiden Soeharto dan Ibu Negara Tien Soeharto sudah di tempat acara peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Pencanangan Gerakan Wajib Belajar itu. Seperti dicatat Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988 (2003:153-154), upacara peringatan ini dimeriahkan oleh drumband display, senam wajib, senam indah, paduan suara, tarian massal, angklung, dan ibing pencak silat.

“Kepada semua anak-anak Indonesia... gerakan Wajib Belajar ini adalah untuk kalian, untuk masa depan kalian dan untuk kebaikan kalian semua...," kata Presiden Soeharto.

Presiden menyebut Gerakan Wajib Belajar ini membuat langkah yang penting untuk mewujudkan amanat Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dalam alam kemerdekaan.

Niatan mulia agar seluruh anak Indonesia bisa sekolah, meski hanya sampai SD, itu tentu bermanfaat bagi stabilitas nasional. Sebab sekolah tidak cuma belajar membaca dan berhitung saja, banyak nilai-nilai yang menguntungkan negara bisa diajarkan di sekolah.

undefined

Demi gerakan itu, tentu saja harus didukung dengan banyaknya guru dan gedung sekolah serta sarana pembelajaran lainnya. Anak-anak dari generasi yang diwajibkan untuk ikut Wajib Belajar 6 tahun itu tentu generasi yang tahu buku paket Bahasa Indonesia yang di dalamnya ada Budi dan Ani karya Siti Rahmani Rauf.

Seperti pesan Presiden kepada Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Mayor Jenderal Alamsjah Ratu Prawiranegara, “jangan sampai anak-anak kita itu menjadi buta huruf sehingga tidak bisa menikmati kemerdekaan."

Kepada Antara (04/03/1985), Alamsjah menyebut, hingga akhir tahun 1984 di Indonesia masih terdapat kurang lebih 1,2 juta anak usia sekolah yang tidak mampu belajar di sekolah, ditambah sekitar 700.000 yang putus sekolah.

Demi lancarnya program wajib belajar ini, pemerintah mengajak masyarakat berperan serta. Jadi, setelah Program Wajib Belajar ada Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA), dan di program ini Nugroho juga dianggap sebagai salah satu penggagasnya. Program ini dibuat karena biaya sekolah yang tidak sedikit. Alamsjah memperkirakan akan ada dana Rp60 miliar per tahun yang bisa dikumpulkan dari para orang tua asuh, dengan perhitungan tiap orang tua asuh menyumbang Rp60 ribu per tahun.

Belum setahun Gerakan Wajib Belajar 6 tahun dicanangkan, Nugroho Notosusanto meninggal dunia pada 3 Juni 1985. Setelah kematiannya, program Wajib Belajar jalan terus dan jadi salah satu warisan pentingnya.

Satu dekade setelah pencanangan Wajib Belajar 6 tahun dimulai, program ini ditingkatkan jadi Wajib Belajar 9 tahun, artinya diharapkan setiap anak bisa lulus hingga SMP. Dan angka ini terus meningkat menjadi Wajib Belajar 12 tahun pada 2015.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
(tirto.id - pet/nrn)


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono

Subscribe for updates Unsubscribe from updates