Orang yang diberi beban taklif ketentuan ketentuan syara hukum agama ini adalah pengertian

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Pengertian Mahkum Alaih

Mahkum alaih adalah orang mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah dan firmannya atau perbuatan berhubungan dengan hukum syar’i.

Seperti telah diterangkan bahwa definisi hukum taklifi adalah fitrah Allah yang menyangkut perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan tuntutan atau pilihan untuk berbuat. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa ada dua hal yang harus terpenuhi pada seseorang untuk dapat disebut mukallaf (subjek hukum) yaitu bahwa ia mengetahui tuntutan Allah itu ada dan bahwa ia mampu melaksanakan tuntutan tersebut. 

B. Syarat Mahkum Alaih

Syarat taklif atas subjek hukum dijelaskan dalam dua hal yaitu sebagai berikut:

1.Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan memahami.

2.Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul disebut ahlun li al-taklif. Kecakapan menerima taklif atau yang disebut ahliyah adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada dua macam, yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.

Menurut ulama ushul: Ahli (layak) itu terbagi kepada dua bagian yaitu Ahli wajib dan ahli melaksanakan.

1. Ahli Wajib (Ahliyyatul Wujub)

Yaitu kelayakan seseorang untuk ada padanya hak-hak dan kewajiban. Atas keahlian (kelayakan) ini ialah kekhususan yang diciptakan oleh Allah Swt kepada manusia dan menjadi kekhususannya diantara macam-macam binatang. Dengan keahlian itu dia layak menerima hak dan kewajiban. Kekhususan inilah yang oleh para fuqoha (sarjana ahli hukum islam) disebut Adz-Dzimah. Yaitu naluri kemanusiaan yang dengan itu manusia menerima ketetapan hak-hak bagi orang lain dan menerima kewajiban untuk orang lain pula.

Para ahli ushul membagi ahliyyah al-wujub itu kepada dua tingkatan.

a. Ahliyah al-wujub naqish atau kecakapan hukum dikenai hukum secara lemah.

Yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.

Sifat lemah pada kecakapan ini disebabkan oleh karena hanya salah satu kecakapan pada dirinya diantara dua kecakapan yang harus ada padanya.

b. Ahliyah al-wujud kamilah atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna.

Yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak. Adanya sifat sempurna dalam bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya sekaligus. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih bernafas.

2. Ahli melaksanakan (Ahliyyatul Ada’)

Yaitu kelayakan mukallaf untuk dianggap ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya menurut syara, sekira apabila keluar daripadanya akad atau pengelolaan, maka menurut syara akad atau tasharruf itu bisa diperhitungkan adanya dan terjadinya tertib hukum atasnya. Atau kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkannya menurut hukum. Hal ini bahwa segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan telah mempunyai akibat hukum.

Apabila mukallaf mendirikan shalat, atau berpuasa, atau melaksanakan ibadah haji, atau mengerjakan kewajiban apa saja, maka semua itu menurut syara bisa diperhitungkan (di i’tibar), dan bisa menggugurkan kewajiban mukallaf. Dan apabila mukallaf terbuat pidana atas orang lain dalam soal jiwa, harta, kehormatan, maka dia dihukum sesuai dengan pidananya dandiganjar atas pidananya itu dengan bentuk fisik dan harta. Maka ahli ada’ itulah yang dimintai pertanggung jawaban, sedang asasnya dalam manusia adalah membedakan akal.

Kecakapan berbuat hukum atau ahliyah al-ada’ terdiri dari tiga tingkat.

1. Adim al-ahliyah atau cakap sama sekali, yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar umur 7 tahun.

Dalam batas umur ini, seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif itu dikaitkan kepada sifat berakal. Karena itu anak seumur ini belum disebutkan mukallaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Ia tidak wajib melaksanakan shalat, puasa dan kewajiban badani lainnya. Ia wajib mengeluarkan zakat atas hartanya menurut pendapat sebagai ulama yang mengatakan bahwa kewajiban zakat berlaku atas hartanya.

2. Ahliyah al-ada’ naqishah atau cakap berbuat hukum secara lemah.

Yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun). Sampai batas dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna. Sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna, manusia dalam batas umur ini dalam hubugannya dengan hukum, sebagai tindakannya telah dikenai hukum dan sebagai lagi tidak dikenai hukum.

Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan/ perbuatan, terbagi kepada 3 tingkat dan setiap tingkat mempunyai akibat hukum tersendiri, yaitu:

a.Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya, umpamanya menerima pemberian (hibah) dan wasiat.

b.Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya.

c.Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian.

3. Ahliyah al-ada’ kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna.

Yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.

Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqih ditentukan dengan tanda-tanda yang sifat jasmani yaitu bagi wanita telah mulai haid dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh atau keluarnya mani. Pembatasan berdasarkan jasmani ini didasarkan pd petunjuk al-quran, yaitu sampai mencapai usia perkawinan atau umur yang pada waktu itu telah mungkin melangsungkan perkawinan. Tanda dewasa yaitu haid bagi wanita dan mimpi persetubuhan untuk laki-laki adalah tanda seseorang sudah dapat melakukan perkawinan atau pernikahan.

Dalam keadaan tidak terdapat atau sukar diketahui tanda yang bersifat jasmaniyah tersebut, diambil patokan umur yang dalam pembatasan ini terdapat perbedaan pendapat antara ulama fiqih. Menurut jumhur ulama, umur dewasa itu adalah 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Menurut abu hanifah, umur dewasa untuk laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi perempuan adalah 17 tahun. Bila seseorang tidak mencapai umur tersebut, maka belum berlaku padanya beban hukum atau taklif.

vKeadaan manusia dihubungkan dengan kewajiban-kewajiban yang ada padanya (Ahliyyatul wujud)

Keadaan manusia bila dihubungkan kepada ahliyyatul wujud mempunyai 2keadaan, yaitu.

1.Kadang-kadang manusia mempunyai keahlian wajib dengan tidak sempurna, apabila patut baginya ketetapan beberapa hak, bukan karena wajib atasnya beberapa kewajiban, atau sebaliknya. Para ulama membuat contoh yaitu dengan janin yang ada dalam perut ibunya. Dia mempunyai ketetapan beberapa hak, karena dia bisa menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat dan bisa menerima hak dalam ¼ (seperempat) harta wakaf, tetapi tidak wajib atasnya kewajiban-kewajiban terhadap orang lain. Jadi keahlian wajib yang tetap bagi dia tidak sempurna.

2.Kadang-kadang manusia mempunyai keahlian wajib secara sempurna, apabila patut baginya beberapa hak dan kewajiban atasnya beberapa kewajiban. Keahlian ini tetap bagi setiap manusia sejak dari dia dilahirkan. Jadi manusia itu mulai dari kekanak-kanakannya sampai usia remaja dan sesudah dewasanya, dalam keadaan bagaimanapun menurut perkembagan hidupnya, dia mempunyai keahlian wajib secara sempurna.

vKeadaan manusia dihubungkan kepada beban melaksanakan (Ahliyyatul Ada’)

Menurut itu bila dihubungkan kepada keahlian melaksanakan (ahliyyatul ada’) mempunyai 3 keadaan, yaitu:

1.Kadang-kadang manusia itu tidak mempunyai keahlian melaksanakan sama sekali, atau kehilangan keahlian melaksanakan sama sekali, atau kehilangan keahlian melaksanakan sama sekali.

2.Kadang-kadang manusia itu tidak sempurna keahliannya melaksanakan, yaitu anak usia remaja (mumayyiz). Pengertian ini mencangkup anak-anak yang masih dalam usia remaja sebelum dia baligh, termasuk pula orang yang kurang akal. Karena orang yang kurang akal itu tidak cacat akalnya dan tidak pula kehilangan akalnya. Tetapi dia itu lemah dan kurang akal. Maka hukumnya seperti hukum anak-anak usia remaja.

3.Kadang-kadang manusia itu sempurna keahliannya melaksanakan, yaitu orang yang telah sampai pada usia dewasa dan berakal. Maka keahlian melaksanakan yang sempurna dapat terealisir dengan kedewasaan manusia dan berakal.

C. Taklif (beban hukum) terhadap orang kafir

Sebagai telah dijelaskan, bahwa syarat bagi subjek hukum itu adalah baligh dan berakal. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Pertama, ulama yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara persyaratan taklif dengan tercapainya syarat syar’i adalah iman al-syafi’i, ulama iraq yang bermazhab hanafi dan mayoritas dari kalangan ulama mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang-orang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan juzu’ syari’at seperti ibadat sholat, puasa dan haji, artinya meskipun mereka tidak sah niatnya karena tidak beriman, namun mereka dituntut untuk melaksanakan ibadah itu sebagaimana berlaku terhadap mukallaf lainnya.

Kelompok mukallaf ini mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:

1.Ayat-ayat al-quran yang memerintah untuk melaksanakan ibadat secara umum juga menjangkau orang-orang kafir.

2.Orang kafir itu seandainya tidak dikenai taklif dengan hal-hal yang bersifat furu’ tertentu tidak ada ancaman terhadap orang kafir bila ia tidak berbuat.

3.Orang-orang kafir dikenai taklif untuk meninggalkan larangan dengan sanksi sebagaimana berlaku terhadap orang mukmin, seperti berlaku atasnya sanksi zina, mencuri dan lainnya.

Kedua, pendapat dari sebagai ulama Hanafiyah, Abu ishak al asfahani, sebagai kelompok syafiiyah dan sebagai ulama mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa orang kafir itu tidak dibebani taklif untuk melaksanakan ibadat, karena bagi kelompok ini berlakunya taklif berkaitan dengan terpenuhinya syarat syar’i sedangkan orang kafir tidak memenuhi syarat taklif itu. Kelompok ini mengemukakan argumen sebagai berikut:

1.Seandainya orang kafir diberi taklif untuk melakukan furu’ (cabang-cabang) syariat, tentu melakukan perbuatan itu dituntut. Ternyata tidak demikian, karena kafirnya itu mencegah sahnya ibadat mereka.

2.Seandainya orang kafir diberi beban hukum, tentu wajib mereka mengadha apa yang dia tinggalkan saat kafirnya itu, sesudah ia masuk islam. Ternyata yang demikian tidak betul, karena bila ia masuk islam maka segala kekurangan pada waktu yang lalu dihapuskan.

Ketiga, kelompok ulama yang berpendapat bahwa orang kafir dikenai taklif. Untuk meninggalkan larangan tetapi tidak dikenai taklif untuk melaksanakan suruhan, karena untuk melaksanakan perbuatan yang disuruh diperlukan niat, sedangkan untuk meninggalkan larangan cukup dengan jalan tidak berbuat apa-apa. Untuk tidak berbuat, tidak diperlukan niat.

Kesimpulan

Dari pengertian diatas, dapat diambil diambil kesimpulan yakni tentang pengertian mahkum alaih,yaitu orang mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah dan firmannya atau perbuatan berhubungan dengan hukum syar’i. Dan mempunyai 2 syarat dalam al-mahkum alaih. Dan didalam ahli (layak) dibagi menjadi ahli wajib dan ahli melaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafie,A.1989.”Ushul Fiqh”. Jakarta: Widjaya.

Syarifuddin,Amir.1997.”Ushul Fiqih Jilid 1”. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Wahhab khallaf,Abdul.1996.”Kaidah Kaidah Hukum Islam/Ilmu Ushul Fiqih”. Jakarta: PT RajaGrafinda Persada.

Al-Khudhari Biek,Syaikh Muhammad.2007.”Ushul Fiqih”. Jakarta: Pustaka Amani.