Periode pelatihan: 1-29 November 2015 Shita Dewi dan Laksono Trisnantoro PENGANTAR Latihan tentang pengambil kebijakan ini dimulai dengan pemahaman mengenai Proses Pengambilan Kebijakan. Mengapa? Dalam hal ini para peserta perlu untuk meyakini dirinya sendiri bahwa proses pembelajaran ini akan masuk ke kenyataan yaitu mempelajari ilmu kebijakan yang berasal bukan dari disiplin ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat. Dengan demikian modul ini mencoba mengajak para peserta untuk memahami proses pengambilan kebijakan dengan dasar teori ilmu kebijakan yang diaplikasikan di sector kesehatan. Pembahasan aplikasi ini akan dilakukan dengan diskusi virtual dimana para peserta di minta untuk mengaplikasikan apa yang ada di lapangan dengan konsep yang ada. TUJUAN Memberi gambaran mengenai konsep terkait proses pengambilan kebijakan MATERI Proses kebijakan adalah proses yang meliputi kegiatan perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Dalam hal ini kita khususnya membahas kebijakan publik, yaitu kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk kepentingan public. Proses kebijakan melibatkan berbagai pihak terkait, antara lain: para politisi, berbagai institusi pemerintah, para pengambil keputusan, kelompok kepentingan dan pihak-pihak lain. Untuk memahami proses kebijakan, kita perlu memahami berbagai konsep dasar terkait proses kebijakan, penentuan agenda kebijakan dan perumusan kebijakan. 1. Berbagai Model Proses Kebijakan Terdapat berbagai macam model proses kebijakan. Pada kesempatan ini, kita akan membahas hanya tiga model. Pertama, model rasional. Model rasional menekankan bahwa proses kebijakan merupakan proses yang rasional dan dilakukan oleh aktor-aktor yang memiliki cara berpikir yang rasional. Menurut model ini, proses kebijakan meliputi tahap-tahapan tertentu dan berjalan seperti sebuah siklus. Para aktornya dapat secara jelas melihat tujuan dari kebijakan dan cara mencapai tujuan tersebut. Sejak tahun 1950an, konsep ini telah berkembang dan menghasilkan berbagai variasi, namun memiliki esensi yang sama (Laswell, H.D., The Decision Process: Seven Categories of Functional Analysis, University of Maryland Press: 1956; Jenkins, W.I., Policy Analysis. A Political and Organisational Perspective, Martin Robertson: 1978). Apabila dielaborasi, maka proses kebijakan akan dimulai dari adanya masalah yang teridentifikasi masuk ke dalam agenda kebijakan (atau, agenda setting). Kemudian setelah informasi yang diperlukan terkumpul, ditemulan berbagai pilihan dan alternative kebijakan, sehingga dapat disusun sebuah kebijakan (policy formulation). Kemudian diambil keputusan mengenai rancangan kebijakan yang paling efisien dan efektif dan diputuskan sebagai suatu kebijakan yang memiliki kekuatan hukum (decision making). Hasilnya adalah sebuah kebijakan yang hampir ideal dan optimal. Setelah ini kebijakan dijalankan (policy implementation) dan dievaluasi (monitoring & evaluation), apabila ditemukan masalah-masalah baru, masalah tersebut akan masuk menjadi agenda kebijakan dan memulai siklus ini kembali. Namun kenyataannya, tidak semua kebijakan mengalami proses yang rasional seperti ini. Dalam kenyataannya, proses kebijakan merupakan proses yang rumit dan kompleks karena dipengaruhi oleh tarik-menarik antara berbagai kepentingan dan berbagai aktor, dipengaruhi pula oleh latar belakang pengalaman implementasi kebijakan terkait atau kebijakan sebelumnya, di'arah'kan oleh berbagai 'suara' kelompok kepentingan, dan biasanya memasuki ranah politik kepentingan. Maka muncul model kedua yaitu Incremental Model. Menurut model ini, proses pencarian informasi yang diperlukan berlangsung terbatas, tidak seluruhnya sistematis, dan dikendalikan oleh terlalu banyak pemain. Kadang cara mencapai tujuan tidak dapat terlihat nyata. Terkadang pilihan dan alternatif kebijakan yang tersedia hanya bisa dinilai dengan cara melihat sejauh mana manfaat kebijakan terdistribusi. Lebih lagi, kebijakan yang dipilih seringkali adalah kebijakan yang mendukung kelompok peserta dari proses ini, dan kurang mempertimbangkan pihak lain yang kebetulan tidak terlibat dalam proses ini. Hasilnya, kebijakan seringkali tidak optimal dan harus diperbaiki terus menerus, sedikit demi sedikit (Lindblom, C.E., The Science of Muddling Through, Public Administration Review 19 (2), p. 79-88). Konsep ini semakin berkembang dalam model ketiga, yaitu model "tong sampah" (Garbage Can). Model ini melihat bahwa suatu kebijakan dapat dipicu dari tiga arah, yaitu dari masalah (problem stream), kebijakan sebelumnya atau kebijakan terkait (policy stream) atau dari kepentingan politis (political stream). Ketiga aliran ini dapat saja tercampur dan seringkali tidak terduga arahnya. Akibatnya, baik masalah, para aktornya mau pun solusi yang diperkirakan dapat berubah-ubah dengan cepat. (Cohen, M., March, J., and Olsen, J., A Garbage Can Model of Organizational Choice, Administrative Science Quarterly 17, 1972, p. 1-25; Kingdon, J.W., Agendas, Alternatives, and Public Policies, HarperCollins College Publisher: 1983). Akhirnya, sebuah kebijakan bisa saja diambil karena dimotivasi oleh hal-hal lain, yaitu:
Jadi, menurut model ini, kebijakan seringkali tidak menyentuh esensi permasalahan. Para pengambil keputusan harus segera pindah ke 'penyelesaian' masalah berikutnya. 2. Agenda setting Namun, sebelum kebijakan dapat dirumuskan dan diadopsi, masalah harus bersaing untuk mendapat ruang dalam agenda kebijakan. Agenda kebijakan ada di berbagai level, termasuk agenda sistem politik, agenda lembaga legislatif dan presiden, dan agenda birokrasi. Aktor kunci yang menentukan pengaturan agenda termasuk think tank, kelompok kepentingan, media, dan pejabat pemerintah. Ada dua model utama dalam melihat agenda kebijakan, yaitu model 'teknokratis' dan model 'politik'. Model teknokratis menjelaskan perubahan kebijakan sebagai hasil dari para pengambil keputusan yang mengubah preferensi mereka dan beradaptasi dengan kondisi baru. Sesuai siklus kebijakan, mereka belajar dari pengalaman yang ditunjukkan oleh hasil evaluasi kebijakan. Inovasi kebijakan, jika ada, adalah produk dari pembuatan kebijakan di mana kebijakan dipandang sebagai hipotesis, atau teori, dan pelaksanaan atau implementasi kebijakan adalah sebagai pengujian dari teori atau hipotesis tersebut. Sementara, model politik, pada dasarnya berusaha untuk menjelaskan penyusunan kebijakan sebagai akibat dari perubahan dalam konfigurasi kepentingan yang dominan. Meskipun demikian, fakta bahwa suatu masalah harus masuk menjadi agenda kebijakan, menegaskan kepada kita bahwa ada 'jendela kebijakan' dan 'kesempatan untuk tindakan' (Kingdon, 1983), dan tidak selalu berarti bahwa hanya itu permasalahan yang ada di lapangan. Dalam analisis kebijakan, "masalah" merupakan konstruksi analitik, namun dalam politik "masalah" adalah konstruksi politik. Dalam analisis kebijakan, konstruk atau masalah yang teridentifikasi adalah produk dari suatu hasil analisis. Dalam politik apa yang diakui atau disahkan sebagai "masalah" adalah produk dari proses politik. Oleh karena itu, walau pun ada banyak masalah di lapangan, namun tidak seluruhnya masuk ke dalam agenda kebijakan. Bagaimana cara masalah diangkat ke dalam agenda kebijakan? Ada berbagai cara. Pertama, masalah tersebut harus dirasakan secara luas sebagai situasi yang tidak memenuhi harapan publik. Dengan cara ini, masalah paling tidak masuk ke dalam agenda masyarakat (public agenda). Masalah bisa bergerak menjadi sorotan publik dan dipaksa ke dalam agenda kebijakan dengan besarnya jumlah perhatian dan kemarahan publik. Media dapat sangat efektif dalam hal ini (agenda building). Sebaliknya, media juga dapat menjaga masalah dari agenda kebijakan dengan memberikan kesan bahwa masalah tidak memerlukan resolusi melalui proses kebijakan (agenda cutting). Oleh karena itu, masalah juga bisa masuk melalui dorongan kelompok kepentingan dan para gatekeepers yang menentukan agenda mass media (Rogers, E. M., & Dearing, J. W., Agenda-setting research: Where has it been? Where is it going?, Communication Yearbook, 11, 1988, p. 555-594). Selain itu, suatu peristiwa penting dapat bertindak sebagai pemicu kebijakan yang segera mendorong masalah masuk ke dalam agenda kebijakan. Dalam bidang kesehatan, misalnya kejadian bencana atau wabah.
Namun, agenda setting hanyalah sebuah 'entry point'. Sebuah isu tetap harus menarik perhatian para pengambil keputusan (atau, setidaknya salah satu institusi pemerintah) untuk dapat masuk ke dalam proses kebijakan publik. Perlu disadari bahwa tidak semua 'agenda publik' dan 'agenda media' akan masuk ke dalam siklus kebijakan dan kemudian menjadi rumusan kebijakan, sampai akhirnya menjadi sebuah kebijakan yang terlegitimasi. Agenda kebijakan pun memiliki keterbatasan waktu. Seringkali, item-item di dalam agenda bergeser dengan cepat dan digantikan oleh isu-isu lain yang lebih mendesak terutama di saat krisis. 3. Perumusan Kebijakan Perumusan kebijakan adalah pengembangan kebijakan yang efektif dan dapat diterima untuk mengatasi masalah apa yang telah ditempatkan dalam agenda kebijakan. Perhatikan bahwa ada dua bagian definisi ini:
Seperti telah disebut sebelumnya, proses perumusan kebijakan harus melalui fase analisis. Rancangan kebijakan dan berbagai pilihan alternative kebijakan harus dianalisis untuk menemukan kebijakan yang paling valid untuk mengatasi masalah, efisien dan dapat dipraktekkan di dunia nyata. Beberapa model analisis dalam rumusan kebijakan, misalnya:
Pada kesempatan ini, kami memberikan salah satu bahan bacaan terkait analisis sistem yang menjelaskan bagaimana kebijakan disusun dengan melihat ke lingkungan internal dan lingkungan eksternal dari suatu masalah. Namun itu hanyalah salah satu bagian saja dari proses rumusan kebijakan, karena ada fase selanjutnya yaitu fase politis. Pejabat yang terpilih atau ditunjuk secara politis bertanggungjawab kepada publik untuk menyusun kebijakan yang baik dan efektif, namun tidak selalu memiliki kemampuan analitis untuk melakukan hal tersebut. Para perencana kebijakan memang diharapkan dapat memberikan kontribusi teknis mengenai cara, perilaku, biaya, strategi implementasi, dan konsekuensi dari kebijakan, baik atau buruk. Namun, para ahli dan analis teknis tidak bertanggung jawab langsung kepada publik. Keputusan untuk melakukan trade-off, prioritas nilai, dan beban efek keseluruhan pada akhirnya tetap harus diambil oleh para pengambil keputusan yang, secara teori, akuntabel terhadap masyarakat dalam sistem perwakilan di pemerintahan kita. Hanya dengan adanya otorisasi dari para pengambil keputusan inilah sebuah kebijakan dapat memiliki wewenang dan kekuatan hukum. Oleh karena itu kita perlu memahami pula proses perundangan yang ada di negara kita. Artinya, proses institusional dan proses politis apa yang harus dilalui agar sebuah usulan kebijakan dapat akhirnya resmi menjadi suatu kebijakan. Hanya dengan memahami proses perundangan ini maka kita dapat mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan dan siapa pengambil keputusan. Hanya dengan cara ini kita mengenali beberapa 'entry point' ke dalam area kebijakan. Ingatlah bahwa tidak semua area kebijakan merupakan area yang terbuka untuk publik. Seringkali area ini merupakan area tertutup atau hanya dapat dimasuki dengan adanya 'undangan' dari para pengambil keputusan. Di bawah ini kami memberikan beberapa bahan bacaan berbagai mekanisme penyusunan perundangan yang dapat dipelajari lebih lanjut. Sebagai penutup, penting untuk kembali memijakkan kaki ke dunia nyata. Pengambilan keputusan di dunia nyata seringkali dibatasi oleh setidaknya dua hal ini: Bounded rationality — pengambil keputusan memiliki keterbatasan dalam hal sejauh mana mereka berperilaku rasional. Satisficing — pengambil keputusan dapat saja mengambil usulan pertama yang memenuhi kriteria-kriteria minimum tertentu. Akibatnya, pengambilan keputusan seringkali dipengaruhi oleh berbagai bias, misalnya hanya dapat melihat satu dimensi ketidakpastian, memberikan bobot yang terlalu besar terhadap infomasi yang tersedia, dan mengabaikan the law of randomness. Diskusi Anda diharapkan masuk ke website www.kebijakankesehatanindonesia.net untuk melakukan diskusi virtual atau menggunakan mailinglist masyarakat praktisi untuk menyampaikan pendapat. Diskusi akan dilakukan bertahap dengan cara virtual. Tugas Akhir modul
Tugas harap dikirimkan ke fasilitator paling lambat pada tanggal 9 November 2015 kepada Angelina Yusridar / Hendriana Anggi melalui email This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Shita Dewi Tujuan
Materi Pada penugasan minggu lalu, kita telah menetapkan kebijakan di level mana yang ingin kita pengaruhi atau ubah. Kita telah pula melihat proses apa yang harus dilalui oleh usulan kebijakan dan institusi mana saja serta level mana saja (pusat, propinsi, kabupaten, lembaga) yang terlibat selama proses itu berlangsung. Berdasarkan analisis tersebut, maka kita dapat mengidentifikasi siapa pengambil kebijakan. Hal ini mutlak harus kita lakukan karena tanpa itu kita tidak dapat menganalisa mereka. Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman terhadap kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing pelaku kebijakan. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan, sehingga tanggungjawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya. Namun, ada baiknya pula kita terlebih dulu mengenali sifat dari kebijakan itu sendiri. Berdasarkan sifat dari kebijakan (Anderson, J.E., Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company, 2006) kebijakan publik dibagi ke dalam empat kategori, yaitu:
Berdasarkan pembagian kategori di atas, kita dapat mengidentifikasi bahwa usulan kebijakan kita merupakan kebijakan yang mana. Hal ini juga penting dilakukan karena perilaku pengambil kebijakan juga akan bergantung pada sifat kebijakannya. Maka, seperti apa saja perilaku pengambil kebijakan itu? Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku pembuatan kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut(Nigro, F.A., dan Nigro, L.G., Modern Public Administration, New York: Harper&Row Publishers, 5th ed., 1980):
Selain itu, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan pembuatan kebijakan sulit atau lambat, yaitu sulitnya memperoleh informasi yang cukup, bukti-bukti yang ada sulit disimpulkan; adanya berbagai macam kepentingan yang berbeda, sulitnya memperkirakan dampak kebijaksanaan, umpan balik kebijakan sering bersifat sporadis, proses perumusan kebijaksanaan tidak dimengerti dengan benar dan seterusnya. Apalagi faktor lain yang mempengaruhi perilaku kebijakan? Faktor utama adalah konteksnya. Konteks kebijakan sangat menentukan arah kebijakan. Mengapa demikian? Karena pengambilan kebijakan sangat dipengaruhi oleh bukan hanya tatanan kelembagaan yang mungkin berubah sesuai konteksnya, tetapi juga oleh berbagai nilai, dan nilai-nilai ini dapat berubah pula tergantung pada konteksnya. Nilai-nilai yang dimaksud adalah(Anderson, J.E., Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton Mifflin Company, 2006):
Terakhir, sifat pengambilan kebijakan juga sering dipengaruhi oleh beberapa kesalahan dan bias. Kesalahan-kesalahan umum sering terjadi dalam proses pembuatan keputusan (Nigro, F.A., dan Nigro, L.G., Modern Public Administration, New York: Harper&Row Publishers, 5th ed., 1980) yaitu:
Pemahaman akan sifat kebijakan dan perilaku pengambilan kebijakan akan dapat membantu kita dalam mendekati dan berinteraksi dengan para pengambil kebijakan. Kita akan mampu memahami kekuatan, kelemahan dan kekhawatiran mereka serta mampu pula mengidentifikasi cara-cara terbaik untuk membantu mereka, yang pada gilirannya membantu kita dalam upaya untuk mempengaruhi kebijakan.Berikut ini kami lampirkan bahan bacaan mengenai dinamika salah satu kebijakan untuk KIA di Ghana dalam kurun waktu 4,5 dekade sebagai hasil dari dinamika faktor perilaku pengambil kebijakan dan faktor kontekstual. Bahan bacaan {jcomments on}
Memahami tentang
2019 2020 2021 2018 2017 2016 2015 2014 2013 2012 2011 2010
|