Mengapa para calon pemimpin suatu daerah mengambil keuntungan dari sumber dana politik

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (Setkab RI) bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat Indonesia. FGD bertemakan “Peran Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan dalam Mendorong Partisipasi Politik di Indonesia” digelar di gedung Fakultas Hukum UII pada Selasa (26/10).

Dalam FGD tersebut, Setkab RI diwakili oleh Kepala Bidang Politik dan Organisasi Kemasyarakat, Darmawan Sutanto, didampingi oleh Kepala Subbidang Politik dan Kepala Subbidang Kemasyarakatan Lembaga Negara. Adapun, PSHK FH UII diwakili oleh, Dr. Jamaluddin Ghafur, S.H., M.H. dan Direktur PSHK FH UII, Allan Fatchan Gani Wardhana. Keduanya juga merupakan dosen di FH UII.

Jamaluddin menyampaikan, partsipasi merupakan hal yang esensial dalam negara demokrasi. Oleh karena itu untuk mewujudkan partisipasi politik, setidaknya ada tigal hal yang harus diperhatian. Pertama, harus ada kompetisi dalam arti jabatan-jabatan public harus dikompetisikan. Kedua, partisipasi dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah. Ketiga, kebebasan berpendapat, dalam hal ini pemerintah tidak boleh menghalang-halangi gerakan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi masyarakat.

Dengan demikian, pasrtisipasi memiliki peranan yang penting, baik bagi setiap individu untuk mengontrol dan mengawasi kebijakan pemerintah agar terhindar dari tindakan penyelewenangan yang dapat merugikan masyarakat, maupun bagi pemerintahan untuk mengukur tinggi atau rendahnya sistem demokrasi di suatu negara.

Dalam pelaksanaannya, menurut Jamaluddin, partisipasi memiliki beberapa jenis dan pola, antara lain: 1) Otonom, yaitu partisipasi yang dilakukan secara sadar dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah, 2) Konvensional, parstisipasi yang dilakukan secara langsung seperti pemilu, pilkada, dll, 3) Non-konvensional, partisipasi yang dilakukan seperti petisi, demokrasi, dan refOrmasi, 4) Digerakkan, partisipasi yang dilakukan atau digerakkan dalam suatu lembaga yang menggerakkan, salah satunya partai politik (parpol) yang dijadikan lembaga utama dan lembaga sentral untuk mengorganisir warga negara untuk berpartisipasi.

“Bahkan sebagian ahli mengatakan Parpol bila dibandingkan dengan organisasi lain, memiliki kewenangan yang sangat besar utk mengorganisir warga negara. Parpol merupakan institusi sentral dalam negara demokrasi yang diberikan hak eksklusif untuk mengakses kekuasaan, walaupun nanti kita bisa tunjukkan bahwa kondisinya menyedihkan,” ujarnya.

Jamaluddin mengatakan, dalam pelaksanaannya Parpol di Indonesia sangat dihegemoni oleh kekuasaan Ketua Partai. Bahkan kerap kali Anggaran Dasar dan Anggran Rumah tangga (AD/ART) dijadikan alat untuk melegalkan kewenangan Ketua Partai untuk melanggengkan kekuasaaanya, (alat proteksi legal). Sehingga dapat dipahami bahwa ketika Parpol dianggap sebagai lembaga central negara demokrasi, tapi justru di dalam internal Parpol itu tidak demokratis.

Dengan demikian, menurut Jamaluddin, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mewujudkan demokrasi internal Parpol, yang dapat dilakukan dengan tiga hal, yaitu: 1) bagaimana Parpol memilih dan menyeleksi kandidat publik, 2) bagaimana Parpol melakukan seleksi pada kepemimpinan kekuasaan, 3) bagaiman Parpol merumuskan suatu kebijakan.

Terakhir, Jamaluddin mengusulkan ada dua cara untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat melalui Parpol, yaitu: Pertama, dengan meniru model Amerika, dimana Dewan Petinggi Parpo berkedudukan sebagai manager. Ia hanya mengatur soal internal paprol, tetapi tidak ikut campur dalam kekuasaan publik. Sehingga, harus ada pemisahan antara siapa yang fokus ke pejabat publik dan siapa yang fokus untuk mengurus interna Parpol.

Kedua, meniru modal Eropa, dimana Ketua Umum Perpol tetap memiliki kekuasaan penuh, namun harus ada prosedur suksesinya yang diatur dalam UU, meliputi: 1) Pencalonan, minimal harus ada dua calon dalam proses pemilu, tidak dibolehkan ada calon tunggal. 2) Pemilih, harus dilakukan oleh yang berhak, yaitu anggota Parpol. 3) Mekanisme Pemilihan, Pemilihan harus tegas dilakukan dengan pemilihan langsung, tidak boleh aklamasi, dan 4) Ada Pembatasan Masa Jabatan Pimpinan Parpol, harus diatur terkait pembatasan masa jabatan Pimpinan Parpol.

Selanjutnya, Allan Fatchan menyampaikan bahwa Organisasi Masyarakat (Ormas) memiliki beberapa fungsi, diantaranya: 1) Electoral Activity, yaitu aktivitas Ormas untuk mengorganisir masyarakat, seperti banyak para pemimpin Ormas yang berlomba untuk mencari massa. 2) Lobbying, yaitu kegiatan Ormas untuk melakukan lobby ke pemerintah, terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan. Dan 3) Organizational Policy Making dan Social Empowering, yaitu kegiatan Ormas untuk mengawal pembuatan kebijakan pemerintah dan agenda politik pemerintah.

Dari ketiga fungsi Ormas tersebut, fungsi ketiga merupakan fungsi yang kerap kali tidak dilaksanakan oleh Ormas-Ormas di Indonesia. Dari sekian banyak Ormas yang ada, hanya seidikit yang menjalankannya. Hal ini dikarenakan, tidak banyak Ormas yang mau terlibat dalam pembuatan kebijakan, dan mengawal agenda politik pemerintah.

“Banyak yang berpikir bahwa politik hanya soal kekuasaan, padahal lebih dari itu. Esensi politik kan sebenarnya adalah usaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.

Allan Fatchan menyampaikan, definisi Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun terkait tujuan dan fungsi Ormas hal ini telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU Ormas. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) juga telah memberikan kebebasan dan melindungi kedudukan Ormas. Namun, permasalahannya bukan dalam segi pengaturan, melainkan dari kemauan Ormas itu sendiri untuk mau berkiprah turut mengkritisi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan bidang yang digelutinya.

Allan Fatchan mengatakan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi eksistensi Ormas, Pertama, regulasi. Negara tidak boleh melakukan intervensi pada kegiatan Ormas, sepanjang kegiatannya tidak mengganggu ketertiban atau keamanan negara. Kedua, sumber daya manusia (SDM)/ kapasitas. Penting bagi suatu Ormas untuk diisi oleh orang-orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai, dengan demikian Ormas dapat lebih aktif dalam merespon isu-isu sosial.

Berikutnya, Ketiga, kelembagaan dan program nyata. Ada agenda nyata yang dilaksanakan oleh Ormas-Ormas itu sendiri, dan keempat, terkait pendanaan/keuangan. Dalam hal ini menurutnya Ormas memiliki perhatian lebih untuk merespon isu-isu terkait pendanaan, sebab hal ini berkaitan dengan kebutuhannya.

“Ketika kami mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait Peraturan Daerah (Perda) tertentu, jarang ada Ormas yang hadir. Tapi kalau perda yang mengatur mengenai bantuan keuangan Ormas, datang semua. Tapi kalau soal isu-isu lingkungan, tata ruang, tidak ada satupun yang hadir, daftar hadir kosong,” ujarnya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Allan menyebutkan beberapa gagasan yang dapat dilakukan Ormas untuk turut berpartisipasi aktif dalam negara demokrasi, yaitu: 1) Ormas harus turut aktif dalam perubahan sosial dan penyelesaian berbagai persoalan bangsa. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan advokasi, mengekspresikan gagasan melalui forum media, diskusi, dan ruang publik lainnya.

Selanjutnya, 2) Ormas tidak boleh berpangku tangan melihat kondisi sosial yang jauh dari ekspektasi publik. Hal ini dapat dilakukan dengan terus menawarkan gagasan dan melakukan tindakan untuk memperbaiki situasi sosial dan politik tanah air. 3) Gagasan dan tindakan Ormas harus didasari oleh ideologi yang sesuai dengan realitas dan cita-cita kebangsaan.

Setalah pemaparan dari pemateri, forum dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab antara anggota Setkab RI dengan para Dosen FH UII terkait persoalan pasrtisipasi publik dalam partai politik maupun Ormas. (EDN/RS)

January 30, 2018   puskapol ui     Category: Opini .

Mahar Politik dan Korupsi Sistemik

Oleh Delia Wildianti (Peneliti Puskapol UI)

Dinamika pemilihan kepala daerah pada 2018 ini masih diwarnai oleh isu yang relatif sama, salah satu yang saat ini muncul di permukaan adalah terkait pemberian “mahar politik” kepada partai politik pengusung calon kepala daerah. Isu tersebut bukanlah hal yang baru dalam pemilu Indonesia pasca reformasi, terlebih saat ini partai cukup pragmatis dan berorientasi pada kemenangan calon. Konsekuensinya hitungan-hitungan politik untuk memenangkan calon menjadi hal yang prioritas terutama untuk menyikapi besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh para calon.

Berangkat dari hal tersebut, minimal terdapat empat sumber pengeluaran yang menyebabkan tingginya ongkos politik pilkada. Pertama biaya pencalonan (ongkos perahu politik) yang lazim disebut sebagai “mahar politik”. Kedua, dana kampanye yang meliputi atribut kampanye, tim pemenangan, serta penggunaan media elektronik dan cetak. Ketiga, ongkos konsultasi dan survey melalui pelbagai lembaga konsultan dan lembaga survey. Keempat, politik uang yang masih marak dilakukan oleh calon kepala daerah meliputi “serangan fajar”, sumbangan ke kantong pemilih, dan lainnya. Selain itu, dana yang cukup besar adalah perihal keberadaan saksi pada hari perhitungan suara.

Dalam mengikuti kontestasi politik, adalah sebuah keniscayaan bagi calon untuk mengikuti seluruh mekanisme pemilihan secara “demokratis” baik mekanisme internal partai maupun mekanisme eksternal sesuai dengan aturan yang berlaku dalam UU. Mekanisme pemilihan calon kepala daerah di dalam partai ini yang seringkali sulit diawasi dan belum adanya transparansi karena bersifat internal atau sekedar formalitas belaka. Sehingga hal ini membuka peluang untuk adanya transaksi “jual-beli” antara para elit partai dengan bakal calon yang akan diusung oleh partai tersebut.

Belakangan ini isu “mahar politik” ramai diperbincangkan karena salah satu bakal calon Gubernur Jatim dari Gerindra, La Nyalla Matalliti, mengaku dimintai uang 40 miliar oleh Ketua Umum Gerindra untuk membayar saksi dan sebagai syarat agar bisa direkomendasikan menjadi calon Gubernur. Kemudian muncul isu mahar politik lain seperti Dedi Mulyadi, Brigjen Siswandi, dan John Kristi.

Persoalan mahar politik merupakan salah satu yang membuat proses pencalonan membutuhkan waktu yang cukup lama, banyak partai yang mengambil injury time untuk mendaftar ke KPU yang sebenarnya menyiratkan adanya tarik menarik seberapa besar “mahar” yang dikeluarkan dan bahkan ada calon yang batal dicalonkan di detik-detik terakhir. Hal ini menjadi momentum yang penting untuk melihat bahwa ada persoalan serius dalam mekanisme pemilu yang membuat tarik menarik politik menguat yang ujungnya bisa menghadirkan praktik yang koruptif.

Mahar Politik dan Korupsi Sistemik

Sebagai implikasi dari sistem Pilkada langsung berdasarkan suara mayoritas, hal ini cukup menjelaskan bahwa ongkos politik dalam sistem demokrasi saat ini begitu mahal. Berdasarkan penelitian FITRA, anggaran yang dikeluarkan dalam pilkada kabupaten berkisar 5-28 miliar, sedangkan pilkada provinsi kisaran 60-78 miliar. Nilai yang begitu besar tersebut tidaklah sebanding dengan pendapatan resmi yang akan diterima oleh gubernur misalnya, yang hanya memperoleh gaji Rp 8,6 juta/bulan atau total 516 juta selama lima tahun menjabat. Inilah hal-hal yang dapat memicu korupsi dan koalisi (pemufakatan jahat) menjadi cara untuk mengeruk pundi-pundi kesejahteraan rakyat.

Dengan modal awal yang cukup besar, orientasi dari kekuasaan yang dimiliki nantinya adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sebelumnya. Catatan Kementerian Dalam Negeri hingga tahun 2016 menunjukan bahwa terdapat 343 bupati/walikota dan 18 gubernur yang tersandung kasus korupsi. Tentu ini adalah catatan buruk proses demokrasi yang sedang kita jalani, karena sesungguhnya kita berharap proses demokrasi bukan hanya bersifat prosedural melainkan mencakup demokrasi yang substansial. Dan itu salah satunya dapat dilihat dari berjalannya keadilan dari proses pencalonan hingga keterpilihan calon dengan proses yang tidak mencederai nilai-nilai demokrasi.

Berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2016, Indonesia berada pada kategori sedang dengan angka IDI 70,09 menurun dari tahun 2015 dengan angka IDI 72,82. Dimana peran partai politik masih sangat minim dan masuk ke dalam kategori “buruk” dengan angka 52,29. Sebagai sumber rekrutmen calon kepala daerah, Partai Politik masih banyak memiliki pekerjaan rumah untuk memperbaiki sistem rekomendasi calon, dan menghindari transaksi “jual beli” calon.

Komitmen Partai Politik dan Pemerintah

Isu mahar politik seringkali tidak berakhir tuntas, tampak ada tapi seperti tidak ada, untuk mengakhiri praktik “mahar politik”, diperlukan upaya serius dari pelbagai  stakeholder baik itu Partai Politik, Bawaslu, PPATK, KPK, ataupun Satgas Anti Politik Uang, juga masyarakat dan pengawal pilkada. Terdapat tiga poin yang perlu menjadi perhatian, khususnya bagi partai politik dan pemerintah.

Pertama, kenaikan jumlah biaya parpol melalui revisi PP No 83/2012 menjadi PP No 1/2018, terkait kenaikan dana bantuan parpol dari 108 rupiah menjadi 1.078 rupiah per suara seharusnya membantu partai politik untuk menghindari praktik “jual-beli” rekomendasi calon. Partai diharapkan dapat secara transparan melaporkan penggunaan dana. Begitupula dengan mekanisme pemilihan calon kepala daerah agar lebih banyak melibatkan kader, sehingga dimungkinkan untuk mengurangi praktik dagang calon oleh elit partai.

Kedua, diperlukan keseriusan Bawaslu untuk menindaklanjuti perkara mahar politik agar tidak menghambat proses demokrasi. Juga perlunya penguatan koordinasi antara Bawaslu dengan PPATK, KPK, dan satgas anti politik uang yang baru dibuat oleh POLRI untuk mengusut tuntas perihal mahar politik yang ditetapkan oleh partai. Selain itu, pembatasan dana kampanye melalui regulasi Pilkada dapat membantu mengurangi praktik ketimpangan dan menurunkan biaya politik para calon kepala daerah.

Ketiga, adanya wacana untuk membentuk Sekolah Kaderisasi Partai nampaknya menjadi salah satu hal baik yang perlu kita pikirkan bersama, karena program ini dapat mendorong para kader yang disiapkan partai untuk dicalonkan menjadi kepala daerah. Bukan berarti mereka yang memiliki uang dan mampu memenuhi biaya politik, namun juga mereka yang telah mengabdi pada partai dan dipersiapkan untuk menjadi calon-calon pemimpin di masa depan. Hal terakhir yang tidak kalah penting adalah perihal pendidikan politik masyarakat yang harus terus dilakukan dan akan selalu menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua.