Mengapa masyarakat pesisir lebih beranekaragam kebudayaannya daripada masyarakat pedalaman?

Di antara saluran Islamisasi di Indonesia salah satunya adalah melalui perdagangan. Hal ini sesuai dengan kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad-7 sampai abad ke-16. Perdagangan antara negeri-negeri di bagian barat, timur, dan tenggara  Asia dan dimana pedagang-pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan India turut serta menggambil bagiannya di Indonesia. Para pedagang menggunakan teknologi pelayaran dan banyak berlabuh di pelabuhan yang terletak di pesisir-pesisir Indonesia. Adanya para pedagang internasional muslim di pesisir Indonesia membuat kawasan tersebut lebih dahulu menerima pengaruh agama Islam dibandingkan kawasan lainnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, jawaban yang tepat adalah B.

         MAKALAH

PROSES TERBENTUKNYA KOMUNITAS MUSLIM DI NUSANTARA

 ISLAM DI PESISIR DAN PEDALAMAN

Diajukan untuk memenuhi tugas struktur mata kuliah Sejarah Masuknya Islam di Indonesia

Dosen Pengampu:

Aah Syafa’ah, M.Ag

Oleh:

Kelompok 5

Jaeti (1608301035)

Nur Afifah (1608301023)

Nur Fitriningsih (1608301030)

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI CIREBON

2017

 PEMBAHASAN

A.                Islam Di Pesisir dan Islam Di Pedalaman

Penyebaran islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Seperti yang diketahui, seacara umum ada dua proses yang mungkin terjadi. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Proses kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina, dll) yan telah memeluk agama Islam tinggal tetap di sautu wilayah Indonesia., kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedimikian rupa sehingga menjadi orang Jawa atau suku lainnya.

Sudah kita ketahui bahwa bangkitnya Islam pada abad ke-8 M, atau 1400 tahun yang lalu, telah membangun suatu dunia baru, dengan dasar pemikiran-pemikiran baru, cita-cita baru serta kebudayaan dan peradaban baru pula. Islam, yang semula datang di Nusantara pada waktu itu, mau tidak mau menghadapi kenyataan adanya beraneka ragam warna kebudayaan itu. Baik yang dibawa kemari itu oleh kaum pedagang, kaum da’i, ataupun ulama. Seperti yang kita tau Indonesia merupakan negara Maritim. Hal ini dikarenakan geografisnya yang dominan oleh wilayah perairan. Sebagai negara yang memiliki struktur wilayah perairan yang luas tentu mendorong kepad asuatu aktifitas yang bersumber di laut. Dalam konteks ini adalah perdagangan. Selain mencari keuntungan, para pedagang juga mengajak penduduk setempat untuk memeluk agama islam. Motif ini sepenuhnya murni untuk menyebarkan agama islam. Disaat yang sama, penduduk pribumi yang bersedia masuk islam menjadi lebih mudah diajak bekerja sama. Seperti agama Hindhu Buddha, pada awalnya islam mendapat pengikut dari kalangan bangsawan pedagang yang berkuasa di daerah pesisir.

Islam sebagai sebbuah tradisi keagamaan selain memiliki ajaran yang universal seperti yang dicantumkan dalam kitab suci Al-Qur’an dan hadits Nabi juga memiliki aspek interpretasi yang bersifat subjektif kultural. Wajah islam yang universal juga menunjukkan ciri yang unik dan berbeda dengan islam di Timur Tengah, Afrika dan kawasan lainnya. Diantara ciri terpenting itu adalah watak islam yang lebih damai ramah, dan toleran. Watak Islam di Nusantara seperti itu muncul karena ketika proses islamisasi berlangsung secara damai. Penyebaran islam di Nusantara tidak pernah disebut sebagai futuh yang disertai kekuatan militer Muslim dari luar. yang ada adalah islam di kawasn ini justru melibatkan proses budaya seperti dakwah perdagangan, perkawinan dan semacamnya.

Banyak masyarakat (khususnya para pedangang/saudagar) dari luar yang mulai menetap dan kemudian tinggal berbaur dengan masyarakat setempat atau tinggal berkelompok (komunitas) di daerah pesisir-pesisir di sepanjang pantai-pantai di Indonesia seperti di pesisir Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dll. Tentu kita pernah mendengar kampung Arab, kampung Eropa, atau kampung Cina. Kampung-kampung tersebut dihuni oleh komunitas sesuai namanya. Jadi sebagian ada yang mau tinggal dan berbaur dengan masyarakat pribumi setempat dan ada juga yang memilih untuk tetap tinggal bersama dengan sanak saudaranya (se-suku, se-agama, se-etnis atau se-negara). Sehingga adanya komunitas atau kampung-kampung yang demikian.

Islam pesisir dan islam pedalama memang pernah memiliki konflik yang keras terutama di masa awal Islamisasi Jawa, yaitu ketika pusat kerajaan Demak di pesisir kemudian beralih ke pusat kerajaan Pajang di pedalaman. Ketika Aryo Penangsang yang di dukung oleh Sunan Kudus kalah melawan Pangeran Hadiwijaya yang di dukung oleh Sunan Kalijaga, maka saat itulah sesungguhnya terjadi rivalitas pesisir-pedalaman. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik, maka varian Islam pesisiran dan Islam pedalaman pun bergeser sedemikian rupa. Perubahan itu terjadi karena faktor politik dalam urusan rivalitas tidak lagi dominan dalam wacana dan praktik kehidupan masyarakat.

Masyarakat pesisir memiliki ciri khas dalam kegiatan upacara-upacaranya. Kekhasan itu tentunya dipandu oleh kebudayaan pesisir yang berbeda dengan masyarakat pedalaman. Di antaranya yang menonjol (terutama dalam Islam) adalah ciri masyarakat pesisir yang adaptif terhadap ajaran islam dibandinglkan dengan masyarakat pedalaman yang sinkretik. Dalam hal ini,bagi masyarakat pesisir, Islam dijadikan sebagai kerangka refrensi tindakan sehingga sekuruh tindakannya merupakan ekspresi dalam ajaran islam yang adaptif dengan budaya lokal. Bagi masyarakat pedalaman, sinkretisasi tersebut tampak dalam kegiatan kehidupan yang memilah-milah, mana diantara ajaran Islam tersebut yang sesuai dengan budaya lokal dan kemudian dipadukannya sehingga menjadi sebuah rumusan budaya yang sinkretik.

SUMATERA

            Sekitar abad ke-7 telah diketahui adanya pemukiman masyarakat muslim di daerah  barus (terletak di pantai barat laut), juga didaerah perlak (terletak dibagian pantai timur) Sumatra Utar.  Abad tersebut adalah masa dimana kerajaan sriwijaya sedang mengembangkan pengaruhnya di selat Malaka. Lalulintas perdagangan pun sedang mengalami puncak masa ramai. Cerita mengenai pemukiman atau banyaknya pedagang muslim di pelabuhan-pelabuhan Indonesia ditemukan dalam tulisan-tulisan yang termuat dalamnaskah-naskah Cina pada masa dinasti Tang. Beberapa abad kemudian, pemukiman pedagang muslim meluas ke arah timur, di daerah-daerah pantai pulu jawa, maluku, dan pesisir timur pulau sumatra.

             Catatan peralihan tertua tentang peralihan agama adalah hikayah raja pasai. Hakayah ini mengisahkan raja setempat bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, yang berbicara padanya melalui mimpi bahwa seorsng ulama bernama Syekh Ismail akan datang dari Arab. Keesokan harinya, raja pergi kepantai dan bertemu sang ulama yang mengajarkan kalimat syahadat. Setelah itu, ia diangkat menjadi raja dan namanya berubah menjadi Sultan Malik al-Saleh. Hikayah ini ditulis pada batu nisan raja di pemakaman raja-raja Samudra Pasai. Tulisan pada nisan tersebut bukan hanya menyebut nama raja dan tanggal kematiannya (1297), tetapi juga nasihat bahwa hidup di dunia hanya sementara, kehidupan kekal ada di akhirat. Catatan ini dianggap sebagai  cermin mengenainkenyataan hidup dalam Islam paling tua yang terdabat di Indonesia.

            Selain hikayah raja-raja pasai, ada pula hikayat petani . hikayat ini, seperti dikemukakan oleh Anthony Reid (Reid, 2002), mengisahkan seorang ulama Pasai yang tinggal di kampung pedagang pasai di petani yang akhirnya berhasil membujuk raja patani untuk memeluk Islam. Karena pindah agama paling jelas ditnjukkan dalam hikayah bandjar yang mengisahkan pemimpin jipanng di jawa Timur “sangat terkesima ketika melihat pancaran cahaya Raja Bungsu”.  Dia berlutut di depan  Raja Bungsu dan memohon untuk diislamkan.

            Islam di pesisir dan pedalaman Sumatera mengalami perkembangan yang yang pesat berkat keberadaan Kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam yang muncul di Sumatera. Kerajaan-kerajaan tersebut diantaranya seperti Kerajaan Pasai, Perlak, Lamuri, Jambi, dan sebagainya.

JAWA           

Tarsilah (sisilah) raja-raja Muslim dari kesuthanan Sulu di Philipin meriwayatkan cerita tentang masuknya Islam di Jawa. Menurutnya bahwa Islam disebarkan di Wilayah ini pada paruh abad ke-8/14 oleh seorang Arab bernama Syarif Awliya Karim al-Makhdum, yang datang dari Malaka pada 782 H/1380 M. silsilah Sulu mengeklaim, ia adalah ayah dari Mawlana Malik Ibrahim, salah seorang diantara “wali sanga” yang dipercayai mengislamkan pulau Jawa. Setelah itu datang pula seorang Arab bernma Amin Allah al-Makhdum, yang juga dikenal dengan gelar Sayid al-Niqab. Ia dipercayai datang ke wilayah ini bersama sejumlah Cina Muslim. Gelombang Islamisasi selanjutnya di Sulu, khususnya di pedalaman terjadi ketika seorang Arab bernma Sayid Abu Bakr datang ke wilayah ini. Seluruh tarsilah yang ada bersepakat ia dijadikan suthan pertaman kesulthanan dengan gelar Syarif al-Hasyim. Dua orang Arab lainnya yang jugan berperan besar dalam penyebaran Islam di kawasan ini disebut bernama Mohadum dan Alawi al-Bapaki. Keduanya dikatakan sebagai saudara Sayid Abu Bakr. Hunt, seorang pengembara Baarat di Sulu pada masa itu, “Seorang sufi lain datang dari Mekkah, bernama Sayed Barpaki, berhasil memasukan islamisme.

Kebanyakan sarjana bersepakat, bahwa diantara para penyebar pertama Islam di Jawa adalah Mawlana Malik Ibrahim, yang namanya sudah disebut di atas. Ia dilaporkan mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara Jawa, dan bahkan beberapa kali mencoba membujuk Raja Hindu-Budha Majapahit, Vikramavarddhana (berkuasa 788-833 H/1386-1429 M) agar masuk Isam tetapi kelihatannya, hanya setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang da’i Arab di Campa, Islam memperoleh momentum di Istana Majapahit. Ia digambarkan peran menentukan dalam islamisasi pulau Jawa dan karenanya di pandang sebagai pemimpin wali sanga dengan gelar Sunan Ampel. Keruntuhan Majapahit, terdapat seorang Arab lain, Syekh Nur al-Din Ibrahim binti Mawlan Izrail, yang kemudian yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Ia belakangan memapankan diri di kesulthan Cirebon. Seorang Sayid terkenal lain di Jawa adalah Mawlan Ishaq yang dikirim Sultan Pasai untuk mencoba mengajak penduduk Blambangan Jawa Timur Masuk Islam.

Secara geografis dan kebudayaannya, masyarakat Jawa dapat dibedakan menjadi tiga pembagian utama, yaitu : (a) Negarigung, (b) Mancanegari, dan (c) Pesisiran. Kebudayaan masyarakat Negarigung adalah kebudayaan yang besumber dari dan berakar pada kawasan keraton. Mereka disebut sebagai tiyang negari (orang negeri), dengan sifat-sifatnya yang mengedepankan kehalusan baik bahasa maupun kesenian, dengan kehidupan keagaman sinkretik. Masyarakat di wilayah Mancanegari memiliki banyak kesamaan dengan budaya Negarigung dan mereka mengidentifikasi dirinya sebagai tiyang pinggiran (orang pinggiran) yang memiliki kebudayaan yang “kurang halus” dibandingkan dengan tiyang negari, dan dalam kehidupan keberagamaanya juga dicirikan sebagai sinkretik. Sedangkan masyarakat pesisiran, yang secara geografis tinggal di pesisir utara Jawa, memiliki ciri khas budaya yang berbeda, berwatak keras, terbuka dan keberagamannya yang cenderung akulturatif. Mereka ini terbagi menjadi dua pengkelompokan secara geografis, yaitu : wilayah barat yang terdiri dari Demak, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Wiradesa, Tegal dan Brebes, sedangkan wilayah timur terdiri dari: Cengkal Sewu, Surabaya, Gresik, Sedayu, Tuban, Lasem, Juwana, Pati, Kudus dan Jepara.

Sebuah kenyataan islam di Jawa memang berkembang mulai dari pesisir utara di Jawa. Artinya, islam mula pertama bersentuhan dengan kebudayaan pesisir yang berwatak kosmopolit dan egaliter. Kebudyaan pesisir yang sperti ini cocok dengan islam yang juga mengagungkan egalitarianisme. Yang penting adalah ketaqwaan. Ajara egaliter tersebut dengan cepat menjadi kerangka refrensi masyarakat tindakan yang memang memperoleh lahan subur dikalangan masyarakat pesisir. Berbeda dengan masyrakat pedalaman yang hierarkis, masyarakat pesisir lebih mengedapankan “kesamaan-kesamaan” dalam memandang manusia dan masyarakatnya.

Islam di kawasan pesisir yang secara umum diasumsikan lebih, baik, puritan dan modern karena kawasan ini lebih mudah mengakses terhadap dunia luar dan serta secara umum dibandingkan dengan islam di pedalaman, sebenarnya juga terdapat pengecualian. Daerah pesisir tertentu karena berbagai faktor menyebabkan corak keislamannya msih menunjukkan perpadauan dengan kepercayaan lokal yang kental. Pendidikan yang rendah, minimnya dakwah, ketergantungan terhadap lingkungan alam serta budaya yang kuat sangat mempengaruhi corak keberagaman masyarakat.

B.                 Komunitas Muslim Pekojan

Masuknya Islam ke Nusantara sudah ada sejak abad ke-8 dan berkembang pada abad ke-13. Dan masa itu banyak para pendatang dari Arab, Gujarat, China dan lain-lain. Menurut sejarah, berkembangnya agama islam di Indonesia karena adanya beberapa jalur atau cara yang dilakukan oleh para pendatang. Salah satunya dengan cara menikahi para perempuan-perempuan pribumi, yang sehingga orang yang ingin dinikahi mesti memeluk agama Islam. Setelah menikah mereka pun membuat sebuah perkampungan. Perkampungan ini yang dinamakan pekojan, salah satunya berada di Jakarta.

Pekojan merupakan salah satu tempat bersejarah di jakarta. Nama Pekojan menurut Van den Berg berasal dari kata Khoja, istilah masa itu digunakan untuk menyebut penduduk keturunan India yang beragama Islam. Daerah pekojan pada era kolonial Belanda dikenal sebagai kampung arab. Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18 menetapkan Pekojan sebagai kampung Arab. Kampung pekojan merupakan cikal bakal dari sejumlah perkampungan Arab yang kemudian berkembang di Batavia. Saat ini, mayoritas penghuni Pekojan adalah keturunan Tionghoa.

Mengenai awal penyebaran agama islam di jakarta, ada yang berpendapat bahwa masuknya agama islam ke Jakarta pada abad ke XII. Hal ini ditandai dengan datangnya para pedagang muslim yang berasal dari Gujarat, ersia semenanjung Arabia. Namun menurut Ridwab Saidi, awal penyebaran agama islam di jakarta dapat diruntut dari berdirinya Pesantren Quro di Karawang. Syekh Quro adalah Syekh Hasanuddin, seorang warga Kamboja. Ia datang ke tanah Jawa untuk berdakwah, ia mendaratkan kapalnya di Karawang,dan membangun pesantren. Selain membangun masjid, ia juga membangun pesantren, penyebaran Islam di kalangan penduduk mengalami perkembangan.

Pada masa-masa penyampaian agama islam ke wilayah Jakarta, tidak semata berjalan dengan mulus, namun mengalam proses kesulitan, rintangan dan hambatan. Hambatan tersebut muncul berupa tantangan yang datang dari bangsawan Pajajaean dan para resi. Tantangan pertama datang dari para dato, bangsawan di masa Surosowan, mereka beranggapan bahwa masyarakat Pajajaran telah mempunyai aga,a lokal atau yang sering diberi nama Sunda wiwitan.

Rintangan kedua, dalam proses penyebaran agama islam di jakarta terkadang dihadapinya dengan perlawanan dari dato-dati yang menganut tarekat, sehingga pada waktu itupun dikenal dengan isitlah elmu panemu jampe pamake, sehingga para resi pun banyak yang menganut agama islam. Ketika warga Betawi mulai memeluk agama islam, hambatan masih juga dialami, yaitu dari para pendeta. Para warga yang telah mengikuti agama islam dinilai melakukan penyimpangan yang menurut waktu itu adalah langgara. Sehingga tempat sembahyang umat Islam waktu itu diberi nama langgar, yang artinya adalah mushola.

Para wali menyampaikannya dengan media dakwah dan dilanjutkan dengan pembangunan masjid. Dalam penyebaran agama islam menurut Slamet Muljana, dimulai ketika Fatahillah menetap di Banten. Ia pernah mengunjungi Sunda Kelapa sambil menyiarkan agama islam, masuknya agama isalam di jalarta dimulai dari kemenangan fatahillah ketika melakukan penyerbuan ke Sunda Kelapa. Lalu Fatahillah berhasil mengalahkan portugis di Sunda Kelapa. Namun setelah Batavia diserang oleh Belanda, sehingga sebagian tokoh penyebar agama islam berpindah dari Pelabuhan Pasar Ikan ke Jatinegara. Kaum mereka mendirikan masjid As-Salafiyah. Para tokoh penyebar agama islam di Jakarta, disamping melakukan syiar dakwah juga mendirikan masjid.

Salah satu pekojan yang ada di jakarta bertempat di Jakarta Barat, kecamatan Tambora. Di pekojan, pada awal abad ke-20 (1901), berdiri organisasi pendidikan Islam, jamiatul Kheir yang dibangun oelh dua bersaudara Shahab, Ali dan Idrus. Disamping Muhammad al-Mashur dan Syekh Basandid, menurut buku “Jakarta dari Tepian Air Ke Kota Proklamasi” yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI, perkumpulan ini menghasilkan tokoh KH. Ahmad Dahlan dan HOS Tjokroaminoto. Jamiatul Kheir mendatangkan Syeikh ahmad Surkati dari Sudan yang kemudian mendirikan Perguruan Tinggi Islam Al-Irsyad.

Sebelum ditetapkan sebagai kampung Arab, pekojan merupakan tempat tinggal warga Khoja (Muslim India). Sampai saat ini masih terdapat Gang Koja, yang telah berganti nama menjadi Jl. Pengukiran II. Disini terdapat sebuah masjid Al-Anshor yang dibangun pada tahun 1648 oleh para muslim India. Masjid ini merupakan masjid tertua yang masih berdiri, yang dibangun oleh bangsa Moor. Pada awalnya masjid ini hanya berupa mushola/langgar.

Peninggalan selanjutnya ada Masjid Langgar Tinggi, yang dibangun abad ke-18. Masjid ini telah diperluas oleh Syeikh Said Naum, seorang kappiten arab. Ia memiliki beberapa kapal niaa dan tanah luas di Tanah pekuburan. Di dekat masjid langgar tinggi terdapat Jembatan Kambing. Dinamakan demikian karena sebelum binatang dibawa ke pejagalan (kini Jl. Pejangalan), kambing melewati jembatan di kali Angke ini.

Lalu di depan pejagalan terdapat Masjid An-nawier. Masjid ini lebih dikenal sebagai Masjid Jami’ Pekojan di Batavia atau jakarta tempo dulu. Masjid ini adalah tempat ibadah terbesar di pekojan. Masjid ini didirikan oleh Pangeran Dahlan, dikenal sebagai ulama yang sangat disegani pada masanya. Masjid ini dikenal sebagai tempat berkumpulnya para pejuan, yang dikomandai oleh Dahlan. Menurut Abdullah Zaidan, masjid ini diperluas pada tahun 1920 oleh Habib Abdullah ibn Husein Alaydrus. Ia seorang kaya raya , dan tempat kediamannya diabadikan menjadi Jl. Alaydrus, sebelah kiri Hayam wuruk.

KESIMPULAN

Islam masuk ke Nusantara melalui para pedagang dan musafir dari Arab, Gujarat, China, India dan lain-lain. Islam masuk dari pesisir pulau indonesia kemudian berkembang hingga ke pedalaman pulau Indonesia. Perkembangan Islam di Indonesia mengalami proses yang pesat akibat adanya bantuan dari para ulama dan juga adaanya campur tangan kerajaan Islam  di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi Shahab. 2004.  Saudagar Baghdad dari Betawi. Republika:Jakarta

Azyumardi Azra. 2013.  Jaringan Ulama Timur dan Kepaulauan Nusantra Abad XVII &VXIII. Jakarta: Kencana, 2013

Dr. Mohammad Iskandar dan Dr. Anhar Gonggong. 2009. Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah Dan Budaya. Jakarta:Lentera Abadi

Dadakurniawan.blogspot.co.id/2014/01/sejarah-masyarakat-pesisir-trilogi.html?m=1 (10 November 2017, pukul 07.00 WIB)

Dr. Nur Syam. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta

Eko Praptanto. 2010. Sejarah Indonesia. Jakarta: Bina Sumber Daya MIPA

Hermansyah. 2009.  Islam Dari Pesisir Ke Pedalaman Kalimantan Barat. STAIN Pontianak:Pontianak.

//www.google.co.id/amp/s/serbasejarah.wordpress.com/2010/01/10/islam-pesisiran-dan-islam-pedalaman/amp/ (10 November 2017, pukul 08.00 WIB)

Lasmiyati. Penyebaran agama Islam di Jakarta Abad XVII-XIX. Pantajaya Vol.1, No.1, Maret 2009

M.C Rickles. 2008.  A History of Modern Indonesia Since c.1200. Jakarta:Serambi Ilmu Semesta

Michael Laffan. 2011. Sejarah Islam di Nusantara.Bentang Pustaka:Yogyakarta

Prof.A. Hasymy.1993. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam Di Indonesia. Aceh:Percetakan Offset.


Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA