Mengapa jika ibadah kepada Allah tidak disertai niat ibadahnya akan sia-sia

Hindari Tujuh Hal Ini Agar Amalan Tidak Sia-Sia

Mengapa jika ibadah kepada Allah tidak disertai niat ibadahnya akan sia-sia

Abu Laist Samarqandi berkata dalam Tanbihul Ghafilin, menurut para ahli hikmah terdapat tujuh tipe orang yang amal ibadahnya akan tetap sia-sia kecuali orang tersebut melakukan tujuh perkara berikut ini

Pertama, orang yang mengaku takut neraka tapi tidak berhati-hati dari melakukan dosa. Maka tidak akan berguna pengakuannya tersebut karena dia pada akhirnya tetap akan terjatuh pada lubang maksiat dan dosa karena ketidak hati-hatiannya.

Kedua, orang yang  berharap tanpa berkeinginan. Dia berharap akan pahala dari sisi Allah SWT tapi dia tidak berusaha melakukan amal ibadah. Berharap terhadap Allah merupakan satu amal saleh akan tetapi ia akan sia-sia tanpa disertai usaha untuk mendapatkannya.

Ketiga, orang yang niat tapi tidak ada keinginan kuat dalam dirinya untuk melakukan apa yang diniatkannya itu. Seperti orang yang berniat ingin berpuasa esok hari, tapi tanpa disertai keinginan melakukannya, maka niat baik tersebut hanyalah suatu kesia-siaan.

Keempat, orang yang berdoa tanpa berusaha. Yaitu orang yang selalu berdoa agar selalu diberikan kebaikan hidup oleh Allah SWT tapi ia tidak pernah melakukan usaha apapun untuk mendapatkannya, maka tidak akan ada gunanya doa yang ia panjatkan. Padahal Allah SWT berfirman Sungguh orang yang berusaha akan kami tunjukkan jalan Kita, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang baik (QS. Al-Ankabut; 69)

Kelima, orang yang meminta ampun kepada Allah SWT tapi tanpa ada rasa penyesalan. Yakni orang yang mengatakan astaghfirullahal adzim  dalam setiap doanya tapi ia tidak merasakan penyesalan dalam hatinya sama sekali, ketika itu maka istighfar yang diucapkannya sia-sia.

Keenam, orang yang beramal secara terang-terangan tapi tidak melakukannya saat diam-diam.  Yakni orang yang ketika dilihat orang rajin beramal. Tapi ketika dalam keadaan sepi dan hening ia enggan beribadah dan beramal saleh sebab tidak ada yang menyaksikan.

Ketujuh, orang yang rajin ibadah tapi tidak ikhlas. Yakni seseorang yang mengerahkan segala kemampuan untuk banyak beribadah tapi tidak ada keikhlasan dalam ibadah yang ia lakukan. Ikhlas adalah ketika ia melakukan karena Allah bukan hal lain. Maka akan sia-sia amal ibadahnya meski sebanyak apapun ibadah yang ia lakukan.

Selengkapnya, klik di sini

Kajian Online Penyejuk Iman (KOPI Ramadan) kembali digelar. Kali ini mengangkat tema mengikhlaskan amal. Ustadz Dr. Sus Budiharto, S.Psi., M.Si., Psi. dalam kajiannya mengulas tips agar selalu tenang dan bahagia setelah beramal. Menurutnya, perkara paling dasar adalah mengikhlaskan diri kepada Allah sebagai syarat utama diterimanya amal ibadah.

Ikhlas merupakan amalan hati yang perlu mendapatkan perhatian khusus secara mendalam dan dilakukan secara terus-menerus. Baik ketika hendak beramal, sedang beramal, maupun ketika sudah beramal. Hal ini dilakukan agar amalan yang dilakukan bernilai di hadapan Allah.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus ….”

Maksud dari agama yang lurus dari ayat tersebut adalah kita terjauhkan dari hal-hal syirik dan menuju kepada tauhid. Disinilah kedudukan ikhlas yang begitu penting dalam amal ibadah, agar amalan-amalan tidak sia-sia dan tidak mendapatkan azab di dunia maupun akhirat kelak.

Ustadz Sus Budiharjo dalam tausiyahnya memaparkan agar tidak berharap kepada manusia ketika beramal, melainkan berharap hanyalah kepada Allah. Caranya yakni dengan menanyakan kepada diri sendiri mengenai hal yang dilakukan. Apakah kita melakukan ini untuk teman, kerabat, kantor, bangsa, atau untuk Allah?

“Hal ini perlu dilakukan agar hati kita tertata untuk terus menumbuhkan rasa ikhlas di hati. Sehingga apabila mendapatkan cacian atau hinaan dari oranglain, kita tidak merasa sedih. Karena pada hakikatnya kita melakukan itu hanyalah untuk Allah,” terangnya.

Allah menyeru hamba-Nya dalam QS. Al-Ikhlas pada kalimat Qul atau katakanlah. “Mengatakan bahwa Allah itu Maha Esa dan semua yang dilakukan hanya untuk Allah, serta apapun yang telah dilakukannya diserahkan hanya kepada-Nya. Sebab tidak ada yang dapat disetarakan dengan-Nya,” jelasnya.

Ustadz Sus Budiharjo menambahkan, InsyaAllah dengan melakukan hanya karena-Nya, kita mencintai Allah dan sebaliknya. Jika kita diuji kita bersyukur, jika dikhianati kita bersyukur, sebab kita melakukannya hanya karena Allah. Untuk itu kita menjadi lebih tulus, ikhlas dan bahagia.

“Jangan menggantungkan amalan itu untuk mendapatkan pujian dari manusia. Alhamdulillah kalau dapat pujian, kalau dapat makian kita terima dan setelah itu memohon kepada Allah,” pungkasnya. (SF/RS)

Oleh; Abdullah Nafi’ Adhuha

Bagi umat Islam, ibadah merupakan ketaatan kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala dalam melaksanakan perintah Nya. Di dalamnya mencakup segala apa yang diridhoi Allah, baik itu ucapan atau pun perbuatan, yang dhahir maupun yang batin.

Selain itu, mereka juga meyakini bahwa ibadah merupakan perintah Allah yang menjadi tujuan penciptaan manusia di bumi. Sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala :
“Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”. (QS. al Baqarah : 21)

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (saja). Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (QS. Adz Dzariat: 56-58)

Oleh karena itu, ibadah merupakan perkara yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Sehingga segala hal yang berkaitan dengan ibadah akan menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Agar ibadah yang dikerjakan tidak menjadi perkara yang sia-sia.

Dalam upaya mengawal setiap ibadah kita agar menjadi amal yang diterima Allah patutlah kita simak perkataan seorang ulama salaf bahwa setiap perbuatan apapun pasti akan ditanya dengan dua pertanyaan, yakni mengapa dan bagaimana. Mengapa kita berbuat dan bagaimana kita berbuat.

Pertama, pertanyaan tentang mengapa kita berbuat. Pertanyaan ini berkaitan dengan alasan dari perbuatan yang kita lakukan. Bila kita kaitkan dengan ibadah kita, pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengetahui niat apakah yang melatar belakangi ibadah yang kita lakukan.

Sebagaimana yang sudah kita pahami bersama bahwa niat merupakan salah satu perkara utama dalam ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya”. (HR. Bukhori dan Muslim) Maksudnya adalah balasan dari setiap amal itu sesuai dengan niatnya.

Karena setiap amal baik itu mengandung penerimaan maka hadits di atas dapat diartikan bahwa diterima atau tidaknya amal itu tergantung pada niatnya.

Imam Bukhari menyebutkan hadits ini di awal kitab shahihnya sebagai mukadimah kitabnya, menyiratkan bahwa setiap amal yang tidak diniatkan karena mengharap Wajah Allah adalah sia-sia, tidak ada hasil sama sekali baik di dunia maupun di akhirat.

Oleh karena itu apabila niat itu benar dan ikhlas karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala maka akan sah pula suatu amal dan akan diterima dengan izin Allah Ta’ala. Atau bisa juga maksudnya adalah baiknya suatu amal atau buruknya, diterima atau ditolaknya, mubah atau haramnya tergantung niat.

Begitu pentingnya kedudukan niat itu hingga Yahya bin Abi Katsir mengatakan, “Pelajarilah niat, karena niat lebih penting dari amalan”. Karena dengan niatlah amalan akan menjadi baik dan perkataan menjadi benar.

Kedua, pertanyaan tentang bagaimana kita berbuat. Dalam kaitannya dengan ibadah, pertanyaan kedua bermaksud untuk mengetahui kadar mutaba’ah kepada Rasulullah di dalam beribadah. Apakah ibadah tersebut sesuai dengan perintah Allah yang di risalahkan kepada Rasulullah atau merupakan perkara yang mengada-ada.

Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ  رَدٌّ. [ رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم] : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ .

“Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak.” [HR. Riwayat Bukhari dan Muslim], dalam riwayat Muslim disebutkan: siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak.

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa setiap ibadah yang dilakukan tanpa dasar tuntunan dari Rasulullah maka akan menjadi perkara yang sia-sia. Sehingga setiap umat Islam haruslah meneladani Rasulullah dalam setiap amal ibadahnya.

Begitu bahayanya perkara bid’ah –hal baru dalam ibadah yang tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah– sampai Ibnu Mas’ud berkata, “Ikutilah (Sunnah Nabi) janganlah melakukan bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupi, dan seluruh bid’ah adalah sesat.” (diriwayatkan oleh Abu Khoytsam dalam Kitabul Ilm dan Muhammad bin Nashr al Marwazy dalam as-Sunnah).

Dari dua pertanyaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agar setiap ibadah diterima Allah maka kita harus senantiasa memperhatikan niat kita dalam beribadah. Di samping itu, cara ibadah yang kita lakukan haruslah sesuai dengan tuntunan Rasulullah.

Karena ibadah adalah tujuan keberadaan manusia di bumi, maka akhiratlah yang menjadi tempat bagi pertanggungjawabnya. Sebagaimana Rasulullah bersabda :

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ

“Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia ditanya tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang ilmu, apa yg dia amalkan, tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan pada perkara apa dia infakkan, serta badannya pada perkara apa dia gunakan. (HR. At-Tirmidzi dan beliau katakan, “Hadits hasan sahih.” Lihat Silsilah ash-Shahihah 2/666).

Sungguh merupakan suatu kebahagiaan manakala kita mengetahui jika ibadah kita diterima Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Ar Rahmah Hidayatullah Malang.
Email:

Rep: Ibnu Sumari
Editor: Cholis Akbar