Mengapa disebut dengan nama gereja nestorian

Kaganga.com - Sebuah tajuk Tabloid Reformata tahun 2006 berjudul Peta Kekristenan di Timur Tengah yang ditulis oleh dosen Teologi Agama-agama STT Jakarta, Pdt. Stanley R. Rambitan,Ph.D, menjelaskan bahwa Kristen Nestorian ialah yang dikenal dan diketahui oleh Nabi Muhammad. Secara historis, Rasulullah SAW menerima Kerajaan Najran masuk dalam kekuasaan Islam di mana beliau sendiri menjamin keselamatan seluruh rakyat Najran, serta keselamatan dan kemerdekaan para pendeta yang mengajarkan agama Kristen Nestorian mereka. Peristiwa itu disebut sebagai “Amandemen I Piagam Madinah” karena sebelumnya piagam tersebut hanya mengikat perjanjian dengan kaum Yahudi Madinah. Selain sarat akan nilai keteladanan, sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah itu turut berperan bagi keberlangsungan eksistensi umat Kristen Nestorian, mengingat Islam secara luas dianut oleh kebanyakan masyarakat timur tengah pada abad-abad selanjutnya.


Salah satu contoh perkembangan positif bagi komunitas Kristen Nestorian pada masa berikutnya ialah di bawah kekuasaan Khilafah Abbasiyah yang berdiri sekira tahun 750 M, para Khalifah yang memimpin turut memberi ruang bagi penganut agama tersebut untuk berperan dalam kehidupan bernegara. Banyak dokter penganut Nestorian yang menjadi dokter pribadi para Khalifah. Pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid (786-809 M) serta dua penggantinya (Al-Amin dan Al-Ma’mun), terhitung cukup besar pengaruh tokoh-tokoh Nestorian dari segi politik. Para Khalifah itu membiarkan orang Kristen mengemban tugas penting dan terhormat di istana, contohnya ialah sebagai juru bicara bagi sesama pemeluk Kristen. Pengaruh positif pemerintahan Islam berdampak lebih jauh bagi kaum Nestorian untuk meluaskan pengaruhnya ke luar Timur Tengah. Bahkan di Cina ditemukan sebuah monumen batu yang didirikan antara tahun 779-781 M pada saat kepemimpinan agamawan Nestorian bernama Hanan Shua. Bagaimana ajaran ini bisa sampai ke negeri Cina ? Hal itu disebabkan peran dari Bapa Gereja berkebangsaan Syria bernama Yeshuyab II (628-643 M), yang dalam bahasa Cina disebut A-lo Pen.


Penyebaran Nestorian ternyata tak berhenti hingga ke negeri tirai bambu di sisi timur belahan dunia. Sama halnya dengan gambaran interaksi simbiotik antara kedua agama (Islam & Kristen Nestorian) itu tergambar dalam catatan seorang ilmuwan Islam bernama Syaikh Abu Salih Al-Armini. Ia adalah seorang pakar sejarah termasyhur yang hidup sekitar 1150. Ia menerbitkan daftar 707 Gereja Kristen dan 181 Pertapaan di Mesir, Nubia, Abessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India, dan Indonesia. Abu Salih menguraikan kondisi di Sumatera Utara : “Di Fansur ada beberapa gereja, yang termasuk kelompok Kristen Nestorian. Dari situ (Fansur-Pen) dihasilkan ‘Kamfer Barus’, suatu zat yang menetes dari pohon-pohon. Di kota itu berdiri gereja, yang ditandai dengan nama Perawan Maria Tak Bernoda.” Tahun didirikannya gereja itu diperkirakan pada 645 M. Fansur yang dimaksud berada di dusun Pancur, dekat Baros di Tapanuli Tengah. Ia menyebut bahwa umat Kristiani pertama tersebut sebagai keturunan Gereja Nestorian atau Khaldea, yang ketika itu tersebar dari Syria sampai di kawasan Malabar di India Selatan. Catatan Abu Salih yang seorang Muslim ini cukup komprehensif (ilmiah) dalam ukuran zamannya.


Catatan mengenai keberadaan gereja Nestorian di Fansur yang berada di pulau Sumatera tentu akan mengingatkan kita pada kota Palembang. Pasalnya, ibukota provinsi Sumatera Selatan ini telah memiliki peradaban lama, bahkan sebelum kemunculan Sriwijaya. Sebuah arca Budha yang ditemukan di Bukit Siguntang Palembang berasal dari abad ke-6 Masehi, dengan kata lain, seabad sebelum pendirian kerajaan besar ini, secara epigrafi maupun historis tampaknya telah dipengaruhi agama Budha. Meski Sriwijaya identik dengan agama Budha, sejak abad ke-6 M agama Hindu sudah muncul dan berkembang di Kota Kapur (P. Bangka) yang kemudian menyebar ke Palembang dan berjaya di pedalaman. Percandian Bumiayu (Muara Enim) adalah buktinya. Selain di Bumiayu, agama Hindu juga menyebar ke Teluk Kijing (± abad ke-8) dan Musi Rawas (±9-10 M).


Tidak mengherankan dengan usia peradaban yang panjang itu, Palembang telah memiliki corak pluralitas yang sedemikian kental. Mengenai aspek demografi dari segi religi, kota ini tidak hanya mengenal agama bercorak India seperti Hindu dan Budha. Saat kerajaan Majapahit dipimpin oleh Rani (Raja Wanita) Tribhuwana Tunggadewi, Bapa Giovanni  d’Marignolli (Inggris : John de Marignolli) dalam perjalanan pulangnya dari Beijing tahun 1347 M menemukan pemeluk Kristiani lokal di Majapahit dan Palembang. Kemungkinan umat Kristiani yang ditemui oleh Marignolli ialah orang-orang Kristen Nestorian. Sekitar dua abad setelah catatan Marignolli itu berdasarkan kajian Lamin O. Sanneh dalam Discilples of All Nations : Pillars of World Christianity menyebut bahwa terjadi pentahbisan seorang patriark / bishop Nestorian di Palembang pada tahun 1502. Sesudah itu tidak lagi terdengar catatan – catatan lebih lanjut mengenai keberadaan pemeluk Nestorian di Nusantara, atau Sumatera dan terkhususnya Palembang. Apalagi gereja ini mengalami kemunduran pada tahun 1552 setelah pada setahun sebelumnya (1551) terjadi skisma (perpecahan) akibat penolakan masyarakat Nestorian atas pengangkatan Shim’un VIII Denka sebagai patriark (tertinggi) dengan oponennya ialah Rahib Yuhanna Sulaqa.

Oleh :

Arafah Pramasto,S.Pd.

(Pendamping PKH dan Anggota Studie Club ‘Gerak Gerik Sejarah’)

Penulis : citizen journalis
Editor : Riki Okta Putra

Artikel ini bukan mengenai Gereja Timur, Gereja Asyur di Timur, atau Gereja Purba di Timur.

Gereja di Timur (bahasa Suryani klasik:ܥܕܬܐ ܕܡܕܢܚܐ‎, ʿĒḏtā d-Maḏenḥā), yang juga disebut Gereja Persia atau Gereja Nestorian, adalah salah satu Gereja Timur pengamal ritus Suryani Timur yang berbasis di Mesopotamia. Gereja ini adalah salah satu dari tiga cabang utama Gereja Timur yang lahir dari kontroversi-kontroversi kristologis abad ke-5 dan ke-6. Dua cabang utama lainnya adalah Gereja-Gereja Ortodoks Oriental dan Gereja Ortodoks Timur. Pada permulaan zaman modern, sederet skisma memecah Gereja ini menjadi beberapa kebatrikan yang saling bersaing, kadang-kadang ada dua, dan kadang-kadang ada tiga kebatrikan dalam waktu yang bersamaan. Sejak paruh akhir abad ke-20, tiga Gereja di Irak mengaku sebagai penerus sah Gereja di Timur, sementara Gereja-Gereja pengamal ritus Suryani Timur di India mengaku sebagai penerus sah Gereja di Timur di India.

Gereja di Timur
ܥܕܬܐ ܕܡܕܢܚܐ

TipeKristen Timur
OrientasiKristen Suryani
TeologiDiofisitisme,
Nestorianisme
Struktur organisasiKeuskupan
Kepala GerejaBatrik-Katolikos di Timur
WilayahTimur Tengah, Kerala, Timur Jauh
LiturgiRitus Suryani Timur
(Liturgi Adai dan Mari)
Kantor pusatBabel (menurut tradisi Gereja Purba),
Edesa,
Seleukia-Ktesifon
PendiriYesus Kristus (menurut Tradisi Suci)
Rasul Tomas
DidirikanZaman Apostolik (menurut tradisi Gereja di Timur)
Kemaharajaan Persia Sasani
Memisahkan diriSkisma tahun 1552 memecah Gereja ini menjadi dua kebatrikan, kemudian menjadi empat kebatrikan, tetapi kembali menjadi dua kebatrikan pada tahun 1830. Salah satu kebatrikan tersebut sekarang ini adalah Gereja Katolik Kaldea, sementara kebatrikan yang satu lagi pecah pada tahun 1968 menjadi Gereja Asyur di Timur dan Gereja Purba di Timur.
Metropolia India pecah menjadi golongan Suryani Timur dan golongan Suryani Barat sesudah Sinode Udayamperur tahun 1599.
Nama lainGereja Nestorian, Gereja Persia, Gereja Suriah Timur

Gereja di Timur menata diri menjadi Gereja nasional Kemaharajaan Persia Sasani dalam Konsili Seleukia-Ktesifon tahun 410. Pada tahun 424, Gereja di Timur mengumumkan kemandiriannya dari tatanan Gereja di Kekaisaran Romawi. Kepala Gereja di Timur adalah Batrik di Timur yang bertakhta di Seleukia-Ktesifon selaku penerus suksesi kepemimpinan yang (menurut tradisi Gereja di Timur) bermula pada Zaman Apostolik. Menurut tradisinya sendiri, Gereja di Timur didirikan Rasul Tomas pada abad pertama. Ritus liturgisnya adalah ritus Suryani Timur yang menggunakan Liturgi Suci Santo Adai dan Santo Mari.

Sebagai bagian dari Gereja Raya, Gereja di Timur menjalin persekutuan dengan Gereja-Gereja di Kekaisaran Romawi sampai Konsili Efesus menganatema Nestorius pada tahun 431. Para pendukung Nestorius berbondong-bondong mengungsi ke Persia. Karena menolak ikut-ikutan menganatema Nestorius, Gereja di Timur dituding menganut paham Nestorianisme, bidat yang konon diajarkan Nestorius. Inilah sebabnya Gereja Barat dan semua Gereja Timur lainnya, baik dari golongan Kalsedon maupun dari golongan non-Kalsedon, melabeli Gereja di Timur dengan sebutan "Gereja Nestorian". Dari segi politik, Persia dan Roma ketika itu sedang berperang, sehingga Gereja di Timur terpaksa menjaga jarak dengan Gereja-Gereja di wilayah Romawi. Belakangan ini, para sarjana menyifatkan sebutan "Nestorian" sebagai "sebutan keliru yang patut disesali", dan tidak tepat secara teologis. Gereja di Timur sendiri pun menyebut diri "Nestorian", menganatema Konsili Efesus, dan menggelari Nestorius sebagai santo di dalam liturginya. Meskipun demikian, para ahli kristologi Gereja di Timur pada akhirnya bersidang dan meratifikasi keputusan Konsili Kalsedon dalam Sinode Mar Aba I tahun 544.

Sebagai golongan dzimmi di bawah daulat Islam di Persia (633-654), Gereja di Timur memainkan peran utama di dalam sejarah Kekristenan di Asia. Antara abad ke-9 sampai abad ke-14, Gereja di Timur merupakan denominasi Kristen terbesar di dunia dari segi luas geografis. Gereja di Timur mendirikan keuskupan-keuskupan dan paguyuban-paguyuban dari Laut Tengah serta Irak dan Iran sekarang ini, sampai ke India (umat Kristen Santo Tomas pengamal ritus Suryani di Kerala), kerajaan-kerajaan bangsa Mongol di Asia Tengah, dan kemaharajaan kulawangsa Tang di Tiongkok (abad ke-7 sampai abad ke-9). Pada abad ke-13 dan ke-14, Gereja di Timur mengalami masa-masa ekspansi terakhirnya di bawah daulat kemaharajaan bangsa Mongol, yakni masa-masa ketika para rohaniwan Gereja di Timur duduk di dalam majelis istana Mongol.

Bahkan sebelum kehilangan sebagian besar wilayah pelayanannya pada abad ke-14, Gereja di Timur sudah kehilangan pijakan di kandang sendiri. Kemerosotan ini tampak pada penurunan jumlah keuskupan yang masih aktif. Sekitar tahun 1000, ada lebih dari enam puluh keuskupan di kawasan Timur Dekat, tetapi pada pertengahan abad ke-13 sudah tinggal sepertiganya saja, kemudian turun lagi menjadi tujuh keuskupan sesudah Timur Leng berkuasa. Sesudah kemaharajaan bangsa Mongol terpecah belah, para penguasa Tionghoa dan Mongol Islam mengusir bahkan nyaris memusnahkan Gereja di Timur maupun umatnya. Sesudah itu, hanya di daerah Mesopotamia Hulu dan Pesisir Malabar (sekarang Kerala, India) sajalah keuskupan-keuskupan Gereja di Timur dapat ditemukan.

Skisma memecah belah Gereja ini, tetapi pada akhirnya tersisa dua kebatrikan pada tahun 1830, yakni Gereja Asyur di Timur dan Gereja Katolik Kaldea (salah satu Gereja Katolik Timur yang bersatu dengan Takhta Suci). Gereja Purba di Timur pecah dari Gereja Asyur di Timur pada tahun 1968. Pada tahun 2017, umat Gereja Katolik Kaldea diperkirakan berjumlah 628.405 jiwa, sementara umat Gereja Asyur di Timur berjumlah 323.300 jiwa, dan umat Gereja Purba di Timur berjumlah 100.000 jiwa. Angka-angka tersebut tidak mencakup jumlah umat Kristen Santo Tomas pengamal ritus Suryani, yang juga terpecah belah menjadi beberapa denominasi, antara lain dua Gereja Katolik Suryani dan beberapa cabang Gereja Ortodoks Suryani.

Daftar isi

Kemandirian Kepala Gereja di Timur sudah dimaklumkan pada tahun 424, 9 tahun sebelum penyelenggaraan Konsili Efesus, konsili yang menganatema Nestorius dan memaklumkan bahwa Maria, ibunda Yesus, dapat disifatkan sebagai Bunda Allah. Sebelum itu, dua konsili ekumenis sudah terselenggara, dan keputusan-keputusan berterima umum, yaitu Konsili Nikea I tahun 325 yang juga dihadiri seorang uskup Persia, dan Konsili Konstantinopel I tahun 381. Gereja di Timur menerima ajaran-ajaran kedua konsili ini, tetapi mengabaikan Konsili Efesus tahun 431 maupun konsili-konsili sesudahnya, karena berpandangan bahwa konsili-konsili tersebut hanya berkenaan dengan kebatrikan-kebatrikan di Kekaisaran Romawi (Roma, Konstantinopel, Aleksandria, Antiokhia, Yerusalem). Di mata Gereja di Timur, semua kebatrikan tersebut adalah "Gereja-Gereja di Barat".

Dari segi teologi, Gereja di Timur mengadopsi doktrin diofisit yang menitikberatkan perbedaan kodrat ilahi dan kodrat insani Yesus.

Sejak abad ke-6, Gereja di Timur melebarkan sayap ke sampai ke negeri-negeri yang sangat jauh, dengan membentuk paguyuban-paguyuban umat Kristen di India (umat Kristen Santo Tomas), Asia Tengah (di kalangan bangsa Mongol), dan di Tiongkok pada zaman kulawangsa Tang dari abad ke-7 sampai abad ke-9. Pada puncak kegemilangannya, antara abad ke-9 sampai abad ke-14, Gereja di Timur merupakan Gereja terbesar di dunia dari segi luas geografis, dengan keuskupan-keuskupan yang tersebar dari daerah pusatnya di antara Mesopotamia Hulu dan Laut Tengah sampai ke Tiongkok, Mongolia, Asia Tengah, Anatolia, Jazirah Arab, dan India.

Sesudah menyebar sedemikian luas, Gereja di Timur memasuki kurun waktu kemerosotan tajam pada abad ke-14. Sebab utamanya adalah pengaruh-pengaruh dari luar. Kulawangsa Ming menumbangkan kekuasaan bangsa Mongol di Tiongkok pada tahun 1368, dan menyingkirkan umat Kristen maupun pengaruh-pengaruh asing lainnya dari Tiongkok. Selain itu, banyak orang Mongol di Asia Tengah beralih ke agama Islam. Timur (1336–1405), pemimpin bangsa Turki-Mongol, nyaris memusnahkan sisa-sisa umat Kristen di Timur Tengah. Yang tersisa dari umat Gereja di Timur hanyalah paguyuban-paguyuban di daerah Mesopotamia Hulu dan jemaat Kristen Santo Tomas di Pesisir Malabar, Anak Benua India.

Pada permulaan zaman modern, skisma tahun 1552 memecah belah Gereja di Timur menjadi tiga Gereja terpisah, yakni Gereja Katolik Kaldea yang bersatu dengan Takhta Suci, serta Gereja Asyur di Timur dan Gereja Purba di Timur yang tidak menjalin persekutuan dengan Gereja mana pun.

Penyifatan sebagai Gereja Nestorian

Pandangan-pandangan Gereja di Timur pada spektrum kristologis abad ke-5 sampai abad ke-7 (biru muda)

Artikel utama: Nestorianisme dan Skisma Nestorian

Nestorianisme adalah doktrin kristologis yang menitikberatkan perbedaan antara kodrat insani dan kodrat ilahi Yesus. Doktrin ini dinisbatkan kepada Nestorius, Batrik Konstantinopel dari tahun 428 sampai tahun 431. Doktrin Nestorius merupakan puncak pencapaian mazhab filsafati yang dikembangkan para sarjana Perguruan Katekese Antiokhia, teristimewa Teodorus dari Mopsuestia, guru Nestorius. Kontroversi timbul ketika Nestorius secara terbuka menggugat pemberian gelar Teotokos (arti harfiahnya "Sang Pelahir Allah") kepada Maria, ibunda Yesus. Menurut Nestorius, menyebut Maria sebagai Teotokos sama saja dengan memungkiri kesejatian kodrat insani Kristus. Nestorius mengemukakan bahwa Yesus memiliki dua kodrat yang tidak benar-benar menyatu, yakni kodrat ilahi selaku Logos dan kodrat insani selaku Yesus, dan oleh karena itu mengusulkan gelar Kristotokos (arti harfiahnya "Sang Pelahir Kristus") yang ia anggap lebih pantas. Pernyataan-pernyataan nestorius menuai kritik dari rohaniwan-rohaniwan terkemuka lainnya, terutama Sirilus, Batrik Aleksandria, salah seorang pemimpin sidang Konsili Efesus tahun 431 yang membidatkan Nestorius dan memecatnya dari jabatan batrik.

Selepas tahun 431, pemerintah Kekaisaran Romawi berusaha melenyapkan paham Nestorianisme. Inilah alasan umat Kristen di Persia menyukai Nestorianisme. Menganut paham yang ditentang pemerintah Romawi adalah cara untuk menghapus kecurigaan pemerintah Persia bahwa umat Kristen di Persia adalah antek-antek Kekaisaran Romawi.

Tidak lama sesudah Konsili Kalsedon tahun 451, barulah Gereja di Timur merumuskan teologi yang berbeda dari Nestorianisme. Rumusan teologi ini pertama kali diadopsi di dalam Sinode Bet Lapat tahun 484, dan dikembangkan lebih lanjut pada permulaan abad ke-7, ketika Kekaisaran Persia Sasani berhasil mendaulat daerah luas yang didiami umat Suryani Barat dari Kekaisaran Romawi. Banyak di antara umat Suryani Barat tersebut mengusung teologi miafisit, yang disebut "Monofisitisme" (Eutikianisme) oleh lawan-lawan mereka, yakni pandangan teologi yang sangat bertolak belakang dengan Nestorianisme. Kebijakan Gereja di Timur ini mendapatkan dukungan dari Syah Khosrau II dan Syahbanu Syirin. Ketokohan Teodorus dari Mopsuestia menginspirasi Babai Agung (551−628) untuk menjabarkan doktrin-doktrin Gereja di Timur secara tertulis. Doktrin-doktrin di dalam Kitab Persatuan yang ditulis Babai Agung menjadi kristologi normatif Gereja di Timur. Babai Agung menegaskan bahwa kedua qnome (istilah Suryani, bentuk jamak dari qnoma, tidak benar-benar berpadanan dengan istilah Yunani φύσις, fisis, οὐσία, usia, maupun ὑπόστασις, hipostasis) Kristus tidak bercampur tetapi kekal manunggal di dalam parsopa (bahasa Yunani:πρόσωπον, prosopon, "persona") Kristus yang satu. Seperti yang juga terjadi pada istilah Yunani φύσις (fisis) dan ὐπόστασις (hipostasis), istilah-istilah Suryani tersebut kadang-kadang dimaknai menyimpang dari maksud sebenarnya, terutama istilah "dua qnome" yang ditafsirkan secara keliru sebagai "dua individu". Sebelum itu, Gereja di Timur masih menerima ungkapan-ungkapan yang cukup luwes, kendati masih di dalam batas-batas teologi diofisit, tetapi sesudah sinode Babai Agung tahun 612 mengundangkan rumusan "dua qnome di dalam Kristus", terbentuklah perbedaan kristologis yang paripurna di antara Gereja di Timur dan Gereja-Gereja Kalsedon "di Barat".

Keabsahan penisbatan Nestorianisme kepada Nestorius, tokoh yang dihormati Gereja di Timur sebagai santo, dipertanyakan. David Wilmshurst berpendapat bahwa berabad-abad lamanya "kata 'Nestorian' digunakan baik sebagai istilah yang melecehkan oleh pihak-pihak yang tidak sejalan dengan teologi Suryani Timur maupun sebagai istilah kebanggaan oleh banyak pihak yang membela teologi Suryani Timur [...] dan sebagai istilah deskriptif yang netral dan dirasa tepat oleh pihak-pihak lain. Sekarang ini istilah tersebut secara umum dirasakan mengandung stigma tertentu". Sebastian P. Brock mengemukakan bahwa "keterkaitan Gereja di Timur dengan Nestorius sesungguhnya renggang, dan tindakan terus-menerus menyebut Gereja itu sebagai Gereja 'Nestorian', dari kaca mata sejarah, benar-benar menyesatkan dan tidak tepat, selain merupakan sebutan yang sangat menistakan dan tindakan yang menyalahi adab ekumene".

Di luar dari makna religiusnya, kata "Nestorian" dipakai pula dengan makna etnis, sebagaimana tampak pada frasa "umat Nestorian Katolik".

Dalam artikel "The 'Nestorian' Church: a lamentable misnomer", yang dimuat dalam jurnal Bulletin of the John Rylands Library tahun 1996, Sebastian Brock, salah seorang Fellow of the British Academy, meratapi kenyataan bahwa "istilah 'Gereja Nestorian' sudah menjadi sebutan standar bagi Gereja timur purba yang pada masa lampau menyebut diri 'Gereja di Timur', tetapi yang sekarang ini lebih menyukai istilah 'Gereja Asyur di Timur' yang lebih lengkap. Sebutan semacam itu bukan hanya tidak sopan terhadap para anggota Gereja terhormat ini pada zaman modern, melainkan juga − sebagaimana yang ingin ditunjukkan makalah ini − tidak tepat dan menyesatkan".

Dalam Konsili Seleukia-Ktesifon tahun 410, Gereja di Timur mengumumkan bahwa Uskup Seleukia-Ktesifon, ibu kota Persia, adalah pemimpin tertingginya. Kepala Gereja di Timur disebut "Metropolitan Agung" di dalam surat keputusan Konsili Seleukia-Ktesifon, tetapi tidak lama kemudian disebut "Katolikos di Timur". Gelar batrik baru dipakai belakangan.

Sama seperti Gereja-Gereja lain, Gereja di Timur memiliki rohaniwan-rohaniwan tertahbis dalam tiga jenjang jabatan tradisional, yakni uskup, imam (atau presbiter), dan diakon. Sama seperti Gereja-Gereja lain, Gereja di Timur menerapkan tatanan keuskupan, yakni pengelompokan umat menjadi keuskupan-keuskupan yang masing-masing dikepalai seorang uskup. Umat di tiap keuskupan masih dikelompokkan lagi menjadi paroki-paroki yang masing-masing dipimpin seorang imam. Keuskupan-keuskupan yang berdekatan dikelompokkan menjadi satu provinsi di bawah kepemimpinan seorang uskup metropolitan. Uskup metropolitan adalah jabatan yang penting, karena mengemban tugas-tugas maupun wewenang tambahan. Berdasarkan hukum kanon, hanya uskup-uskup metropolitan yang berhak mengonsekrasi batrik. Selain menjadi kepala Gereja, batrik juga mengepalai provinsi kebatrikan.

Hampir sepanjang sejarahnya, Gereja di Timur memiliki kurang lebih 6 provinsi di dalam daerah basis. Pada tahun 410, provinsi-provinsi tersebut adalah (diurut berdasarkan hierarki) Seleukia-Ktesifon (Irak Tengah), Bet Lapat (Iran Barat), Nisibis (perbatasan Turki-Irak), Prat de Maishan (Basra, Irak Selatan), Arbela (Erbil, daerah Turkestan di Irak), dan Karka de Bet Slokh (Kirkuk, Irak Timur Laut). Selain itu, Gereja Timur juga membawahi provinsi-provinsi di luar daerah basis yang jumlahnya terus bertambah. Provinsi-provinsi di luar daerah basis Gereja di Timur mula-mula terbentuk di wilayah Kemaharajaan Persia Sasani, tetapi tidak lama kemudian terbentuk pula di luar batas-batas wilayah negara itu. Pada abad ke-10, Gereja di Timur membawahi 20 sampai 30 provinsi gerejawi. Menurut John Foster, ada 25 provinsi yang dibawahi Gereja di Timur pada abad ke-9, termasuk di Tiongkok dan India. Provinsi gerejawi di Tiongkok bubar pada abad ke-11, provinsi-provinsi lain menyusul pada abad-abad selanjutnya. Meskipun demikian, pada abad ke-13, Gereja di Timur membentuk dua provinsi gerejawi baru di Tiongkok Utara, yakni Provinsi Tanggut dan Provinsi 'Katai dan Ong'.

Pesyita, yang sudah sedikit direvisi dan ditambahi kitab-kitab yang semula tidak termasuk di dalamnya, adalah Alkitab Suryani standar bagi Gereja-Gereja bertradisi Suryani, yaitu Gereja Ortodoks Suryani, Gereja Katolik Suryani, Gereja Asyur di Timur, Gereja Purba di Timur, Gereja Katolik Kaldea, Gereja Maronit, Gereja Suryani Ortodoks Malangkara, Gereja Katolik Suryani Malabar, dan Gereja Katolik Suryani Malangkara.

Perjanjian Lama Pesyita diterjemahkan dari bahasa Ibrani, kendati tarikh maupun tempat penerjemahannya tidak betul-betul jelas. Para penerjemahnya mungkin adalah orang-orang Yahudi penutur bahasa Suryani atau orang-orang Yahudi pertama yang memeluk agama Kristen. Mungkin teks demi teks diterjemahkan terpisah-pisah, dan kemungkinan besar penerjemahkan dituntaskan sepenuhnya pada abad ke-2. Rata-rata kitab deuterokanonika Perjanjian Lama memiliki terjemahan Suryaninya, dan kitab Kebijaksanaan Sirakh diyakini diterjemahkan dari bahasa Ibrani, bukan dari Septuaginta.

Perjanjian Baru Pesyita, yang mula-mula tidak mencakup kitab-kitab yang diragukan keasliannya (2 Petrus, 2 Yohanes, 3 Yohanes, Surat Yudas, Wahyu), sudah menjadi bentuk Pesyita standar pada awal abad ke-5.

Pada abad ke-19, kerap muncul wacana bahwa Gereja di Timur menentang segala macam citra religius. Penghormatan terhadap citra religius di Gereja-Gereja Suryani memang tidak pernah sampai pada taraf setinggi yang dicapai Gereja Romawi Timur, tetapi tetap merupakan bagian dari tradisi Gereja di Timur. Penolakan citra-citra religius pada akhirnya menjadi norma akibat penyebaran agam Islam yang mengharamkan segala macam gambar orang-orang kudus dan nabi-nabi. Oleh karena itu, Gereja di Timur terpaksa menyingkirkan ikon-ikon.[butuh sumber yang lebih baik]

Keterangan

  1. Sekalipun lebih populer, label "Nestorian" sudah dibantah dan dicap keliru. Baca bagian § Penyifatan sebagai Gereja Nestorian untuk ihwal penamaan dan sebutan-sebutan alternatif untuk Gereja ini.
  2. Historiografi tradisional Dunia Barat mengenai Gereja ini menetapkan tahun 431 sebagai tahun pendiriannya, yakni tahun penyelenggaraan Konsili Efesus sekaligus tahun terjadinya "Skisma Nestorian". Meskipun demikian, Gereja di Timur sudah eksis sebagai sebuah organisasi tersendiri pada tahun 431, dan nama Nestorius tidak tercantum di dalam semua surat keputusan sinode Gereja ini sampai abad ke-7. Paguyuban-paguyuban umat Kristen yang terisolasi dari Gereja di Kekaisaran Romawi agaknya sudah eksis di Persia sejak abad ke-2. Gereja ini mengembangkan suatu hierarki gerejawi yang mandiri sepanjang abad ke-4, dan mencapai identitas kelembagaan yang paripurna ketika diakui sebagai Gereja yang resmi di negara Persia oleh Syah Yazdegerd I pada tahun 410.

Rujukan

  1. Wilken, Robert Louis (2013). . The First Thousand Years: A Global History of Christianity. Choice Reviews Online. 50. New Haven dan London: Yale University Press. hlm. 222–228. doi:. ISBN 978-0-300-11884-1. JSTOR . LCCN .Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  2. Meyendorff 1989, hlm. 287-289.
  3. dan
  4. Broadhead 2010, hlm. 123.
  5. Stewart 1928, hlm. 15.
  6. Brock 2006, hlm. 8.
  7. Brock 2006, hlm. 11.
  8. Lange 2012, hlm. 477–9.
  9. Payne 2015, hlm. 13.
  10. Fiey 1994, hlm. 97-107.
  11. Baum & Winkler 2003, hlm. 4.
  12. Baum & Winkler 2003, hlm. 112-123.
  13. Procopius, Wars, I.7.1–2
    * Greatrex–Lieu (2002), II, 62
  14. Joshua the Stylite, Chronicle,
    * Greatrex–Lieu (2002), II, 62
  15. Procopius, Wars, I.9.24
    * Greatrex–Lieu (2002), II, 77
  16. Brock 1996, hlm. 23–35.
  17. Brock 2006, hlm. 1-14.
  18. Joseph 2000, hlm. 42.
  19. Wood 2013, hlm. 140.
  20. Moffett, Samuel H. (1992). A History of Christianity in Asia. Jilid I: Beginnings to 1500. HarperCollins. hlm. 219.
  21. Baum & Winkler 2003, hlm. 84-89.
  22. 2018-10-24 di Wayback Machine. Ronald Roberson. (PDF). Catholic Near East Welfare Association. Diarsipkan dari (PDF) tanggal 24 Oktober 2018. Diakses tanggal10 Agustus 2019.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan) temu balik bulan Desember 2010. Informasi bersumber dari Annuario Pontificio edisi 2017.
  23. . www.oikoumene.org.
  24. Baum & Winkler 2003, hlm. 3, 30.
  25. Wilmshurst 2000.
  26. Foltz 1999, hlm. 63.
  27. Seleznyov 2010, hlm. 165–190.
  28. . Encyclopædia Britannica. Retrieved January 28, 2010.
  29. . Encyclopædia Britannica. Temu balik tanggal 11 November 2018.
  30. Kuhn 2019, hlm. 130.
  31. Brock 1999, hlm. 286−287.
  32. Wood 2013, hlm. 136.
  33. Brock 2006, hlm. 174.
  34. Meyendorff 1989.
  35. Baum & Winkler 2003, hlm. 28-29.
  36. Payne 2009, hlm. 398-399.
  37. Bethune-Baker 1908, hlm. 82-100.
  38. Wilmshurst 2000, hlm. 4.
  39. Brock 2006, hlm. 14.
  40. Gertrude Lowthian Bell,
  41. ; bdk.
  42. Brock 1996, hlm. 23-35.
  43. Wilmshurst 2000, hlm. 21-22.
  44. Foster 1939, hlm. 34.
  45. Parry, Ken (1996). (PDF). Bulletin of the John Rylands Library. 78 (3): 143–162. doi:. Diakses tanggal23 Juli 2018.
  46. .

Kepustakaan

  • Aboona, Hirmis (2008). . Amherst: Cambria Press. ISBN 9781604975833.
  • Assemani, Giuseppe Simone (1719). . 1. Roma.
  • Assemani, Giuseppe Simone (1721). . 2. Roma.
  • Assemani, Giuseppe Simone (1725). . 3. Roma.
  • Assemani, Giuseppe Simone (1728). . 3. Roma.
  • Assemani, Giuseppe Luigi (1775). . Roma.
  • Assemani, Giuseppe Luigi (2004). History of the Chaldean and Nestorian patriarchs. Piscataway, New Jersey: Gorgias Press.
  • Badger, George Percy (1852). . 1. London: Joseph Masters.
  • Badger, George Percy (1852). . 2. London: Joseph Masters. ISBN 9780790544823.
  • Baum, Wilhelm; Winkler, Dietmar W. (2003). . London-New York: Routledge-Curzon. ISBN 9781134430192.
  • Baumer, Christoph (2006). . London-New York: Tauris. ISBN 9781845111151.
  • Becchetti, Filippo Angelico (1796). . 10. Roma.
  • Beltrami, Giuseppe (1933). . Roma: Pontificium Institutum Orientalium Studiorum. ISBN 9788872102626.
  • Bethune-Baker, James F. (1908). . Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9781107432987.
  • Bevan, George A. (2009). . Journal of the Canadian Society for Syriac Studies. 7 (2007): 39–54. doi:. ISBN 9781463216153.
  • Bevan, George A. (2013). . Studia Patristica. 68: 31–39.
  • Binns, John (2002). . Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9780521667388.
  • Brock, Sebastian P. (1992). . Aldershot: Variorum. ISBN 9780860783053.
  • Brock, Sebastian P. (1996). (PDF). Bulletin of the John Rylands Library. 78 (3): 23–35. doi:.
  • Brock, Sebastian P. (1999). . Doctrinal Diversity: Varieties of Early Christianity. New York and London: Garland Publishing. hlm. 281–298. ISBN 9780815330714.
  • Brock, Sebastian P. (2006). . Aldershot: Ashgate. ISBN 9780754659082.
  • Brock, Sebastian P. (2007). . Journal of Assyrian Academic Studies. 21 (2): 8–34. Diarsipkan dari tanggal 2008-10-06.
  • Burgess, Stanley M. (1989). . Peabody, Mass.: Hendrickson Publishers. ISBN 9780913573815.
  • Burgess, Richard W.; Mercier, Raymond (1999). "The Dates of the Martyrdom of Simeon bar Sabba'e and the 'Great Massacre'". Analecta Bollandiana. 117 (1–2): 9–66. doi:.
  • Burleson, Samuel; Rompay, Lucas van (2011). . Gorgias Encyclopedic Dictionary of the Syriac Heritage. Piscataway, NJ: Gorgias Press. hlm. 481–491.
  • Carlson, Thomas A. (2017). . Syriac in its Multi-Cultural Context. Leuven: Peeters Publishers. hlm. 265–276. ISBN 9789042931640.
  • Chabot, Jean-Baptiste (1902). (PDF). Paris: Imprimerie Nationale.
  • Chapman, John (1911). . The Catholic Encyclopedia. 10. New York: Robert Appleton Company.
  • Chaumont, Marie-Louise (1964). "Les Sassanides et la christianisation de l'Empire iranien au IIIe siècle de notre ère". Revue de l'histoire des religions. 165 (2): 165–202. doi:.
  • Chaumont, Marie-Louise (1988). . Louvain: Peeters.
  • Chesnut, Roberta C. (1978). . The Journal of Theological Studies. 29 (29): 392–409. doi:. JSTOR .
  • Coakley, James F. (1992). . Oxford: Clarendon Press. ISBN 9780198267447.
  • Coakley, James F. (1996). . The Bulletin of the John Rylands Library. 78 (3): 179–198. doi:.
  • Coakley, James F. (2001). . 85: 119–138.
  • Cross, Frank L.; Livingstone, Elizabeth A., ed. (2005). (edisi ke-3rd revised). Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780192802903.
  • Daniel, Elton L.; Mahdi, Ali Akbar (2006). . Greenwood Press. ISBN 9780313320538.
  • Ding, Wang (2006). "Remnants of Christianity from Chinese Central Asia in Medieval Ages". Dalam Malek, Roman; Hofrichter, Peter L. . Institut Monumenta Serica. hlm. 149–162. ISBN 9783805005340.
  • Ebeid, Bishara (2016). . Orientalia Christiana Periodica. 82 (2): 353–402.
  • Ebeid, Bishara (2017). . Cristianesimo Nella Storia. 38 (3): 729–784.
  • Fiey, Jean Maurice (1967). . L'Orient Syrien. 12: 3–22.
  • Fiey, Jean Maurice (1970a). . Louvain: Secretariat du CSCO.
  • Fiey, Jean Maurice (1970b). (PDF). Parole de l'Orient. 1 (1): 123–153.
  • Fiey, Jean Maurice (1970c). (PDF). Parole de l'Orient. 1 (2): 357–384.
  • Fiey, Jean Maurice (1979) [1963]. . London: Variorum Reprints. ISBN 9780860780519.
  • Fiey, Jean Maurice (1993). . Beirut: Orient-Institut. ISBN 9783515057189.
  • Fiey, Jean Maurice (1994). . Syriac Dialogue: First Non-Official Consultation on Dialogue within the Syriac Tradition. Vienna: Pro Oriente. hlm. 97–107. ISBN 9783515057189.
  • Filoni, Fernando (2017). . Washington, DC: Catholic University of America Press. ISBN 9780813229652.
  • Foltz, Richard (1999). . Palgrave Macmillan. ISBN 9780312233389.
  • Foster, John (1939). . London: Society for Promoting Christian Knowledge.
  • Frazee, Charles A. (2006) [1983]. . Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 9780521027007.
  • Frykenberg, Robert Eric (2008). . Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780198263777.
  • Giamil, Samuel (1902). . Roma: Ermanno Loescher.
  • Grillmeier, Aloys; Hainthaler, Theresia (2013). . 2/3. Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199212880.
  • Gulik, Wilhelm van (1904). (PDF). Oriens Christianus. 4: 261–277.
  • Гумилёв, Лев Николаевич (1970). [Searching for an Imaginary Kingdom: The Legend of the Kingdom of Prester John] (dalam bahasa Rusia). Москва: Наука.
  • Habbi, Joseph (1966). . L'Orient Syrien. 11: 99–132, 199–230.
  • Habbi, Joseph (1971a). (PDF). Parole de l'Orient. 2 (1): 121–143.
  • Habbi, Joseph (1971b). (PDF). Parole de l'Orient. 2 (2): 305–327.
  • Hage, Wolfgang (2007). . Stuttgart: Kohlhammer Verlag. ISBN 9783170176683.
  • Harrak, Amir (2003). (PDF). Hugoye: Journal of Syriac Studies. 6 (2): 235–264.
  • Hauser, Stefan R. (2019). . The Oxford Handbook of Early Christian Archaeology. New York: Oxford University Press. hlm. 431–450. ISBN 9780199369041.
  • Herman, Geoffrey (2019). . The Syriac World. London: Routledge. hlm. 134–145.
  • Hill, Donald (1993). . Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 9780748604555.
  • Hill, Henry, ed. (1988). . Toronto: Anglican Book Centre. ISBN 9780919891906.
  • Hodgson, Leonard; Driver, Godfrey R., ed. (1925). . Oxford: Clarendon Press. ISBN 9781725202399.
  • Hunter, Erica (1996). . The Bulletin of the John Rylands Library. 78 (3): 129–142. doi:.
  • Jackson, Peter (2014) [2005]. . London-New York: Routledge. ISBN 9781317878995.
  • Jakob, Joachim (2014). . Münster: LIT Verlag. ISBN 9783643506160.
  • Jenkins, Philip (2008). . San Francisco: HarperOne. ISBN 9780061472800.
  • Joseph, John B. (2000). . Leiden: Brill. ISBN 9004116419.
  • Jugie, Martin (1935). "L'ecclésiologie des Nestoriens". Échos d'Orient. 34 (177): 5–25. doi:.
  • Kitchen, Robert A. (2012). . The Orthodox Christian World. London-New York: Routledge. hlm. 66–77. ISBN 9781136314841.
  • Klein, Wassilios (2000). . Turnhout: Brepols Publishers. ISBN 9782503510354.
  • Kuhn, Michael F. (2019). . Carlisle: Langham Publishing. ISBN 9781783685776.
  • Labourt, Jérôme (1908). . Journal Asiatique. 11: 227–235.
  • Labourt, Jérôme (1909). . The Catholic Encyclopedia. 5. New York: Robert Appleton Company.
  • Lampart, Albert (1966). . Einsiedeln: Benziger Verlag.
  • Lange, Christian (2012). . Mohr Siebeck. ISBN 9783161509674.
  • Lemmens, Leonhard (1926). . Archivum Franciscanum Historicum. 19: 17–28.
  • Luke, Harry Charles (1924). (PDF). Dalam Ashbee, Charles Robert. Jerusalem 1920-1922: Being the Records of the Pro-Jerusalem Council during the First Two Years of the Civil Administratio. London: John Murray. hlm. 46–56.
  • Marthaler, Berard L., ed. (2003). "Chaldean Catholic Church (Eastern Catholic)". . 3. Thompson-Gale. hlm. 366–369.
  • Menze, Volker L. (2019). . The Syriac World. London: Routledge. hlm. 105–118. ISBN 9781138899018.
  • Meyendorff, John (1989). The Church in history. 2. Crestwood, NY: St. Vladimir's Seminary Press. ISBN 978-0-88-141056-3.
  • Moffett, Samuel Hugh (1999). . Biographical Dictionary of Christian Missions. William. B. Eerdmans Publishing Company. hlm. 14–15. ISBN 9780802846808.
  • Mooken, Aprem (1976). (PDF). Trichur: Mar Narsai Press.
  • Mooken, Aprem (1976). (PDF). Trichur: Mar Narsai Press.
  • Morgan, David (1986). . Basil Blackwell. ISBN 9780631135562.
  • Moule, Arthur C. (1930). . London: Society for Promoting Christian Knowledge.
  • Murre van den Berg, Heleen (1999). (PDF). Hugoye: Journal of Syriac Studies. 2 (2): 235–264. doi:.
  • Murre van den Berg, Heleen (2008). . Aramaic in Its Historical and Linguistic Setting. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag. hlm. 335–352. ISBN 9783447057875.
  • Murre van den Berg, Heleen (2005). . Redefining Christian Identity: Cultural Interaction in the Middle East since the Rise of Islam. Leuven: Peeters Publishers. hlm. 301–320. ISBN 9789042914186.
  • Nichols, Aidan (2010) [1992]. (edisi ke-2nd revised). San Francisco: Ignatius Press. ISBN 9781586172824.
  • O’Mahony, Anthony (2006). . Dalam Angold, Michael. The Cambridge History of Christianity: Eastern Christianity. 5. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 511–536. ISBN 9780521811132.
  • Outerbridge, Leonard M. (1952). . Philadelphia: Westminster Press.
  • Payne, Richard E. (2009). . The Power of Religion in Late Antiquity. Farnham: Ashgate. hlm. 397–409. ISBN 9780754667254.
  • Payne, Richard E. (2015). . Oakland: University of California Press. ISBN 9780520292451.
  • Penn, Michael Philip (2019). . The Syriac World. London: Routledge. hlm. 175–188. ISBN 9781138899018.
  • Pirtea, Adrian C. (2019). . The Syriac World. London: Routledge. hlm. 355–376. ISBN 9781138899018.
  • Reinink, Gerrit J. (1995). . Centres of Learning: Learning and Location in Pre-modern Europe and the Near East. Leiden: Brill. hlm. 77–89. ISBN 9004101934.
  • Reinink, Gerrit J. (2009). . Church History and Religious Culture. 89 (1–3): 217–250. doi:. JSTOR .
  • Roberson, Ronald (1999) [1986]. (edisi ke-6th). Roma: Orientalia Christiana. ISBN 9788872103210.
  • Rossabi, Morris (1992). . Kodansha International. ISBN 9784770016508.
  • Rücker, Adolf (1920). (PDF). Oriens Christianus. 9: 107–123.
  • Saeki, Peter Yoshiro (1937). . Tokyo: Academy of oriental culture.
  • Seleznyov, Nikolai N. (2008). . Orientalia Christiana Periodica. 74 (1): 115-131.
  • Seleznyov, Nikolai N. (2010). . Journal of Eastern Christian Studies. 62 (3–4): 165–190.
  • Silverberg, Robert (1972). . Garden City, NY: Doubleday.
  • Spuler, Bertold (1961). . Religionsgeschichte des Orients in der Zeit der Weltreligionen. Leiden: Brill. hlm. 120–169. ISBN 9789004293816.
  • Stewart, John (1928). . Edinburgh: T. & T. Clark.
  • Tajadod, Nahal (1993). . Paris: Plon.
  • Taylor, David G. K. (2019). . The Syriac World. London: Routledge. hlm. 68–87. ISBN 9781138899018.
  • Tfinkdji, Joseph (1914). "L' église chaldéenne catholique autrefois et aujourd'hui". Annuaire Pontifical Catholique. 17: 449–525.
  • Tisserant, Eugène (1931). . Dictionnaire de théologie catholique. 11. Paris: Letouzey et Ané. hlm. 157–323.
  • Vine, Aubrey R. (1937). . London: Independent Press. ISBN 9780404161880.
  • Vosté, Jacques Marie (1925). . Analecta Ordinis Praedicatorum. 33 (4): 261–278.
  • Vosté, Jacques Marie (1928). . Angelicum. 5: 3-36, 161-194, 325-358, 481-498.
  • Vosté, Jacques Marie (1930). . Le Muséon. 43: 263–316.
  • Vosté, Jacques Marie (1931). . Angelicum. 8: 187–234.
  • Wigram, William Ainger (1910). London: Society for Promoting Christian Knowledge. ISBN 9780837080789.
  • Wigram, William Ainger (1929). . London: G. Bell & Sons.
  • Williams, Daniel H. (2013). . From the Oxus River to the Chinese Shores: Studies on East Syriac Christianity in China and Central Asia. Münster: LIT Verlag. hlm. 387–395. ISBN 9783643903297.
  • Wilkinson, Robert J. (2007). . Leiden-Boston: Brill. ISBN 9789004162501.
  • Wilmshurst, David (2000). . Louvain: Peeters Publishers. ISBN 9789042908765.
  • Wilmshurst, David (2011). . London: East & West Publishing Limited. ISBN 9781907318047.
  • Wilmshurst, David (2019a). . The Syriac World. London: Routledge. hlm. 189–201. ISBN 9781138899018.
  • Wilmshurst, David (2019b). . The Syriac World. London: Routledge. hlm. 799–805. ISBN 9781138899018.
  • Wood, Philip (2013). . Oxford: Oxford University Press. ISBN 9780199670673.

Wikisource memiliki karya asli tentang topik ini:

Mengapa disebut dengan nama gereja nestorian