Mengapa dalam hukum Islam laki-laki dan perempuan dalam hal waris bagiannya 2 banding 1?

Seperti yang sudah diketahui bahwa manusia akan mengalami peristiwa kematian. Oleh karena itu, membicarakan tentang waris atau warisan sering kali terjadi permasalahan dalam hal kepengurusan dan keberlanjutan dari harta mengenai hak-hak properti yang ditinggalkan oleh pewaris yang sudah meninggal dunia. Waris sendiri adalah harta kekayaan ataupun utang yang dimiliki dan ditinggalkan oleh pewaris (pemilik waris), ketika pewaris tersebut mengalami peristiwa kematian. Sehingga dalam hal ini tidak heran, jika waris menjadi hal sensitif untuk dibicarakan dalam kehidupan manusia.

Pada kajian rutin bakda Magrib yang diselenggarakan oleh Masjid Islamic Center UAD, Ustaz Akhmad Arif Rifan, S.H.I., M.S.I. menjelaskan terkait pembagian waris untuk anak laki-laki dalam perspektif ilmu faraid. Ilmu faraid adalah ilmu untuk mengetahui dengannya siapa yang berhak mendapat waris, siapa yang tidak berhak, dan berapa ukuran untuk setiap ahli waris.

Warisan dalam hukum Islam, anak laki-laki memiliki bagian lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan dari pewaris. Sekitar dua kali lipat lebih besar bagiannya. Namun bila anak laki-laki itu anak tunggal, maka bagiannya menjadi setengah dari jumlah warisan pewaris (ayahnya).

Terdapat pada firman Allah Swt. pada Q.S. An-Nisaa’ ayat 11 yang mengandung arti “Allah mengisyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu; bagian anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan …”. Terkait firman tersebut Akhmad Arif memberikan beberapa catatan berdasarkan tafsir. Pertama, bahwa terdapat kata yang artinya mewajibkan dan kata jamak dari anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Kedua, Allah Swt. menjadikan bagian anak laki-laki dua kali lipat dari anak perempuan, sebab tanggung jawab anak laki-laki lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Di antaranya menafkahi dirinya, anak-anaknya, istrinya, dan kerabat yang berada di bawah tanggung jawabnya. Sedangkan anak perempuan tidak demikian.

“Sesungguhnya agama Islam telah memuliakan hak perempuan, yaitu dengan memberinya bagian dalam hal pewarisan. Bila dibandingkan pada masa jahiliah, perempuan tidak mendapat hak waris. Hal ini dijelaskan pada surah An-Nisaa’ ayat 7,” jelasnya.

Lebih lanjut, pembagian waris pada anak laki-laki terdapat dua hal yaitu asobah binnafsi (apabila tidak memiliki anak perempuan) dan ‘ashobah bilghair (apabila memiliki anak laki-laki dan perempuan). Dalam asobah binnafsi ada beberapa hal yang bisa mendapat waris, yaitu disebabkan pernikahan, kekerabatan, dan sebab seseorang yang telah membebaskan budak.

“Dalam konteks penerimaan anak maka jenisnya yang memengaruhi. Jika hanya memiliki anak perempuan saja maka jumlahnya yang memengaruhi, artinya tidak selalu anak perempuan mendapat bagian sedikit daripada anak laki-laki,” jelasnya. (hmd)

Isnan Ansory, Lc, MA Fri 6 June 2014 05:51 | 7938 views

Bagikan lewat

Mengapa dalam hukum Islam laki-laki dan perempuan dalam hal waris bagiannya 2 banding 1?

Mengapa dalam hukum Islam laki-laki dan perempuan dalam hal waris bagiannya 2 banding 1?
Pada dasarnya seorang muslim hendaknya meyakini bahwa seluruh aturan yang di tentukan oleh Allah SWT pasti mendatangkan sebuah kemaslahatan. Apakah kemaslahatan itu dapat diketahui secara kasat mata ataupun tidak.

Sebagai satu contoh adalah sistem pembagian harta waris dalam Islam. Di mana jika kita cermati dengan seksama, sekaligus kita korelasikan dengan aspek lainnya dalam kehidupan berumah tangga, pasti kita akan mendapati banyak kemaslahatan di dalamnya.

Dalam konteks ini, setidaknya ketentuan waris yang sering kali ‘digugat’ adalah pembagian dua banding satu (2-1). Yaitu, pembagian dimana ahli waris dari pihak perempuan mendapatkan bagian harta warisan sebanyak setengah bagian dari pihak laki-laki.

Jika misalnya seorang pewaris meninggalkan harta sebanyak nominal 900 juta dan ahli waris yang menerimanya berupa 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Maka pembagiannya adalah 600 juta diperuntukkan bagi anak laki-laki sedangkan sisanya 300 juta diperuntukkan bagi perempuan.

Ini merupakan gambaran sederhana contoh pembagian dua banding satu, yang kadang kala dapat mendatangkan polemik di antara ahli waris, terlebih jika mereka tidak terdidik dengan baik dalam beragama.

Namun perlua diketahui, bahwa sistem pembagian ini tidaklah bersifat mutlak. Dalam arti tidak setiap ahli waris yang terdiri dari laki-laki dan perempuan mendapatkan bagiannya sesuai dengan ketentuan ini. Para ulama menyebutkan bahwa sistem pembagian ini hanya berlaku setidaknya pada lima (5) kondisi di mana kedekatan ahli waris laki-laki dan perempuan terhadap si pewaris pada posisi yang sama;

1. anak laki dengan anak perempuan,

2. cucu laki-laki dengan cucu perempuan,

3. sandara kandung dengan saudari kandung,

4. saudara sebapak dengan sudari sebapak, serta

5. bapak dengan ibu.

Hikmah

Setidaknya timbul pertanyaan di benak kita, apa hikmah dibalik pembagian ini, yang seolah-olah tidak adil dan cenderung mendeskriditkan hak perempuan?

Jawabnya adalah sebagaimana penulis singgung pada awal tulisan ini, bahwa hikmah atau maslahat sebuah aturan yang datang dari Allah SWT kadangkala dapat dicerna oleh akal, namun kadang kala sebaliknya. Atau hikmah itu dapat pula kita ketahui dengan mengkorelasikannya dengan masalah yang lain, dalam hal ini adalah kewajiban kaum laki-laki untuk mencari dan menyediakan nafkah bagi kaum wanita.

Sebagai contoh: kita asumsikan bahwa seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan sebanyak 900 juta, sementara ahli warisnya adalah anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) dan anak laki-laki dari anak laki-laki yang lain (cucu laki-laki). Dalam hal ini maka posisi cucu laki-laki adalah sepupu bagi cucu perempuan. Dengan demikian harta warisan yang akan didapat oleh cucu perempuan adalah 300 juta sedangkan sisinya 600 juta diperuntukkan bagi sepupunya (cucu laki-laki).

Selanjutnya, hikmah sistem pembagian ini dapat kita lihat, jika kita asumsikan bahwa sepupunya (cucu laki-laki) itu mau menikahinya (cucu perempuan). Sebagaimana kita ketahui bahwa sepupu bukanlah mahram di mana boleh untuk dinikahi. Maka si cucu perempuan akan memgang bagian warisannya secara utuh, di samping mengambil mahar/mas kawin dari sepupunya yang mungkin saja sebesar harta warisan yang diterimanya.

Sementara itu, si sepupu (cucu laki-laki) harus mengeluarkan biaya lain –selain mahar- berupa nafkah (pangan, papan, dan sandang) yang diperuntukkan bagi sepupunya yang telah menjadi istrinya.

Dalam gambaran ini pastilah akal kita akan mengatakan bahwa kaum wanitalah (cucu perempuan) yang lebih beruntung.

Alternatif

Hanya saja, kadangkala sistem pembagian sama rata yang telah mendarah daging di tengah masyarakat kita, membutakan mereka dari berbagai hikmah dari ketentuan Allah ini. Apalagi kasus yang terjadi tidak seperti yang dicontohkan di atas.

Di sinilah timbul sebuah permasalahan di mana ajaran kita menuntut untuk taat secara totalitas pada aturan Allah, tapi di sisi yang lain sebuah tradisi yang telah mendarah daging meskipun itu bertentangan dengan syariat Allah, sulit untuk dianulir dan dinafikan, bahkan seringkali dicarikan justifikasinya.

Menurut perspektif penulis, dua hal yang bertentangan ini sesungguhnya dapat dikompromikan namun dengan syarat si pewaris belum meninggal dunia. Di mana ia bisa menggunakan konsep hibah sebagai alternatif untuk membagikan hartanya secara sama rata. Lalu sepeninggalnya kelak harta yang masih tersisa yang kadangkala hampir habis karena diperuntukkan untuk keperluan penguburan dll, bisa dibagi berdasarkan konsep hukum waris. Di mana harta yang dibagikan itu relatif bernilai sedikit, dan tentunya memungkinkan untuk tidak menyebabkan konflik.

Wallahu a’lam bi ash shawab

Isnan Ansory, Lc., M.A

Peneliti Rumah Fiqih Indonesia (RFI)

Baca Lainnya :

more...


Page 2

Telah menjadi pandangan aksiomatik di tengah-tengah umat Islam, bahwa ilmu fiqih merupakan salah satu bagian terpenting dari keseluruhan ajaran Islam.

Dengan ilmu tersebut, seorang muslim dapat mengetahui hal-hal yang halal maupun haram, sehingga ia dapat mengaktualisasikan keislamannya dengan baik, benar, dan sempurna. Bentuk aktualisasi ini lebih dikenal dengan istilah al-wazi ad-diniy.

Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya pengajian-pengajian rutin di berbagai masjid di tanah air, yang lebih menitik-beratkan tema kajiannya pada tema-tema fiqih. Meski kitab-kitab yang dikaji bukanlah kitab fiqih, seperti kitab hadits Riyadhus Shalihin dan kitab Tafsir Ibnu Katsir.

Dan lebih dari itu, jika kita cermati dengan seksama, kita akan dapati bahwa istilah fiqih itu sendiri merupakan terminologi yang sangat identik dengan Islam dan kebudayaan Islam. Hingga dapat dikatakan bahwa fiqih telah menjadi sebuah ilmu layaknya tradisi yang melekat pada ajaran Islam dan umat ini.

Adakah kita pernah mendengar agama lain diluar Islam menggunakan istilah fiqih untuk mengungkapkan ritus-ritus ajaran mereka, terkhusus ritual ibadah?

Baik dalam agama samawi seperti Yahudi dan Nashrani ataupun agama ardhi seperti Budha dan Hindu, kita tidak meneukan istilah fiqih di dalamnya. Kita tidak pernah mendengar istilah fiqih Nasrani, fiqih Yahudi, fiqih Majusi, fiqih Budha, fiqih Hindu dan seterusnya.

Istilah fiqih tidak pernah sama sekali terdapat pada ajaran agama-agama selain Islam. Istilah fiqih boleh dibilang merupakan istilah yang khusus dimiliki hanya oleh agama Islam.

Terkait istilah ini, penulis teringat sebuah buku kontroversial yang ditulis beberapa tahun lalu secara ‘berjamaah’ oleh orang-orang yang mengklaim diri mereka sebagai pembaharu dan cendikiawan muslim.

Buku itu berjudul ‘Fiqih Lintas Agama’. Jika kita baca sepintas dari judulnya setidaknya pemahaman yang timbul dalam benak kita adalah bahwa setiap agama memiliki khazanah fiqih tersendiri. Artinyaistilah fiqih yang secara bahasa berarti pemahaman atau pemahaman yang mendetail (al fahm ad daqiq), dimilki pula oleh agama-agama di luar Islam.

Namun sangat disayangkan buku ini tidaklah mencerminkan sebuah kajian fiqih dengan pendekatan ajaran-ajaran normatif agama yang ada.

Buku itu tidak lebih dari sebuah karya tulis yang dimaksudkan mendistorsi bahkan mendekontruksi ajaran-ajaran Islam yang telah mapan dan menjadi kesepakatan (ijma’) ulama Islam sepanjang masa. Isi buku itu di antaranya masalah pernikahan beda agama, pembagian warisan dan lain sebagainya.

Namun pada tulisan ini, penulis tidak bermaksud memberikan tanggapan atas buku tersebut. Akan tetapi penulis lebih menitik beratkan pada term ‘fiqh’ yang dijadikan tema utama buku tersebut. Hingga akhirnya penulis berasumsi bahwa istilah ‘fiqih’ pada dasarnya merupakan istilah yang hanya ada pada agama Islam an sich atau milik Islam semata.

Asumsi di atas pada awalnya merupakan asumsi subyektif penulis sendiri, hingga asumsi tersebut setidaknya mulai terbukti kekeliruannya ketika penulis mendapati penisbatan istilah lain atas istilah fiqih dalam muqaddimah sebuah karya monumental ulama masa kini dalam masalah fiqih, al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah.

Dalam buku tersebut (yang berjumlah kurang lebih 45 jilid), para ulama yang terkumpul dalam Kementrian Waqaf Kuwait menyebut dua istilah yang dinisbahkan kepada term ‘fiqih’ yaitu al fiqih al Islamy (fiqih yang berlandaskan pada dasar-dasar agam Islam) dan al Fiqih al Wadh’i (fiqih yang tidak berlandaskan pada dasar-dasar agama Islam atau sering disebut dengan hukum positif). Dalam arti lain, istilah fiqih tidak hanya milik Islam saja namun ajaran lain pun atau produk hukum lainpun dapat disebut dengan fiqih.

Namun menurut hemat penulis, para ulama itu ketika menyebut kedua istilah tersebut, pada dasarnya hanya bertujuan untuk memudahkan penyebutan semata. Dengan tujuan memberikan perbandingan antara produk hukum yang dihasilnya berdasarkan ajaran Islam dan produk hukum lainnya yang tidak bersandar pada Islam sama sekali. Sebab kedua produk hukum itu pun dihasilkan melalui penelitian dan pemahaman yang mendalam, sebagaimana proses tersebut dapat dipadankan dengan pengertian etimologi fiqih.

Namun perbedaan akan semakin tampak ketika kita melihat sumber yang dijadikan dasar dilahirkan dua fiqih tersebut. Setidaknya penisbatan diatas memiliki persamaan dengan istilah lainnya yang terkait seperti penisbatan hukum positif (al wadh’i) atau produk hukum suatu bangsa tertentu kepada istilah ‘at tasyri’’, semisal at tasyri’ al asyuri, at tasyri’ al babiloni, at tasyri’ al fir’auni dll.

Mengapa penulis berkesimpulan demikian?.

Setidaknya kesimpulan penulis tersebut berdasarkan dua alasan berikut:

Pertama, secara etimologi dan terminologi, istilah fiqih memiliki akar yang sangat kuat dalam khazanah Islam.

Dalam hal ini, Al Qur’an dan al Hadits sebagai sumber ajaran Islam secara eksplisit menyebut istilah fiqih seperti yang tertuang dalam surat at Taubah; 122 (liyatafaqqahu fi addin).

Ataupun seperti doa Nabi Muhammad SAW kepada Ibnu Abbas Rahiyallahuanhu, “Allahumma faqqihhu fi ad din wa ‘allimhu at ta’wil”.

Namun, meskipun pada awalnya istilah ‘fiqih’ mengalami beberapa fase perkembangan, namun pada akhirnya para ulama pun ketika memutlakkan istilah fiqih, mereka mengartikannya sebagai;

“Sekumpulan hukum dan permasalahan syariat yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia”.

Adapun ilmu fiqih berarti sebuah; “Ilmu yang membahas hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalilnya yang terperinci.”

Dengan demikian sebuah kumpulan hukum atau disiplin ilmu yang tidak bersandarkan pada dalil-dalil syara’ tidak dapat dinyatakan sebagai fiqih.

Kedua, orisinalitas istilah ‘fiqih’ bagi agama Islam dapat dianalogikan dengan istilah-istilah lainnya dalam agama ini, seperti shalat, zakat, haji, shaum, bahkan istilah syariat dan dakwah.

Terkait istilah ‘syariat’, Syaikh Manna’ al Qaththan dalam bukunya ‘at Tasyri wa al Fiqh al Islamy’ telah mengkritik kalangan yang menyebut hukum positif sebagai at tasyrî’ al wadh’î sedangkan wahyu ilahi disebut dengan at tasyrî’ as samawî,

Menurut beliau yang benar adalah bahwa istilah syariat/tasyri’ hanya boleh disandarkan pada wahyu bukan selainnya dari hasil olah fikir manusia maupun sistem-sistem ciptaan mereka. (Manna’ Khalil al Qaththan, at Tasyrî’ wa al Fiqh al Islâmî, hal. 15-16).

Demikian pula dengan istilah dakwah yang juga merupakan istilah khusus yang dimaksudkan membawa manusia kejalan Allah. Dalam arti lain tidak semua ajakan (dakwah) dinamai dakwah bila tidak dimaksudkan untuk membawa manusia ke jalan Allah.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Quthub, “Sesungguhnya dakwah adalah dakwah (seruan) kejalan Allah, bukan ke jalan da’i atau kaumnya. Tiada bagi da’i dari dakwah yang ia lakukan, kecuali menjalankan tugas dan kewajibannya kepada Allah SWT.” (Sayyid Quthb, fî Zhilâl al Qur’ân, jilid. IV, hal. 2301-2302).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penisbatan istilah ‘islamy’ kepada istilah ‘fiqih’ sebagaimana judul di atas, hanya dimaksudkan sebagai penekanan semata. Sebab, sebagaimana berdasarkan alasan-alasan di atas, dapat dinyatakan bahwa istilah ‘fiqih’ meskipun tanpa embel-embel ‘islamy’, mutlak merupakan bagian tak terpisahkan dari khazanah Islam

Disamping istilah ini merupakan salah satu wujud keistimewaan agama Islam sebagai satu-satunya agama yang sempurna (syamil) dan menyempurnakan (mutakaamil) serta dapat beradaptasi dengan setiap kondisi (murunah) berlandaskan dasar-dasar agama yang bersifat tsawabit /tetap sekaligus mengakomodasi setiap yang mutaghayyirat/hal-hal yang berubah pada setiap masa dan tepat.

Akan tetapi, keistimewaan tersebut pada dasarnya tidak akan tercapai, kecuali jika komponen-komponen penunjang karakteristik Islam tersebut tidak teralisasikan dengan tepat, yaitu berupa ijtihad-ijtihad fiqih yang harus terus digalakkan untuk menjawab setiap tantangan zaman sembari berdiri di atas pondasi-pondasi ijtihad genarasi terbaik umat ini dengan kembali menggalakkan kajian-kajian seputar turast Islam sembari dengan menciptakan suasana yang kondusif untuk mengaplikasikan turats tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Dan hal tersebut sekali lagi dapat tercapai jika tradisi fiqih dapat mengakar luas di tengah-tengah umat.

Wallahu’alam bi ash showab.


Page 3

Mengapa dalam hukum Islam laki-laki dan perempuan dalam hal waris bagiannya 2 banding 1?

Hanif Luthfi, Lc., MA

69 judul

Ibnu Taimiyyah Memotong Pernyataan Syeikh Abdul Qadir al-Jilani tentang Makna Istiwa, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 1 November 2021 - 19:51 | 4.490 views
Antara Albani dan Ibnu Qayyim Tentang Ziarah Kubur Hari Jumat
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 1 October 2021 - 07:00 | 4.292 views
Membaca Biaografi Ulama Menurunkan Rahmat, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 1 September 2021 - 07:20 | 2.433 views
Bahaya Takhbib
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 8 September 2020 - 11:05 | 30.506 views
Ayah Mertua Menikahi Ibu Kandung Menantu, Bolehkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 9 August 2020 - 11:56 | 13.140 views
Puasa Ayyam al-Bidh Khusus Bulan Dzulhijjah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 2 August 2020 - 07:43 | 3.870 views
7 Amalan Pahalanya Setara Ibadah Haji dan Umrah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 17 July 2020 - 19:29 | 11.691 views
Jika Hibah kepada Anak maka Berlakulah Adil
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 6 July 2020 - 12:00 | 6.234 views
Berjamaah di Rumah, Samakah Fadhilahnya?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 5 April 2020 - 09:09 | 8.686 views
MIL U atau MIL A?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 20 February 2020 - 02:02 | 8.787 views
Menikahi Wanita Ahli Kitab, Halalkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 8 December 2019 - 05:05 | 20.558 views
Mencium Tangan Kyai, Sunnah Siapa?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 28 November 2019 - 05:05 | 10.632 views
Kuburiyyun dan Anti Kuburan
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 18 November 2019 - 05:05 | 9.376 views
Menomori Hadits Bukan Tradisi Ulama Salaf
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 8 November 2019 - 05:05 | 3.358 views
Taklid Bagi Orang Awam
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 28 October 2019 - 05:05 | 10.887 views
Menuduh Kyai Ibnu Taimiyyah Klenik
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 18 October 2019 - 09:17 | 6.060 views
Ilmu Cocokologi al-Qur’an
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 8 May 2019 - 08:56 | 5.243 views
Kuis Bidah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 1 December 2016 - 09:58 | 9.712 views
Memahami Persoalan itu Setengah dari Jawaban
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 18 September 2016 - 16:17 | 9.709 views
As-Shalatu Jamiatun atau as-Shalata Jamiatan, Mana Yang Benar?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 8 March 2016 - 11:31 | 29.520 views
Ziarah Kubur Nabi itu Haram Menurut Madzhab Hanbali, Benarkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 8 November 2015 - 20:20 | 11.957 views
Siapakah yang Disebut Anak Yatim?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 22 October 2015 - 17:26 | 50.001 views
Susahnya Mengamalkan Hukum Waris Islam di Indonesia
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 15 October 2015 - 13:54 | 10.410 views
Bertanyalah Dalil Kirim Pahala al-Fatihah Kepada Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)!
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 3 September 2015 - 12:01 | 57.440 views
Wiridan dan Hizib Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H)
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 14 August 2015 - 10:00 | 49.954 views
Kekurangtepatan Terhadap Pemahaman Pernyataan Ulama Terkait Harus 11 Rakaat
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 25 June 2015 - 11:00 | 10.562 views
Dalil-Dalil yang Dipakai Dalam Membid'ahkan Tarawih Lebih 11 Rakaat
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 24 June 2015 - 11:00 | 17.141 views
Apakah Benar Bahwa Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Rakaat Adalah Bid'ah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 23 June 2015 - 11:00 | 10.668 views
Proses Pensyariatan Puasa Ramadhan
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 2 June 2015 - 12:41 | 11.907 views
Apakah Ada Hadits Dhaif dalam Musnad Ahmad?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 13 May 2015 - 17:00 | 31.081 views
Apa Saja Kitab Fiqih Madzhab Ahli Hadits?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 21 April 2015 - 21:03 | 16.629 views
Madzhab Fiqih Ahli Hadits
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 21 April 2015 - 13:36 | 18.411 views
Shalat Jum'at Tidak Ditempat yang Biasa Disebut Masjid, Bolehkah?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 9 April 2015 - 21:21 | 25.532 views
Bolehkah Bagi Musafir, Shalat Jum'at Dijama' Dengan Shalat Ashar?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 27 March 2015 - 11:02 | 23.246 views
Hadits Nabi Bisa Jadi Menyesatkan
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 13 March 2015 - 11:11 | 21.180 views
Benarkah Ishaq bin Rahawaih Meletakkan Tangan Diatas Dada Saat Shalat?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 6 February 2015 - 20:54 | 10.610 views
Letak Bersedekap Ketika Shalat: Sebab Perbedaan dan Dalilnya
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 5 February 2015 - 20:21 | 22.514 views
Meletakkan Tangan Diatas Dada Bukan Pendapat Ulama Madzhab Empat
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 4 February 2015 - 19:31 | 35.967 views
Sudah Belajar Ushul Fiqih Tetapi Masih Taqlid
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 14 January 2015 - 06:46 | 13.302 views
Kenapa Imam At-Thabari Didzalimi? (bag. 2)
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 30 November 2014 - 12:00 | 12.488 views
Imam At-Thabari Yang Terdzalimi
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 29 November 2014 - 12:00 | 16.373 views
Beasiswa Abu Hanifah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 27 August 2014 - 15:49 | 8.810 views
Kiat-kiat Shalat di Kereta Api
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 17 July 2014 - 08:18 | 13.812 views
Bener tapi Kurang Pener
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 6 July 2014 - 21:32 | 11.122 views
Hari yang Meragukan
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sun 29 June 2014 - 00:57 | 9.051 views
Ka Yauma atau Ka Yaumi?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 10 May 2014 - 00:00 | 11.147 views
Ulama Dikenal Karena Tulisannya
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 7 May 2014 - 11:05 | 10.153 views
Why: Siapa untuk Bertanya Kenapa
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 30 April 2014 - 12:20 | 11.338 views
Sujud Dengan Tangan atau Lutut: Khilafiyyah Abadi
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 5 April 2014 - 18:00 | 14.104 views
Jika Dhaif Suatu Hadits
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 2 April 2014 - 22:32 | 14.507 views
Model Penulisan Kitab Hadits
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 24 March 2014 - 13:41 | 10.569 views
Kartubi : Lahir Hidup dan Wafat di Jawa
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 12 March 2014 - 06:55 | 10.302 views
Khilafiyah Dalam Menshahihkan dan Mendhaifkan Hadits: Sebuah Keniscayaan (bag. 2)
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 27 February 2014 - 06:00 | 11.277 views
Khilafiyah Dalam Menshahihkan dan Mendhaifkan Hadits: Sebuah Keniscayaan
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 26 February 2014 - 12:00 | 14.538 views
Sejarah Perjalanan Ilmu Hadits (bag. 2)
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 19 February 2014 - 01:01 | 12.440 views
Sejarah Perjalanan Ilmu Hadits (bag.1)
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 18 February 2014 - 15:00 | 8.071 views
Ustadz Jadi Apa?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Tue 28 January 2014 - 07:28 | 12.683 views
Menyadarkan Muqallid
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 25 January 2014 - 12:23 | 10.257 views
Qunut Shubuh : Al-Albani VS Ibnul Qayyim
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 23 January 2014 - 05:45 | 15.979 views
Serupa Tapi Tak Sama: Nama-Nama Ulama bag. 2
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 18 October 2013 - 14:38 | 9.684 views
Serupa Tapi Tak Sama: Nama-Nama Ulama bag. 1
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 18 October 2013 - 11:37 | 14.784 views
As-Syathibi: Pakar Bid'ah yang Dituduh Ahli Bid'ah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 17 August 2013 - 07:32 | 26.448 views
Mata Kaki Harus Menempel?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 10 August 2013 - 15:35 | 33.924 views
Tantangan Qawaid Fiqhiyyah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Fri 21 June 2013 - 03:03 | 28.808 views
Puber Religi?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Sat 18 May 2013 - 20:02 | 10.888 views
Shubuh Wajib Berhenti
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 24 April 2013 - 00:45 | 10.588 views
Menghukumi atau Menghakimi: Corak Fiqih Baru?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Wed 17 April 2013 - 15:12 | 12.665 views
With Us Or Against Us : Corak Fiqih Baru?
Hanif Luthfi, Lc., MA | Mon 1 April 2013 - 07:04 | 9.216 views
Antara Kitab Fiqih Sunnah dan Shahih Fiqih Sunnah
Hanif Luthfi, Lc., MA | Thu 14 February 2013 - 16:45 | 38.383 views