Tweet Thu 10 September 2015 06:00 | Mawaris > Substansi ilmu waris | 14.189 views
Pertanyaan :
Jawaban : Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Membagi waris adalah wasiat Allah SWT, dimana orang yang menentang tata cara pembagian waris itu bukan hanya diancam masuk neraka, tetapi lebih parah dari itu, bahkan sampai dipastikan tidak akan keluar lagi untuk selamanya di dalam neraka.Padahal umumnya umat Islam mendapatkan jaminan dari Nabi SAW, bahwa siapa yang di dalam hatinya ada setitik iman atau matinya dalam keadaan muslim, maka dipastikan akan masuk surga. Kalau harus masuk neraka terlebih dahulu karena besarnya dosa, tetap saja pada akhirnya akan dikeluarkan dari neraka dan dipindahkan ke surga.Namun ketentuan ini ada pengecualiannya, yaitu ada beberapa orang yang beragama Islam, lalu mati dalam keadaaan muslim, tetapi ketika masuk neraka ternyata diabadikan di dalamnya dan tidak pernah dipanggil keluar. Selamanya abadi di dalam neraka, meski mati dalam keadaan muslim. Siapakah orang itu? Allah SWT telah menurunkan ketentuan-Nya serta mewajibkan umat Islam untuk membagi warisan sesuai dengan ketentuan itu. Dan bagi mereka yang secara sengaja melanggar dan tidak mengindahkan ketentuan Allah ini, padahal dia sadar dan tahu tentang hukum yang Allah tentukan, maka Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka. Tidak cukup hanya masuk neraka, bahkan hukuman buat para penentang adalah bahwa keberadaan mereka itu kekal abadi selamanya di dalam neraka. Cukup? Belum! Bahkan masih ditambahkan lagi dengan jenis siksaan yang menghinakan. Ketentuan seperti ini telah Allah cantumkan di dalam Al-Quran Al-Kariem. وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya (hukum waris), niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' 14) Di ayat ini Allah SWT telah menyebutkan bahwa membagi warisan adalah bagian dari hudud, yaitu sebuah ketetapan yang bila dilanggar akan melahirkan dosa besar. Bahkan di akhirat nanti akan diancam dengan siksa api neraka. Al-Imam Al-Qurtubi di dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Quran menyebutkan bahwa ada dua macam maksiat. Maksiat pertama adalah maksiat yang tidak berdampak kepada kekafiran, dan maksiat kedua adalah maksiat yang berdampak kepada kekafiran dari pelakunya. Dan menentang ketentuan Allah dalam hukum mawaris ini termasuk jenis yang kedua, yaitu yang berakibat kepada kekafiran. Sebab yang berada abadi di dalam neraka hanya orang-orang yang kafir saja.[1] Tidak seperti pelaku dosa lainnya, mereka yang tidak membagi warisan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah SWT tidak akan dikeluarkan lagi dari dalamnya, karena mereka telah dipastikan akan kekal selamanya di dalam neraka sambil terus menerus disiksa dengan siksaan yang menghinakan. Sungguh berat ancaman yang Allah SWT tetapkan buat mereka yang tidak menjalankan hukum warisan sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Cukuplah ayat ini menjadi peringatan buat mereka yang masih saja mengabaikan perintah Allah sebagai ancaman. Jangan sampai siksa itu tertimpa kepada kita semua. Kalau kita perhatikan secara seksama, salah satu perbedaan siksa antara seorang muslim dengan seorang kafir di hari akhir nanti adalah masalah keabadian di dalam neraka. Orang kafir nanti akan masuk neraka kekal di dalamnya. Sedangkan orang Islam yang masuk neraka, apabila siksanya di neraka sudah dianggap cukup menebus dosa-dosanya, ada kemungkinan dia akan diangkat dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Namun ternyata, ayat ini malah menunjukkan anomali. Seorang seorang muslim yang tidak mau menjalankan aturan hukum waris, diancam akan kekal di dalam neraka. Ini siksaan khas buat orang kafir, padahal secara hukum, pelakunya masih tetap dianggap muslim. Kalau dia meninggal, kita tetap memperlakukan secara Islam. Dia tetap kita mandikan, kafani, shalatkan dan kita kuburkan di lokasi pekuburan milik umat Islam. Artinya, secara hukum kita tidak memposisikan orang yang menentang hukum Allah ini sebagai orang kafir. Akan tetapi, di akhirat nanti, ternyata hukumannya mirip dengan hukuman buat orang kafir, yaitu kekal di dalam neraka selama-lamanya. Sungguh ancaman Allah SWT ini sangat merisaukan hati kita. Maka cukup ayat ini sudah menjadi dasar motivasi kita untuk tidak main-main dengan urusan pembagian waris, dimana kita semua terikat untuk membaginya sesuai dengan perintah dan ketentuan dari Allah SWT. Kalau ktia tidak paham atau belum mengerti, maka di pundak kita ada kewajiban dan beban untuk terus belajar menguasai dan memahami ilmu faraidh. Sebab kita tidak mau mendekam selamanya di dalam neraka, cuma karena urusan yang kita anggap sepele, padahal sangat dahsyat di sisi Allah SWT. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, [1] Al-Imam Al-Qurtubi di dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Quran, jilid 3 hal. 276 Baca Lainnya :
TOTAL : 2.294 tanya-jawab | 47,510,805 views
I. Kewarisan Menurut Hukum Islam Pembagian Harta Waris – Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya: “Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”. Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas. Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:
Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI). Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI). Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI). Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI). Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI). Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan. Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:
Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:
Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi dasar hukum bagian isteri adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang artinya: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”. Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”. Sedangkan bagian anak perempuan adalah:
“Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”. Bagian anak laki-laki adalah:
Ibu dalam menerima pusaka/bagian harta waris adalah sebagai berikut:
Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak dan seterusnya keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai anak”. Bagian Bapak adalah:
Sedangkan bagian nenek adalah:
Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris adalah:
Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik nenek dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak (baik laki-laki maupun perempuan), ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat (2) KHI). Untuk memudahkan mengetahui siapa ahli waris yang berhak dan berapa bagiannya masing masing bisa KLIK : Kalkulator Waris Islam II. Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW). Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”. Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95). Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan berdasarkan KUHPerdata ; A. GOLONGAN I. Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Ayah Ibu Pewaris Saudara Saudara B. GOLONGAN II Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian C. GOLONGAN III kakek nenek kakek nenek Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah. Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu. D. GOLONGAN IV Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya. Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara. Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
III. Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata (BW). Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak. Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam. Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain. Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis). Catatan Penting : Bahwa pembagian harta waris bagi mereka yang beragama islam (muslim) maka menggunakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam/Kewarisan menurut hukum islam dan jika terjadi sengketa maka penyelesaiannya bisa melalui Pengadilan Agama, sedangkan bagi mereka yang non-muslim ketentuan kewarisan berdasarkan KUHPerdata (BW) kemudian jika terjadi sengketa upaya hukumnya harus ke Pengadilan Negeri. Dengan demikian sangat keliru jika kita beragama muslim tapi pembagian harta warisnya ingin menggunakan ketentuan yang ada dalam KUH Perdata, karena pembagian harta waris menurut KUH Perdata (BW) berlaku bagi mereka yang beragama non-muslim di Indonesia. |