Jawaban: Kendati pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai pada awal abad ke-2 H, saat Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah menduduki jabatan khalifah (717-720 M). Faktor penyebabnya adalah kekhawatiran Khalifah bahwa hadis berangsur-angsur akan hilang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan. Ia melihat bahwa para penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal, dan sudah berpencar ke berbagai wilayah Islam. Selain itu, pemalsuan hadis pun mulai berkembang. Dengan dukungan para ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq (keduanya ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah binti Abu Bakar). Di samping itu, Khalifah Umar juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis yang ada pada para penghafal hadis di Hijaz (Madinah dan Makkah) dan Suriah. Az-Zuhri adalah ulama besar dari kelompok tabiin pertama yang membukukan hadis. Sejak saat itu, perhatian para ulama hadis dalam pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai berkembang, sehingga pada abad ke-2 H dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah; Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah; ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra; Sufyan as-Sauri di Kufah; Ma’mar bin Rasyid di Yaman; Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam (Suriah); Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran); Hasyim bin Basyir di Wasit (Irak); Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran); dan Abdullah bin Wahhab di Mesir. Akan tetapi, penulisan hadis pada masa ini, masih bercampur antara sabda Rasulullah SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin, seperti terlihat dalam kitab al-Muwatta’ yang disusun Imam Malik. Karena keragaman isi kitab hadis yang disusun pada masa ini, para ulama hadis ada yang mengatakan bahwa kitab-kitab hadis ini termasuk kategori al-musnad (kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW). Tetapi ada pula yang memasukkannya ke dalam kategori al-Jami’ (kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela) atau al-mu’jam (kitab yang memuat hadis menurut nama sahabat, guru kabilah, atau tempat hadis didapatkan). Fase penulisan hadis yang terkahir ini baru mulai berkembang akhir abad ke-2 H. Pada periode selanjutnya, muncul para tabiin dan tabi’ at-tabi’in (generasi sesudah tabiin) yang memisahkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa sahabat serta tabiin. Mereka hanya menuliskan hadis yang merupakan sabda Rasulullah SAW lengkap dengan sanad (periwayatan) yang disebut al-musnad. Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal adalah salah satu al-musnad yang terlengkap dan paling luas. Akan tetapi hadis yang disusun dalam kitab-kitab al-musnad ini masih mencampurkan hadis yang sahih, hasan, dan daif, bahkan hadis maudu’ (palsu). Di antara generasi pertama yang menulis al-musnad ini adalah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi. Langkah ini diikuti oleh generasi sesudahnya, seperti Asad bin Musa, Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Nu’aim bin Hammad al-Khaza’i, Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali, Ishaq bin Rahawaih, dan Usman bin Abi Syaibah.
Selama proses pengumpulan dilakukan penjagaan dan pemeliharaan. Selasa , 23 Jan 2018, 17:30 WIB Wordpress.com/a Rep: Nashih Nasrullah Red: Agung Sasongko REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai sumber hukum Islam, hadis telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Menurut Syekh ‘Abdul Ghoffar ar-Rahmani dalam Pengantar Tadwin (Pengumpulan) Hadits, proses panjang penjagaan dan pemeliharaan hadis berlangsung melalui tiga cara. Yaitu, umat yang mengamalkan hadis tersebut, hafalan (hifzun) dan tulisan (kitabah), serta periwayatan dan pengajaran.Dengan metode-metode tersebut, pengumpulan, pengklasifikasian, tabwib (penyusunan formasi), dan penulisan hadis dibagi menjadi empat periode, yakni: Periode Pertama Periode pertama berlangsung selama rentang hidup Nabi Muhammad SAW hingga sepanjang abad pertama Hijriah. Pada masa ini, Rasulullah hidup, bergaul dan berbicara dengan masyarakat dan para sahabat, baik di masjid, rumah, pasar, maupun saat berjumpa dengan musafir. Apa yang disampaikan oleh Nabi SAW senantiasaa diperhatikan secara saksama oleh para sahabat yang menjadi periwayat hadis kendati masih berupa hafalan. Beberapa penghafal hadis terkenal pada periode ini adalah Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Abbas, Aisyah ash-Shiddiqah, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Anas bin Malik, dan lain-lain. Periode Kedua Periode ini dimulai sekitar pertengahan abad kedua Hijriah. Selama periode ini, sejumlah besar tabi’in menghimpun karya mereka dalam bentuk buku. Beberapa penghimpun hadis pada periode ini adalah Muhammad bin Syihab az-Zuhri (ia dianggap sebagai ulama hadis terbesar di zamannya), Abdul Malik bin Juraij, Mu’ammar bin Rasyid, Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Hammad bin Salamah, Abdullah bin al- Mubarak, dan Malik bin Anas (w. 179 H). Di antara karya tulis pada periode ini adalah Al- Muwaththa’ karya Imam Malik. Periode Ketiga Dimulai pada abad ke-2 H hingga akhir abad ke-4 H, ketika hadis-hadis Nabi, atsar sahabat, dan aqwal (ucapan) tabi’in dikategorisasikan, dipisahkan, dan dibedakan. Selain itu, riwayat-riwayat yang maqbulah (diterima) dihimpun secara terpisah dan buku-buku dari periode kedua diperiksa kembali untuk diautentifikasi.Pada periode ini pula, hadis-hadis dipelihara dan dijaga. Hal itu diwujudkan para ulama dengan memformulasikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis (lebih dari 100 ilmu) hingga menghasilkan ribuan buku mengenai hadis. Salah satu penyusun hadis yang berasal dari periode ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H). Ia menyusun kitab Musnad Ahmad yang berisi 30 ribu hadis dalam 24 juz. Periode Keempat Periode ini dimulai pada abad kelima hingga hari ini. Karya-karya yang dihasilkan dalam periode ini, antara lain penjelasan (syarh), catatan kaki (hasyiah), dan penerjemahan buku-buku hadis ke dalam berbagai bahasa. Pada periode ini pula, para ulama menyusun kitab hadis dengan mencuplik dari kitab-kitab yang pernah ditulis dan disusun pada abad ketiga. Ulama hadis selanjutnya lalu menyusun syarh atau penjelasan dari buku-buku penjelasan hadis di atas. Misalnya, Muhammad Ismail ash- Shon’ani (wafat 1182 H) menulis kitab Subulus Salam Syarh Bulughul Maram yang berisi penjelasan kitab karya Ibnu Hajar al-Asqolani itu, atau Nailul Awthar karya Qadhi asy-Syaukani yang memuat penjelasan dari kitab Muntaqa al-Akhbar. (Baca: Awal Mula Pengumpulan Hadis) Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Red: Heri Ruslan REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heri Ruslan
|