Mari biasakan diri untuk cuci tangan pakai sabun dan air mengalir Kenapa cuci tangan harus pakai sabun? Cuci tangan harus pakai sabun dengan air mengalir, karena dengan memakai sabun dapat membersihkan tangan dari kotoran yang mengandung kuman penyakit. Cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir dapat mencegah Penyakit diare, infeksi saluran pernafasan atas hingga lebih dari 50%, menurunkan 50% insiden avian influensa, hepatitis A, kecacingan, penyakit kulit dan mata. 5 waktu penting CTPS : 1. Sebelum makan 2. Setelah BAB 3. Sebelum menjamah makanan 4. Sebelum menyusui 5. Setelah beraktifitas 6 langkah cuci tangan yang benar yaitu : 1. Basahi tangan, gosok sabun pada telapak tangan kemudian usap dan gosok kedua telapak tangan secara lembut dengan arah memutar 2. Usap dan gosok juga kedua punggung tangan secara bergantian 3. Gosok sela-sela jari tangan hingga bersih 4. Bersihkan ujung jari secara bergantian dengan posisi saling mengunci 5. Gosok dan putar kedua ibu jari secara bergantian 6. Letakkan ujung jari ke telapak tangan kemudian gosok perlahan. Bilas dengan air bersih dan keringkan http://promkes.kemkes.go.id/flyer-6-langkah-cuci-tangan-pakai-sabun-ctps
Kapanlagi.com - Mencuci bisa menjadi satu hal mendasar yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan. Pasalnya, tangan sering kita gunakan untuk memegang berbagai benda. Padahal, benda-benda yang kita pegang belum tentu terjamin kebersihannya. Itulah sebabnya penting bagi kita untuk tahu cara mencuci tangan yang benar. Ya, tentu saja agar kuman, bakteri, atau virus yang menempel di tangan tidak masuk ke tubuh kita. Seperti keadaan belakangan ini, dunia sedang dibuat cemas dengan wabah virus corona. Menurut sejumlah penelitian, virus ini menyebar dengan cara droplet melalui percikan air liur penderita yang menempel pada suatu benda. Sehingga, cara pencegahan yang efektif agar virus ini tidak masuk ke tubuh kita adalah dengan rajin mencuci tangan. Namun, tentunya kita tidak boleh hanya asal mencuci tangan. Kita harus tahu cara cuci tangan yang benar, baik dengan sabun ataupun hand sanitizer.   Â
(credit: pixabay) Dilansir dari liputan6.com, Dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu, Sri Dhuny Atas Asri menjelaskan bagian-bagian tangan yang harus dicuci agar terhindar dari virus Corona. Bagian-bagian tangan tersebut antara lain: 1. Telapak Tangan Telapak tangan menjadi bagian yang harus dicuci sebab bagian ini yang kita gunakan untuk memegang berbagai macam benda, berjabat tangan, dan melakukan berbagai aktivitas. 2. Punggung Telapak Tangan Meskipun penggunaannya tidak seintens telapak tangan, tapi tidak menutup kemungkinan bagian punggung telapak tangan kita juga menempel banyak kuman, bakteri, atau virus. Sehingga, sudah selayaknya bagian ini juga dibersihkan. 3. Sela-sela Jari Cara mencuci tangan yang benar juga harus memperhatikan bagian sela-sela jari. Hal ini karena, bagian sela-sela yang banyak terdapat lipatan-lipatan kulit bisa menjadi tempat yang sempurna untuk kuman, bakteri, atau virus. 4. Bagian Jari Selain telapak tangan, bagian jari juga merupakan bagian tangan yang paling sering kita gunakan untuk melakukan berbagai aktivitas. Sehingga, kita juga harus membersihkannya secara seksama, termasuk bagian ujung di sela-sela kuku.
(credit: pixabay) Untuk menangkal virus corona, World Health Organization (WHO) menyarankan kita untuk lebih rajin mencuci tangan dengan menggunakan sabun. Anjuran dari WHO itu bukan tanpa alasan, sebab mencuci tangan dengan menggunakan sabun diyakini bisa mematikan virus corona. Selain itu, WHO juga mengeluarkan panduan cara mencuci tangan dengan benar sebagaimana berikut ini. 1. Cuci tangan dengan menggunakan air mengalir, pastikan seluruh bagian tangan terbasahi air. 2. Ambil sabun lalu usapkan pada bagian permukaan kedua telapak tangan hingga berbusa. 3. Secara bergantian, usapkan sabun ke bagian punggung telapak tangan kanan dan kiri. 4. Bersihkan pula bagian sela-sela antar jari-jari di kedua tangan. 5. Setelah sela-sela jari, bersihkan pula bagian ujung jari dan kuku. Caranya dengan menggosok-gosokkan bagian ujung jari tersebut ke permukaan telapak tangan. 6. Bersihkan bagian ibu jari kanan dan kiri secara bergantian. Lakukan dengan cara menggosoknya ibu jari secara memutar ke bagian sela-sela ibu jari dan telunjuk salah satu tangan. 7. Bersihkan bagian kedua pergelangan tangan, dengan cara mengusapkan busa sabun secara memutar. 8. Bilas kedua tangan dengan menggunakan air mengalir. Setelah itu, keringkan dengan menggunakan tisu atau handuk bersih.
(credit: unsplash/@kellyikkema) Untuk menghindari virus corona, selain mencuci tangan menggunakan sabun, saat ini juga banyak orang yang mengandalkan hand sanitizer. Hand sanitizer banyak digunakan karena dinilai lebih praktis daripada sabun. Hand sanitizer merupakan produk pembersih berupa gel beralkohol yang dikemas secara ekonomis dan praktis. Sehingga, lebih bisa dibawa ke mana-mana. Tapi, apakah menggunakan hand sanitizer bisa seefektif mencuci tangan dengan sabun? Meskipun barangkali tidak seefektif mencuci tangan dengan sabun, ternyata penggunaan hand sanitizer memang dipercaya bisa mematikan berbagai kuman di tangan. Lantas, bagaimana cara mencuci tangan dengan menggunakan hand sanitizer yang benar? Berikut beberapa panduannya: 1. Tuang cairan hand sanitizer di telapak tangan dengan banyak yang sekiranya akan cukup untuk membasahi seluruh bagian tangan. 2. Gosok-gosokkan bagian kedua telapak tangan, persis seperti saat sedang mencuci tangan menggunakan sabun. 3. Setelah cairan hand sanitizer merata di telapak tangan, usapkan telapak tangan ke bagian punggung tangan, sela-sela jari, ujung jari, dan pergelangan tangan. 4. Jika dirasa sudah merata, kita tidak perlu lagi membilas tangan kita dengan menggunakan air. Karena kandungan alkohol pada hand sanitizer akan membuatnya lebih cepat kering dengan sendirinya.
Meski begitu, WHO mempunyai alasan mengapa kita lebih dianjurkan untuk mencuci tangan menggunakan sabun dibandingkan menggunakan hand sanitizer. Berikut beberapa hal yang perlu diketahui saat mencuci tangan dengan hand sanitizer. 1. Jangan menggunakan hand sanitizer saat terdapat luka di bagian tangan sebab dapat memperparah luka dan menimbulkan efek iritasi. 2. Jangan terlalu sering mencuci tangan dengan menggunakan hand sanitizer. Sebab, jika terlalu sering dapat menimbulkan berbagai permasalahan kulit mulai dari kulit kering, iritasi, kulit pecah-pecah, bahkan kulit mengelupas. Yuk Baca Juga:Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Mencuci tangan adalah senjata penting dalam melawan Covid-19 - namun ternyata tidak semua orang terbiasa melakukannya. "Resolusi 2019 saya ialah mengatakan saat on-air hal-hal yang saya katakan saat off-air..." - kata-kata terakhir Pete Hegseth tahun lalu, sebelum ia mengungkapkan rahasia yang menghebohkan dunia maya. Waktu itu, Hegseth dikenal sebagai presenter siaran berita AS Fox News yang memiliki sedikit pandangan kontroversial. Kemudian ia mengatakan: "Saya rasa saya tidak pernah mencuci tangan saya selama 10 tahun." Pengakuan itu membuat banyak orang terheran-heran, dan mendorong kemunculan artikel-artikel yang membahas apa yang mungkin ada di tangan Anda setelah satu dekade. Yang mengkhawatirkan, Hegseth ternyata tidak sendirian; pada 2015, aktris Jennifer Lawrence mengejutkan para penggemarnya dengan mengatakan ia hampir tak pernah mencuci tangan setelah dari kamar mandi. Hegseth dan Lawrence belakangan mengatakan mereka hanya bercanda, tapi ada orang-orang lain yang secara terbuka menentang anjuran untuk mencuci tangan. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Pembawa acara televisi Amerika Pete Hegseth pada 2019 mengklaim bahwa ia tidak pernah mencuci tangannya dalam 10 tahun — belakangan ia mengatakan hanya bercanda. Juga pada 2015, Senator Thom Tillis, senator Partai Republik dari Carolina Utara, berpendapat bahwa mewajibkan pegawai restoran untuk mencuci tangan merupakan contoh regulasi berlebihan. Meskipun 10 tahun barangkali bisa jadi semacam rekor, pengguna kamar mandi yang jeli di manapun akan menyadari bahwa banyak orang tidak biasa mencuci tangan. Satu studi memperkirakan bahwa pada 2015, hanya 26,2% kunjungan ke kamar mandi dengan kemungkinan "kontak tinja" diikuti dengan cuci tangan pakai sabun. "Ini kebiasaan yang terdengar sederhana," kata Robert Aunger, pakar kesehatan masyarakat di London School of Hygiene and Tropical Medicine. "Tapi, Anda tahu, kami telah berusaha [membuat orang-orang lebih sering mencuci tangan] selama 25 tahun dan orang yang melakukannya masih sangat sedikit." Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, International agencies estimate that only 27% of the population in developed countries has access to soap and adequate toilet facilities Tentu saja, ini bisa sebagian dijelaskan oleh kurangnya fasilitas yang memadai dan sabun di wilayah-wilayah miskin di dunia. Di negara-negara berkembang, hanya 27% dari populasi yang punya akses pada fasilitas ini (Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF memperkirakan bahwa sekitar tiga miliar orang tidak memilikinya di rumah). Tapi bahkan di banyak negara berpenghasilan tinggi, tempat kedua hal itu melimpah, hanya 50% orang yang menggunakannya setelah pergi ke kamar kecil. Statistik ini mengherankan bila Anda mempertimbangkan bahwa mencuci tangan dianggap sebagai salah satu temuan yang menyelamatkan paling banyak nyawa dalam sejarah umat manusia, berkontribusi pada lonjakan besar dalam harapan hidup global sejak dipopulerkan sekitar tahun 1850. Kalau kita butuh lebih banyak insentif, kebiasaan bersih-bersih ini juga bisa mencegah kuman kebal antibiotik atau superbug dan pandemi. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Mencuci tangan kita secara rutin bisa secara signifikan mengurangi risiko tertular infeksi saluran pernapasan seperti Covid-19. Sebuah kajian ilmiah pada tahun 2006 mendapati bahwa mencuci tangan secara rutin bisa memangkas risiko infeksi saluran pernapasan sebesar antara 6 dan 44%. Sejak kemunculan pandemi Covid-19, para ilmuwan menemukan bahwa budaya mencuci tangan di suatu negara adalah predikto yang "sangat baik" akan tingkat penyebaran penyakit. Mengapa sebagian dari kita begitu semangat mencuci tangan hingga rela membayar ratusan ribu rupiah untuk cairan penyanitasi tangan di saat kelangkaan, sementara yang lain begitu keras kepala sampai menyentuh sabun saja tidak mau? Dan jika virus baru yang misterius dan cerita horor tentang tinja di remot televisi hotel tidak bisa membujuk orang-orang untuk mengubah kebiasaan mereka, apa yang bisa? Ternyata kegagalan singgah di wastafel dalam perjalanan keluar dari kamar kecil tidak hanya disebabkan rasa malas. Ada sejumlah faktor psikologis yang secara halus membuat orang-orang enggan mencuci tangan, mulai dari cara berpikir seseorang hingga tingkat optimisme delusi, kebutuhan untuk merasa "normal", dan seberapa kuat perasaan jijik mereka. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Penelitian menemukan bahkan staf rumah sakit bisa lalai mencuci tangan. 'Satu masalah dengan mencuci tangan ialah, terutama di negara maju, Anda bisa lalai mencuci tangan berkali-kali dan tidak menjadi sakit," kata Aunger. Salah satu faktor yang diduga berpengaruh adalah optimisme. "Bias optimisme" adalah keyakinan bahwa hal-hal buruk lebih kecil kemungkinannya terjadi pada diri kita daripada orang lain. Pandangan positif yang irasional ini bersifat universal - ditemukan di beragam kebudayaan manusia dan lintas demografi seperti gender dan usia. Ia membuat kita keliru dalam menghitung peluang kita dalam berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan, mulai dari terkena kanker sampai bercerai. Jenis delusi ini mungkin punya andil dalam kebiasaan buruk seperti merokok, atau mengapa banyak orang memilih kartu kredit yang akhirnya membuat mereka rugi. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Keyakinan bahwa hal buruk tidak akan terjadi pada kita bisa jadi merupakan salah satu penyebab kebiasaan-kebiasaan buruk seperti merokok. Ia juga bisa membuat sebagian orang tidak mencuci tangan mereka. Bias optimisme bahkan ditemukan di kalangan calon perawat, yang cenderung menaksir tinggi pengetahuan mereka tentang praktik kebersihan tangan yang baik; dan orang-orang yang menangani makanan dalam pekerjaan mereka, yang selalu menganggap remeh risiko menyebabkan keracunan makanan bagi orang lain. Petunjuk besar akan pentingnya psikologi dalam mencuci tangan bisa dilihat dalam beragam praktik kebersihan dalam berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Dalam satu penelitian di Prancis, 64.002 orang dari 63 negara ditanyai apakah mereka setuju dengan pernyataan "mencuci tangan pakai sabun setelah menggunakan toilet adalah hal yang Anda lakukan secara otomatis". Kurang dari setengah responden dari China, Jepang, Korea Selatan, dan Belanda setuju. Sementara itu, negara dengan tingkat cuci tangan paling tinggi adalah Arab Saudi, dengan 97% responden dari sana mengatakan mereka terbiasa mencuci tangan mereka pakai sabun. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Berbagai penelitian menunjukkan perempuan lebih cenderung mencuci tangan mereka dibandingkan laki-laki. Bahkan di dalam satu negara, tidak semua dari kita bersalah dalam kejahatan terhadap kebersihan. Contohnya, berbagai studi secara konsisten menunjukkan bahwa perempuan jauh lebih rajin mencuci tangan daripada laki-laki; dalam salah satu penelitiannya, Aunger menemukan bahwa perempuan dua kali lebih mungkin untuk mencuci tangan di toilet-toilet jalan raya di Inggris. Tren ini bahkan berlanjut hingga pandemi Covid-19, dengan satu jajak pendapat baru-baru ini menemukan bahwa 65% perempuan dan 52% laki-laki mengatakan mereka mencuci tangan secara rutin. Aunger menjelaskan bahwa variasi dalam kebiasaan mencuci tangan mungkin disebabkan oleh norma sosial. Jika kita melihat orang lain mencuci tangan mereka di kamar kecil, kita akan melakukannya - tapi, ketika tidak ada yang melakukannya, tidak ada tekanan bagi kita untuk melakukannya. "Dan faktanya, orang bisa dipandang tidak biasa atau 'sombong' jika mereka melakukannya," kata Aunger. Karena laki-laki dan perempuan cenderung pergi ke kamar kecil yang terpisah di tempat publik, mungkin ada norma sosial yang berbeda untuk setiap gender - begitu pula untuk kelompok lain, misalnya agama. Satu alasan para ilmuwan begitu tertarik untuk mengungkap psikologi di balik mencuci tangan ialah banyak nyawa bergantung padanya - terutama pasien-pasien di rumah sakit. Meskipun sudah bertahun-tahun berlatih untuk menjaga orang-orang tetap hidup, banyak tenaga kesehatan mengabaikan kebiasaan dasar satu ini yang bisa membantu mencegah virus yang berpotensi mematikan dan superbug seperti bakteri Clostridium difficile. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Semakin telaten seseorang, semakin besar kemungkinan ia mencuci tangan. Pada tahun 2007, para ilmuwan menemukan bahwa dokter bedah di sebuah rumah sakit di Australia hanya mencuci tangan 10% dari waktu sebelum kontak dengan pasien (vs. 30% setelahnya). Penelitian yang lebih baru di rumah sakit lain mengungkap temuan yang sama mengejutkannya. Contohnya, penelitian pada 2019 di sebuah rumah sakit di Quebec mendapati bahwa tenaga kesehatan hanya mencuci tangan mereka 33% dari waktu mereka bekerja. Bahkan di Arab Saudi, dengan budaya cuci tangannya yang saksama, tenaga medis seringkali tidak menerapkan kebersihan tangannya dengan baik. Tapi seperti halnya masyarakat umum, tidak semua tenaga medis [are equally guilty]. Studi pada 2008 menemukan bahwa dokter yang melaporkan bahwa dirinya membuat keputusan secara intuitif jauh lebih sering mencuci tangan dibandingkan mereka yang mengaku berpikir secara lebih rasional. Ini mengisyaratkan bahwa memberi serangkaian argumen untuk mencuci tangan mungkin bukan cara terbaik untuk meyakinkan orang-orang untuk melakukannya. Studi yang dilakukan pada bulan Maret tahun ini mengidentifikasi sifat lain yang mungkin berperan: ketelatenan. Penelitian tersebut, yang dilakukan di Brasil, mendapati bahwa orang-orang yang mendapat skor lebih tinggi untuk ketelatenan lebih cenderung menjaga jarak sosial dan mencuci tangan. Terakhir, rasa jijik. Reaksi mula saat melihat sepotong stik yang penuh belatung mencegah Anda dari keinginan untuk memakannya. Demikian pula, menjauhi penumpang yang memegang tisu kotor di gerbong kereta api akan membantu kita untuk terhindar dari patogen mereka. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Simpanse merasa jijik dengan cairan tubuh individu lain, meskipun mereka suka makan kotoran sendiri "Efeknya yang 'membuat kita menjauh' merupakan hal paling berguna," kata Dick Stevenson, psikolog dari Macquarie University, Australia. Bahkan simpanse, yang kerap terlihat memakan kotoran mereka sendiri di kebun binatang, merasa jijik oleh cairan tubuh individu lain — menunjukkan bahwa rasa jijik bukan sekadar produk budaya manusia, tetapi sesuatu yang berevolusi untuk melindungi kita. Dan seperti setiap emosi lainnya, seberapa besar rasa jijik yang dirasakan bervariasi dari orang ke orang. Rasa jijik adalah kekuatan tersembunyi dalam hidup kita, mendorong keputusan politik kita - orang yang lebih sensitif terhadap rasa jijik lebih cenderung memilih partai konservatif - serta apakah kita menerima orang gay, seberapa xenofobik kita, dan mungkin bahkan seberapa takut kita pada laba-laba. Seperti yang Anda duga, penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa orang yang tidak mudah jijik lebih jarang mencuci tangan, dan ketika mereka melakukannya, mereka tidak berlama-lama di bawah keran. Satu studi tentang mencuci tangan di Haiti dan Ethiopia mendapati bahwa pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang urusan kesehatan tidak begitu relevan dengan kecenderungan mereka mencuci tangan dibandingkan kekuatan rasa jijik mereka. Jadi, apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi bias ini? Dalam beberapa pekan terakhir, badan-badan kesehatan masyarakat, badan amal, politisi, dan anggota masyarakat bersama-sama meluncurkan kampanye cuci tangan yang mungkin paling antusias dalam sejarah. Para selebritas turun tangan untuk menunjukkan teknik yang tepat, dan banyak meme tentang cuci tangan membanjiri internet. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Kampanye yang menunjukkan cara mencuci tangan dengan baik dan benar mungkin bukan cara paling efektif. Tetapi, mengingat apa yang kita ketahui tentang bias psikologis, akankah upaya-upaya yang baik dan kadang-kadang cerdik ini benar-benar membuat orang yang tidak suka mencuci tangan menjadi sadar? Alih-alih membuat mencuci tangan terkesan lucu atau seksi, salah satu penelitian berusaha memanfaatkan rasa jijik. Pada tahun 2009, bersama dengan rekan-rekan dari Universitas Macquarie, Stevenson menguji ide ini pada beberapa mahasiswa. Setelah ditanyai tentang kebiasaan mencuci tangan dan sensitivitas mereka terhadap rasa jijik, para mahasiswa diminta untuk menonton salah satu dari tiga video: video yang murni mengedukasi, video berisi visual yang menjijikkan, dan kontrol — klip dari sebuah film dokumenter alam yang tidak relevan. Sekitar sepekan kemudian, para mahasiswa diminta kembali, dan diminta duduk di depan sebuah meja yang di dekatnya disimpan tisu antibakteri dan jel pembersih tangan. Sumber gambar, Getty Images Keterangan gambar, Melihat pemandangan yang membuat kita merasa jijik bisa membuat kita lebih cenderung mencuci tangan. Mereka dihadapkan dengan serangkaian benda yang sangat tidak higienis — mulai dari alat tepuk lalat hingga sikat toilet bekas. Setelah memegang setiap benda, mereka diminta memakan biskuit dari sebuah piring. Apakah para relawan mencuci tangan mereka sebelum menyentuh makanan? Seperti yang mereka harapkan, para peneliti menemukan bahwa orang-orang yang menonton video jijik lebih cenderung membersihkan tangan mereka daripada orang-orang dari kelompok lain — bahkan, mereka lebih banyak mencuci tangan daripada kedua kelompok lainnya. Belum ada yang tahu sampai berapa lama kebiasaan cuci tangan ini akan bertahan, namun penelitian ini menunjukkan bahwa sekadar menyuruh orang untuk melakukannya tidak seefektif membuat mereka merasa jijik. "Ini pertanyaan penting karena pada awalnya Anda harus terus memotivasi orang tersebut untuk mencuci tangan dalam situasi tertentu, seperti melalui iklan dan papan pemberitahuan," kata Stevenson. "Tapi jika ini terus dipertahankan maka perilakunya menjadi kebiasaan. Yang tidak kita ketahui adalah berapa lama sampai hal ini terjadi." Aunger setuju bahwa membangun kebiasaan adalah kuncinya. "Kita memiliki konteks yang sangat istimewa sekarang, ketika banyak orang tertarik untuk mencuci tangan karena virus corona," katanya. "Tapi pertanyaannya adalah, bisakah kita naik ke tingkat yang sangat tinggi dan tetap di sana?" Apa pun efek jangka panjang Covid-19, setidaknya untuk sementara kita tidak akan mendengar lagi para selebritas yang membual tentang betapa mereka tidak suka mencuci tangan. |