Lebih baik diam daripada salah bicara hadits

Bismillah

Berkatalah Yang Baik Jika Tidak Maka Diamlah “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia berkata baik atau diam” (HR Muslim no 222). Dalam hadis ini, Nabi SAW mengaitkan antara berkata baik dengan keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir. Hal ini disebabkan penjagaan terhadap lisan, mempergunakannya untuk ucapan-ucapan yang […]

Hadits Tentang Diam daripada Berkata Tidak Baik dalam Islam

Dipublikasikan oleh Annisa Hapsari ∙ 15 October 2021 ∙ 5 menit membaca

Lebih baik diam daripada salah bicara hadits
Lebih baik diam daripada salah bicara hadits
Lebih baik diam daripada salah bicara hadits
Lebih baik diam daripada salah bicara hadits
Lebih baik diam daripada salah bicara hadits

Copied to clipboard

Bicara Baik atau Diam

  • Share on Facebook

Sungguh beruntung orang yang banyak diam
Ucapannya dihitung sebagai makanan pokok
Tidak semua yang kita ucapkan ada jawabnya
Jawaban yang tidak disukai adalah diam
Sungguh mengherankan orang yang banyak berbuat aniaya
Sementara meyakini bahwa ia akan mati

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
”Seseorang mati karena tersandung lidahnya
Dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya
Tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya
Sedang tersandung kakinya akan sembuh perlahan.”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 6474) dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.”

Yang dimaksud dengan “sesuatu yang ada di antara dua janggutnya” adalah mulut, sedangkan “sesuatu yang ada di antara dua kakinya” adalah kemaluan.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Ibnu Hajar menjelaskan, “Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat makna; semua perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan, atau salah satu di antara keduanya. Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib atau sunnah untuk diucapkan. Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan isinya. Segala perkataan yang berorientasi kepadanya (kepada hal wajib atau sunnah) termasuk dalam kategori perkataan baik. (Perkataan) yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu, orang yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah diam.” (lihat Al-Fath, 10:446)

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).”

Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara.”

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hlm. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi dua telinga, sedangkan diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sering kali orang menyesal pada kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah daripada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.”

Beliau menambahkan di hlm. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat maka dia akan diam. Sementara orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya.”

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no.10; dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 64, dengan lafal,

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah orang muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.’”

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir, hadits no. 65, dengan lafal seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadis tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang sesuatu yang telah berlalu, yang sedang terjadi sekarang, dan juga yang akan terjadi pada masa mendatang. Berbeda dengan tangan; pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh lisan.”

Oleh karena itu, dalam sebuah syair disebutkan,
“Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi
Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.”

Tentang hadits (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam,” Imam Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan dalam Syarah Hadits Arbain, “‘Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir‘, maknanya: siapa saja yang beriman dengan keimanan yang sempurna, yang menyelamatkan dari azab Allah dan mengantarkan kepada keridhaan Allah maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang sebenarnya, ia takut ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, berusaha mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Kemudian memelihara seluruh anggota tubuhnya yang menjadi gembalaannya, dan ia bertangung jawab terhadapnya, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوولًا

‘Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’ (QS. Al-Isra’:36)

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

‘Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ (QS. Qaf :18)

Yakni selalu mengawasinya dan menyaksikan hal ihwalnya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ( )كِرَامًا كَاتِبِينَ( )يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ

‘Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah), dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (QS. Al-Infithar:10–12)”

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang menyungkurkan leher manusia di dalam neraka melainkan hasil lisan mereka.” (Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 5136)

”Siapa pun yang mengetahui hal itu dan mengimaninya dengan keimanan yang sebenarnya maka ia bertakwa kepada Allah berkenaan dengan lisannya, sehingga ia tidak berbicara kecuali kebaikan atau diam.” (Tafsir As-Sa’di)

Semoga Allah selalu menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak berguna, agar tidak menuai sesal di hari akhir dengan tidak membawa amal sedikit pun dari jerih payah amal kita di dunia.

عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وَصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”

Para shahabat pun menjawab, ”Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda.”

Beliau menimpali, ”Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 2581)

Wallahul Musta’an.

Wahai Rabb, ampunilah dosa-dosa hamba, bimbinglah hamba untuk senantiasa taat kepada-Mu dan masukkanlah kami kedalam golongan orang-orang yang Engkau beri Rahmat.

Bandung, 18 Dzulhijjah 1434 H (1 November 2013 M).

Maraji’:

  • Taisir Karimir Rahman, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
  • Syarah Arbain An-Nawawi, karya Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi.
  • Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
  • Tazkiyatun Nafs, karya: Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan Imam Al-Ghazali.
  • Catatan pribadi kajian islam ilmiah “Waspada Bahaya Lisan” yang disampaikan oleh Al-Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Lc. Hafidzahullah; Masjid Habiburrahman PT. DI, Bandung; Ahad, 27 0ktober 2013; diselenggarakan oleh Yayasan Ihya’us Sunnah Bandung bekerja sama dengan DKM Masjid Habiburrahman PT. DI.
  • Almanhaj.or.id

Penulis: Umi Romadiyani (Ummu ‘Afifah)
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Artikel Muslimah.Or.Id

Sahabat muslimah, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik disini. Jazakallahu khaira

🔍 Hadits Tentang Syirik, Dalil Bersyukur, Amalan Supaya Hati Bersih, Doa Pembuka Majelis Rumaysho, Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Taqabbal Ya Kariim., Muslima.com Indonesia, Keistimewaan Hari Jumat Dalam Alquran, Dalil Qurban Dan Aqiqah, Hukum Mandi Junub, Pakai Cadar

Lebih baik diam daripada salah bicara hadits

  • Share on Facebook

Lebih baik diam daripada salah bicara hadits

Previous

Fungsi-Akal Melemah

Next

Bukan untuk Berhias

Lebih baik diam daripada salah bicara hadits

Profil penulis

Athirah Mustajab

Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, editor Pustaka Muslim, penulis di WanitaShalihah.com

View all posts by Athirah Mustajab »

Artikel Terkait

Lebih baik diam daripada salah bicara hadits

Hikmah di Balik Sabda Rasulullah SAW untuk Biasakan Diam

Rasulullah menekankan kepada umatnya memperbanyak diam.

Lebih baik diam daripada salah bicara hadits

Dok Istimewa

Rasulullah menekankan kepada umatnya memperbanyak diam. ilustrasi zikir.

Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID,


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam; barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya; barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya."

(HR Bukhari Muslim)


Hadis ini termasuk rujukan utama bagi seorang Muslim dalam bersikap dan membina hubungan bermasyarakat. Karenanya, hadis ini layak dihapal, diulang-ulang, ditafakuri, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Walau redaksinya sangat singkat, tapi pengaruhnya sungguh luar biasa, terutama bagi terciptanya hubungan yang harmonis di masyarakat.

Ada tiga hal penting yang dikemukakan Rasulullah SAW dalam hadis yang teramat mulia ini. Pertama, keharusan menjaga lisan. Kedua, keharusan menghormati tetangga. Dan ketiga, keharusan memuliakan tamu. Insya Allah, dalam tulisan ini penulis hanya akan membahas poin pertama.

Imam Al-Jalil Abu Muhammad bin Abi Zaid mengatakan bahwa berkata baik atau diam termasuk satu dari empat etika kebaikan yang sangat utama dalam Islam, selain meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat, menahan marah, dan mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.

Imam Syafi'i memberi pula komentar tentang berkata baik atau diam ini: "Hadis ini bermakna apabila seseorang hendak bicara, maka berpikirlah terlebih dulu. Apabila telah jelas bahwa bahwa ucapannya akan membawa kemaslahatan, maka berbicaralah. Dan, apabila telah jelas bahwa ucapannya akan membawa kemudharatan atau ia ragu, bahaya dan tidaknya, maka diamlah".

Diam adalah sesuatu yang netral. Diam bisa menunjukkan keutamaan atau kebodohan seseorang. Diam pun bisa menunjukkan perbuatan haram ataupun halal. Intinya, baik buruknya sikap diam sangat dipengaruhi oleh adanya stimulus yang datang pada seseorang (adanya pengkondisian). Karena itu, ada beberapa tingkatan orang diam, yaitu diamnya orang berilmu (saleh), diamnya orang yang memang pendiam, dan diamnya orang bodoh.

Diam tipe orang pertama adalah yang paling utama. Ia diam karena tahu ada kebaikan di balik diamnya tersebut. Ada sebuah kisah menarik dari Anas bin Malik. Suatu hari pada Perang Uhud, aku melihat seorang pemuda yang mengikatkan batu ke perutnya lantaran kelaparan. Ibunya lalu mengusap debu dari wajahnya sambil berkata, "Semoga surga menyambutmu, wahai anakku." Ketika melihat pemuda yang terdiam itu, Rasul bersabda, "Tidakkah engkau ketahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tidak ingin berbicara yang tidak perlu atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya." Dalam riwayat lain, Rasul bersabda, "Kalau engkau temukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah".

Apa keutamaan diam yang berdasarkan ilmu? Sayyid Haidar Amuli mengungkapkan-seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat, bahwa ketika kita menutup mulut untuk tidak bicara, berarti kita mengizinkan hati kita untuk bicara lebih banyak. Setiap manusia memiliki hati yang selalu mengajak kita berbicara. Salah satu pembicaraan hati adalah mengecam perilaku-perilaku yang kurang baik.

Hati bisa berbicara. Ketika mulut seseorang terlalu banyak bicara, ia tidak akan dapat mendengar suara hati nuraninya. Suara hatinya tersumbat oleh riuhnya suara-suara mulutnya sendiri.

Dengan diam, risiko tergelincir menjadi semakin kecil. Rasulullah SAW menyebutkan, "Barang siapa yang diam, dia pasti selamat." Disebutkan pula, "Diam itu kearifan, tetapi sangat sedikit orang yang melakukannya.

  • Rasulullah
  • keutamaan diam
  • diam menurut islam
  • keutamaan menjaga lisan
  • pahala diam

sumber : Harian Republika

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Subscribe to Notifications

Pahala Diam dan Bicara

Diam hanyalah pada perkara maksiat dan berbicara pada perkara taat.

Lebih baik diam daripada salah bicara hadits

Google

Sosial Media. Ilustrasi. Gunakan sosmed untuk berzikir dan nahi munkar.

Red: Irwan Kelana

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA



Seperti dikutip Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Hadits, Nabi SAW bersabda, “Diamnya seorang ulama adalah aib, dan bicaranya adalah hiasan. Sedangkan bicaranya orang bodoh adalah aib, dan diamnya adalah hiasan.” Dengan kata lain, diam tidak selalu jadi hiasan, dan bicara tidak selalu jadi aib. Tergantung siapa yang diam dan bicara.

Syekh Nawawi Banten menulis dalam Tanqih al-Qaul al-Hatsits bahwa manusia itu sering kali diam dan sering kali juga bicara. Ketika berbicara, ada kalanya mengenai persoalan yang baik, maka ia beruntung. Namun, manakala ia berbicara tentang masalah yang buruk, maka manusia merugi. Jadi berbicara mengenai masalah yang baik beroleh pahala.

Namun, lanjut Syekh Nawawi Banten, apabila manusia diam, ada kalanya ia diam dalam seuatu perkara yang buruk, maka ia beruntung (mendapat pahala). Namun, kalau diam dari persoalan yang baik yang wajib diutarakan, maka sesungguhnya ia telah merugi (mendapat dosa). Maka bagi manusia dalam diam dan bicara, mestinya mendapat pahala.

Nabi SAW bersabda, “Perlindungan diri itu ada sepuluh bagian, yang sembilan terdapat dalam diam.” (HR Dailami). Menurut Syekh Nawawi Banten, diam yang dapat menjadi perlindungan diri (dari bahaya) adalah diam dari segala perkara yang tidak berpahala. Atau bahkan lebih jauh dapat menimbulkan angkara murka di dunia dan di akhirat.

Seperti dikutip oleh Syekh Nawawi Banten, dalam kitab Siraj al-Munir, Syekh al-Manawi berkata bahwa sudah sepatutnya bagi orang yang berakal untuk memilih perlindungan diri (dengan cara diam). Bagi yang tidak mampu atau terpaksa karena berada di suatu komunitas atau dalam rangka mencari rezeki, maka tetap orang itu harus memilih banyak diam.

Allah SWT berfirman, “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS al-Nisaa/4: 114).

Berdasar ayat ini, bagi kaum Muslim, diam dan bicara dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah SWT semata. Namun, menurut Syekh Nawawi Banten dalam Tafsir Munir, apabila semua itu dilakukan karena riya, harga diri, dan demi gengsi, maka diam dan bicaranya itu menjadi bencana besar yang akan merugikan dirinya (di dunia dan di akhirat).

Karena pentingnya persoalan ini, terutama bagi manusia modern di era media sosial yang serba terkoneksi, Nabi SAW bersabda seperti dikutip Syekh Nawawi Banten, “Seluruh perkataan manusia berbahaya dan tidak bermanfaat baginya, kecuali perkataan yang mengandung amar ma’ruf nahi munkar atau berzikir dengan menyebut nama Allah.”

Secara presentase, banyak bicara itu lebih besar kelirunya. Nabi SAW mewanti-wanti, “Barangsiapa yang banyak bicara, maka banyak kelirunya. Barangsiapa yang banyak kelirunya, maka banyak dosanya. Barangsiapa yang banyak dosanya, maka neraka lebih baik baginya.” (HR Thabrani). Untuk itu, mari bicara dengan ilmu dan argumentasi yang tak terbantah.

Namun, untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan keliru saat bicara, misalnya, saat ditanya mengenai persoalan yang memang orang itu tidak tahu ilmunya, hendaklah dijawab dengan tiga kata, “Aku tidak tahu.” Umar bin Khattab berkata, seperti dikutip Syekh Nawawi Banten, “Diam itu merupakan anak kunci (bagi) mulut.”

Kesimpulannya, diam hanyalah pada perkara maksiat dan berbicara pada perkara taat. Jadi, kalau bicara dalam perkara taat kepada Allah SWT adalah emas, maka diam dari maksiat kepada Allah SWT adalah mutiara. Semoga diam dan bicara kita yang naik ke langit hingga menembus tujuh petalanya bernilai pahala, indah seperti emas dan mutiara.


  • bicara
  • diam
  • pahala
  • media sosial
  • Dr KH Syamsul Yakin MA

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Subscribe to Notifications

Berkatalah yang Baik atau Diam Saja!


وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَــقُلْ خَــــيْرًا أَوْ لِيَـصـــمُــتْ


“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” [HR Bukhari]


Nilai penting dari pesan hadits ini tampak dari keterkaitannya dengan aspek keimanan yang disebut di pendahuluan. Lisan merupakan bagian vital yang jika disalahgunakan efeknya bisa lebih mengerikan daripada pedang. Karenanya, Nabi mewanti-wanti soal urgensi menjaga lisan dan menyodorkan dua pilihan saja: berkatalah yang baik atau diam saja.

Tags:

Quote Islami Lainnya

  • Humor: HTI di Ibu Kota Baru

    Ahad, 6 Feb 2022

  • Islam dan Korelasinya dengan Ideologi lain (2): Sosialisme

    Rabu, 2 Feb 2022

  • Humor: Nama Istri Idaman

    Rabu, 2 Feb 2022

  • Humor Gus Dur: Hantu Pondok Indah

    Senin, 31 Jan 2022

  • Hari Lahir NU bagi Rakyat Palestina

    Senin, 31 Jan 2022

  • Canda Gus Yahya saat Pengukuhan PBNU

    Senin, 31 Jan 2022

  • Bung Karno: Hei NU, Saya Cinta Kepadamu

    Senin, 31 Jan 2022

  • Humor Gus Dur: Cuti Seorang Presiden

    Ahad, 30 Jan 2022

  • Langkah Gus Dur Membangun Kemandirian Ekonomi

    Ahad, 30 Jan 2022

  • Wasiat KH Hasyim Asy'ari tentang Kemandirian Ekonomi

    Ahad, 30 Jan 2022

Terpopuler

  • 1

    Saat Dorce Gamalama Bertanya Status Perempuannya kepada Gus Dur

  • 2

    NU Tanpa PKB, Bisakah?

  • 3

    Kantor PBNU dan Bayar Cicilan Gedung

  • 4

    Humor: HTI di Ibu Kota Baru

  • 5

    Wayang-wayang Sunan Kalijaga dan Pandangan Berbeda dari Sunan Ampel

  • 6

    Bung Karno: Hei NU, Saya Cinta Kepadamu

  • 7

    Canda Gus Yahya saat Pengukuhan PBNU

  • 8

    Profil KHR As’ad Syamsul Arifin: Sang Wasilah Pendirian NU

  • 9

    Sel-sel NII (7): Modernis Radikal, Tradisionalis Radikal

Beranda Tentang NU Redaksi Kontak Kami Download English

© 2022 NU Online | Nahdlatul Ulama