Keterangan keterangan yang berhubungan dengan pemberontakan DI/TII di Aceh ditunjukkan pada nomor

Pemberontakan Daud Beureueh (DI/TII Aceh) pada tahun 1953 disebabkan kekecewaan masyarakat Aceh terhadap berbagai kebijaksanaan dari Pemerintah Pusat. Selain itu, peleburan Aceh ke dalam propinsi Sumatera Utara pada tahun 1950 mengakibatkan kemarahan rakyat dan menentang kebijakan pusat serta menuntut dikembalikannya status propinsi Aceh yang otonom. Di pihak lain pemerintah menyikapi masalah ini dengan melakukan tindakan otoriter. Pemberontakan ini menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Pemerintah Republik Indonesia dan masyarakat Aceh pada khususnya. Permasalahan dalam penelitian ini: (1) Apa latar belakang terjadinya Pemberontakan Daud Beureueh pada tahun 1953? (2) Bagaimanakah proses pemberontakan DI/TII Aceh pada tahun 1953-1962? (3) Bagaimanakah upaya penyelesaian pemberontakan DI/TII Aceh? Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pengetahuan deskriptif tentang : (1) latar belakang terjadinya Pemberontakan Daud Beureueh (DI/TII Aceh) pada tahun 1953 (2) proses pemberontakan DI/TII Aceh pada tahun 1953-1962 (3) upaya penyelesaian pemberontakan Daud Beureueh (DI/TII Aceh). Pemerintah Indonesia dalam usaha penyelesaian konflik Aceh ini menggunakan dua cara yaitu kekuatan bersenjata (militer) dan diplomasi (musyawarah) dengan para pemberontak. Dengan kekuatan bersenjata, Pemerintah menyatakan seluruh Aceh menjadi daerah ”Militaire bystand” sesuai dengan keputusan Presiden No. 175 tahun 1952. Selain itu Pemerintah Indonesia membentuk operasi khusus militer untuk menumpas pemberontakan ini yaitu dengan Operasi 17 Agustus dan Operasi Merdeka. Sedangkan dengan cara diplomasi, Pemerintah Indonesia mengirimkan utusan-utusan khusus untuk berdialog dengan pihak pemberontak khususnya dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Akhirnya dengan negosiasi yang panjang serta disepakatinya status otonomi yang khusus bagi Aceh yaitu dengan terbentuknya Daerah Istimewa Aceh dengan kebebasan menjalankan unsur-unsur Syariat Islam di dalamnya, maka berakhirlah pemberontakkan DI/TII Aceh dan terciptalah perdamaian yang sekian lama diidamkan oleh pemerintah Indonesia dan rakyat Aceh. Untuk merayakan perdamaian tersebut diselenggarakan suatu upacara akbar di Blangpadang tanggal 18-22 Desember 1962 yaitu Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA). Dengan adanya perdamaian tersebut, maka Pemerintah dan rakyat Aceh akan bersama-sama untuk melaksanakan pembangunan demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia serta Aceh pada khususnya.

tirto.id - Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sejarah pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) juga pernah terjadi di Aceh pasca-kemerdekaan Republik Indonesia. Gerakan DI/TII di tanah rencong pada 1953-1962 dimotori oleh Teungku Daud Beureueh.

Daud Beureueh adalah sosok ulama yang pernah menjabat sebagai Gubernur Aceh. Dikutip dari Ulama Aceh dalam perspektif sejarah (1983:92) karya Ismuha, tanggal 1 Januari 1950, Daud Beureueh resmi menjabat Gubernur Aceh sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).

RIS merupakan konsep kenegaraan yang diputuskan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tanggal 23 Agustus-2 November 1949 yang berujung pada pengakuan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada akhir tahun 1949.
Beberapa bulan setelah itu, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni pada Mei 1950. NKRI menaungi 10 provinsi berdasarkan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1950.
Perubahan ini ternyata berimbas kepada Provinsi Aceh yang akan dileburkan menjadi Provinsi Sumatera Utara. Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi (2008:260) mengungkapkan, atas dasar itulah sejumlah perwakilan dikirim ke Aceh.Mereka adalah Mohammad Hatta (Wakil Presiden), Mohamad Natsir (Perdana Menteri), Sjafruddin Prawiranegara (Wakil Perdana Menteri), serta Mr. Asaat (Menteri Dalam Negeri).
Akan tetapi, Daud Beureueh dan beberapa ulama Aceh tidak sepakat dengan rencana peleburan itu. Djumala dalam Soft Power untuk Aceh (2013:29) menjelaskan, identitas Aceh sebagai negara Islam tidak bisa disatukan dengan bagian yang tidak sealiran.

Kementerian Penerangan melalui buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Utara (1953:408) menambahkan, Daud Beureueh dan kawan-kawan menginginkan Aceh menjadi kepengurusan tunggal dalam bentuk provinsi.


Penyebab DI/TII di Aceh

Menanggapi kedatangan para petinggi negara di Aceh, Daud Beureueh meminta agar dilakukannya pertimbangan kembali terkait penyatuan Aceh menjadi bagian Sumatera Utara. Yang terjadi justru sebaliknya. Dikutip dari buku karya Djumala, Mohamad Natsir selaku perdana menteri malah melakukan pembubaran terhadap Provinsi Aceh resmi pada 23 Januari 1951.Reaksi keras dari pun datang dari sejumlah tokoh Aceh yang oleh pemerintah pusat kemudian dikategorikan sebagai gerakan pemberontakan. Daud Beureueh, baik sebagai ulama atau pemimpin Aceh, memotori aksi perlawanan. Daud Beureueh semakin kesal karena Presiden Sukarno, pada Juni 1948 pernah berjanji bahwa Aceh diperbolehkan menerapkan syariat Islam dan tetap menjadi salah satu provinsi di Indonesia.Merasa dibohongi, Daud Beureueh amat kecewa. Terlebih peran masyarakat Aceh dalam perjuangan amat besa, dari masa perlawanan terhadap penjajah, mendukung kemerdekaan RI termasuk dengan menyumbang dana pembangunan hingga memberikan bantuan berupa pesawat terbang.Munculnya gerakan DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh Maridjan Kartosoewirjo yang mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 semakin memantapkan Daud Beureueh untuk turut melawan.Dari Aceh, Daud Beureueh menyatakan bergabung dengan gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosoewirjo.

Penyelesaian Masalah

Sejarah mencatat bahwa pemberontakan DI/TII di Aceh pimpinan Daud Beureueh terjadi mulai 20 September 1953. Dalam riset Harry Adi Darmanto bertajuk "Pemberontakan Daud Beureueh (DI/TII Aceh) Tahun 1953-1962" (2007), ditambahkan, kebijakan penyatuan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara ditentang. Daud Beureueh dan kelompoknya bahkan menuntut diberikannya hak otonom untuk Aceh. Pemerintah pusat tidak tinggal diam menyikapi ini dan memutuskan untuk melakukan tindakan kepada DI/TII Daud Beureueh di Aceh.Ada dua jalur yang ditempuh pemerintah pusat, yakni upaya militer dan diplomasi. Operasi militer dilakukan dengan menggelar “Operasi 17 Agustus” dan “Operasi Merdeka”. Sedangkan cara diplomasi diterapkan dengan mengirim utusan ke Aceh untuk berdialog dengan Daud Beureueh dan kawan-kawan dalam upaya meredam perang saudara. Persoalan ini akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai kendati harus melalui proses negosiasi yang alot dan melelahkan. Diputuskan bahwa diberikan hak otonomi sebagai provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan boleh menerapkan syariat Islam sebagai aturan daerah yang berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.Tanggal 18-22 Desember 1962, sebuah upacara besar bertajuk “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA)” dihelat di Blangpadang, Aceh, sebagai simbol perdamaian.

Munculnya Konflik Baru

Ternyata, masalah belum sepenuhnya dapat diatasi. Beberapa mantan pengikut Daud Beureueh yang tetap bergerak melawan pemerintah pusat, salah satunya adalah Hasan Tiro.

Menurut Neta S Pane dalam Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka (2001:10), Hasan Tiro melihat kenyataan pahit di mana rakyat Aceh lemah ekonomi dan pendidikannya kendati sudah menjadi bagian Indonesia.

Pada 30 Oktober 1976, Hasan Tiro mengadakan pertemuan di Pidie dengan beberapa mantan tokoh DI/TII dan para pemuda Aceh Di kaki Gunung Halimun, bahasan utama adalah tentang sumber daya alam Aceh yang dikeruk oleh industri asing atas izin pemerintah Indonesia. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM).GAM berlangsung sangat lama dan telah terlibat konflik dengan angkatan militer pemerintah pusat yang memakan belasan ribu korban jiwa. Penyelesaian masalah ini baru dapat dituntaskan pada 2005.

Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai pada tanggal 20 September 1953. Dimulai dengan pernyataan Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia oleh Daud Beureueh, proklamasi itu menyatakan diri bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) dibawah kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Keterangan keterangan yang berhubungan dengan pemberontakan DI/TII di Aceh ditunjukkan pada nomor
Pemberontakan DI/TII di AcehBagian dari Pemberontakan DI/TII
Tanggal20 September 1953
LokasiAceh
Pihak terlibat Negara Islam Indonesia
Keterangan keterangan yang berhubungan dengan pemberontakan DI/TII di Aceh ditunjukkan pada nomor
 
IndonesiaTokoh dan pemimpin
Keterangan keterangan yang berhubungan dengan pemberontakan DI/TII di Aceh ditunjukkan pada nomor
Daud Beureueh
Keterangan keterangan yang berhubungan dengan pemberontakan DI/TII di Aceh ditunjukkan pada nomor
Sukarno

Daud Beureueh adalah seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia ketika agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Peranannya sebagai seorang tokoh ulama membuat Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. [1]

Dalam persiapan melancarkan gerakan perlawanannya Daud Beureueh telah berhasil mempengaruhi banyak pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Pada masa-masa awal setelah proklamasi NII Aceh dan pengikut-pengikutnya berhasil mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk beberapa kota.

Tidak lama setelah pemberontakan pecah, Pemerintah Republik Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo segera memberikan penjelasan secara runut tentang peristiwa tersebut di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 28 Oktober 1953.[2]

Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan para tokoh pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh ke dalam provinsi Sumatra Utara yang beribu kota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan mengabaikan jasa baik masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-1950). Kekhawatiran kembalinya kekuasaan para ulee balang yang sejak lama telah menjadi pemimpin formal pada lingkup adat dan politik di Aceh.[3][4]

Keinginan dari masyarakat Aceh untuk menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka.[5]Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan, kekecewaan Daud Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah tersebut dikabarkan diambil oleh Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh sedang bersiap untuk sebuah pemberontakan guna memisahkan diri dari negara Indonesia.[6][7]

  • Daud Beureu'eh
  • Negara Islam Indonesia

  1. ^ ppkn (2020-06-13). "DI TII : Pengertian, Latar Belakang, Pemberontakan, Tujuan, Kepanjangan". PPKN.CO.ID (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-19. 
  2. ^ Liputan6.com (2019-09-20). "20 September 1953: Daud Beureueh Pimpin Pemberontakan DI/TII Aceh". liputan6.com. Diakses tanggal 2020-06-19. 
  3. ^ Sastroamidjojo (1953) p. 18
  4. ^ "Keterangan Pemerintah tentang peristiwa Daud Beureuh : [diutjapkan dalam rapat pleno terbuka Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia tanggal 28 Oktober 1953] ; Djawaban Pemerintah [atas pemandangan umum Dewan Perwakilan Rakjat mengenai keterangan Pemerintah] tentang peristiwa Daud Beureuh : [diutjapkan oleh Perdana Menteri dalam rapat pleno terbuka Dewan Perwakilan Rakjat tanggal 2 Nopember 1953] / [Ali Sastroamidjojo]" (PDF). 1953. 
  5. ^ Reid (2005), p. 341
  6. ^ Apipudin, Apipudin (2016-01-31). "Daud Beureu'eh and The Darul Islam Rebellion in Aceh". Buletin Al-Turas (dalam bahasa Inggris). 22 (1): 145–167. doi:10.15408/bat.v22i1.7221. ISSN 2579-5848. 
  7. ^ "Materi Pemberontakan DI/TII". Kelas IPS. 2020-05-31. Diakses tanggal 2020-06-19. 

  • Dijk, C. van (Cornelis) Rebellion under the banner of Islam: the Darul Islam in Indonesia The Hague: M. Nijhoff,1981.ISBN 90-247-6172-7
  • Reid, Anthony (2005). An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra. Singapore: Singapore University Press. ISBN 9971-69-298-8. 
  • "Rahasia pemberontakan Atjeh dan kegagalan politik Mr. S.M. Amin / A.H. Gelanggang" (PDF). 1956.  Rahasia pemberontakan Atjeh dan kegagalan politik Mr. S.M. Amin, Kutaradja.
  • "Disekitar peristiwa berdarah di Atjeh / S.M. Amin" (PDF). 1956.  Disekitar peristiwa berdarah di Atjeh, Jakarta.
  • "Teungku Muhammad Daud Beureueh: peranannya dalam pergolakan di Aceh / oleh M. Nur el Ibrahimy" (PDF). 1982.  Teungku Muhammad Daud Beureueh: peranannya dalam pergolakan di Aceh Jakarta.
  • "Pemberontakan kaum republik: kasus Darul Islam Aceh / Nazaruddin Sjamsuddin" (PDF). 1990.  Pemberontakan kaum republik: kasus Darul Islam Aceh, Jakarta.
  • "Mengapa Aceh bergolak / Hasan Saleh ; [ed. Anzis Kleden ... et al.]" (PDF). 1992. Mengapa Aceh bergolak Jakarta.
  • Umar, Mawardi & Al Chaidar. 2006. Darul Islam Aceh: Pemberontak atau Pahlawan?
 

Artikel bertopik sejarah ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pemberontakan_DI/TII_di_Aceh&oldid=19315054"