Kabah bangunan yang ingin dihancurkan pasukan gajah merupakan tempat yang berfungsi sebagai

Abrahah (bahasa Arab: أبرهة), yang juga dikenal sebagai Abrahah al-Asyram (bahasa Arab: أبرهة الأشرم), adalah seorang jendral perang dari Kerajaan Aksum yang dikirim untuk menaklukan Kerajaan Himyar di jazirah Arabia Selatan, dan kemudian menjadi gubernur Himyar sebelum menyatakan diri sebagai kerajaan independen.[1][2] Dalam tradisi Islam, nama Abrahah dikenal sebagai raja dari Arab Selatan yang gagal merebut Kabah di Mekah pada sekitar tahun 570 Masehi.

Kabah bangunan yang ingin dihancurkan pasukan gajah merupakan tempat yang berfungsi sebagai

Abrahah adalah seorang jendral perang Aksumite yang dikirim untuk menyerang kerajaan Himyar di Arab Selatan.

Sedikit catatan yang bisa diketahui mengenai kehidupan masa muda Abrahah. Procopius mencatat bahwa Abrahah dulunya adalah seorang budak dari pedagang Romawi di pantai Adulis, Eritrea (wilayah Abisinia); sementara al-Tabari mengatakan bahwa ia memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga Kerajaan Aksum.[3] Namun demikian, baik Procopius maupun al-Tabari bersepakat bahwa Abrahah merupakan salah satu jendral perang yang dikirim oleh Negus Kaleb untuk menyerang kerajaan Himyar yang dipimpin raja Dzu Nawas, seorang pengikut Yahudi.

Meski pada umumnya orang Arab Selatan merupakan pemuja dewa-dewa, tetapi sejak Yerusalem dihancurkan oleh Kaisar Titus pada tahun 70 masehi maka sebagian dari pengikut Yahudi bermigrasi ke daerah Jazirah Arabia dan mencapai pantai selatan.[4] Beberapa abad kemudian, terutama sejak Konsili Nicea I dan Kontroversi Arian merebak, kaum Kristen Monofisit yang terdesak di Utara, khususnya di Syiria, juga mulai bermigrasi ke wilayah selatan Jazirah Arabia. Persaingan antara dua penganut agama ini berujung kepada kekerasan,[4] di mana raja Dzu Nawas yang beragama Yahudi mulai melakukan pembantaian terhadap pengikut Kristen di Himyar, juga orang-orang Aksuminite yang berada di sana.[2]

Menurut beberapa literatur Arab, seorang penganut Kristen bernama Dzu Tsa'laban berhasil meloloskan diri dan meminta pertolongan kepada Justinus I, kaisar kerajaan Bizantium yang merupakan penguasa dan pelindung agama Kristen terbesar pada masa itu.[4] Maka kaisar Justinus kemudian meminta sekutunya Negus Kaleb, raja kerajaan Aksum, yang lokasinya paling dekat ke Arab Selatan, untuk melakukan serangan ke kerajaan Himyar. Maka Negus Kaleb pun mengirimkan sekitar 70.000 pasukan melintasi Laut Merah untuk menyerang Himyar.[4] Namun setelah serangan pertama di bawah pimpinan jendral Aryat gagal, maka dalam serangan kedua yang dipimpin Abrahah mereka berhasil mengalahkan kerajaan Himyar.[3][4] Maka Abrahah pun menjadi gubernur koloni Aksum di wilayah Himyar, Arab Selatan.

Namun tidak lama menjadi gubernur di Himyar, Negus Kaleb kembali mengirim jendral Aryat untuk menjatuhkan Abrahah karena ia telah menahan upeti yang seharusnya dikirimkan ke kerajaan Aksum. Namun Abrahah berhasil mengalahkan jendral Aryat dan memproklamirkan diri sebagai raja Himyar yang independen.[3] Sebagai seorang raja, Abrahah menjadi tokoh penting dalam penyebaran agama Kristen di wilayah Arab Selatan, selain juga menekan keberadaan para pengikut Yahudi. Sebuah katedral bernama al-Qulays (dari bahasa Yunani: "ekklesia") dibangun di atas reruntuhan kota Ma'arib kuno pada masa pemerintahannya, dan menjadi gereja terbesar pada masa itu.[4][5] Selain itu, menurut Museum Nasional Saudi Arabia di Riyadh, Abrahah membuat katedral serupa di Najran, Gereja Allah di Ta'if, serta Gereja Yareem dan Gereja Ghamdan in Yaman.

Tidak terdapat catatan sejarah mengenai tahun kematiannya, meski dalam tradisi Islam diperkirakan Abrahah turut mati beserta seluruh pasukan gajahnya saat mencoba merebut Kabah dari tangah kaum Quraisy di Mekah pada 570 masehi. Kekuasaan Kristen di Arab Selatan memang musnah sekitar tahun tersebut, karena antara tahun 570/575 kelompok perlawanan masyarakat Arab di Yaman berhasil meminta bantuan raja Sasaniyah dari Persia serta para pangeran Arab dari kerajaan Lakhmi di Arab Utara untuk mengirimkan pasukan ke Arab Selatan. Kekaisaran Sasaniyah kemudian mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Wahrij untuk membantu kelompok perlawanan bangsa Arab yang dipimpin Sayf bin Dzi Yazan, yang pada akhirnya mengusir orang-orang Aksum dari tanah Arab dan mengakhiri kekuasaan Kristen di Himyar.[6]

Abrahah terkenal karena kepemimpinannya dalam melakukan agresi militernya terhadap orang-orang Quraisy di Mekkah yang terjadi sekitar tahun 570,[2] seperti yang diceritakan dalam al-Qur'an dan tradisi lisan masyarakat muslim, khususnya dalam Surah al-Fiil. Dikisahkan bahwa Abrahah ingin menghancurkan Ka'bah dengan mengirim pasukan gajah namun, sebagaimana tafsir dari Surah al-Fiil, Abrahah turut binasa beserta seluruh pasukan gajahnya setelah dijatuhi batu-batu panas yang dibawa burung ababil. Kejadian ini menjadi penanda tahun Arab (yang pada masa itu belum mengenal kalender baku) dengan sebutan sebagai Tahun Gajah. Diriwayatkan pula bahwa sebelumnya Abrahah telah membangun sebuah katedral di San'a yang dikenal sebagai "al-Qulays"[5] sebagai tandingan Ka'bah di Mekkah.

  • Kerajaan Aksum
  • Kerajaan Himyar
  • Kekaisaran Bizantium
  • Kekaisaran Sasaniyah
  • Ka'bah
  • Surah Al-Fil
  • Dzu as-Suwayqatayn

  1. ^ Peters, F. E. (Francis E.) (1994). Muhammad and the origins of Islam. Albany: State University of New York Press. ISBN 0585062587. OCLC 42636559. 
  2. ^ a b c "Walter W. Müller, "Outline of the History of Ancient Southern Arabia," in Werner Daum (ed.), Yemen: 3000 Years of Art and Civilisation in Arabia Felix. 1987". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-03. Diakses tanggal 2009-08-11. 
  3. ^ a b c "Abraha ('Abraha)". Dictionary of African Christian Biography. Diakses tanggal 2019-06-16. 
  4. ^ a b c d e f Hitti, Philip Khuri, 1886-1978.; Riyadi, Dedi Slamet. (2008). History of the Arabs : rujukan induk dan paling otoritatif tentang sejarah peradaban Islam. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. ISBN 9789790241114. OCLC 962919664. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  5. ^ a b Edward Ullendorff, The Ethiopians: an Introduction to Country and People, second edition (London: Oxford University Press, 1960), p. 56.
  6. ^ Daum, Werner, 1943- ([1988]). Yemen : 3000 years of art and civilisation in Arabia Felix. Innsbruck: Pinguin-Verlag. ISBN 3701622922. OCLC 906520152.  Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)

  • (Inggris) Pasukan gajah Abrahah disitus web Arabnews.com.
  • (Inggris) Abrahah di Al Islam.com Diarsipkan 2008-04-10 di Wayback Machine.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Abrahah&oldid=19482647"

Penduduk Makkah, melalui pemimpin mereka, Abdul Muthalib mendapat kabar bahwa kota tempat berdirinya Ka’bah tersebut hendak diserang oleh Abrahah dan pasukan bergajahnya. Pasukan yang akan menyerbu Kota Makkah saat itu dikenal sangat kuat. Kedatangan mereka tidak lain untuk menghancurkan Ka’bah Baitullah yang senantiasa dimuliakan oleh penduduk Makkah.


Pasukan biadab itu berasal dari Negeri Yaman yang berada dalam kekuasaan Abessinia (sekarang Ethiopia). Mereka dipimpin oleh seorang panglima besar bernama Abrahah. Abrahah dan para pemimpin Abessinia merasa iri dan dengki terhadap penduduk Makkah dengan Ka’bahnya karena senantiasa dikunjungi oleh para pelancong dari segala penjuru Arabia, baik untuk berhaji maupun hanya sekedar berziarah.


Perasaan dengki inilah yang melatarbelakangi maksud dari tindakan terkutuk tersebut. Abrahah dan para pemimpin Abessinia menginginkan agar tempat ziarah itu berada di Yaman, bukan di Makkah. Akhirnya mereka membangun gereja megah di Sana'a yang diberi nama al-Qalis dengan harapan dapat menjadi tempat ibadah haji terbesar di seluruh Arab, menyaingi Makkah.


Martin Lings dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2015) menuliskan, hal ini mengundang kemarahan suku yang tersebar di Hijaz dan Najd. Seseorang dari suku Kinanah, yang punya hubungan nasab dengan Quraisy, meruntuhkan gereja itu. Abrahah geram dan bersumpah meratakan Ka'bah.


Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980) menyebutkan, Abrahah yang sudah menghiasi rumah sucinya sedemikian rupa, berhadapan dengan kenyataan: orang-orang Arab hanya berniat ziarah ke Mekkah. Mereka menganggap ziarah tidak akan sah jika tidak ke Ka'bah. Abrahah kemudian mengambil keputusan menyerang Mekkah. Dia sendiri tampil paling depan di atas seekor gajah besar.


Tetapi, usaha mereka tidak membuahkan hasil karena ‘magnet’ Ka’bah masih ampuh untuk menarik para pelancong mengunjunginya. Maka api kedengkian pun kian menyulut ubun-ubun mereka, tak terbendungkan lagi. Dengan dipimpin langsung oleh Abrahah, pasukan besar dari Yaman dengan sebagian besar mengendari gajah berbaris untuk menyerbu Kota Makkah sekaligus menghancurkan Ka’bah.


Ketika Abrahah dan pasukannya tiba di daerah Mughammas, dekat Kota Makkah, mereka pun singgah sejenak untuk beristirahat. Abrahah mengirimkan seorang utusan kepada Abdul Muthalib pemimpin kota suci yang amat dicintai penduduknya itu, untuk memberitahukan bahwa mereka akan menghancurkan Ka’bah. Mengetahui hal itu, Abdul Muthalib dan rakyatnya tidak bisa berbuat banyak karena pasukan Abrahah sangat kuat.


Dengan perasaan sedih bercampur takut, satu persatu penduduk Makkah meninggalkan tanah kelahirannya menuju bukit-bukit yang mengelilingi kota tua itu untuk bersembunyi. Abdul Muthalib sendiri, sebelum pergi, ia menyempatkan untuk ‘pamit’ terlebih dahulu ke Baitullah.


Di sana Abdul Muthalib berdoa seraya menyerahkan pemeliharaan Baitullah sepenuhnya kepada pemiliknya sendiri yaitu Tuhan Yang Mahaperkasa. Doanya itu diuntainya dalam sebuah syair dengan sangat memelas, 


“Wahai Tuhanku, Tidak ada yang kuharapkan selain dari-Mu. Wahai Tuhanku, Selamatkan rumah-Mu dari serangan mereka. Sesungguhnya mereka yang akan merusak bait-Mu, Adalah musuh-Mu.”


Doa Abdul Muthalib yang tulus dan amat bersungguh-sungguh itu kiranya dikabulkan oleh Allah swt. Sebelum tentara Abrahah menjamah Ka’bah, mereka telah disambut oleh gerombolan burung Ababil yang melemparkan bebatuan sampai mereka binasa bagaikan dedaunan yang dimakan ulat. Peristiwa ini diabadikan oleh Al-Qur’an Surat Al-Fil ayat 1-5.


Di tengah peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh pasukan gajah tersebut, lahir seorang anak laki-laki dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab. Setelah lahir di tahun gajah itu, Abdul Muthalib yang mendengar kabar ini demikian gembira, mengangkatnya, dan membawanya ke Ka'bah. Ia memberi nama Muhammad untuk sang cucu, bukan nama umum di kalangan Arab saat itu.


Namun, Abdul Muthalib, yang menjadi saksi bagaimana Tuhan melindungi Ka'bah dari serangan pasukan Abrahah punya alasan kuat. Abdul Muthalib menginginkan cucunya kelak menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon