Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi. Arti peribahasa di atas adalah.. (5)?
Jawaban yang benar adalah: C. Pekerjaan yang dilakukan dengan setengah-setengah, tidak akan mencapai hasil yang baik.. Dilansir dari Ensiklopedia, berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi. arti peribahasa di atas adalah.. (5) Pekerjaan yang dilakukan dengan setengah-setengah, tidak akan mencapai hasil yang baik.. Pembahasan dan Penjelasan Menurut saya jawaban A. Mengalami kesusahan karena di- tinggal mati oleh kekasih, atau ke- kasihnya diambil orang. adalah jawaban yang kurang tepat, karena sudah terlihat jelas antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung sama sekali. Menurut saya jawaban B. Tertimpa berbagai musibah yang bertubi-tubi. adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut lebih tepat kalau dipakai untuk pertanyaan lain. Menurut saya jawaban C. Pekerjaan yang dilakukan dengan setengah-setengah, tidak akan mencapai hasil yang baik. adalah jawaban yang paling benar, bisa dibuktikan dari buku bacaan dan informasi yang ada di google. Menurut saya jawaban D. Siapa yang berbuat, dia yang ber- tanggung jawab. adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut sudah melenceng dari apa yang ditanyakan. Menurut saya jawaban E. Tidak ada kesusahan karena tidak arif. adalah jawaban salah, karena setelah saya coba cari di google, jawaban ini lebih cocok untuk pertanyaan lain. Kesimpulan Dari penjelasan dan pembahasan serta pilihan diatas, saya bisa menyimpulkan bahwa jawaban yang paling benar adalah C. Pekerjaan yang dilakukan dengan setengah-setengah, tidak akan mencapai hasil yang baik.. Jika anda masih punya pertanyaan lain atau ingin menanyakan sesuatu bisa tulis di kolom kometar dibawah.
Peribahasa ini menggambarkan situasi yang tidak diinginkan para guru akan kondisi muridnya dikemudian hari. Ilmu yang dipelajari setengah-setengah, tidak akan berfaedah. Wajar saja, saat mengajar, guru tak sungkan membagi ilmu. Saat membimbing, guru tak segan mengarahkan. Tidak ada guru yang menginginkan muridnya berakhir seperti peribahasa ini. Sepenuh hati menuntut ilmu dengan adab terpuji pada guru adalah kunci menghindarinya. Konon begitu, jika bukan pastilah perkara nasib dan pilihan hidup Hiruk pikuk membimbing mahasiswi calon bidan dilakoni Sri Muslimatun sejak 1995. Bu Mus, begitu ia biasa dipanggil terlibat di dunia akademisi sebagai pembimbing di Poltekes Kemenkes dan Stikes Aisyiyah Yogyakarta. Membimbing baginya bukan saja perkara transfer ilmu tapi memastikan sekolah juga tuntas. Lulus. Kecuali soal salah jurusan atau beda passion yang merebak jadi alasan pindah sekolah belakangan ini. Bukankah tiap pilihan mesti menanggung konsekuensinya? Sekalipun jika salah passion di kemudian hari. Begitu juga Sri Muslimatun sebagai pembimbing. Ia ingin anak didiknya bertanggung jawab dengan pilihannya di kampus. Ibu tiga anak ini memandang mereka seperti anak-anaknya sendiri. Perlakuannya adalah wujud perhatiannya. Tak jarang, mahasiswi bimbingannya selesai bimbingan hingga larut malam. Ia diingatkan pihak kampus agar tak berlebihan. Padahal Sri Muslimatun hanya ingin mahasiswi bimbingannya meraih yang terbaik. Begitulah Sri Muslimatun saat menjalani aktivitas sebagai bagian dari instansi pendidikan. Totalitas adalah nama tengahnya. Yang ia inginkan adalah perbaikan dan kebaikan para mahasiswi calon bidan. Ia mendorong mereka bertanggung jawab pada pilihan mereka dan pembiayaan dari orangtua dengan menyelesaikan sekolah kebidanan. Ini adalah langkah awal sebagai murid sebelum mereka berhak mengaplikasikan ilmu yang diperoleh.
Muslimatun kecil hidup di tengah keluarga besar dengan 10 saudara. Kehadiran dan bantuan bidan pada Ibu dan keluarganya ia sadari benar. Bukan hanya saat mendampingi persalinan tapi juga memberikan dukungan moril. Atas ijin Tuhan, bidan menyelamatkan dan menguatkan. Muslimatun bertekad untuk melakukan kebaikan dan pelayanan serupa bidan bagi masyarakat. Pengabdiannya sebagai bidan dimulai sejak 1976 di RS Bethesda dan RSUP Dr Sardjito. 10 tahun kemudian di tahun 1995, ia masuk ke dunia kampus dan membimbing mahasiswi kebidanan. Di tahun 2006, siapa sangka bidan yang lahir dari keluarga sederhana ini mulai mendirikan rumah sakit sendiri. Impiannya tak pernah berhenti pada dirinya. Pelayanan masyarakat menjadi bagian dari kontribusi hidupnya.
Komitmennya pada guru bukan hanya pada peningkatan kesejahteraan, tapi juga kesehatan mereka. Setiap HUT PGRI, Sri Muslimatun membuka akses pemeriksaan dan pengobatan gratis bagi guru-guru yang terjangkit IVA dan katarak di Rumah Sakit Sakina Idaman yang dikelolanya. Page 2
Peribahasa ini menggambarkan situasi yang tidak diinginkan para guru akan kondisi muridnya dikemudian hari. Ilmu yang dipelajari setengah-setengah, tidak akan berfaedah. Wajar saja, saat mengajar, guru tak sungkan membagi ilmu. Saat membimbing, guru tak segan mengarahkan. Tidak ada guru yang menginginkan muridnya berakhir seperti peribahasa ini. Sepenuh hati menuntut ilmu dengan adab terpuji pada guru adalah kunci menghindarinya. Konon begitu, jika bukan pastilah perkara nasib dan pilihan hidup Hiruk pikuk membimbing mahasiswi calon bidan dilakoni Sri Muslimatun sejak 1995. Bu Mus, begitu ia biasa dipanggil terlibat di dunia akademisi sebagai pembimbing di Poltekes Kemenkes dan Stikes Aisyiyah Yogyakarta. Membimbing baginya bukan saja perkara transfer ilmu tapi memastikan sekolah juga tuntas. Lulus. Kecuali soal salah jurusan atau beda passion yang merebak jadi alasan pindah sekolah belakangan ini. Bukankah tiap pilihan mesti menanggung konsekuensinya? Sekalipun jika salah passion di kemudian hari. Begitu juga Sri Muslimatun sebagai pembimbing. Ia ingin anak didiknya bertanggung jawab dengan pilihannya di kampus. Ibu tiga anak ini memandang mereka seperti anak-anaknya sendiri. Perlakuannya adalah wujud perhatiannya. Tak jarang, mahasiswi bimbingannya selesai bimbingan hingga larut malam. Ia diingatkan pihak kampus agar tak berlebihan. Padahal Sri Muslimatun hanya ingin mahasiswi bimbingannya meraih yang terbaik. Begitulah Sri Muslimatun saat menjalani aktivitas sebagai bagian dari instansi pendidikan. Totalitas adalah nama tengahnya. Yang ia inginkan adalah perbaikan dan kebaikan para mahasiswi calon bidan. Ia mendorong mereka bertanggung jawab pada pilihan mereka dan pembiayaan dari orangtua dengan menyelesaikan sekolah kebidanan. Ini adalah langkah awal sebagai murid sebelum mereka berhak mengaplikasikan ilmu yang diperoleh.
Muslimatun kecil hidup di tengah keluarga besar dengan 10 saudara. Kehadiran dan bantuan bidan pada Ibu dan keluarganya ia sadari benar. Bukan hanya saat mendampingi persalinan tapi juga memberikan dukungan moril. Atas ijin Tuhan, bidan menyelamatkan dan menguatkan. Muslimatun bertekad untuk melakukan kebaikan dan pelayanan serupa bidan bagi masyarakat. Pengabdiannya sebagai bidan dimulai sejak 1976 di RS Bethesda dan RSUP Dr Sardjito. 10 tahun kemudian di tahun 1995, ia masuk ke dunia kampus dan membimbing mahasiswi kebidanan. Di tahun 2006, siapa sangka bidan yang lahir dari keluarga sederhana ini mulai mendirikan rumah sakit sendiri. Impiannya tak pernah berhenti pada dirinya. Pelayanan masyarakat menjadi bagian dari kontribusi hidupnya.
Komitmennya pada guru bukan hanya pada peningkatan kesejahteraan, tapi juga kesehatan mereka. Setiap HUT PGRI, Sri Muslimatun membuka akses pemeriksaan dan pengobatan gratis bagi guru-guru yang terjangkit IVA dan katarak di Rumah Sakit Sakina Idaman yang dikelolanya. Page 3
Peribahasa ini menggambarkan situasi yang tidak diinginkan para guru akan kondisi muridnya dikemudian hari. Ilmu yang dipelajari setengah-setengah, tidak akan berfaedah. Wajar saja, saat mengajar, guru tak sungkan membagi ilmu. Saat membimbing, guru tak segan mengarahkan. Tidak ada guru yang menginginkan muridnya berakhir seperti peribahasa ini. Sepenuh hati menuntut ilmu dengan adab terpuji pada guru adalah kunci menghindarinya. Konon begitu, jika bukan pastilah perkara nasib dan pilihan hidup Hiruk pikuk membimbing mahasiswi calon bidan dilakoni Sri Muslimatun sejak 1995. Bu Mus, begitu ia biasa dipanggil terlibat di dunia akademisi sebagai pembimbing di Poltekes Kemenkes dan Stikes Aisyiyah Yogyakarta. Membimbing baginya bukan saja perkara transfer ilmu tapi memastikan sekolah juga tuntas. Lulus. Kecuali soal salah jurusan atau beda passion yang merebak jadi alasan pindah sekolah belakangan ini. Bukankah tiap pilihan mesti menanggung konsekuensinya? Sekalipun jika salah passion di kemudian hari. Begitu juga Sri Muslimatun sebagai pembimbing. Ia ingin anak didiknya bertanggung jawab dengan pilihannya di kampus. Ibu tiga anak ini memandang mereka seperti anak-anaknya sendiri. Perlakuannya adalah wujud perhatiannya. Tak jarang, mahasiswi bimbingannya selesai bimbingan hingga larut malam. Ia diingatkan pihak kampus agar tak berlebihan. Padahal Sri Muslimatun hanya ingin mahasiswi bimbingannya meraih yang terbaik. Begitulah Sri Muslimatun saat menjalani aktivitas sebagai bagian dari instansi pendidikan. Totalitas adalah nama tengahnya. Yang ia inginkan adalah perbaikan dan kebaikan para mahasiswi calon bidan. Ia mendorong mereka bertanggung jawab pada pilihan mereka dan pembiayaan dari orangtua dengan menyelesaikan sekolah kebidanan. Ini adalah langkah awal sebagai murid sebelum mereka berhak mengaplikasikan ilmu yang diperoleh.
Muslimatun kecil hidup di tengah keluarga besar dengan 10 saudara. Kehadiran dan bantuan bidan pada Ibu dan keluarganya ia sadari benar. Bukan hanya saat mendampingi persalinan tapi juga memberikan dukungan moril. Atas ijin Tuhan, bidan menyelamatkan dan menguatkan. Muslimatun bertekad untuk melakukan kebaikan dan pelayanan serupa bidan bagi masyarakat. Pengabdiannya sebagai bidan dimulai sejak 1976 di RS Bethesda dan RSUP Dr Sardjito. 10 tahun kemudian di tahun 1995, ia masuk ke dunia kampus dan membimbing mahasiswi kebidanan. Di tahun 2006, siapa sangka bidan yang lahir dari keluarga sederhana ini mulai mendirikan rumah sakit sendiri. Impiannya tak pernah berhenti pada dirinya. Pelayanan masyarakat menjadi bagian dari kontribusi hidupnya.
Komitmennya pada guru bukan hanya pada peningkatan kesejahteraan, tapi juga kesehatan mereka. Setiap HUT PGRI, Sri Muslimatun membuka akses pemeriksaan dan pengobatan gratis bagi guru-guru yang terjangkit IVA dan katarak di Rumah Sakit Sakina Idaman yang dikelolanya. Page 4
Peribahasa ini menggambarkan situasi yang tidak diinginkan para guru akan kondisi muridnya dikemudian hari. Ilmu yang dipelajari setengah-setengah, tidak akan berfaedah. Wajar saja, saat mengajar, guru tak sungkan membagi ilmu. Saat membimbing, guru tak segan mengarahkan. Tidak ada guru yang menginginkan muridnya berakhir seperti peribahasa ini. Sepenuh hati menuntut ilmu dengan adab terpuji pada guru adalah kunci menghindarinya. Konon begitu, jika bukan pastilah perkara nasib dan pilihan hidup Hiruk pikuk membimbing mahasiswi calon bidan dilakoni Sri Muslimatun sejak 1995. Bu Mus, begitu ia biasa dipanggil terlibat di dunia akademisi sebagai pembimbing di Poltekes Kemenkes dan Stikes Aisyiyah Yogyakarta. Membimbing baginya bukan saja perkara transfer ilmu tapi memastikan sekolah juga tuntas. Lulus. Kecuali soal salah jurusan atau beda passion yang merebak jadi alasan pindah sekolah belakangan ini. Bukankah tiap pilihan mesti menanggung konsekuensinya? Sekalipun jika salah passion di kemudian hari. Begitu juga Sri Muslimatun sebagai pembimbing. Ia ingin anak didiknya bertanggung jawab dengan pilihannya di kampus. Ibu tiga anak ini memandang mereka seperti anak-anaknya sendiri. Perlakuannya adalah wujud perhatiannya. Tak jarang, mahasiswi bimbingannya selesai bimbingan hingga larut malam. Ia diingatkan pihak kampus agar tak berlebihan. Padahal Sri Muslimatun hanya ingin mahasiswi bimbingannya meraih yang terbaik. Begitulah Sri Muslimatun saat menjalani aktivitas sebagai bagian dari instansi pendidikan. Totalitas adalah nama tengahnya. Yang ia inginkan adalah perbaikan dan kebaikan para mahasiswi calon bidan. Ia mendorong mereka bertanggung jawab pada pilihan mereka dan pembiayaan dari orangtua dengan menyelesaikan sekolah kebidanan. Ini adalah langkah awal sebagai murid sebelum mereka berhak mengaplikasikan ilmu yang diperoleh.
Muslimatun kecil hidup di tengah keluarga besar dengan 10 saudara. Kehadiran dan bantuan bidan pada Ibu dan keluarganya ia sadari benar. Bukan hanya saat mendampingi persalinan tapi juga memberikan dukungan moril. Atas ijin Tuhan, bidan menyelamatkan dan menguatkan. Muslimatun bertekad untuk melakukan kebaikan dan pelayanan serupa bidan bagi masyarakat. Pengabdiannya sebagai bidan dimulai sejak 1976 di RS Bethesda dan RSUP Dr Sardjito. 10 tahun kemudian di tahun 1995, ia masuk ke dunia kampus dan membimbing mahasiswi kebidanan. Di tahun 2006, siapa sangka bidan yang lahir dari keluarga sederhana ini mulai mendirikan rumah sakit sendiri. Impiannya tak pernah berhenti pada dirinya. Pelayanan masyarakat menjadi bagian dari kontribusi hidupnya.
Komitmennya pada guru bukan hanya pada peningkatan kesejahteraan, tapi juga kesehatan mereka. Setiap HUT PGRI, Sri Muslimatun membuka akses pemeriksaan dan pengobatan gratis bagi guru-guru yang terjangkit IVA dan katarak di Rumah Sakit Sakina Idaman yang dikelolanya. |