Jelaskan secara singkat bagaimana Pancasila sebagai sistem ilmu pengetahuan

Jawab apa jika saat wawancarai ada pertanyaan "maksud dari menampung kreativitas siswa itu gimana"​

Buatlah 10 pertanyaan tentang pancasila dan nilai yg terkandung dalam sila ke-4! ​

ajukan pertanyaan untuk memperluas wawasan kalian berkaitan dengan artikal yang ditemukan di media massa​

siapakah yang menjahit merah putih ​

Apa yang akan kamu lakukan jika usulan atau pendapat kamu tidak diterima oleh teman-teman pengurus yang lain​

Tuliskan tiga akibat kebijakan tentara Jepang terhadap Indonesia​

jawabannya disingkat" aja ya soalnya tkut ga cukup jawabannya​

tuliskan pancasila dan contoh/ pengamalannya ( sila 1, 2, 3, 4, 5) ​

Jelaskan bagaimana cara memanfaatkan/mendapatkan layanan BK di sekolah?​

Sebutkan pasal-pasal dalam konstitusi RI (UUD NRI 1945) yang mengalami pelanggaran dan keberhasilan dalam penerapan Pancasila pada masa kepemimpinan S … oekarno. (masing-masing minimal 3 pasal) Tolong dong secepatnya dijawab, jangan ngasal!

Pengetahuan ilmiah dapat disebut juga dengan istilah ilmu. Ilmu menurut The Liang Gie (1998: 15) merupakan serangkaian kegiatan manusia dengan pikirannya dan menggunakan berbagai tata cara sehingga menghasilkan sekumpulan pengetahuan yang teratur mengenai gejala-gejala alami, kemasyarakatan, dan perorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, dan memberikan penjelasan, atau melakukan penerapan. Pengertian ilmu dapat dijelaskan dengan tiga segi yakni kegiatan, tata cara, dan pengetahuan yang teratur sebagai hasil kegiatan.

Pengetahuan dikatakan ilmiah jika memenuhi syarat-syarat ilmiah yakni:

  1. berobjek;
  2. bermetode;
  3. bersistem; dan
  4. bersifat universal.

Berobjek berarti memiliki sasaran atau objek material, dan titik perhatian tertentu atau objek formal. Sasaran disebut juga pokok soal (subject matter) merupakan sesuatu yang dituju atau dijadikan bahan untuk diselidiki. Sedangkan objek formal (focus of interest, point of view) merupakan titik pusat perhatian pada segi-segi tertentu sesuai dengan ilmu yang bersangkutan. Misalnya jenis pengetahuan yang memiliki objek material manusia dengan titik pusat perhatian atau objek formalnya tentang jiwa menimbulkan cabang Psikologi. Suatu objek material dari suatu ilmu pengetahuan dapat sama, tetapi tentu dibedakan oleh objek formalnya. Sebagai contoh ilmu kedokteran dengan antropologi budaya, memiliki objek material manusia, tetapi sudut pandang atau pokok bahasannya tidaklah sama.

Bermetode atau mempunyai metode berarti memiliki seperangkat pendekatan sesuai dengan aturan-aturan yang logis. Metode merupakan cara bertindak menurut aturan tertentu. Metode yang baik akan memudahkan seseorang mempelajari dan memahami ilmu pengetahuan tersebut. Metode keilmuan dapat dibedakan menjadi metode keilmuan kuantitatif dan metode keilmuan kualitatif. Metode keilmuan kuantitatif adalah cara berpikir ilmiah dengan prosedur kuantitatif, yang berarti bahwa segala sesuatunya dikuantifikasikan. Orientasinya didasarkan pada matematika-statistika sebenarnya merupakan salah satu sarana. Metode keilmuan kualitatif merupakan metode yang berbeda dengan metode kuantitatif sebab metode ini merupakan cara telaah untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dan mengembangkan teori secara kualitatif, misalnya dengan interpretasi, komparasi, hermeneutik dan sebagainya.

Bersistem atau bersifat sistematis bermakna memiliki kebulatan dan keutuhan. Bagian-bagian harus merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan tidak berkontradiksi sehingga membentuk kesatuan keseluruhan. Bagian-bagian itu saling berkaitan baik hubungan interrelasi (saling berhubungan), interdependensi (saling ketergantungan).

Bersifat universal, atau dapat dikatakan bersifat objektif, dalam arti bahwa penelusuran kebenaran tidak didasarkan oleh alasan rasa senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, melainkan karena alasan (bukti) yang dapat diterima oleh akal. Jadi, kebenarannya universal tidak dibatasi oleh waktu, ruang, keadaan, kondisi, maupun jumlah tertentu (Soeprapto, 1997: 3).

  1. PANCASILA MERUPAKAN PENGETAHUAN ILMIAH

Pancasila memenuhi keempat syarat tersebut, sehingga Pancasila merupakan pengetahuan yang ilmiah. Pertama, Pancasila yang dipelajari harus mempunyai objek, yakni objek material dan formal. Objek material Pancasila yaitu tata cara hidup manusia Indonesia yang sudah menjadi kebiasaan atau sudah membudaya, di kehidupan bangsa Indonesia. Rumusan Pancasila, isi arti dan pelaksanaannya sebagai objek formalnya, sehingga yang dibahas adalah persesuaian antara rumusan dan isi arti Pancasila dengan tata cara hidup bangsa Indonesia. Tata cara hidup yang sebagai objek ini harus sudah menjadi kebiasaan sebagai ciri khas Bangsa Indonesia atau dengan kata lain sudah membudaya dan bukan pola hidup kebetulan saja. Ciri khas Bangsa Indonesia sebagai objek material ini merupakan ciri pembeda, yaitu yang dapat membedakan antara Bangsa Indonesia dengan bangsa lain sebagai sesama manusia dalam pola hidup bermasyarakat dan berbangsa.

Kedua, dalam mempelajari Pancasila juga ada metodenya. Metode yang dimaksud disini adalah tata cara untuk mencari persesuaian antara rumusan Pancasila dengan objek materialnya yaitu budaya Indonesia, sehingga mencapai kebenaran. Apakah Pancasila sebagai pandangan hidup ini sesuai dengan kenyataannya ataukah tidak, misalnya, atau apakah benar bahwa Pancasila merupakan jiwa Bangsa Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara. Metode yang sering digunakan dalam penelitian Pancasila menurut Notonagoro disebut analitiko sintetik, yaitu dengan cara menguraikan rumusan-rumusan yang ada untuk dibuktikan kebenarannya dalam kehidupan sehari-hari. Setiap fakta dari penelitian ini digabungkan untuk dirumuskan kesimpulannya secara umum dan dipakai sebagai pedoman hidup. Kaelan (1998: 14) mengatakan bahwa metode analitiko sintetik merupakan perpaduan metode analisis dengan metode sintesis, sehingga objek Pancasila berkaitan dengan hasil-hasil budaya dan sejarahnya. Metode lain yang juga lazim digunakan adalah metode hermeneutika yakni suatu metode yang digunakan untuk menemukan makna di balik objek, dan dipadu dengan metode koherensi historis (keruntutan sejarah). Metode lain yang dapat digunakan adalah metode pemahaman, penafsiran dan interpretasi yang didasarkan pada hukum-hukum pemikiran logis dalam penarikan kesimpulan.

Ketiga, Pembahasan Pancasila secara ilmiah harus merupakan suatu kesatuan dan keutuhan, bahkan Pancasila itu sendiri dalam dirinya sendiri adalah kesatuan dan keutuhan majemuk tunggal, yaitu kelima sila pancasila itu baik rumusannya dan isi arti sila-silanya tidak dapat dipisahkan dan diceraiberaikan. Pembahasan Pancasila secara ilmiah dengan sendirinya merupakan objek kajian ilmiah yang bersifat koheren (runtut), tanpa adanya suatu pertentangan di dalam sila-silanya (kontradiksi interminis), sehingga sila-sila Pancasila itu merupakan kesatuan yang sistemik.

Pembahasan Pancasila harus bersifat sistematik, mempunyai kesatuan susunan yang harmonis dari sila-sila yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, saling mempengaruhi, sehingga semua sila merupakan kesatuan keseluruhan yang tidak ada kontradiksi di dalamnya. Tiap sila dapat dibahas secara luas dan merupakan bagian dari keseluruhan sila, tidak terpisah-pisahkan, masing-masing memiliki hubungan yang erat. Susunan ini dimulai dari yang bersifat abstrak yaitu sila pertama sampai untuk mewujudkan hal yang bersifat konkret yakni sila kelima.

Keempat, bersifat universal berarti kesesuaian hidup yang dicapai dan rumusan sila-sila Pancasila haruslah bersifat umum yakni tidak terbatas oleh ruang dan waktu, di mana dan kapan saja tetap berlaku. Jika dipersoalkan apakah Pancasila itu bersifat universal atau tidak, misalnya sila Persatuan Indonesia, karena jelas ada ke-Indonesiaannya, demikan juga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, apakah ini universal. Notonagoro membuat uraian yang dapat dirangkum, bahwa sifat universalnya terletak pada istilah inti atau pokok masing-masing sila, berturut-turut sila pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

Jika hendak mengetahui segi universalitasnya sebaiknya sebagai berikut: Sila pertama adalah ketuhanan, sila kedua kemanusiaan, dan sila kelima keadilan, selanjutnya berturut-turut sila ketiga dan keempat yakni persatuan dan kerakyatan (demokrasi). Sila pertama, kedua, dan kelima mengandung nilai universal yang pokok sebab di mana pun pada prinsipnya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan diakui, sekalipun dalam wujud ekspresi yang berbeda. Suatu negara yang ideologinya tidak mengakomodasikan salah satu dari ketiga atau semua nilai tersebut maka ideologi tersebut rapuh dan negara pun akan rapuh pula, jika ideologinya roboh negarapun akan roboh pula. Suatu negara yang didirikan untuk melengkapi nilai-nilai universal di atas, memerlukan nilai universal pendukung, yakni persatuan dan kerakyatan (prinsip-prinsip demokrasi). Dua nilai tersebut juga dikandung Pancasila yakni sila ketiga dan keempat.

Kesatuan logis dari Pancasila diketahui dari pembahasan secara ilmiah ini. Roeslan Abdul Gani salah seorang tokoh BPUPKI menolak pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila tidak mempunyai kesatuan logika. Roeslan Abdul Gani dalam menguatkan posisi argumennya mengutip pendapat Kahin yang mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah sintesis dari gagasan-gagasan Islam modern, ide demokrasi, sosialisme, dan gagasan demokrasi asli seperti dijumpai di desa-desa dan dalam komunalisme penduduk asli. Roeslan Abdul Gani juga bersandar pada pendapat Kahin, mengatakan bahwa Pancasila adalah suatu filsafat sosial yang sudah dewasa. Konsekuensinya dengan sifat Pancasila yang demikian hendaklah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam arti disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Rumusan Pancasila yang dijadikan sebagai dasar negara Republik Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat adalah:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia..

Kelima sila tersebut sebagai satu kesatuan nilai kehidupan masyarakat ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan dijadikan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dasar tersebut adalah dasar yang kuat kokoh karena digali dan dirumuskan dari nilai kehidupan rakyat Indonesia yang merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena Pancasila disepakati secara nasional, maka ia merupakan suatu perjanjian luhur yang harus dipatuhi tanpa kecuali, baik oleh pemerintah maupun seluruh rakyat Indonesia. Pancasila itu pulalah bentuk dan corak masyarakat yang hendak kita capai atau wujudkan, yaitu masyarakat Indonesia modern yang berlandaskan Pancasila. Pancasila dari sejarah ketatanegaraan terbukti mampu mempersatukan bangsa kita yang majemuk.

Pembuktian untuk menunjukkan bahwa Pancasila dapat dikategorikan sebagai pengetahuan ilmiah dapat juga diajukan susunan kesatuannya yang logis, hubungan antarsila yang organis, hierarkis dan berbentuk piramidal, dan saling mengisi dan mengkualifikasi. (Kaelan, 1999: 67-70) yang dikutip dari Notonagoro (1975: 43-44) bahwa Pancasila yang terdiri atas lima sila bukanlah merupakan suatu kumpulan sila-sila yang dapat diceraiberaikan atau Pancasila bukanlah merupakan suatu kumpulan sila-sila yang masing-masing dapat berdiri sendiri-sendiri. Pancasila dengan kelima silanya pada hakikatnya adalah suatu kesatuan bulat dan utuh, hal ini memang dikehendaki demikian sebagai dasar filsafat negara. Suatu dasar filsafat negara merupakan suatu keutuhan sistematis. Meskipun boleh terdiri atas bagian-bagian yang menyusunnya, namun bagian-bagian ini tidak saling bertentangan dan tetap merupakan suatu keutuhan. Konsekuensinya, kesatuan sila-sila Pancasila yang terdiri atas lima sila (majemuk), adalah merupakan suatu kesatuan, keutuhan yang sistematis (tunggal). Kesatuan demikian ini oleh Notonagoro disebut sebagai suatu kesatuan yang majemuk tunggal. Kesatuan majemuk tunggal tersebut secara sistematis dapat dipahami atas tiga pengertian yakni: susunan kesatuan Pancasila yang bersifat kesatuan organis, susunan kesatuan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal, dan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengkualifikasi.

  1. PANCASILA SEBAGAI OBJEK STUDI ILMIAH

Kajian terhadap Pancasila dari sudut pandang ilmiah dapat disebut sebagai pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah terhadap Pancasila bukan hanya dimaksudkan untuk mengerti dan menghayati Pancasila, tetapi juga mengamalkannya. Suatu pendekatan ilmiah di samping harus memenuhi syarat-syarat ilmiah juga harus mempunyai sifat khasnya yaitu praktis. Sifat praktis adalah memiliki manfaat atau kegunaan dalam praktik kehidupan nyata, sehingga lebih memperhatikan pengamalan Pancasila.

Pancasila sebagai objek studi ilmiah dapat disorot dengan banyak bidang ilmu pengetahuan sehingga dapat dihasilkan bidang khusus yang berkaitan dengan Pancasila, misalnya bidang ekonomi memunculkan ekonomi Pancasila, bidang filsafat melahirkan filsafat Pancasila, bidang etika dan sebagainya. Pembahasan bagian ini tentu saja meletakkan Pancasila sebagai objek dahulu (genetivus objectivus).

Pancasila itu mencakup seluruh aspek kehidupan, sehingga untuk membahas dengan pendekatan-pendekatan ilmiah, maka mahasiswa tidak akan memiliki waktu yang cukup. Modul ini memilih tiga segi saja yakni pendekatan sejarah, pendekatan yuridis konstitutional, dan pendekatan filsafat.

Segi pendekatan sejarah merupakan bahasan yang akan menjelaskan proses pertumbuhan dan pelembagaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan (pribadi-masyarakat-negara). Pendekatan sejarah ini perlu mengingat sifat nilai-nilai Pancasila yang abstrak, sehingga menjadi jelas seakan-akan konkretlah nilai tersebut dalam pikiran kita.

Konkritisasi hal yang abstrak akan sangat menolong dan memudahkan kita berpikir. Pendekatan sejarah juga menjembatani jarak waktu dan tempat. Misalnya kejadian apa dari zaman Sriwijaya dan Majapahit. Sudah dapat dipastikan bahwa di antara kita tidak ada yang mengetahui kejadian-kejadian tersebut secara faktual. Ungkapan sejarah akan menjelaskan kejadian-kejadian itu seakan-akan nyata dalam pikiran kita. Demikianlah kegunaan sejarah sebagai pengetahuan faktual dalam arti diketahui sendiri melalui pikiran.

Perlu ditegaskan bahwa pembahasan aspek historis ini bukanlah sama dengan pelajaran ilmu sejarah murni, tetapi terbatas hanya pada pengungkapan fakta sejarah yang ada kaitannya langsung dengan proses pertumbuhan serta pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain kita tidak akan mengikuti bagaimana peristiwa terbunuhnya putera mahkota F. Ferdinand di Sarajewo sebagai permulaan pecahnya Perang Dunia I, ataupun Hitler Nazi membantai orang-orang Yahudi di Eropa dalam Perang Dunia II, tetapi hanya membicarakan sejarah yang ada sangkut pautnya dengan Pancasila. Pembahasan lebih mendalam mengenai pendekatan sejarah ini dapat Anda pelajari pada modul ke-2.

  1. Pendekatan Yuridis Konstitutional

Pembahasan Pancasila dari sisi hukum dan hukum ketatanegaraan sangatlah penting artinya untuk dipelajari. Hukum mengatur kegiatan hidup kita sebagai warga masyarakat dan negara. Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan bernegara, dengan demikian pendekatan hukum harus dimengerti dengan baik agar dapat mengamalkan Pancasila dengan baik pula.

Pendekatan hukum ini penting untuk dihayati sebab sulit bagi kita untuk bertindak atau berbuat jika tidak mengetahui dengan baik segi-segi hukum dan hukum ketatanegaraan dari Pancasila. Pendekatan hukum penting, karena peraturan perundang-undangan secara hierarkhis mengalir dari nilai-nilai Pancasila. Pembahasan mengenai aspek ini lebih dalam akan dibahas pada modul-modul selanjutnya.

Masalah pendekatan filosofis ini kita tidak perlu membicarakan seluruh ilmu filsafat yang sangat luas cakupan dan cabang-cabangnya. Penjelasan pendekatan filsafati ini sebagai pengantar ke pendekatan filsafat yang akan dideskripsikan sebagai berikut.

Pengertian filsafat sebagai suatu istilah perlu ditelusuri secara etimologis. Istilah filsafat memiliki padanan kata falsafah (dalam bahasa Arab), dalam kosakata bahasa Inggris philosophy. Tinjauan penggunaannya dalam bahasa Yunani terdapat dua pengertian, tetapi secara semantis memiliki makna yang sama. Filsafat sebagai kata benda merupakan perpaduan kata majemuk philos (sahabat, cinta) dan Sophia (pengetahuan yang bijaksana, kebijaksanaan). Filsafat sebagai kata kerja merupakan paduan dari philein (mencintai) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan). Filsafat dari pengertiannya sebagai kata kerja adalah cinta kepada pengetahuan yang bijaksana, sehingga mengusahakannya. Kaelan (1996: 3) menjelaskan, bahwa istilah filsafat pada mulanya merupakan suatu istilah yang secara umum dipergunakan untuk menunjukkan suatu usaha menuju kepada keutamaan mental, the pursuit of mental excellence. Istilah filsafat dalam perjalanan sejarah yang panjang, sebagai ilmu berguna bagi sikap kritis dan analitis, sehingga lingkup pengertian filsafat semakin berkembang dan bermacam-macam. Beberapa pendapat ada yang menggunakan pengertian filsafat sebagai pandangan hidup, sebagai suatu kebijaksanaan yang rasional, sekelompok teori dan sistem pemikiran, sebagai proses kritis dan sistematis dari pengetahuan manusia, dan sebagai usaha memperoleh pandangan yang menyeluruh. Masing-masing penggunaan istilah filsafat tersebut memiliki ciri-ciri berpikir yang tertentu.

Kegiatan berpikir adalah aktivitas yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, namun tidak semua kegiatan berpikir adalah kegiatan berfilsafat. Kegiatan berpikir filsafati tidak semata-mata ditandai dengan merenung dan berkontemplasi yang tidak bersangkut paut dengan realitas. Berpikir secara filsafati senantiasa berkaitan dengan masalah-masalah manusia yang bersifat aktual dan hakiki. Misalnya dewasa ini banyak orang menginginkankan demokrasi, maka makna demokrasi dalam arti yang sesungguhnya dapat ditemukan dengan kontemplasi kefilsafatan. Bagaimana menciptakan demokrasi yang tidak menimbulkan gejolak, mencari keserasian antara stabilitas dan dinamika, hubungan antara yang berkuasa dengan rakyat dan sebagainya. Bidang-bidang ilmu pengetahuan lain juga selalu berkaitan dengan realitas, seperti bidang ilmu kedokteran, ekonomi. Konskwensinya berpikir secara kefilsafatan di samping berkaitan dengan ide-ide juga harus memperhatikan realitas konkret. Ciri-ciri berpikir filsafati antara lain: bersifat kritis, bersifat terdalam, konseptual, koheren, rasional, komprehensif, universal, sistematis, spekulatif, bebas dan bertanggung jawab (Kaelan, 1996: 8-13).

Salah satu contoh pendekatan Pancasila dari sisi filsafat yang dapat diajukan adalah pendekatan etika, sebab etika adalah cabang dari filsafat yang erat kaitannya dengan moral. Misal, ada ketentuan hukum yang mewajibkan warga negara membayar pajak (Alhaj, 1998: 13). Kewajiban tersebut tidaklah kita terima begitu saja sebagai ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa. Jika kita membayar pajak itu dikarenakan hanya alasan mesti patuh atau terpaksa, maka dapatlah diperkirakan di antara kita akan ada yang mengingkarinya. Misalnya karena ada kebutuhan lainnya yang kita anggap sebagai lebih penting daripada membayar pajak. Kasus ini dapat kita teropong dari ilmu filsafat terutama cabang etika, kita harus kritis dan mempertanyakan “apa hakikatnya pajak itu, kenapa saya harus membayar pajak, untuk apa pajak itu dibayar, apa gunanya, bagaimana akibatnya jika tidak dibayar (akibat bagi saya, masyarakat, dan negara). Dalam mendiskusikan jawaban tersebut tentulah kita harus sampai pada pemecahan yang mendasar, misalnya ternyata pajak itu untuk kebaikan kita bersama, sehingga menyadarkan si wajib pajak untuk membayar dan pembayaran dilakukan bukan karena rasa takut, rasa terpaksa, didorong orang lain, tetapi sudah merupakan keputusan pribadi yang otonom, berdasar hati nurani dan akal budi kita. Bahwa dengan melaksanakan kewajiban ternyata kita merasa bebas, tidak dikejar-kejar oleh rasa bersalah, rasa sesal dan lain-lain.

Contoh persoalan penting lain misalnya pengujian secara ilmiah akademis mengenai kemampuan Pancasila sebagai payung berdirinya negara dan bangsa Indonesia, lebih-lebih jika ingin dikembangkan ke arah masa depan yang penuh dengan tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan, sebab Pancasila sendiri merupakan bidang moral dan kajian yang memang berada pada masyarakat Indonesia dalam arti luas. Persoalan pertama, kita mengetahui Pancasila secara de yure baru dikenal sesudah tanggal 18 Agustus 1945 sebab pada tanggal tersebut Pancasila dimaksudkan secara eksplisit sebagai dasar negara dalam artian lebih bersifat sosio-politis daripada yang lain, walaupun secara de facto Pancasila dalam artian nilai-nilai, sudah berlangsung lama dan hidup dalam masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu. Persoalan kedua adalah kecenderungan orang untuk membandingkan Pancasila di satu sisi dengan agama di sisi lain bahkan mempertentangkan keduanya.

Yang pertama, terdapat perbedaan pendapat yang beragam dalam menamakan Pancasila sebagai suatu falsafah negara ataukah hanya sekedar persetujuan politik. Sutan Takdir Ali Syahbana (sosialis) menyatakan bahwa adalah berlebih-lebihan untuk menganggap Pancasila sebagai suatu falsafah negara karena bukan saja sila-silanya bersifat heterogen, tetapi juga Pancasila itu sendiri tidak bebas dari kontradiksi dalam dirinya. Semua prinsip-prinsipnya bukan merupakan suatu kesatuan yang logis, tetapi tinggal terletak berderai-derai, bahkan Takdir pernah mengatakan bahwa Pancasila hanyalah kumpulan paham-paham yang berbeda-beda untuk menentramkan semua golongan pada rapat-rapat BPUPKI. Tetapi pembicaraan ini memilih Pancasila sebagai dasar negara adalah karena ia merupakan suatu kompromi politik yang telah menolong bangsa Indonesia dalam menghadapi saat kritis dan menentukan dalam sejarahnya.

Pernyataan Sutan Takdir tentang Pancasila itu mendapat sambutan hangat dari wakil-wakil Islam. Hamka (Masyumi misalnya, mengomentari bahwa seorang sarjana dan sastrawan mengajui paradoksnya Pancasila, tetapi partainya (sosialis) menerimanya sebagai dasar negara adalah menurut tafsirnya sendiri, dan tidak keberatan jika sila-silanya ditambah. Dengan demikian menurut Hamka penerimaan Takdir akan Pancasila sebenarnya merupakan beban yang dipikulkan partai atas pundaknya sekalipun hal itu berlawanan dengan hasil renungan bebasnya. Sejalan dengan penilaian Hamka, Saifuddin Zuhri (NU) mengatakan bahwa bagian pidato Takdir Ali Syahbana tidaklah perlu dibubuhi komentar karena sudah cukup jelas bahwa Pancasila masih banyak kekurangan-kekurangan serta di dalamnya mengandung pertentangan-pertentangan disebabkan tiadanya kebulatan pikiran, seperti Natsir yang menyayangkan penerimaan Takdir terhadap Pancasila sebagai dasar negara, padahal sila-silanya masih berderai-derai. Sikap semacam ini menurut Natsir seharusnya tidak diambil oleh seorang pemikir terkenal seperti Sutan Takdir Ali Syahbana karena masalah dasar negara adalah masalah yang sangat serius. Maka Natsir menganggap Pancasila sebagai sekuler karena sumber-sumber silanya bukanlah wahyu Allah.

Diskusi di atas jika dipikirkan kembali, orang mungkin akan mengajukan pertanyaan: Apakah tidak mungkin untuk mereligiuskan Pancasila, yaitu dengan memberikan kepadanya nilai-nilai transenden tertentu sebagaimana yang diajarkan dalam agama-agama. Analogi untuk kerja semacam ini barangkali dapat juga diambilkan dari sejarah permulaan Islam, sekalipun tidak sepenuhnya persis. Konsep syura misalnya bukanlah ciptaan Islam untuk pertama kalinya, karena telah ada sebelumnya di Arab, lalu al-Qur’an mengambil dan mengislamkannya. Apabila diterapkan dalam konteks Pancasila, maka konversi semacam ini bukanlah sesuatu yang mustahil, karena sila-silanya dapat juga dijumpai dalam ajaran Islam. Jika sila Ketuhanan Yang Maha Esa dipercayai sebagai sumber sila-sila yang lain, maka barangkali masalahnya mendekati penyelesaian. Usaha ke arah itu sayangnya tidak dilakukan secara serius oleh golongan mana pun. Hubungan antara kepercayaan kepada Tuhan YME dengan prinsip keadilan sosio-ekonomis adalah ibarat hubungan antara dua sisi mata uang yang sama. Jika jalan analisis ini dapat diterima, maka kemudian persoalannya adalah bersediakah Pancasila untuk menaikkan dirinya dengan mengambil nilai-nilai moral fundamental seperti diajarkan oleh agama-agama wahyu. Selanjutnya jika Pancasila hanya seperti apa adanya dengan sila-sila yang berderai-derai, maka mungkin akan sulit baginya untuk mengklaim dirinya sebagai dasar negara, falsafah negara. Posisinya hanyalah sebagai sebuah persetujuan politik bagi aliran-aliran ideologi yang bermacam-macam sebagai mana yang didalilkan oleh beberapa anggota konstituante.

Pembela Pancasila dalam majelis konstituante yang lain seperti Roeslan Abdul Gani berbeda pendapat dengan sutan Takdir Ali Syahbana yang berpendapat bahwa dasar negara adalah suatu metafor. Roeslan Abdul Gani memandang bahwa dasar negara merupakan suatu prinsip dasar, yang merupakan jiwa dari seluruh ayat dalam konstitusi dan perundang-undangan serta peraturan-peraturan lainnya. Ia menolak pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila tidak mempunyai kesatuan logika. Dalam menguatkan posisi argumennya, Roeslan Abdul Gani mengutip pendapat Kahin yang mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah sintesis dari gagasan-gagasan seperti dijumpai dalam penduduk Indonesia asli. Juga, bersandar pada pendapat Kahin, Roeslan Abdul Gani mengatakan bahwa Pancasila adalah suatu filsafat sosial yang sudah dewasa.

Persoalan kedua, kecenderungan orang membandingkan Pancasila dan bahkan membandingkannya dengan agama. Soekarno sendiri bahkan telah mengakui bahwa ia menggali Pancasila itu jauh sebelum kedatangan Islam. Ini menunjukkan tidak ada keterkaitan yang organis antara agama dengan Pancasila (Ahmad Syafii Maarif, 1985: 144). Maka bagi Syafii Maarif Pancasila versi Soekarno itu melulu merupakan refleksi kontemplatif dari warisan sosiohistoris Indonesia yang kemudian dirumuskan ke dalam lima prinsip. Termasuk prinsip Ketuhanan menurut jalan pikiran Soekarno ini bersifat sosiologis, tidak ada kaitan organik dengan doktrin sentral agama yang mana pun. Dengan kata lain konsep Ketuhanan Soekarno bersifat relatif sehingga dapat diperas menjadi konsep gotong royong seperti yang dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 1 Juni 1945. Pancasila yang sekarang berlaku dalam sudut pandang dimensi ideal telah teruji dengan adanya prinsip-prinsip umum universal yang pasti diterima di dunia. Nilai ketuhanan pada sila pertama, nilai kemanusiaan sila kedua, dan keadilan dalam sila kelima merupakan nilai-nilai universal yang pasti diakui sebagai nilai yang ideal di manapun, sedangkan komitmen untuk mempertahankan negara memerlukan nilai persatuan dan demokrasi (kerakyatan) yang tercermin dalam sila ketiga dan keempat. Pancasila oleh karena itu sebaiknya dijadikan prinsip-prinsip mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan kapasitasnya sebagai dasar dan ideologi negara.

Jelaskan secara singkat bagaimana Pancasila sebagai sistem ilmu pengetahuan

Materi ini diperkaya dengan pengayaan video yang bisa anda di akses pada link berikut.

V 1.2 Pancasila sebagai Ideologi Negara

Source : https://www.youtube.com/watch?v=wgq5dDPS3nk