Siapa tokoh pemuda yang berasal dari pemoeda kaoem betawi

Tags (tagged): pemoeda, kaoem betawi, unkris, para pemuda, betawi, didirikan pada awal, karena merasa, serumpun, namun lama kelamaan, mereka merasa, antara, sedikit orang betawi, asli itu, mohammad, dalamnya rujukan hanifah, abu 1975, peranan, pemuda sekitar, center, of studies, sejarah, indonesia sumpah pemuda, kategori tersembunyi, kaoem betawi unkris, pemoeda kaoem


Page 2

Tags (tagged): unkris, pemoeda, kaoem, betawi, para, pemuda, didirikan, pada, awal, karena, merasa, serumpun, namun, lama, kelamaan, mereka, antara, sedikit, orang, asli, itu, mohammad, dalamnya, rujukan, hanifah, abu, 1975, peranan, sekitar, center, of, studies, sejarah, indonesia, sumpah, kategori, tersembunyi, betawi center, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian, encyclopedia


Page 3

Siapa tokoh pemuda yang berasal dari pemoeda kaoem betawi

Sultan Hamid adalah salah satu tokoh yang selamat dari kekejaman Jepang

Pendudukan Jepang di Kalimantan Barat adalah masa pendudukan jepang yang bermula sewaktu Pontianak diserang lewat udara oleh sembilan pesawat tempur pada tanggal 19 Desember 1941. Kota menjadi hancur dan banyak korban pada hari pertama penyerangan ini.[1] Kemudian, pada tanggal 20-22 Desember tempat-tempat lain di Kalimantan Barat juga diserang.[2] Seperti Sanggau Ledo, Singkawang, dan Mempawah juga dikuasai. Dua bulan kesudahan, Kalimantan Barat dikuasai oleh Jepang.[1]

Kejadian awal

Pontianak dibom oleh sembilan kapal terbang. Sinar matahari membuat tulisan pada ekor pesawat:Hinomaru, Nippon no hatta, menjadi kelihatan. Kota menjadi gempar, sebagian rumah hangus terbakar dan cuaca tiba-tiba menjadi gelap. Bom disana-sini. Banyak orang mencari perlindungan di parit-parit.[3]

Anak-anak sekolah, semisal dari Broederschool Kampung Bali, umpamanya, tertimpa bom begitu tiba-tiba sedang mereka berlatih, sehingga sebagian akbar tutup usia seketika, sedangkan lain-lainnya luka-luka berat. Demikian pula dengan klinik yang terdapat dekat sekolah tersebut. Orang-orang kaya juga menjadi korban. Selain bom, tembakan-tembakan lain dari mitrallieur menghujani banyak tempat, seperti sekitar Parit Besar, Kampung Melayu, Sungai Durian, dll juga menyertai.[3]

Konon serangan mengarah ke Gang Masrono dan dari situ pesawat terbang telah mulai memuntahkan pelurunya ke arah tujuan di depannya sekitar Sekolah Mulo RK dan Kampung Bali.[3] Terdapat seorang fotografer dan penjual bunga dari Jepang, tukang gambar, tinggal di Gang Masrono itu yang bernama Honda. Diceritakan ia seorang opsir dan mata-mata Jepang yang menyamar kepada mengambil gambar tokoh-tokoh kaya dari Pontianak. Ia mengambil foto kepada kebutuhan militer dan dikirimkan ke Tokyo.[3]

Orang-orang Jepang dan Jerman diperintahkan meninggalkan Pontianak. Tak lama, Pontianak diserang setelah kejadian itu yakni pada 19 Desember. Kejadian itu dikenal untuk Bom Sembilan oleh masyarakat Pontianak. Serangan ini diulangi lagi sebagian hari sesudah itu, termasuk serangan terhadap Sanggau Ledo, tidak terduga sama sekali, sebab hingga saat itu belum terdapat kabar yang memberitakan telah terjadi serangan atas kota atau tempat lain di mana pun di seluruh Indonesia (Hindia Belanda).[3]

Kejadian lanjutan

Jepang menyerang Kalimantan Barat, dari utara. Tepatnya, dari Sarawak. Penyerangan dari utara ini dimaksudkan supaya perhatian Belanda terpecah belah. Selanjutnya, Belanda malah meninggalkan Kalimantan Barat bukan melindungi jajahannya tersebut.

Pada tanggal 22 Januari 1942, Armada Tingkatan Laut Dai Nippon mendarat di Pemangkat lewat Tanjung Kodok. Lalu, barulah pada 2 Februari 1942 Pontianak dikuasai tanpa perlawanan berarti oleh Belanda.[4]

Peristiwa Mandor

Pasca kemerdekaan

Berita kemerdekaan baru hingga ke Kalimantan dibawa oleh A.A. Hamidhan, seorang wartawan dari Kalimantan Selatan lahir Tapin, 25 Februari 1909 dan meninggal di Banjarmasin, 1997.[5] Ia membawa berita proklamasi pada 24 Agustus 1945 dengan menggunakan pesawat Jepang.[6]

Tokoh-tokoh pelaku sejarah

Lihat juga

Referensi


edunitas.com


Page 4

Siapa tokoh pemuda yang berasal dari pemoeda kaoem betawi

Sultan Hamid adalah salah satu tokoh yang selamat dari kekejaman Jepang

Pendudukan Jepang di Kalimantan Barat adalah masa pendudukan jepang yang bermula sewaktu Pontianak diserang lewat udara oleh sembilan pesawat tempur pada tanggal 19 Desember 1941. Kota menjadi hancur dan banyak korban pada hari pertama penyerangan ini.[1] Kemudian, pada tanggal 20-22 Desember tempat-tempat lain di Kalimantan Barat juga diserang.[2] Seperti Sanggau Ledo, Singkawang, dan Mempawah juga dikuasai. Dua bulan kesudahan, Kalimantan Barat dikuasai oleh Jepang.[1]

Kejadian awal

Pontianak dibom oleh sembilan kapal terbang. Sinar matahari membuat tulisan pada ekor pesawat:Hinomaru, Nippon no hatta, menjadi kelihatan. Kota menjadi gempar, sebagian rumah hangus terbakar dan cuaca tiba-tiba menjadi gelap. Bom disana-sini. Banyak orang mencari perlindungan di parit-parit.[3]

Anak-anak sekolah, semisal dari Broederschool Kampung Bali, umpamanya, tertimpa bom begitu tiba-tiba sedang mereka berlatih, sehingga sebagian akbar tutup usia seketika, sedangkan lain-lainnya luka-luka berat. Demikian pula dengan klinik yang terdapat dekat sekolah tersebut. Orang-orang kaya juga menjadi korban. Selain bom, tembakan-tembakan lain dari mitrallieur menghujani banyak tempat, seperti sekitar Parit Besar, Kampung Melayu, Sungai Durian, dll juga menyertai.[3]

Konon serangan mengarah ke Gang Masrono dan dari situ pesawat terbang telah mulai memuntahkan pelurunya ke arah tujuan di depannya sekitar Sekolah Mulo RK dan Kampung Bali.[3] Terdapat seorang fotografer dan penjual bunga dari Jepang, tukang gambar, tinggal di Gang Masrono itu yang bernama Honda. Diceritakan ia seorang opsir dan mata-mata Jepang yang menyamar kepada mengambil gambar tokoh-tokoh kaya dari Pontianak. Ia mengambil foto kepada kebutuhan militer dan dikirimkan ke Tokyo.[3]

Orang-orang Jepang dan Jerman diperintahkan meninggalkan Pontianak. Tak lama, Pontianak diserang setelah kejadian itu yakni pada 19 Desember. Kejadian itu dikenal untuk Bom Sembilan oleh masyarakat Pontianak. Serangan ini diulangi lagi sebagian hari sesudah itu, termasuk serangan terhadap Sanggau Ledo, tidak terduga sama sekali, sebab hingga saat itu belum terdapat kabar yang memberitakan telah terjadi serangan atas kota atau tempat lain di mana pun di seluruh Indonesia (Hindia Belanda).[3]

Kejadian lanjutan

Jepang menyerang Kalimantan Barat, dari utara. Tepatnya, dari Sarawak. Penyerangan dari utara ini dimaksudkan supaya perhatian Belanda terpecah belah. Selanjutnya, Belanda malah meninggalkan Kalimantan Barat bukan melindungi jajahannya tersebut.

Pada tanggal 22 Januari 1942, Armada Tingkatan Laut Dai Nippon mendarat di Pemangkat lewat Tanjung Kodok. Lalu, barulah pada 2 Februari 1942 Pontianak dikuasai tanpa perlawanan berarti oleh Belanda.[4]

Peristiwa Mandor

Pasca kemerdekaan

Berita kemerdekaan baru hingga ke Kalimantan dibawa oleh A.A. Hamidhan, seorang wartawan dari Kalimantan Selatan lahir Tapin, 25 Februari 1909 dan meninggal di Banjarmasin, 1997.[5] Ia membawa berita proklamasi pada 24 Agustus 1945 dengan menggunakan pesawat Jepang.[6]

Tokoh-tokoh pelaku sejarah

Lihat juga

Referensi


edunitas.com


Page 5

Tags (tagged): penghulu, suhasin, unkris, selasih, turut bangkit, bergerak, berjuang mengangkat, mempunyai, tujuan sama, membangkitkan, semangat juang fi, senapan lila, akan, berusaha menangkap penghulu, tempat kejadian, begitu, pula anak buah, regent juga, center, of studies 1994, http banuahujungtanah, wordpress, com 2010 12, 31 darah, center of, studies, penghulu suhasin, program, kuliah pegawai, kelas, weekend, center of studies, eksekutif, indonesian encyclopedia, encyclopedia


Page 6

Penyerbuan Meester Cornelis yaitu serangan tingkatan darat Britania terhadap kamp militer Hindia Belanda di Meester Cornelis yang dibela oleh tentara Belanda, Perancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara). Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan luas antara 550-730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan benteng pertahanannya. Serangan Tingkatan Darat Britania tersebut dilakukan dari Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar).[1]

Latar belakangan

Lord Minto, Gubernur Jenderal Kemaharajaan Britania 1807 sudah berencana untuk mengurangi kendali Perancis atas Pulau Mauritius, Pulau Bourbon, dan Pulau Jawa. Pada 1810, Belanda takluk di bawah Perancis dalam Peperangan era Napoleon, sehingga seluruh kawasan kekuasaannya ikut direbut Perancis, termasuk Hindia-Belanda dan Jawa di dalamnya. Napoleon Bonaparte menunjuk Jenderal Belanda bernama Jan Willem Janssens sebagai Gubernur Jenderal di Jawa yang menggantikan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Sementara Inggris terus berupaya melanjutkan peperangannya terhadap Perancis, perang perseteruan besar di Eropa yang menjalar sampai ke Jawa kala itu.

Rencana Lord Minto dijalankan, sebuah ekspedisi militer Britania memperagakan usaha melewati Samudra Hindia menuju Jawa pada menengah 1811. Ekspedisi tersebut dipimpin Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty, seorang warga Amerika yang pernah membantu Britania dalam Perang Kemerdekaan Amerika. Nyaris 12.000 tentara dan 100 kapal, termasuk 4 kapal perang, 14 kapal pengawal, 7 kapal penjaga, dan 8 kapal penjelajah Perusahaan Hindia Timur Britania telah tersedia dalam konvoi laut militer Inggris tersebut, sebuah ekspedisi militer terbesar sebelum Perang Dunia II.[1] Ekspedisi ini mendarat di Teluk Batavia (sekarang Teluk Jakarta) sekitar pukul dua siang hari Minggu, 4 Agustus 1811. Para serdadu Inggris kemudian berbaris di Cilincing, kawasan rawa di pesisir Batavia, dan tiga hari kemudian sukses menyeberangi Sungai Ancol, memperagakan usaha dalam senyap menuju Kota Batavia.

Menguasai Batavia

Penyerangan Balaikota Batavia dilakukan pada pukul sebelas malam. Serdadu Inggris tak merasakan kesukaran memasuki Batavia karena tembok yang mengelilingi Batavia sudah dirobohkan oleh perintah Daendels pada 1808-1810. Pusat kota yang sebelumnya diduduki Perancis pun jatuh dengan remeh ke tangan Inggris. Sebelum subuh 10 Agustus 1811, serdadu Inggris sudah memperagakan usaha menyusuri pinggiran kanal Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada) menuju sebuah kawasan barak-barak militer di Weltevreden (kini Sawah Besar dan seputar Lapangan Banteng).

Pertempuran Weltevreden yang bergolak masa terbitnya matahari itu jadi sekitar dua jam. Mayor Brigade William Thorn dalam bukunya, Memoir of the Conquest of Java (1815) yang kala itu ikut terjun dalam pertempuran dan terluka di ronde kepalanya mencatat bahwa banyak serdadu Inggris yang terluka, tewas, dan hilang sebanyak 99 orang, dan tiga kuda tewas. Ekspansi militer Lord Minto terus berlanjut menyisir Kwitang, Kramat, dan Salemba menuju Meester Cornelis, kala itu kamp militer serdadu Napoleon dan Belanda, dengan pertahanan benteng di pinggir Ciliwung.[a]

Pertempuran kadang beristirahat selama sehari, yang dipergunakan kedua pihak untuk melaksanakan perundingan tentang pertukaran tawanan perang yang ditangkap dalam pertempuran 10 Agustus di Weltevreden. Thorn mencatat, meskipun di tengah perang, pasukan Perancis di Batavia tetap menjunjung pemimpin mereka Napoleon, merayakan ulang tahunnya pada 15 Agustus dengan dentuman meriam dari sebanyak pos pertahanan mereka.

Kronologi peristiwa

Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan luas antara 550-730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan benteng pertahanannya. Pembelanya yaitu campuran dari Belanda, Perancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara). Beberapa besar pasukan Hindia Timur tersebut diragukan loyalitas dan efektivitasnya, meskipun telah tersedia beberapa pasukan artileri yang tangguh dari Sulawesi. Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar) terbukti sebagai markas ideal yang dipergunakan Inggris untuk bisa menyerbu Meester Cornelis. Pada tanggal 14 Agustus Inggris melewati jalur yang melewati hutan dan perkebunan lada untuk memungkinkan mereka membawa senjata dan amunisi berat, dan memulai serbuan meriam di sisi utara benteng. Selama beberapa hari, terjadi baku tembak antara Meester Cornelis dan meriam Inggris, diawaki terutama oleh Marinir Kerajaan dan pelaut dari HMS Nisus.[2]

Sebuah serangan cepat dari Meester Cornelis pada pagi buta tanggal 22 Agustus secara singkat menduduki tiga meriam Inggris, sampai mereka ditampik kembali oleh beberapa para prajurit Bengali dan Resimen Serdadu ke-69.[3] Kedua belah pihak kemudian saling beradu tembak, yang mulai mereda pada 23 Agustus, tetapi berlanjut lagi pada tanggal 24 Agustus.[4][5] Posisi pasukan Prancis-Belanda memburuk ketika seorang desertir membantu Jenderal Rollo Gillespie untuk menangkap dua benteng pertahanan yang terkejut. Gillespie, yang sedang menderita demam, roboh, tetapi pulih untuk menyerbu sebuah benteng pertahanan ketiga. Jenderal Perancis Jauffret tertangkap dan dipenjarakan. Dua perwira Belanda, Mayor Holsman dan Mayor Muller, mengorbankan diri mereka dengan meledakkan amunisi benteng pertahanan itu.[6]

Tiga benteng pertahanan tersebut yaitu kunci pertahanan Meester Cornelis, dan hilangnya mereka menurunkan moral beberapa besar pasukan Hindia Timur Janssens. Banyak tentara Belanda yang juga membelot, menyangkal kesetiaan mereka terhadap Perancis. Tentara Inggris menyerbu Meester Cornelis di tengah malam pada 25 Agustus, mendudukinya sesudah pertempuran yang sengit.[4][5] Penyerbuan tersebut memakan korban jiwa 630 korban di pihak tentara Inggris.

Korban di pihak Prancis-Belanda semakin berat, namun hanya korban yang merupakan perwira militer yang tercatat. Empat puluh dari mereka tewas, enam puluh tiga terluka, dan 230 ditangkap , termasuk dua jenderal Perancis.[6] Nyaris 5.000 orang ditangkap , termasuk tiga perwira jenderal, 34 petugas lapangan, 70 kapten dan 150 perwira bawahan.[5] 1.000 pria ditemukan tewas di benteng tersebut, dengan semakin banyak yang terbunuh dalam pengejaran berikutnya.[5] Janssens melarikan diri ke Buitenzorg (sekarang Bogor) dengan beberapa yang selamat dari pasukannya, tetapi dipaksa untuk meninggalkan kota tersebut ketika Inggris juga mendekat.[5] Pengejaran yang lama kesudahannya yang belakang sekalinya dengan menyerahnya Janssen di Tuntang, tidak jauh Kota Salatiga, pada 16 September 1811. Bendera Britania kesudahannya berkibar di benteng-benteng di seluruh Pulau Jawa.

Menurut catatan Thorn, pertempuran 17 hari di Batavia tersebut untuk pihak Inggris mengakibatkan korban luka, tewas, dan hilang sebanyak 736 serdadu Eropa dan 153 serdadu India.[1] Banyak kerugian total Inggris dalam operasi militer sesudah jatuhnya Meester Cornelis yaitu sebesar 141 tewas, 733 terluka dan 13 hilang dari Tingkatan Darat, dan 15 tewas, 45 terluka dan tiga hilang dari Tingkatan Laut; total 156 tewas , 788 terluka dan 16 hilang masa 27 Agustus.[5]

Warisan di Jatinegara

Dari serdadu-serdadu yang terluka pada Pertempuran Meester Cornelis 26 Agustus 1811, Thorn mencatat nama seorang rekannya, Letnan Kolonel Campbell, yang kesudahannya meninggal dua hari kemudian dan dimakamkan di sebuah petak di tidak jauh Pasar Baru. Beberapa tahun kemudian, di pusaranya telah tersedia sebongkah batu nisan penanda yang mengandung tulisan janda Campbell. Makam tersebut menjadi semacam monumen peristiwa berdarah tersebut, dan menjadi ronde halaman gedung Kantor Pos Besar di Pasar Baru. Seratus tahun sesudah pertempuran di Meester Cornelis tersebut, makam Campbell tetap tak tergusur. Namun karena terbengkalai kesudahannya pada November 1913, nisan terebut dan sisa jasad Campbell dialihkan ke halaman Gereja Anglikan di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat.

Pertempuran Meester Cornelis juga meninggalkan sebuah kenangan toponimi di sekitar wilayah Jatinegara. Konon di sebuah kawasan yang dahulunya banyak berserakan mayat korban pertempuran serdadu Inggris dan Perancis tersebut dijuluki warga dengan julukan "Rawa Bangke". Nama kampung tersebut sedang tercetak dalam peta Batavia 1930-an, namun sekarang kampung tersebut berganti nama menjadi "Rawa Bunga" yang menjadi ronde Jakarta Timur. [1]

Catatan kaki

  1. ^ Sekarang benteng yang dahulu lokasinya di sekitar Pasar Jatinegara tersebut sudah hilang.

Pustaka

Referensi


edunitas.com


Page 7

Penyerbuan Meester Cornelis adalah serangan tingkatan darat Britania terhadap kamp militer Hindia Belanda di Meester Cornelis yang dibela oleh tentara Belanda, Perancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara). Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan lebar antara 550-730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan benteng pertahanannya. Serangan Tingkatan Darat Britania tersebut dilakukan dari Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar).[1]

Latar belakangan

Lord Minto, Gubernur Jenderal Kemaharajaan Britania 1807 sudah berencana untuk mengurangi kendali Perancis atas Pulau Mauritius, Pulau Bourbon, dan Pulau Jawa. Pada 1810, Belanda takluk di bawah Perancis dalam Peperangan era Napoleon, sehingga seluruh kawasan kekuasaannya ikut direbut Perancis, termasuk Hindia-Belanda dan Jawa di dalamnya. Napoleon Bonaparte menunjuk Jenderal Belanda bernama Jan Willem Janssens sebagai Gubernur Jenderal di Jawa yang menggantikan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Sementara Inggris terus berupaya melanjutkan peperangannya terhadap Perancis, perang perseteruan besar di Eropa yang menjalar sampai ke Jawa kala itu.

Rencana Lord Minto dijalankan, sebuah ekspedisi militer Britania memperagakan usaha melewati Samudra Hindia menuju Jawa pada menengah 1811. Ekspedisi tersebut dipimpin Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty, seorang warga Amerika yang pernah membantu Britania dalam Perang Kemerdekaan Amerika. Nyaris 12.000 tentara dan 100 kapal, termasuk 4 kapal perang, 14 kapal pengawal, 7 kapal penjaga, dan 8 kapal penjelajah Perusahaan Hindia Timur Britania telah tersedia dalam konvoi laut militer Inggris tersebut, sebuah ekspedisi militer terbesar sebelum Perang Dunia II.[1] Ekspedisi ini mendarat di Teluk Batavia (sekarang Teluk Jakarta) sekitar pukul dua siang hari Minggu, 4 Agustus 1811. Para serdadu Inggris kemudian berbaris di Cilincing, kawasan rawa di pesisir Batavia, dan tiga hari kemudian sukses menyeberangi Sungai Ancol, memperagakan usaha dalam senyap menuju Kota Batavia.

Menguasai Batavia

Penyerangan Balaikota Batavia dilakukan pada pukul sebelas malam. Serdadu Inggris tak merasakan kesukaran memasuki Batavia karena tembok yang mengelilingi Batavia sudah dirobohkan oleh perintah Daendels pada 1808-1810. Pusat kota yang sebelumnya diduduki Perancis pun jatuh dengan remeh ke tangan Inggris. Sebelum subuh 10 Agustus 1811, serdadu Inggris sudah memperagakan usaha menyusuri pinggiran kanal Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada) menuju sebuah kawasan barak-barak militer di Weltevreden (kini Sawah Besar dan seputar Lapangan Banteng).

Pertempuran Weltevreden yang bergolak masa terbitnya matahari itu jadi sekitar dua jam. Mayor Brigade William Thorn dalam bukunya, Memoir of the Conquest of Java (1815) yang kala itu ikut terjun dalam pertempuran dan terluka di ronde kepalanya mencatat bahwa banyak serdadu Inggris yang terluka, tewas, dan hilang sebanyak 99 orang, dan tiga kuda tewas. Ekspansi militer Lord Minto terus berlanjut menyisir Kwitang, Kramat, dan Salemba menuju Meester Cornelis, kala itu kamp militer serdadu Napoleon dan Belanda, dengan pertahanan benteng di pinggir Ciliwung.[a]

Pertempuran kadang beristirahat selama sehari, yang dipergunakan kedua pihak untuk memperagakan perundingan tentang pertukaran tawanan perang yang ditangkap dalam pertempuran 10 Agustus di Weltevreden. Thorn mencatat, meskipun di tengah perang, pasukan Perancis di Batavia tetap menjunjung pemimpin mereka Napoleon, merayakan ulang tahunnya pada 15 Agustus dengan dentuman meriam dari sebanyak pos pertahanan mereka.

Kronologi peristiwa

Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan lebar antara 550-730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan benteng pertahanannya. Pembelanya adalah campuran dari Belanda, Perancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara). Sebagian besar pasukan Hindia Timur tersebut diragukan loyalitas dan efektivitasnya, meskipun telah tersedia beberapa pasukan artileri yang tangguh dari Sulawesi. Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar) terbukti sebagai markas ideal yang dipergunakan Inggris untuk bisa menyerbu Meester Cornelis. Pada tanggal 14 Agustus Inggris melewati jalur yang melewati hutan dan perkebunan lada untuk memungkinkan mereka membawa senjata dan amunisi berat, dan memulai serbuan meriam di sisi utara benteng. Selama beberapa hari, terjadi baku tembak antara Meester Cornelis dan meriam Inggris, diawaki terutama oleh Marinir Kerajaan dan pelaut dari HMS Nisus.[2]

Sebuah serangan cepat dari Meester Cornelis pada pagi buta tanggal 22 Agustus secara singkat menduduki tiga meriam Inggris, sampai mereka ditampik kembali oleh beberapa para prajurit Bengali dan Resimen Serdadu ke-69.[3] Kedua belah pihak kemudian saling beradu tembak, yang mulai mereda pada 23 Agustus, tetapi berlanjut lagi pada tanggal 24 Agustus.[4][5] Posisi pasukan Prancis-Belanda memburuk ketika seorang desertir membantu Jenderal Rollo Gillespie untuk menangkap dua benteng pertahanan yang terkejut. Gillespie, yang sedang menderita demam, roboh, tetapi pulih untuk menyerbu sebuah benteng pertahanan ketiga. Jenderal Perancis Jauffret tertangkap dan dipenjarakan. Dua perwira Belanda, Mayor Holsman dan Mayor Muller, mengorbankan diri mereka dengan meledakkan amunisi benteng pertahanan itu.[6]

Tiga benteng pertahanan tersebut adalah kunci pertahanan Meester Cornelis, dan hilangnya mereka menurunkan moral sebagian besar pasukan Hindia Timur Janssens. Banyak tentara Belanda yang juga membelot, menyangkal kesetiaan mereka terhadap Perancis. Tentara Inggris menyerbu Meester Cornelis di tengah malam pada 25 Agustus, mendudukinya sesudah pertempuran yang sengit.[4][5] Penyerbuan tersebut memakan korban jiwa 630 korban di pihak tentara Inggris.

Korban di pihak Prancis-Belanda semakin berat, namun hanya korban yang merupakan perwira militer yang tercatat. Empat puluh dari mereka tewas, enam puluh tiga terluka, dan 230 ditangkap , termasuk dua jenderal Perancis.[6] Nyaris 5.000 orang ditangkap , termasuk tiga perwira jenderal, 34 petugas lapangan, 70 kapten dan 150 perwira bawahan.[5] 1.000 pria ditemukan tewas di benteng tersebut, dengan semakin banyak yang terbunuh dalam pengejaran berikutnya.[5] Janssens melarikan diri ke Buitenzorg (sekarang Bogor) dengan beberapa yang selamat dari pasukannya, tetapi dipaksa untuk meninggalkan kota tersebut ketika Inggris juga mendekat.[5] Pengejaran yang lama kesudahannya yang belakang sekalinya dengan menyerahnya Janssen di Tuntang, tidak jauh Kota Salatiga, pada 16 September 1811. Bendera Britania kesudahannya berkibar di benteng-benteng di seluruh Pulau Jawa.

Menurut catatan Thorn, pertempuran 17 hari di Batavia tersebut untuk pihak Inggris mengakibatkan korban luka, tewas, dan hilang sebanyak 736 serdadu Eropa dan 153 serdadu India.[1] Banyak kerugian total Inggris dalam operasi militer sesudah jatuhnya Meester Cornelis adalah sebesar 141 tewas, 733 terluka dan 13 hilang dari Tingkatan Darat, dan 15 tewas, 45 terluka dan tiga hilang dari Tingkatan Laut; total 156 tewas , 788 terluka dan 16 hilang masa 27 Agustus.[5]

Warisan di Jatinegara

Dari serdadu-serdadu yang terluka pada Pertempuran Meester Cornelis 26 Agustus 1811, Thorn mencatat nama seorang rekannya, Letnan Kolonel Campbell, yang kesudahannya meninggal dua hari kemudian dan dimakamkan di sebuah petak di tidak jauh Pasar Baru. Beberapa tahun kemudian, di pusaranya telah tersedia sebongkah batu nisan penanda yang mengandung tulisan janda Campbell. Makam tersebut menjadi semacam monumen peristiwa berdarah tersebut, dan menjadi ronde halaman gedung Kantor Pos Besar di Pasar Baru. Seratus tahun sesudah pertempuran di Meester Cornelis tersebut, makam Campbell tetap tak tergusur. Namun karena terbengkalai kesudahannya pada November 1913, nisan terebut dan sisa jasad Campbell dialihkan ke halaman Gereja Anglikan di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat.

Pertempuran Meester Cornelis juga meninggalkan sebuah kenangan toponimi di sekitar wilayah Jatinegara. Konon di sebuah kawasan yang dulunya banyak berserakan mayat korban pertempuran serdadu Inggris dan Perancis tersebut dijuluki warga dengan julukan "Rawa Bangke". Nama kampung tersebut sedang tercetak dalam peta Batavia 1930-an, namun sekarang kampung tersebut berganti nama menjadi "Rawa Bunga" yang menjadi ronde Jakarta Timur. [1]

Catatan kaki

  1. ^ Sekarang benteng yang dahulu lokasinya di sekitar Pasar Jatinegara tersebut sudah hilang.

Pustaka

Rujukan


edunitas.com


Page 8

Penyerbuan Meester Cornelis adalah serangan tingkatan darat Britania terhadap kamp militer Hindia Belanda di Meester Cornelis yang dibela oleh tentara Belanda, Perancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara). Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan lebar antara 550-730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan benteng pertahanannya. Serangan Tingkatan Darat Britania tersebut dilakukan dari Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar).[1]

Latar belakangan

Lord Minto, Gubernur Jenderal Kemaharajaan Britania 1807 sudah berencana untuk mengurangi kendali Perancis atas Pulau Mauritius, Pulau Bourbon, dan Pulau Jawa. Pada 1810, Belanda takluk di bawah Perancis dalam Peperangan era Napoleon, sehingga seluruh kawasan kekuasaannya ikut direbut Perancis, termasuk Hindia-Belanda dan Jawa di dalamnya. Napoleon Bonaparte menunjuk Jenderal Belanda bernama Jan Willem Janssens sebagai Gubernur Jenderal di Jawa yang menggantikan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Sementara Inggris terus berupaya melanjutkan peperangannya terhadap Perancis, perang perseteruan besar di Eropa yang menjalar sampai ke Jawa kala itu.

Rencana Lord Minto dijalankan, sebuah ekspedisi militer Britania memperagakan usaha melewati Samudra Hindia menuju Jawa pada menengah 1811. Ekspedisi tersebut dipimpin Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty, seorang warga Amerika yang pernah membantu Britania dalam Perang Kemerdekaan Amerika. Nyaris 12.000 tentara dan 100 kapal, termasuk 4 kapal perang, 14 kapal pengawal, 7 kapal penjaga, dan 8 kapal penjelajah Perusahaan Hindia Timur Britania telah tersedia dalam konvoi laut militer Inggris tersebut, sebuah ekspedisi militer terbesar sebelum Perang Dunia II.[1] Ekspedisi ini mendarat di Teluk Batavia (sekarang Teluk Jakarta) sekitar pukul dua siang hari Minggu, 4 Agustus 1811. Para serdadu Inggris kemudian berbaris di Cilincing, kawasan rawa di pesisir Batavia, dan tiga hari kemudian sukses menyeberangi Sungai Ancol, memperagakan usaha dalam senyap menuju Kota Batavia.

Menguasai Batavia

Penyerangan Balaikota Batavia dilakukan pada pukul sebelas malam. Serdadu Inggris tak merasakan kesukaran memasuki Batavia karena tembok yang mengelilingi Batavia sudah dirobohkan oleh perintah Daendels pada 1808-1810. Pusat kota yang sebelumnya diduduki Perancis pun jatuh dengan remeh ke tangan Inggris. Sebelum subuh 10 Agustus 1811, serdadu Inggris sudah memperagakan usaha menyusuri pinggiran kanal Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada) menuju sebuah kawasan barak-barak militer di Weltevreden (kini Sawah Besar dan seputar Lapangan Banteng).

Pertempuran Weltevreden yang bergolak masa terbitnya matahari itu jadi sekitar dua jam. Mayor Brigade William Thorn dalam bukunya, Memoir of the Conquest of Java (1815) yang kala itu ikut terjun dalam pertempuran dan terluka di ronde kepalanya mencatat bahwa banyak serdadu Inggris yang terluka, tewas, dan hilang sebanyak 99 orang, dan tiga kuda tewas. Ekspansi militer Lord Minto terus berlanjut menyisir Kwitang, Kramat, dan Salemba menuju Meester Cornelis, kala itu kamp militer serdadu Napoleon dan Belanda, dengan pertahanan benteng di pinggir Ciliwung.[a]

Pertempuran kadang beristirahat selama sehari, yang dipergunakan kedua pihak untuk memperagakan perundingan tentang pertukaran tawanan perang yang ditangkap dalam pertempuran 10 Agustus di Weltevreden. Thorn mencatat, meskipun di tengah perang, pasukan Perancis di Batavia tetap menjunjung pemimpin mereka Napoleon, merayakan ulang tahunnya pada 15 Agustus dengan dentuman meriam dari sebanyak pos pertahanan mereka.

Kronologi peristiwa

Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan lebar antara 550-730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan benteng pertahanannya. Pembelanya adalah campuran dari Belanda, Perancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara). Sebagian besar pasukan Hindia Timur tersebut diragukan loyalitas dan efektivitasnya, meskipun telah tersedia beberapa pasukan artileri yang tangguh dari Sulawesi. Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar) terbukti sebagai markas ideal yang dipergunakan Inggris untuk bisa menyerbu Meester Cornelis. Pada tanggal 14 Agustus Inggris melewati jalur yang melewati hutan dan perkebunan lada untuk memungkinkan mereka membawa senjata dan amunisi berat, dan memulai serbuan meriam di sisi utara benteng. Selama beberapa hari, terjadi baku tembak antara Meester Cornelis dan meriam Inggris, diawaki terutama oleh Marinir Kerajaan dan pelaut dari HMS Nisus.[2]

Sebuah serangan cepat dari Meester Cornelis pada pagi buta tanggal 22 Agustus secara singkat menduduki tiga meriam Inggris, sampai mereka ditampik kembali oleh beberapa para prajurit Bengali dan Resimen Serdadu ke-69.[3] Kedua belah pihak kemudian saling beradu tembak, yang mulai mereda pada 23 Agustus, tetapi berlanjut lagi pada tanggal 24 Agustus.[4][5] Posisi pasukan Prancis-Belanda memburuk ketika seorang desertir membantu Jenderal Rollo Gillespie untuk menangkap dua benteng pertahanan yang terkejut. Gillespie, yang sedang menderita demam, roboh, tetapi pulih untuk menyerbu sebuah benteng pertahanan ketiga. Jenderal Perancis Jauffret tertangkap dan dipenjarakan. Dua perwira Belanda, Mayor Holsman dan Mayor Muller, mengorbankan diri mereka dengan meledakkan amunisi benteng pertahanan itu.[6]

Tiga benteng pertahanan tersebut adalah kunci pertahanan Meester Cornelis, dan hilangnya mereka menurunkan moral sebagian besar pasukan Hindia Timur Janssens. Banyak tentara Belanda yang juga membelot, menyangkal kesetiaan mereka terhadap Perancis. Tentara Inggris menyerbu Meester Cornelis di tengah malam pada 25 Agustus, mendudukinya sesudah pertempuran yang sengit.[4][5] Penyerbuan tersebut memakan korban jiwa 630 korban di pihak tentara Inggris.

Korban di pihak Prancis-Belanda semakin berat, namun hanya korban yang merupakan perwira militer yang tercatat. Empat puluh dari mereka tewas, enam puluh tiga terluka, dan 230 ditangkap , termasuk dua jenderal Perancis.[6] Nyaris 5.000 orang ditangkap , termasuk tiga perwira jenderal, 34 petugas lapangan, 70 kapten dan 150 perwira bawahan.[5] 1.000 pria ditemukan tewas di benteng tersebut, dengan semakin banyak yang terbunuh dalam pengejaran berikutnya.[5] Janssens melarikan diri ke Buitenzorg (sekarang Bogor) dengan beberapa yang selamat dari pasukannya, tetapi dipaksa untuk meninggalkan kota tersebut ketika Inggris juga mendekat.[5] Pengejaran yang lama kesudahannya yang belakang sekalinya dengan menyerahnya Janssen di Tuntang, tidak jauh Kota Salatiga, pada 16 September 1811. Bendera Britania kesudahannya berkibar di benteng-benteng di seluruh Pulau Jawa.

Menurut catatan Thorn, pertempuran 17 hari di Batavia tersebut untuk pihak Inggris mengakibatkan korban luka, tewas, dan hilang sebanyak 736 serdadu Eropa dan 153 serdadu India.[1] Banyak kerugian total Inggris dalam operasi militer sesudah jatuhnya Meester Cornelis adalah sebesar 141 tewas, 733 terluka dan 13 hilang dari Tingkatan Darat, dan 15 tewas, 45 terluka dan tiga hilang dari Tingkatan Laut; total 156 tewas , 788 terluka dan 16 hilang masa 27 Agustus.[5]

Warisan di Jatinegara

Dari serdadu-serdadu yang terluka pada Pertempuran Meester Cornelis 26 Agustus 1811, Thorn mencatat nama seorang rekannya, Letnan Kolonel Campbell, yang kesudahannya meninggal dua hari kemudian dan dimakamkan di sebuah petak di tidak jauh Pasar Baru. Beberapa tahun kemudian, di pusaranya telah tersedia sebongkah batu nisan penanda yang mengandung tulisan janda Campbell. Makam tersebut menjadi semacam monumen peristiwa berdarah tersebut, dan menjadi ronde halaman gedung Kantor Pos Besar di Pasar Baru. Seratus tahun sesudah pertempuran di Meester Cornelis tersebut, makam Campbell tetap tak tergusur. Namun karena terbengkalai kesudahannya pada November 1913, nisan terebut dan sisa jasad Campbell dialihkan ke halaman Gereja Anglikan di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat.

Pertempuran Meester Cornelis juga meninggalkan sebuah kenangan toponimi di sekitar wilayah Jatinegara. Konon di sebuah kawasan yang dulunya banyak berserakan mayat korban pertempuran serdadu Inggris dan Perancis tersebut dijuluki warga dengan julukan "Rawa Bangke". Nama kampung tersebut sedang tercetak dalam peta Batavia 1930-an, namun sekarang kampung tersebut berganti nama menjadi "Rawa Bunga" yang menjadi ronde Jakarta Timur. [1]

Catatan kaki

  1. ^ Sekarang benteng yang dahulu lokasinya di sekitar Pasar Jatinegara tersebut sudah hilang.

Pustaka

Rujukan


edunitas.com


Page 9

Penyerbuan Meester Cornelis yaitu serangan tingkatan darat Britania terhadap kamp militer Hindia Belanda di Meester Cornelis yang dibela oleh tentara Belanda, Perancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara). Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan luas antara 550-730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan benteng pertahanannya. Serangan Tingkatan Darat Britania tersebut dilakukan dari Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar).[1]

Latar belakangan

Lord Minto, Gubernur Jenderal Kemaharajaan Britania 1807 sudah berencana untuk mengurangi kendali Perancis atas Pulau Mauritius, Pulau Bourbon, dan Pulau Jawa. Pada 1810, Belanda takluk di bawah Perancis dalam Peperangan era Napoleon, sehingga seluruh kawasan kekuasaannya ikut direbut Perancis, termasuk Hindia-Belanda dan Jawa di dalamnya. Napoleon Bonaparte menunjuk Jenderal Belanda bernama Jan Willem Janssens sebagai Gubernur Jenderal di Jawa yang menggantikan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Sementara Inggris terus berupaya melanjutkan peperangannya terhadap Perancis, perang perseteruan besar di Eropa yang menjalar sampai ke Jawa kala itu.

Rencana Lord Minto dijalankan, sebuah ekspedisi militer Britania memperagakan usaha melewati Samudra Hindia menuju Jawa pada menengah 1811. Ekspedisi tersebut dipimpin Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty, seorang warga Amerika yang pernah membantu Britania dalam Perang Kemerdekaan Amerika. Nyaris 12.000 tentara dan 100 kapal, termasuk 4 kapal perang, 14 kapal pengawal, 7 kapal penjaga, dan 8 kapal penjelajah Perusahaan Hindia Timur Britania telah tersedia dalam konvoi laut militer Inggris tersebut, sebuah ekspedisi militer terbesar sebelum Perang Dunia II.[1] Ekspedisi ini mendarat di Teluk Batavia (sekarang Teluk Jakarta) sekitar pukul dua siang hari Minggu, 4 Agustus 1811. Para serdadu Inggris kemudian berbaris di Cilincing, kawasan rawa di pesisir Batavia, dan tiga hari kemudian sukses menyeberangi Sungai Ancol, memperagakan usaha dalam senyap menuju Kota Batavia.

Menguasai Batavia

Penyerangan Balaikota Batavia dilakukan pada pukul sebelas malam. Serdadu Inggris tak merasakan kesukaran memasuki Batavia karena tembok yang mengelilingi Batavia sudah dirobohkan oleh perintah Daendels pada 1808-1810. Pusat kota yang sebelumnya diduduki Perancis pun jatuh dengan remeh ke tangan Inggris. Sebelum subuh 10 Agustus 1811, serdadu Inggris sudah memperagakan usaha menyusuri pinggiran kanal Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Gajah Mada) menuju sebuah kawasan barak-barak militer di Weltevreden (kini Sawah Besar dan seputar Lapangan Banteng).

Pertempuran Weltevreden yang bergolak masa terbitnya matahari itu jadi sekitar dua jam. Mayor Brigade William Thorn dalam bukunya, Memoir of the Conquest of Java (1815) yang kala itu ikut terjun dalam pertempuran dan terluka di ronde kepalanya mencatat bahwa banyak serdadu Inggris yang terluka, tewas, dan hilang sebanyak 99 orang, dan tiga kuda tewas. Ekspansi militer Lord Minto terus berlanjut menyisir Kwitang, Kramat, dan Salemba menuju Meester Cornelis, kala itu kamp militer serdadu Napoleon dan Belanda, dengan pertahanan benteng di pinggir Ciliwung.[a]

Pertempuran kadang beristirahat selama sehari, yang dipergunakan kedua pihak untuk melaksanakan perundingan tentang pertukaran tawanan perang yang ditangkap dalam pertempuran 10 Agustus di Weltevreden. Thorn mencatat, meskipun di tengah perang, pasukan Perancis di Batavia tetap menjunjung pemimpin mereka Napoleon, merayakan ulang tahunnya pada 15 Agustus dengan dentuman meriam dari sebanyak pos pertahanan mereka.

Kronologi peristiwa

Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta) mempunyai panjang antara 1.600 meter dengan luas antara 550-730 m. Dua ratus delapan puluh meriam dipasang di dinding dan benteng pertahanannya. Pembelanya yaitu campuran dari Belanda, Perancis dan pasukan Hindia Timur (Pribumi-Nusantara). Beberapa besar pasukan Hindia Timur tersebut diragukan loyalitas dan efektivitasnya, meskipun telah tersedia beberapa pasukan artileri yang tangguh dari Sulawesi. Pos pertahanan yang direbut di Weltevreden (sekarang Sawah Besar) terbukti sebagai markas ideal yang dipergunakan Inggris untuk bisa menyerbu Meester Cornelis. Pada tanggal 14 Agustus Inggris melewati jalur yang melewati hutan dan perkebunan lada untuk memungkinkan mereka membawa senjata dan amunisi berat, dan memulai serbuan meriam di sisi utara benteng. Selama beberapa hari, terjadi baku tembak antara Meester Cornelis dan meriam Inggris, diawaki terutama oleh Marinir Kerajaan dan pelaut dari HMS Nisus.[2]

Sebuah serangan cepat dari Meester Cornelis pada pagi buta tanggal 22 Agustus secara singkat menduduki tiga meriam Inggris, sampai mereka ditampik kembali oleh beberapa para prajurit Bengali dan Resimen Serdadu ke-69.[3] Kedua belah pihak kemudian saling beradu tembak, yang mulai mereda pada 23 Agustus, tetapi berlanjut lagi pada tanggal 24 Agustus.[4][5] Posisi pasukan Prancis-Belanda memburuk ketika seorang desertir membantu Jenderal Rollo Gillespie untuk menangkap dua benteng pertahanan yang terkejut. Gillespie, yang sedang menderita demam, roboh, tetapi pulih untuk menyerbu sebuah benteng pertahanan ketiga. Jenderal Perancis Jauffret tertangkap dan dipenjarakan. Dua perwira Belanda, Mayor Holsman dan Mayor Muller, mengorbankan diri mereka dengan meledakkan amunisi benteng pertahanan itu.[6]

Tiga benteng pertahanan tersebut yaitu kunci pertahanan Meester Cornelis, dan hilangnya mereka menurunkan moral beberapa besar pasukan Hindia Timur Janssens. Banyak tentara Belanda yang juga membelot, menyangkal kesetiaan mereka terhadap Perancis. Tentara Inggris menyerbu Meester Cornelis di tengah malam pada 25 Agustus, mendudukinya sesudah pertempuran yang sengit.[4][5] Penyerbuan tersebut memakan korban jiwa 630 korban di pihak tentara Inggris.

Korban di pihak Prancis-Belanda semakin berat, namun hanya korban yang merupakan perwira militer yang tercatat. Empat puluh dari mereka tewas, enam puluh tiga terluka, dan 230 ditangkap , termasuk dua jenderal Perancis.[6] Nyaris 5.000 orang ditangkap , termasuk tiga perwira jenderal, 34 petugas lapangan, 70 kapten dan 150 perwira bawahan.[5] 1.000 pria ditemukan tewas di benteng tersebut, dengan semakin banyak yang terbunuh dalam pengejaran berikutnya.[5] Janssens melarikan diri ke Buitenzorg (sekarang Bogor) dengan beberapa yang selamat dari pasukannya, tetapi dipaksa untuk meninggalkan kota tersebut ketika Inggris juga mendekat.[5] Pengejaran yang lama kesudahannya yang belakang sekalinya dengan menyerahnya Janssen di Tuntang, tidak jauh Kota Salatiga, pada 16 September 1811. Bendera Britania kesudahannya berkibar di benteng-benteng di seluruh Pulau Jawa.

Menurut catatan Thorn, pertempuran 17 hari di Batavia tersebut untuk pihak Inggris mengakibatkan korban luka, tewas, dan hilang sebanyak 736 serdadu Eropa dan 153 serdadu India.[1] Banyak kerugian total Inggris dalam operasi militer sesudah jatuhnya Meester Cornelis yaitu sebesar 141 tewas, 733 terluka dan 13 hilang dari Tingkatan Darat, dan 15 tewas, 45 terluka dan tiga hilang dari Tingkatan Laut; total 156 tewas , 788 terluka dan 16 hilang masa 27 Agustus.[5]

Warisan di Jatinegara

Dari serdadu-serdadu yang terluka pada Pertempuran Meester Cornelis 26 Agustus 1811, Thorn mencatat nama seorang rekannya, Letnan Kolonel Campbell, yang kesudahannya meninggal dua hari kemudian dan dimakamkan di sebuah petak di tidak jauh Pasar Baru. Beberapa tahun kemudian, di pusaranya telah tersedia sebongkah batu nisan penanda yang mengandung tulisan janda Campbell. Makam tersebut menjadi semacam monumen peristiwa berdarah tersebut, dan menjadi ronde halaman gedung Kantor Pos Besar di Pasar Baru. Seratus tahun sesudah pertempuran di Meester Cornelis tersebut, makam Campbell tetap tak tergusur. Namun karena terbengkalai kesudahannya pada November 1913, nisan terebut dan sisa jasad Campbell dialihkan ke halaman Gereja Anglikan di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat.

Pertempuran Meester Cornelis juga meninggalkan sebuah kenangan toponimi di sekitar wilayah Jatinegara. Konon di sebuah kawasan yang dahulunya banyak berserakan mayat korban pertempuran serdadu Inggris dan Perancis tersebut dijuluki warga dengan julukan "Rawa Bangke". Nama kampung tersebut sedang tercetak dalam peta Batavia 1930-an, namun sekarang kampung tersebut berganti nama menjadi "Rawa Bunga" yang menjadi ronde Jakarta Timur. [1]

Catatan kaki

  1. ^ Sekarang benteng yang dahulu lokasinya di sekitar Pasar Jatinegara tersebut sudah hilang.

Pustaka

Referensi


edunitas.com