Jelaskan pernyataan bahwa ilmu berdasarkan akal sedangkan agama berdasarkan keyakinan

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

‘Agama adalah suatu yang berdasar ilmu pengetahuan’……….sebuah pernyataan yang nampak seperti ‘tidak lazim atau tidak ‘umum’,mengapa…sebab mind set sebagian orang kala ia hendak membuat kalimat singkat untuk menggambarkan atau membuat rumusan tentang agama adalah ia selalu mengaitkannya dengan ‘kepercayaan’ dan ‘keyakinan’ sehingga rumusan yang ideal menurut mind set nya tersebut adalah : ‘agama adalah suatu yang berdasar kepercayaan dan atau keyakinan’.sehingga konsep ‘ilmu pengetahuan’ seperti dilewati begitu saja kala ia membuat rumusan tentang agama itu.

Tetapi ada sebagian orang yang berontak terhadap mind set yang melahirkan rumusan seperti itu,sehingga ia malah balik bertanya : bisakah seseorang mempercayai dan atau meyakini sesuatu bila sebelumnya tidak memahami ilmunya ? ambil contoh : bisakah kita mempercayai apalagi meyakini pernyataan atau perkataan seseorang bila sebelumnya kita tidak menguasai ilmu dibalik apa yang ia nyatakan atau ia katakan itu ? sehingga kemudian ia balik mempertanyakan : mengapa konsep ‘ilmu’ tidak biasa disertakan sebagai mind set ketika manusia hendak membuat rumusan mendasar tentang agama ?

Secara ilmiah pun sebenarnya kita layak untuk bertanya : bisakah keyakinan dibangun tanpa ilmu pengetahuan ? sehingga lalu apa arti sebuah keyakinan yang tanpa ilmu ? kita ambil contoh sederhana : bisakah seorang insinyur memiliki keyakinan bahwa ia bisa membuat sebuah bangunan raksasa tanpa sebelumnya mengetahui ilmu bagaimana cara membangunan raksasa tersebut ? bisakah seseorang berjalan menuju suatu tujuan tanpa sebelumnya ia mengetahui ilmu yang membuatnya berjalan menuju apa yang dituju nya itu ?

Sebab pernyataan ‘agama adalah suatu yang berdasar kepada kepercayaan dan atau keyakinan’ memang terkadang seperti pernyataan yang ‘langsung meloncat ke kesimpulan’,dan yang diloncati adalah : ilmu pengetahuan ! saya sebut ‘meloncat ke kesimpulan’ sebab peran vital ilmu pengetahuan dalam membentuk keyakinan seseorang terkadang sering tidak diungkap atau dibahas secara rinci.

Mid set seperti itu memang bisa jadi sebenarnya berasal dari orang orang yang tidak bisa menyatu padukan agama dengan ilmu pengetahuan karena pikirannya disetting oleh pra anggapan bahwa agama dan ilmu adalah suatu yang berada pada dua wilayah yang terpisah jauh yang tidak bisa disatu padukan sehingga ujungnya ia beranggapan ‘agama adalah suatu yang hanya berdasar kepercayaan atau keyakinan’.

Atau bisa jadi mid set nya tentang ‘ilmu’ telah dibingkai oleh prinsip faham saintisme yang beranggapan bahwa ‘ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera dan bisa dibuktikan secara empirik’ sehingga ia beranggapan bahwa sesuatu yang tidak bisa dibuktikan dengan bukti empirik yang bersifat langsung maka ia tidak menganggapnya sebagai suatu yang berdasar ilmu.dan fikiran yang dilandasi mind set konsep ‘ilmu’ ala saintisme inilah yang lazim membuat rumusan ‘agama adalah dogma berdasar kepercayaan’.

Ia lupa bahwa yang membentuk konsep ilmu pengetahuan itu bukan hanya dunia indera tapi seluruh peralatan penangkap dan pengelola ilmu yang ada dalam jiwa manusia : akal dan hati,lho mengapa membawa bawa hati ? sebab hati adalah tempat keyakinan bersemayam,hati lah yang mengikat sesuatu dengan keyakinan apakah sesuatu itu diyakini sebagai benar atau sebagai salah maka dihatilah tempatnya,sehingga bayangkan dunia ilmu pengetahuan atau manusia tanpa hati maka manusia hanya akan jadi ‘robot atau komputer yang berisi program dan data data’,bisakah robot mengkonsep ilmu pengetahuan sendiri ? tidak, ia hanya berisi data data programer.
Kelemahan prinsip saintisme yang paling mendasar adalah membingkai konsep ‘ilmu’ secara sempit menjadi sebatas wilayah pengalaman dunia indera sehingga anggapannya ‘ilmu adalah suatu yang mesti menyertakan fakta empirik yang langsung’ sehingga dengan batasan itu dunia abstrak-gaib menjadi ter eliminir dari dunia ilmu.padahal konsep ‘ilmu’ itu pengertiannya harus luas dan fleksibel sehingga bila berawal dari penjelajahan di dunia lahiriah-material maka ilmu harus bisa menembus ke dunia abstrak-gaib,inilah konsep ‘ilmu’ yang sangaaat luas versi Tuhan,dengan kata lain : karena realitas itu terdiri dari dua dimensi : yang lahiriah-material dan yang gaib - abstrak maka konsep ilmu pun harus bisa merangkum-menjelajah-mengelola kedua dimensi alam ini sehingga kedua alam itu bisa difahami secara menyatau padu sebagai sebuah kesatuan yang sistemik.

Siapa yang bisa meruntuhkan atau ‘memecahkan’ kacamata sudut pandang saintisme yang mengungkung fikirannya-yang mengebiri akal dan ilmu pengetahuan di sebatas wilayah alam lahiriah-material sehingga manusia tidak bisa membawa dunia abstrak-gaib ke wilayah ilmu atau secara prinsipil tidak bisa menyatu padukan agama dengan ilmu ?

http://filsafat.kompasiana.com/2012/07/23/problem-hubungan-agama-dengan-ilmu/

Akal itu memiliki kredibilitas tersendiri untuk membentuk konsep ilmu pengetahuan dan kebenaran berdasar rasio atau ‘kebenaran rasional’ sehingga karena itu akal begitu sangat di agungkan oleh kitab suci,tapi ada orang orang tertentu yang melecehkan peran akal dengan terlalu bersandar pada input pengalaman dunia inderanya dalam mengelola ilmu pengetahuan, misal ketika akal merumuskan bahwa ketertataan alam semesta hanya mungkin bisa berasal dari adanya desainer maka ada orang yang melecehkan kesimpulan akal itu dengan prinsip : keteraturan alam semesta itu bisa saja berasal dari ‘kebetulan’ dan yang aneh lagi yang mengatakan hal yang demikian adalah seorang ‘profesor’ sehingga apakah kita harus bertanya : apakah sang profesor tidak menggunakan akal nya dalam merumuskan realitas alam semesta ? itulah orang yang terlalu bergantung pada input dunia indera nya tanpa terasa ia sering menghianati akal nya sendiri sebab sebagai contoh : mustahil akal akan berkesimpulan bahwa keserba teraturan itu bisa berasal dari kebetulan karena akal tidak akan membuat rumusan rumusan yang serba ganjil,artinya yang dihasilkan akal selalu hanya rumusan yang rasional.

Contoh lain : bila mata kita menemukan benda benda seperti jam tangan-komputer-mesin kendaraan bermotor dlsb.dan akal menangkap adanya struktur yang tertata-beraturan atau adanya kompleksitas yang beraturan didalamnya sehingga hati meyakini adanya desainer yang pasti adalah manusia maka itulah contoh peran akal dalam menemukan ilmu pengetahuan yang kemudian dijadikan keyakinan oleh hati.

Itulah bila manusia meyakini bahwa akal itu memiliki kredibilitas dalam membentuk ilmu pengetahuan maka manusia akan mudah menemukan keterhubungan antara agama dan ilmu pengetahuan sebab konsep kebenaran agama Ilahiah di berbagi sisi bisa direkonstruksi oleh akal fikiran manusia.sehingga agama Ilahi identik dengan sebutan ‘agama akal’.

Dengan indera nya manusia menangkap bukti bukti empirik dengan akalnya menangkap konsep kebenaran Ilahi dibalik dari apa yang ditangkap oleh dunia indera nya itu dan dengan hatinya ia meyakini kebenaranNya,bukankah itu adalah keterpaduan dunia indera - akal dengan agama,dan artinya juga keterpaduan antara ilmu pengetahuan yang dirumuskan oleh akal- diyakini oleh hati dengan agama ?.

Peran akal ini sangat vital sebab menghubungkan semua yang tertangkap dunia pengalaman indera dengan hati tempat keyakinan bersemayam,contoh sederhana : dunia indera menangkap ketertataan alam semesta lalu akal merumuskan keharusan adanya sang desainer ujungnya hati meyakini bahwa sang desainer itu adalah Tuhan setelah memperoleh petunjuk melalui kitab suci.

DUNIA INDERA MENANGKAP kemudian AKAL MERUMUSKAN dan lalu HATI MEYAKINI ….ahhhhhhhhhhhhhhhhh…… bukankah itu adalah bangunan struktur jiwa yang ideal tertata mulai dari dunia indera yang menangkap fakta bukti empirik yang ditemukan termasuk misal yang terserak dalam dunia sains lalu akal yang merumuskan dan terakhir hati yang meyakini ? bukankah itu suatu bangunan yang ideal-terstruktur yang sesuai dengan bangunan struktur jiwa manusia ? bandingkan dengan : dunia indera menangkap kemudian akal tidak merumuskan (kepada rumusan rumusan yang rasional) dan hati tidak meyakini melainkan senantiasa berada dalam : keraguan…keraguan…keraguan dan keraguan.

Sehingga lalu mengapa ada manusia yang tetap ngotot beranggapan bahwa agama adalah suatu yang hanya berdasar ‘kepercayaan’ ? lalu dimana pemahamannya terhadap akal dan terhadap bangunan konsep ilmu yang bisa dibangun oleh kekuatan akal ?

Sebagaimana pendapat umum, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan dan prinsip-prinsip mencari kebenaran. Berfilsafat berarti berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas (tidak terikat dengan tradisi, dogma agama) untuk memperoleh kebenaran. Kata ini berasal dari Yunani, Philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom).             Filsafat sebagaimana pengertiannya semula termasuk bagian dari pengetahuan, sebab pada permulaannya (baca: zaman Yunani Kuno) filsafat identik dengan pengetahuan (baik teoretik maupun praktik). Akan tetapi lama kelamaan ilmu-ilmu khusus menemukan kekhasannya sendiri untuk kemudian memisahkan diri dari filsafat. Gerak spesialisasi ilmu-ilmu itu semakin cepat pada zaman modern, pertama ilmu-ilmu eksakta, lalu diikuti oleh ilmu-ilmu sosial seperti: ekonomi, sosiologi, sejarah, psikologi dan seterusnya. (Lihat Franz Magnis Suseno, 1991:18 dan Van Peursen, 1989 : 1). Secara garis besar, Jujun S. Suriasumanteri (dalam A.M. Saifuddin et.al, 1991:14) menggolongkan pengetahuan menjadi tiga kategori umum, yakni: (1) pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk (yang disebut juga dengan etika/ agama); (2) pengetahuan tentang indah dan yang tidakindah (yang disebut dengan estetika/ seni) dan (3) pengetahuan tentang yang benar dan yang salah (yang disebut dengan logika/ilmu). Ilmu merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tak lagi merupakan misteri. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Objek kajian filsafat meliputi objek material dan objek formal, fisik dan metafisik, termasuk Tuhan, alam dan manusia, sedangkan objek formalnya adalah hakikat dari segala sesuatu yang ada (yang wujud), baik yang fisik maupun yang metafisik.   Ilmu (Ilmu Pengetahuan) Berbeda dengan filsafat, ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya, dan hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan mengendalikan gejala-gejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan sari penjelasan mengenai alam yang bersifat subjektif dan berusaha memberikan makna sepenuhnya mengenai objek yang diungkapkannya (Dep. P & K, tt.: 21 dan lihat Cony et al. 1988 : 45). Berbeda dengan filsafat, ilmu hanya membatasi diri pada objeknya yang empiris dan terukur dari manusia dan alam nyata (fisik). Ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam yang bersifat umum dan impersonal (lihat juga Jujun, 1990: 106-107).   Secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah jelajah yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman manusia itu (Jujun, 1990:104-105). Sedangkan sisi lain dari pengetahuan mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh maknanya.   Filsafat Ilmu Filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut (Beerling, et al., 1988:1-4). Filsafat ilmu erat kaitannya dengan epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk  pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi. Filsafat ilmu sebagai kelanjutan dari perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filasafat. Ilmu yang objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut dengan ilmu tentang ilmu (Koento Wibisono,1988 : 7). Karena pengetahuan ilmiah merupakan a higher level of knowledge dalam perangkat kita sehari-hari, maka filsafat ilmu tidak dapat dipishkan dari filsafat pengetahuan. Objek bagi kedua cabang ilmu itu seringkali tumpang tindih (Koento Wibisono,1988 : 7).   Agama             Agama merupakan sistem kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan supra natural (Tuhan). Agama merupakan sistem peribadatan dan penyembahan (worship) terhadap Yang Mutlak dan sistem peraturan (norma) yang mengatur hubungan antarmanusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian, unsur-unsur agama meliputi:  kepercayaan (kredo), peribadatan (ritus) dan norma. Agama merupakan sumber pengetahuan tentang moral, penilaian mengenai yang baik dan yang buruk. Agama memberikan petunjuk tentang tujuan yang harus dicapai oleh manusia.   Antara filsafat dan ilmu memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari kebenaran. Dari aspek sumber, filsafat dan ilmu memiliki sumber yang sama, yaitu akal atau rasio. Karena akal manusia terbatas, yang tak mampu menjelajah wilayah yang metafisik, maka kebenaran filsafat dan ilmu dianggap relatif, nisbi. Sementara agama bersumber dari wahyu, yang kebenarannya dianggap absolut, mutlak·. Dari aspek objek, filsafat memiliki objek kajian yang lebih luas dari ilmu. Jika ilmu hanya menjangkau wilayah fisik (alam dan manusia), maka filsafat menjangkau wilayah bail fisik maupun yang metafisik (Tuhan, alam dan manusia). Tetapi jangkauan wilayah metafisik filsafat (sesuai wataknya yang rasional-spikulatif)  membuatnya tidak bisa disebut absolut kebenarannya. Sementara agama (baca: agama wahyu) dengan ajaran-ajarannya yang terkandung dalam kitab suci Tuhan,  diyakini sebagai memiliki kebenaran mutlak. Agama dimulai dari percaya (iman), sementara filsafat dan ilmu dimulai dari keraguan. Ilmu, filsafat dan agama memiliki keterkaitan dan saling menunjang bagi manusia. Keterkaitan itu terletak pada tiga potensi utama yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, yaitu akal, budi dan rasa serta keyakinan. Melalui ketiga potensi tersebut manusia akan memperoleh kebahagiaan yang sebenarnya. Dalam konteks studi agama, manusia perlu menggunakan pendekatan secara utuh dan komperehensif. Ada dua pendekatan dalam studi agama secara komperehensif tersebut, yaitu: Pertama, pendekatan rasional-spikulatif. Pendekatan ini adalah pendekata filsafat (philosophical approach), misalnya pendekatan studi agama terhadap teks-teks yang terkait dengan masalah eskatologis-metafisik, epistemologi, etika dan estetika; kedua, pendekatan rasional-empirik. Pendekatan ini adalah pendekatan ilmu (scientific approach), misalnya pendekatan studi agama terhadap teks-teks yang terkait dengan sunnatullah (ayat-ayat kauniyah), teks-teks hukum yang bersifat perintah dan larangan dan sejarah masa lampau umat manusia. Agama memerintahkan manusia untuk mempelajari alam, menggali hukum-hukumnya agar manusia hidup secara alamiah sesuai dengan tujuan dan asas moral  yang diridhai  Tuhan. Ilmu sebagai alat harus diarahkan oleh agama, supaya memperoleh kebaikan dan kebahagiaan, sebaliknya ilmu tanpa agama, maka akan membawa bencana dan kesengsaraan. Maka benar kata Einstein, science without religion is blind, religion without science is lame. Secara rinci Franz Magnis Suseso (1991:20) menjelaskan, bahwa filsafat membantu agama dalam empat hal: pertama, filsafat dapat menginterpretasikan teks-teks sucinya secara objektif;  kedua, filsafat membantu memberikan metode-metode pemikiran bagi teologi; ketiga, filsafat membantu agama dalam menghadapi problema dan tantangan zaman, misalnya soal hubungan IPTEK dengan agama; keempat, filsafat membantu agama dalam menghadapi tantangan ideologi-ideologi baru.   Lantas bagaimanakah dengan Filsafat Agama dan Filsafat Ilmu Agama? Apakah Filsafat Agama membicarakan agama dalam perspektif filsafat? Atau filsafat dalam perspektif agama? Apakah Filsafat Ilmu Agama berarti berbicara tentang filsafat ilmu dalam persepektif agama? Atau agama dalam perspektif filsafat ilmu? Atau berbicara tentang ilmu-ilmu agama dalam perspektif filsafat ilmu? Sebetulnya term Filsafat Ilmu Agama itu tidak lazim digunakan, yang lazim digunakan adalah Filsafat Agama (Philosophy of Religion), bukan  Philosophy of Religious Science ataupun Philosophy of Religious Studies. Persoalannya, apakah semua agama memiliki bangunan keilmuannya? Apakah agama itu ilmu? Dalam konteks Islam, memang ada konsep tentang ilmu. Hal ini sebagaimana yang diakui oleh  H.A.R. Gibb, bahwa Islam lebih dari sekadar sistem teologi, tetapi ia sarat dengan peradaban (Islam is indeed much more then a system of theology its complete of civilization). Islam memiliki sistem ajaran. Sistem ajaran inilah yang kemudian menjadi sangat luas cakupannya. Ada ajaran tentang akidah, ajaran tentang syari’ah dan ajaran tentang akhlak (etika). Tiga aspek ajaran dalam Islam itu masing-masing memiliki perspektif bangunan keilmuannya. Dari ajaran akidah memunculkan Ilmu Kalam, dari ajaran syari’ah memunculkan Ilmu Fiqh dan dari ajaran akhlak memunculkan Ilmu Akhlak (Etika). Dari sudut ini, maka jika term Filsafat Ilmu Agama ini dapat digunakan (sebagai sesuatu yang lazim), maka yang dimaksud adalah Filsafat tentang Ilmu Agama, seperti  Filsafat Teologi (Filsafat Kalam), Filsafat Hukum Islam (Fiqh), Filsafat Pendidikan Islam dan seterusnya. Apa yang ditulis oleh Harun Nasution dalam karyanya, Falsafat Agama,* (Lihat, Harun Nasution, Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973), sesungguhnya juga berisikan filsafat tentang Tuhan dan Manusia dalam perspektif Islam. Dalam konteks ini, maka Filsafat Agama yang ditulis oleh Harun lebih tepat disebut dengan  Filsafat Teologi Islam (Filsafat Kalam), atau Filsafat Islam.     Keilmuan Islami Bagaimana dengan keilmuan islami? Keilmuan islami adalah, paradigma keilmuan yang dibangun atas landasan Islam.. Filsafat islami dengan demikian adalah, filsafat yang berorientasi pada penyelidikan alam melalui pemikiran rasional untuk menemukan kebenaran Ilahi. Atau, cara berpikir rasional-radikal terhadap ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat yang bersifat kauniyah maupun qauliyah. Sedangkan ilmu islami adalah, ilmu yang diorientasikan pada penyelidikan alam melalui jalan inderawi dan eksperimen. Karena agama adalah kebenaran, sementara filsafat dan ilmu adalah pencari kebenaran, maka keduanya (filsafat dan ilmu) harus mencari kebenaran agama tersebut. Dalam pengertian lain, akal dan indera harus menggali sedalam-dalamnya terhadap fenomena alam untuk menemukan kebenaran Ilahi tersebut, karena Al-Haqqu min Rabbika fala takunanna min al-mumtarin. Dengan demikian, paradigma keilmuan islami bertujuan mencetak manusia ulul albab  yang selalu membenarkan penciptaan alam semesta yang diciptakan oleh Allah swt. (Rabbana ma khalaqta haza bathila….). Inilah manusia yang mukmin sekaligus muslim (At-tashdiq bil-qalbi wat-taqrir bil-lisan wal-amal bil-jawari) yang selalu mendapat hikmah (limpahan kebaikan) dari Allah swt (Yu'til-hikmata man yasya' wa man yu'til-hikmata faqad utiya khairan katsira).   Agama                 Filsafat                                      Ilmu pencari kebenaran                   pencari kebenaran       Agama                           Filsafat Islami            Ulul wahyu sbg kebenaran           Ilmu Islami                 Albab               Filsafat                                               Ilmu sebagai pencari kebenaran                               Sebagai pencari kebenaran (menggali fenomena-fenomena                       (mencari dan menggali hukum-hukum alam/alam secara rasional spekulatif)                   sunnatullah melalui cinta)                                             DAFTAR PUSTAKA     Beerling, D.F. et. al. 1988. Filsafat Dewasa ini, terj. Hasan Amin, Jakarta: Balai Pustaka. Cony R. Semiawan et.al. 1988. Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Karya. Harun Nasution. 1973. Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang Jujun S. Suriasumanteri. 1990. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Jujun S. Suriasumantri. 1990. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik,, Jakarta: Gramedia. Koentowibisono. 1988. Beberapa Hal Tentang Filsafat Ilmu: Sebuah Sketsa Umum Sebagai Pengantar Untuk Memahami Hakekat Ilmu dan Kemungkinan Pembangunannya, Yogyakarta: IKIP. Magnis Suseno, Franz. 1991.  Bersilsafat dari Konteks, Jakarta: Gramedia. Peursen, Van. 1989. Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, Jakarta: Gramedia. Saefuddin, A.M. et.al. 1991. Desekulerisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan.   Tim PDK. 1990.  Filsafat Ilmu, Materi Dasar Program Akta Mengajar IV buku IA, Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana.                              


  • ·Sampai dimana absolutisitas agama itu? Dalam perspektif agama Islam, absolutisitas agama adalah pada wilayah ijma’ ulama’, atau pada wilayah dalil muhkamat, seperti: tentang keesaan Tuhan, kebenaran al-Qur’an dan kebenaran perintah shalat dst. Sementara pada wilayah dalil musytarak dan mutasyabihat yang masih menjadi perselisihan ulama’ (karena perbedaan penafsiran, interpretasi), maka bersifat relatif. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa relativitas dimaksud adalah relativitas dalam konteks kebenaran, bukan dalam konteks salah dan keliru. Karena sesuai dengan jaminan Tuhan terhadap upaya ulama’/mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum itu sendiri, yaitu jaminan pahala  (Izda ijtahada al-hakim fa ashaba falahu ajrani wa izda akhthaa falahu ajrun wahid).
   

*Harun Nasution menggunakan istilah filsafat dengan “falsafat” atau  “falsafah”. Karena menurutnya, filsafat berasal dari kata Yunani, Philein dan Sophos. Kemudian orang Arab menyesuaikan dengan bahasa mereka falsafah atau falsafat dari akar kata  falsafa-yufalsifu-falsafatan wa filsafan dengan wazan  fa’lala.