Jelaskan pengertian syadz sehingga dapat menyebabkan hadis tidak dapat dikategorikan sahih

Jelaskan pengertian syadz sehingga dapat menyebabkan hadis tidak dapat dikategorikan sahih

BincangSyariah.Com – Pembagian macam-macam hadis dipengaruhi oleh dua cabang ilmu hadis. Kedua ilmu tersebut adalah ilmu yang berkaitan tentang rawi (periwayat hadis/informan) dan ilmu yang berkaitan dengan riwayat. Dalam ilmu rawi terdapat ilmu jarh dan ta’dil serta sejarah rawi. Sedangkan ilmu riwayat disebut juga dengan ilmu ‘ilalul hadis.

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas bait yang k tiga dan keempat dari nazam al-Mandzumah al-Baiquniyyah, yang menjelaskan tentang hadis sahih.

Jelaskan pengertian syadz sehingga dapat menyebabkan hadis tidak dapat dikategorikan sahih

أَوَّلُهَا الصَّحِيحُ وَهُوَ مَا اتَّصَلْ # إسْنَادُهُ وَلَمْ يَشُذّ أَوْ يُعَلّْ

Pertama adalah hadis sahih yang  bersambung

Sanadnya, Tidak ada syaz dan illat

يَرْويهِ عَدْلٌ ضَابِطٌ عَنْ مِثْلِهِ # مُعْتَمَدٌ فِي ضَبْطِهِ وَنَقْلِهِ

Perawinya ‘adil, dhabit antar dari awal hingga akhir

Kedhabitan dan periwayatannya tidak diragukan lagi

Berdasarkan yang tertulis dalam nazam di atas, ada lima syarat hadis sahih, yaitu: sanadnya bersambung, tidak ada syaz, tidak ada illat, perawinya adil, dan perawinya dhabit.

1. Sanadnya bersambung

Maksudnya adalah setiap rangkaian perawi dalam sanad tersebut memiliki hubungan guru dan murid. Hal ini bisa diketahui dengan melihat biografi masing-masing rawi di kitab rijal. Biasanya dalam kitab tersebut dicantumkan nama guru dan muridnya, namun apabila tidak disebutkan bisa juga diketahui dengan melihat perjalanan ilmiah atau tahun wafatnya.

2. Tidak ada syaz

Ada banyak pengertian syaz, di antara pengertian tersebut sebagian mengatakan, syaz adalah periwayatan seorang perawi tsiqah yang bertolak belakang dengan periwayatan perawi yang lebih tsiqah darinya.

Ada juga yang mengatakan syaz adalah sebuah riwayat yang maqbul (diterima) bertentangan dengan periwayatan yang lebih diterima/baik dari periwayatannya. Dari dua pengertian tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa syaz adalah kondisi sebuah hadis yang bertentangan dengan yang lebih baik kualitasnya dari hadis itu sendiri.

3. Tidak ada illat

Illat adalah cacat yang terdapat dalam sebuah kesalahan yang tidak disengaja. Untuk mengetahui illat dalam sebuah hadis adalah dengan cara membandingkan antar periwayatan yang tsiqah.

4. Perawinya ‘adil

Imam Ibnu Hajar mengatakan perawi yang adil adalah perawi yang menjaga ketakwaan dan menjauhi dosa kecil. Artinya orang ‘adil adalah orang yang senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau yang mengikuti hawa nafsunya. Ada lima syarat perawi disebut ‘adil, yaitu: (1) Muslim; (2) Menjauhi perbuatan fasiq; (3) bukan orang yang teledor; (4) mukallaf (balig dan berakal); (5) menjaga muru’ah. Muru’ah di sini artinya sangat lokalistik, sesuai dengan ada dan kebiasaan daerah perawi hidup.

5. Perawinya dhabith.

Dhabit ada dua jenis dhabith shadr dan dhabit kitab. Yang dimaksud dengan dhabit shadr adalah kuat hafalannya. Ukuran kuat hafalannya adalah ia yakin akan apa yang dia ingat dan apabila diminta untuk menyebutkan dia tidak butuh bantuan lainnya, seperti buku. Sedangkan dhabith kitab adalah tulisan yang benar-benar dijaga oleh penulis dan itu ditulis langsung dari asalnya.

Adapun maksud dari ‘am mitslihi adalah setiap perawi meriwayatkan dari perawi yang sama, yakni sama kualitasnya sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun makna mu’tamidun fii dhabthihi wa naqlihi  adalah penguat, sebagaimana dijelaskan di atas.

*Artikel ini ditulis untuk bahan diskusi Kajian Sekolah Hadis Online Yayasan Pengkajian Hadis El-Bukhari Institute

Bila dua buah hadits bertentang. Lalu tidak bisa ditarjih maupun dicari jalan tengahnya, maka kedua hadits itu disebut sebagai hadits mudhtharib.

Kalau bisa ditarjih (ditentukan mana yang lebih kuat), maka yang rajih (lebih kuat) disebut sebagai hadits mahfuzh. Adapun yang lebih marjuh (lebih lemah) disebut sebagai hadits syadz.

Pembahasan hadits syadz ini sangat menarik. Meskipun mungkin agak rumit. Namun di sinilah letak uniknya. Semoga sajian kali ini cukup mudah untuk dipahami.

Baca pula:  Hadits Syadz dan Mahfuzh: Pengertian, Contoh dan Penjelasan

***

Pengertian Hadits Syadz

Secara bahasa, syadz artinya: aneh, janggal, nyeleneh, beda sendiri, tidak sama dengan kebanyakan.

Secara istilah, Hadits Syadz adalah:

ما رواه المقبول مخالفًا لمن هو أولى منه

“Hadits yang diriwayatkan perawi yang maqbul (lumayan tsiqah). Namun bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan perawi yang lebih tsiqah.”

Kita review sejenak. Hadits shahih itu harus memenuhi lima syarat, yaitu:

  1. Sanadnya bersambung
  2. Semua perawinya adil
  3. Semua perawinya dhabith
  4. Tidak mengandung syadz
  5. Tidak mengandung ‘illah

Dengan demikian, hadits syadz ini termasuk hadits dha’if. Karena tidak memenuhi syarat hadits shahih yang keempat.

***

Peringatan Imam Syafi’i

Berkaitan dengan hadits syadz ini, Imam Syafi’i pernah memberikan peringatan sebagai berikut:

ليس الشاذ من الحديث أن يروي الثقة ما لا يرويه غيره، هذا ليس بشاذ

إنما الشاذ أن يروي الثقة حديثًا يخالف فيه الناس هذا الشاذ من الحديث

“Ada orang yang salah paham. Dikiranya hadits syadz itu adalah hadits yang diriwayatkan perawi yang tsiqah, tapi perawi lain tidak meriwayatkannya. Ini bukan hadits syadz.

“Sebuah hadits disebut syadz, apabila diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, namun ternyata bertentangan dengan para perawi yang lain. Inilah yang disebut sebagai hadits syadz.”

***

Macam-macam Hadits Syadz dan Contohnya

Berdasarkan keterangan di atas, hadits syadz ini ada dua macam, yaitu: syadz pada sanad dan syadz pada matan. Berikut ini penjelasannya masing-masing:

1. Hadits Syadz pada Sanad

Ada kalanya sebuah hadits itu syadz pada sanadnya.

Contohnya adalah hadits berikut ini:

Hadits Syadz

Disebutkan dalam Sunan Baihaqi:

أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ : أنا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِسْحَاقَ الْقَاضِي، ثنا سُلَيْمَانُ، وَعَارِمٌ، قَالَا : ثنا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ عَوْسَجَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ :أَنَّ رَجُلًا مَاتَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ـ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ وَلَمْ يَدَعْ وَارِثًا إِلَّا مَوْلًى لَهُ هُوَ أَعْتَقَهُ فَأَعْطَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِيرَاثَهُ

Di mana dalam hadits itu sanadnya berhenti sampai ‘Ausajah. Alias diriwayatkan secara mursal.

Hadits yang pertama ini adalah contoh Hadits Syadz.

Secara singkat, hadits di atas diriwayatkan dengan sanad:

Hammad bin Zaid – dari ‘Amr – dari ‘Ausajah Maula Ibnu ‘Abbas.

‘Ausajah ini merupakan seorang tabi’in. Namun dia langsung masuk ke matan hadits, tanpa menyebutkan nama seorang shahabat. Sehingga menjadi hadits mursal.

*

Hadits Mahfuzh

Sanad hadits di atas itu bertentangan dengan sanad hadits lain yang lebih kuat. Disebutkan pula dalam Sunan Baihaqi:

أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ، أنا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ الصَّفَّارُ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِسْحَاقَ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيِّ، ثنا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ عَوْسَجَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ـ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ـ قَالَ: مَاتَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَتْرُكْ وَارِثًا إِلَّا عَبْدًا لَهُ هُوَ أَعْتَقَهُ، فَأَعْطَاهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِيرَاثَهُ

Secara singkat, hadits yang kedua ini diriwayatkan dengan sanad:

Sufyan – dari ‘Amr – dari ‘Ausajah – dari Ibnu ‘Abbas.

Jadi dalam hadits yang kedua ini, sanadnya bersambung sampai pada Ibnu ‘Abbas. Istilahnya muttashil.

Nah, hadits yang kedua ini adalah contoh Hadits Mahfuzh.

*

Antara Mursal dan Muttashil

Dari mana kita bisa mengetahui bahwa hadits yang pertama itu merupakan hadits syadz. Sedangkan hadits yang kedua itu merupakan hadits mahfuzh? Yaitu berdasarkan penelusuran kepada hadits-hadits yang serupa. Misalnya adalah hadits berikut ini:

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ أَبُو حَفْصٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَاوُسٍ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللهُ وَرَسُولُهُ مَوْلَى مَنْ لَا مَوْلَى لَهُ، وَالْخَالُ وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُ

Secara singkat, hadits yang ketiga ini diriwayatkan juga secara muttashil. Tidak secara mursal.

*

Bagi kita yang bukan ulama hadits, masalah mursal dan muttashil itu tidak terlalu penting.

Namun bagi para ahli hadits, status itu adalah penting.

Karena salah satu syarat hadits shahih, bahkan syarat yang pertama, adalah sanadnya harus bersambung.

***

2. Hadits Syadz pada Matan

Selain terjadi pada sanad, sebuah hadits dinyatakan sebagai hadits syadz adalah karena matannya.

Contoh pertama:

Hadits Syadz

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :يَوْمُ عَرَفَةَ، وَيَوْمُ النَّحْرِ، وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Rasulullah Saw. bersabda:

“Hari Arafah, Hari Nahr, dan Hari Tasyriq bagi kita orang Islam adalah hari makan dan minum.”

Hadits Mahfuzh

  قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Rasulullah Saw. bersabda:

“Hari Tasyriq merupakan hari makan dan minum.

Letak syadz pada hadits

Dua hadits di atas adalah bertentangan. Di mana dalam hadits yang pertama ada tambahan, yaitu: hari Arafah dan hari Nahr. Sementara pada hadits yang kedua, yang lebih kuat, tidak ada tambahan tersebut.

Maka tambahan itu merupakan penyebab syadz-nya hadits yang pertama itu.

***

Contoh kedua:

Hadits Syadz

قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى يَمِيْنِهِ

Nabi Saw. bersabda:

“Bila salah seorang di antara kalian selesai melaksanakan shalat dua rakaat fajar, maka hendaklah dia berbaring dengan badan posisi miring ke kanan“. (HR. Tirmidzi)

Hadits Mahfuzh

كَانَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ اِضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ

Bila Nabi Muhammad Saw. melaksanakan shalat dua rakaat fajar maka Beliau membaringkan badan ke sisi kanan”. (HR. Bukari dan Nasa’i)

Antara qauliyah dan fi’liyah

Hadits yang pertama itu merupakan hadits qauliyah, perkataan Nabi Muhammad Saw.

Sedangkan hadits yang kedua merupakan hadits fi’liyah, perbuatan Nabi Muhammad Saw.

Hal ini dikuatkan oleh beberapa hadits yang lain yang juga merupakan hadits fi’liyah. Bukan qauliyah.

Bagi kita orang awam, apakah sebuah hadits itu qauliyah atau fi’liyah tidaklah begitu penting. Yang penting hadits. Maka pasti baik dilakukan.

Namun bagi para ulama, hal itu harus dipastikan. Qauliyah atau fi’liyah.

Karena qauliyah itu penekanannya lebih kuat daripada fi’liyah.

***

Penutup

Demikian sedikit penjelasan mengenai Hadits Syadz dan Hadits Mahfuzh. Bila ada tambahan maupun pertanyaan, kami persilakan disampaikan pada kolom komentar.

Semoga ada manfaatnya. Allahu a’lam.

______________________

Bacaan utama:

Kitab Taisir fi ‘Ulumil Haidts, Syeikh Mahmud ath-Thahhan.

Artikel: Hadits Syadz, Syeikh Ali bin Salim Rawahi.