Jelaskan pengertian konsep dewa raja yang sangat dominan dengan budaya bangsa indonesia

Jelaskan pengertian konsep dewa raja yang sangat dominan dengan budaya bangsa indonesia

Jelaskan pengertian konsep dewa raja yang sangat dominan dengan budaya bangsa indonesia
Lihat Foto

Shutterstock.com

Candi Ratu Boko

KOMPAS.com - Pengaruh budaya India sudah mengakar di berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. 

Dikutip dari buku Sejarah Indonesia masa Hindu-Buddha (2014) oleh Suwardono, pengaruh kebudayaan India melalui proses asimilasi dan akulturasi. 

Pengaruh budaya India sudah berlangsung sejak masa prasejarah. Hal tersebut semakin kuat di Indonesia ketika muncul kerajaan Hindu-Buddha abad ke-4 hingga ke-15 Masehi. 

Beberapa bidang yang mendapatkan pengaruh Hindu-Buddha sebagai berikut:

Pengaruh budaya India dalam bidang bahasa dan aksara terlihat dari penggunaan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta oleh kerajaan Hindu-Buddha Indonesia.

Pada pertengahan abad ke-8 Masehi, huruf Pallawa berakulturasi dengan kebudayaan Jawa dan menghasilkan huruf Jawa Kuno atau huruf Kawi.

Baca juga: Jejak Seni Arca dan Ragam Hias Peradaban Hindu-Buddha di Indonesia

Bangsa India memberi pengaruh penting terhadap bidang kesusastraan Indonesia. Bangsa India mengenalkan epos Mahabharata dan Ramayana kepada pujangga-pujangga Indonesia.

Pada perkembangannya, pujangga-pujangga Jawa menambahkan nilai-nilai kebudayaan Jawa terhadap cerita Mahabharata dan Ramayana.

Pengaruh budaya India dalam bidang kesenian di Indonesia dapat kita lihat pada seni bangunan, seni ukir dan seni patung. Bangsa India mengenalkan konsep candi, relief dan arca kepada masyarakat Indonesia.

Contoh akulturasi kesenian antara India dan Indonesia terlihat dari candi Indonesia yang berbentuk punden berundak.

Jelaskan pengertian konsep dewa raja yang sangat dominan dengan budaya bangsa indonesia

Jelaskan pengertian konsep dewa raja yang sangat dominan dengan budaya bangsa indonesia
Lihat Foto

Dokumentasi Biro Komunikasi Kemenparekraf

Ilustrasi Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah

KOMPAS.com - Agama Hindu-Buddha ke Indonesia sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu.

Tetapi pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha masih dapat dirasakan hingga sekarang ini oleh masyarakat.

Ada yang masih dijalankan hingga kini. Banyak pengaruh Hindu-Buddha yang juga dipelajari oleh masyarakat.

Masuknya kebudayaan dan agama Hindu-Buddha juga menyebabkan akulturasi dengan kebudayaan lokal.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akulturasi adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi.

Baca juga: Teori Masuknya Hindu-Buddha ke Nusantara

Berikut pengaruh Hindu-Buddha di masyarakat Indonesia:

Seni bangunan (arsitektur)

Salah satu bentuk peninggalan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia adalah seni bangunan.

Dalam buku Kehidupan Masyarakat Pada Masa Praaksara, Masa Hindu Buddha, dan Masa Islam (2019) karya Tri Worosetyaningsih, perkembangan Hindu Buddha di Indonesia telah membawa pengaruh besar dalam berbagai karya seni dan kerajinan maupun bangunan.

Salah satu hasil karya adalah candi. Bagi Hindu dan Buddha candi memiliki fungsi yang berbeda.

Bagi candi bercorak Hindu berfungsi sebagai makam, sementara candi bercorak Buddha memiliki fungsi sebagai tempat pemujaan atau peribadatan.

"Dewaraja" adalah konsep Hindu-Buddha yang memuja dan menganggap raja memiliki sifat kedewaan, bentuk pemujaan ini berkembang di Asia Tenggara. Konsep ini terkait dengan sistem monarki yang menganggap raja memiliki sifat illahiah, sebagai dewa yang hidup di atas bumi, sebagai titisan dewa tertinggi, biasanya dikaitkan dengan Siwa atau Wishnu. Konsep ini terkait dengan gagasan India mengenai raja jagat cakrawartin. Secara politik, gagasan ini dilihat sebagai suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan. Konsep ini mencapai bentuk dan wujudnya yang paling canggih di Jawa dan Kamboja, dimana monumen-monumen agung seperti Prambanan dan Angkor Wat dibangun untuk memuliakan raja di atas bumi.

Tampilkan lebih sedikitBaca lebih banyak

Wikipedia

"Dewaraja" adalah konsep Hindu-Buddha yang memuja dan menganggap raja memiliki sifat kedewaan, bentuk pemujaan ini berkembang di Asia Tenggara.[1] Konsep ini terkait dengan sistem monarki yang menganggap raja memiliki sifat illahiah, sebagai dewa yang hidup di atas bumi, sebagai titisan dewa tertinggi, biasanya dikaitkan dengan Siwa atau Wishnu. Konsep ini terkait dengan gagasan India mengenai raja jagat cakrawartin. Secara politik, gagasan ini dilihat sebagai suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan. Konsep ini mencapai bentuk dan wujudnya yang paling canggih di Jawa dan Kamboja, dimana monumen-monumen agung seperti Prambanan dan Angkor Wat dibangun untuk memuliakan raja di atas bumi.

Jelaskan pengertian konsep dewa raja yang sangat dominan dengan budaya bangsa indonesia

Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran anumerta Kertarajasa, raja pertama Majapahit. Tradisi memuliakan raja bagaikan dewa merupakan tradisi dewaraja.

Dalam bahasa Sanskerta istilah dewa-raja dapat bermakna "raja para dewa" atau "raja yang juga (titisan) dewa". Dalam masyarakat dewa Hindu, jabatan dewa tertinggi biasanya disandang oleh Siwa, terkadang Wisnu, atau sebelumnya Indra. Kerajaan langit tempat para dewa bersemayam di swargaloka merupakan bayangan kerajaan fana di atas bumi, konsep ini memandang raja sebagai dewa yang hidup di muka bumi.

Konsep dewaraja dibentuk melalui ritual keagamaan yang dilembagakan dalam pranata kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Asia Tenggara. Hal ini memungkinkan raja untuk mengklaim memiliki wewenang ilahiah yang bisa digunakan untuk memastikan legitimasi politik, mengelola tatanan sosial, menata aspek ekonomi dan agama. Dalam aspek politik, memperkuat hak raja dan wangsa yang berkuasa sebagai penguasa negeri yang sah. Hal ini juga digunakan untuk menjaga ketertiban sosial, memuliakan raja sebagai dewa hidup yang pastinya menuntut pelayanan maksimal rakyatnya dan pengabdian umatnya. Memperkenalkan sistem kasta India juga mendefinisikan kelas sosial, pekerjaan, serta cara hidup rakyat mereka.

Kepercayaan dewaraja juga memungkinkan raja untuk mengerahkan rakyatnya untuk melakukan pekerjaan umum berskala besar dan proyek-proyek raksasa, misalnya menciptakan dan memelihara sistem pengairan hidrolik yang rumit untuk mendukung pertanian padi dalam skala besar, atau untuk membangun monumen agung, membangun candi-candi untuk menghormati raja yang telah wafat. Contoh dari proyek-proyek pembangunan besar misalnya pembangunan candi Borobudur, Prambanan, juga kompleks percandian dan baray di Angkor.

Pemujaan dewaraja adalah pranata resmi kerajaan Kamboja yang didukung sistem agama mereka, sesungguhnya konsep ini mungkin berasal dari Jawa.[1] Di Jawa kuno, sejak masa wangsa Sailendra, atau mungkin lebih tua sejak kerajaan Tarumanagara, pranata negara memandang raja sebagai titisan dewa di bumi. Prasasti Ciaruteun dari abad ke-5, mengukirkan telapak kaki Raja Purnawarman laksana telapak kaki Wishnu. Prasasti Kebon Kopi I atau batu "Telapak Gajah", mengukirkan telapak kaki gajah tunggangan raja sebagai telapak kaki Airawata (gajah tunggangan dewa Indra), maka raja juga dikaitkan dengan dewa Indra.

Di kerajaan Medang, adalah kebiasaan untuk membangun candi untuk memuliakan arwah raja yang meninggal dunia. Arca dewa di ruangan utama candi sering kali merupakan arca perwujudan anumerta sang raja yang digambarkan sebagai dewa tertentu yang arwahnya akhirnya bersatu dengan dewa yang dipuja dan naik ke swargaloka. Disebutkan bahwa gagasan ini merupakan paduan antara Hinduisme dengan pemujaan nenek moyang bangsa Austronesia.[2] Di Jawa, tradisi memuliakan raja sebagai titisan dewa terus berlanjut pada masa kerajaan Kediri, Singhasari, hingga Majapahit pada abad ke-15 M.

 

Pemujaan Dewaraja memungkinkan raja-raja Khmer mengerahkan rakyatnya untuk bekerja dalam proyek-proyek besar, seperti pembangunan candi Angkor Wat.

Dalam konteks Kamboja, istilah ini merujuk kepada raja yang juga dianggap dewa, muncul di prasasti K. 235 dari Sdok Kak Thom / Sdok Kăk Thoṃ (kini Thailand) bertarikh 8 Februari 1053 M, menyebutkan gelar Khmer kamrateṅ jagat ta rāja ("ratu/penguasa jagat yang adalah raja") menggambarkan dewa agung pelindung kerajaan Khmer yang merujuk kepada tokoh raja Jayawarman II. Dewa Khmer lainnya, juga disebutkan dalam prasasti sebelum K. 682, dari Chok Gargyar (Kòḥ Ker) bertarikh 921/22M.[3]

  • Cakrawartin
  • Firaun
  • Kaisar Jepang
  1. ^ a b Sengupta, Arputha Rani (Ed.) (2005). "God and King : The Devaraja Cult in South Asian Art & Architecture". ISBN 8189233262. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-09. Diakses tanggal 14 September 2012. Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)
  2. ^ Drs. R. Soekmono, (1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. 5th reprint edition in 1988. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 83. 
  3. ^ Claude Jacques, “The Kamrateṅ Jagat in ancient Cambodia”, Indus Valley to Mekong Delta. Explorations in Epigraphy; ed. by Noboru Karashima, Madras: New Era Publications, 1985, pp. 269-286

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Dewaraja&oldid=17851776"