Jelaskan Pancasila sebagai pandangan hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia

  1. PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Sebuah bangunan negara agar tetap bereksistensi, maka bangunan tersebut membutuhkan suatu dasar yang kuat dan kokoh. Pengertian dasar, merujuk penjelasan Heuken (1988) adalah alas, fundamen, atau suatu bagian yang paling bawah yang menjadi tumpuan dan memberikan kekuatan kepada semua yang berdiri di atasnya (Suhadi, 1998: 96). Jadi, pengertian dasar negara adalah suatu alas atau fundamen yang menjadi tumpuan dan memberikan kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Dasar negara ini terdiri atas prinsip-prinsip dasar yang menjadi induk, pangkal tolak dan pengontrol jalannya pemerintahan dan kehidupan negara serta kehidupan warga negaranya.

Bangsa Indonesia mempunyai dasar negara yang digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri dan bersumber dari kepribadian bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara inilah yang sering disebut sebagai Dasar Falsafah Negara (Philosofiche Grondslag). Pancasila dalam pengertian ini merupakan suatu dasar, nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan suatu negara. Konsekuensi dari kedudukan Pancasila ini, maka seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama semua peraturan perundang-undangan diderivasikan dan dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila. Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara ini berarti pula sebagai sumber dari segala sumber hukum bagi negara Indonesia yang mengatur secara konstitusional negara Republik Indonesia tersebut beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintahan.

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah baik moral maupun hukum negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau Undang-Undang Dasar, maupun yang tidak tertulis atau Konvensi. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini memiliki kekuatan yang mengikat secara hukum. Seluruh bangsa Indonesia, tak terkecuali dengan demikian wajib mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia, tercantum dalam ketentuan perundangan tertinggi yakni Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang dijelmakan di dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar 1945, yang pada akhirnya dikonkretisasikan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 maupun dalam hukum positif lainnya.

Konsekuensi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara ini lebih lanjut dapat dirinci sebagai berikut: pertama; Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia. Kedua; Pancasila sebagai dasar negara meliputi suasana kebatinan (Geistlichen-hintergrund) dari UUD NRI Tahun 1945. Ketiga; Pancasila sebagai dasar negara mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara Indonesia (baik hukum dasar tertulis/tidak tertulis). Keempat; Pancasila sebagai dasar negara mengandung norma yang mengharuskan Undang-Undang Dasar mengandung isi yang mewajibkan pemerintah maupun para penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia memiliki dasar kedudukan formal seperti tersirat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea IV, yang berbunyi:

"...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Berdasarkan pada kalimat tersebut di atas, maka menjadi jelas bahwa Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia merupakan dasar yang paling fundamental dari negara Republik Indonesia atau merupakan pokok kaidah fundamental negara Indonesia. Prof. Dr. Drs. Notonagoro, S.H. sehubungan dengan hal ini, dalam tulisannya berjudul “Berita Pikiran Ilmiah tentang jalan ke luar dari kesulitan mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia” antara lain menyatakan bahwa di antara unsur-unsur pokok kaidah negara yang fundamental, maka asas kerohanian Pancasila mempunyai kedudukan istimewa dalam hidup kenegaraan dan hukum bangsa Indonesia. Norma hukum pokok tersebut yang disebut pokok kaidah fundamental negara di dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang sifatnya tetap, kuat dan tidak berubah bagi negara yang dibentuk.

Pengertian kata "...dengan berdasar kepada..." di dalam kalimat terakhir Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun tidak tersurat kata Pancasila namun memiliki makna bahwa dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila. Pancasila seperti termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini mempunyai kedudukan dan peranan yang pokok bagi penyelenggaraan hidup Negara Republik Indonesia. Jadi, Pancasila secara formal dan material termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berlaku pula bagi Pancasila. Pancasila secara singkat merupakan dasar, rangka serta suasana, sehingga merupakan sendi-sendi pokok bagi negara. Pancasila juga mempunyai kedudukan mutlak bagi bangsa dan negara, sehingga darinya terletak kelangsungan dasar hidup negara. Pokok-pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang tidak lain adalah perwujudan sila-sila Pancasila, merupakan suasana kebatinan bagi pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau sebaliknya pasal-pasal Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 merupakan perwujudan atau penjelmaan pokok-pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Sri Soeprapto, 1997).

Pancasila sebagai dasar negara dengan demikian mempunyai kedudukan yang mutlak, terlekat pada kelangsungan hidup negara hasil Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan jalan hukum tidak dapat diubah (Notonagoro, 1980). Pancasila dengan sifat yang dimilikinya ini maka memungkinkan Pancasila dalam isi dan artinya sama dan mutlak bagi seluruh warga bangsa Indonesia. Pancasila dengan sifat yang melekatinya tersebut memungkinkan juga sebagai sumber yang tak terhingga dalam dan luasnya bagi perkembangan hidup kenegaraan, kebangsaan, dan juga kemanusiaan untuk menciptakan kesejahteraan nasional maupun internasional (Sri Soeprapto, 1997).

Pandangan hidup adalah nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat, yang dipilih secara kolektif oleh para individu dan golongan-golongan dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1980). Pandangan hidup terdiri dari cita-cita, kebajikan dan sikap hidup. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia dalam mengadapi segala macam problem hidupnya akan selalu berpegang pada sikap dan pandangan hidupnya. Manusia dalam masalah ini haruslah memiliki prinsip-prinsip sebagai suatu sikap dan pegangan hidup agar di dalam hidupnya tidak terombang-ambing. Bagaimanapun sulit dan rumitnya problem dalam hidup, manusia hendaknya menghadapinya dengan sikap yang kritis dan terbuka. Manusia dengan demikian akan menumbuhkan dan memiliki keseimbangan pribadi, ketenangan, dan pengendalian diri.

Sistem nilai budaya sering juga menjadi pandangan hidup bagi sekelompok manusia yang menganutnya. Apabila ‘sistem nilai’ ini merupakan pedoman hidup yang dianut sebagian besar warga masyarakat, maka pandangan hidup merupakan sistem pedoman yang dianut oleh individu-individu khusus masyarakat tersebut. Jadi, hanya ada pandangan hidup golongan saja atau individu tertentu saja tetapi tidak ada pandangan hidup seluruh masyarakat dunia. Contoh, “pandangan dunia”, maksudnya adalah keseluruhan semua keyakinan deskriptif tentang realitas sejauh merupakan suatu kesatuan. Manusia memberikan struktur yang bermakna kepada alam pengalaman. Suatu pandangan dunia merupakan kerangka acuan bagi manusia untuk dapat mengerti masing-masing unsur pengalamannya. Contoh lain misalnya adalah pandangan dunia Jawa. Yang khas bagi pandangan dunia Jawa adalah realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah dan tanpa hubungan satu sama lain melainkan suatu realitas dipahami sebagai kesatuan yang menyeluruh.

Pandangan hidup merupakan bagian hidup manusia dan tidak ada seorang pun yang hidup tanpa mempunyai pandangan hidup, meskipun tingkatannya berbeda-beda. Pandangan hidup adalah cita-cita atau aspirasi seseorang atau masyarakat, karena itu pandangan hidup itu mencerminkan citra diri seseorang (Manuel Kaisiepo, 1982). Sesuatu cita-cita atau aspirasi yang dikatakan oleh seseorang adalah pandangan hidup, karena dipengaruhi oleh pola berpikir tertentu. Pandangan hidup harus dibedakan dengan idealisasi atau angan-angan, sebab suatu idealisasi hanya mengikuti kecenderungan kebiasaan hidup yang sedang berlangsung di dalam masyarakat yang belum tentu diinginkannya.

Pandangan hidup dengan demikian adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Nilai luhur adalah tolok ukur bagi kebaikan yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mendasar dan abadi dalam hidup manusia (Suhadi, 1995). Jadi, pandangan hidup mempunyai fungsi sebagai kerangka acuan untuk menata hubungan manusia dengan dirinya sendiri, sesamanya, dan dengan alam sekitarnya maupun dengan Tuhannya. Pandangan hidup masyarakat ini berproses secara dinamis sehingga menghasilkan suatu pandangan hidup sebuah bangsa.

Pandangan hidup bangsa merupakan suatu kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu bangsa dan diyakini kebenarannya sehingga menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya. Konsekuensi pemahaman terhadap pandangan hidup bangsa ini adalah bahwa di dalam pandangan hidup suatu bangsa itu terkandung konsepsi dasar tentang suatu kehidupan yang dicita-citakan oleh bangsa yang bersangkutan.

Bangsa Indonesia mempunyai pandangan hidup yang sudah lama tumbuh bersama perkembangan masyarakatnya, yaitu Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia (inti sari dari nilai budaya masyarakat Indonesia) yang sudah diyakini kebenarannya, sehingga mampu menumbuhkan tekad untuk mewujudkannya. Pancasila dalam pengertian ini sering disebut sebagai way of life, weltanschauung, pandangan dunia, pandangan hidup, pegangan hidup, pedoman hidup, petunjuk hidup. Pemahaman tentang Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia berarti nilai-nilainya dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari. Pancasila digunakan sebagai penunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan di dalam segala bidang kehidupan. Hal ini berarti bahwa semua tingkah laku dan tindak perbuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari nilai-nilai semua sila Pancasila karena sebagai weltanschauung, Pancasila tidak bisa dipisah-pisahkan satu sila dengan sila yang lainnya.

Pancasila yang harus dihayati oleh bangsa Indonesia adalah Pancasila sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar` Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konskuensinya nilai-nilai yang terkandung di dalam sila kesatu sampai sila kelima Pancasila selalu terpancar dalam semua tingkah laku dan perbuatan maupun sikap hidup bangsa Indonesia. Misalnya, nilai keagamaan sebagai perwujudan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai berperikemanusiaan yang terkandung di dalam sila dua, nilai kebangsaan sebagai manifestasi sila Persatuan Indonesia, nilai kerakyatan sebagai perwujudan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan nilai yang menjunjung tinggi keadilan sosial sebagai manifestasi sila kelima, semuanya selalu tercermin dalam setiap tingkah laku dan sikap hidup bangsa Indonesia.

Pancasila dengan demikian sebagai norma fundamental berfungsi sebagai suatu cita-cita moral atau ide yang harus direalisasikan menjadi suatu kenyataan. Wujud jiwa atau pribadi Pancasila tersebut tercermin dalam setiap tingkah laku, setiap perbuatan maupun sikap hidup sehari-hari bangsa Indonesia. Konskwensinya, Pancasila dalam kedudukannya sebagai pegangan hidup bangsa Indonesia, maka di dalam pelaksanaan hidup sehari-hari bangsa Indonesia tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama, norma-norma kesusilaan, norma-norma sopan santun, dan tidak bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku (Kaelan, 1996).

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan cita-cita moral bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan rohaniah bagi bangsa untuk berperilaku luhur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengertian moral adalah norma adat atau cara hidup. Setiap bangsa di dunia ini memiliki adat atau cara hidup sendiri yang dirasa paling sesuai bagi bangsanya, tak terkecuali bagi bangsa Indonesia. Norma adat atau cara hidup yang sudah disepakati bersama oleh rakyat Indonesia adalah Pancasila. Kelima sila di dalam Pancasila secara keseluruhan merupakan inti sari nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai intisari dari nilai-nilai budaya, merupakan cita-cita moral bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan rokhaniah bagi bangsa untuk berperilaku dengan baik dan benar.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan perjanjian luhur bangsa Indonesia. Perjanjian luhur yang dimaksud adalah suatu kesepakatan yang memiliki makna dan nilai yang sangat tinggi, oleh karenanya senantiasa dihormati dan dijunjung tinggi. Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan hasil kesepakatan PPKI yang mewakili seluruh bangsa Indonesia dan merupakan suatu konsensus nasional, sehingga Pancasila merupakan perjanjian luhur bangsa Indonesia (Suhadi, 1998).

  1. PENGEMBANGAN PANCASILA SUBJEKTIF SEBAGAI KEPRIBADIAN BANGSA

Pandangan bahwa kepribadian Pancasila akan tetap menjadi identitas bangsa dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman adalah permasalahan yang penting bagi kelangsungan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah mendapatkan kepribadiannya sendiri, sehingga seharusnya mampu menjelmakannya di dalam bentuk atau bangun hidup, tingkah laku, cara, dan perbuatan hidup sebagai penjelmaan kepribadiannya yang sesuai dengan tuntutan jaman. Pancasila menegaskan kepribadian dan ciri watak rakyat Indonesia sebagai bangsa yang beradab, berkebudayaan, menyadari keluhuran dan kehalusan hidup, serta sanggup menyesuaikan hidup kebangsaannya dengan dasar peri kemanusiaan. Pancasila tidak hanya diterima reseptif, tetapi sejak semula berkuasa untuk menanam dan menggugah minat kreatif dan memberi ilham untuk mulai mengusahakan pembangunan masyarakat dan negara.

Masing-masing rakyat sebagai warga bangsa Indonesia tidak cukup apabila hanya memiliki tingkat pertama pelaksanaan Pancasia, yaitu pengetahuan dan pengertian tentang Pancasila. Pemilikan pengetahuan dan pengertian tentang Pancasila harus ditingkatkan sebagai dasar menumbuhkan pelaksanaan Pancasila tingkat kedua, yaitu ketaatan ber-Pancasila. Setiap pribadi seharusnya melakukan introspeksi dan internalisasi, sehingga pengetahuan dan pengertiannya dapat menjadi pendorong tumbuhnya ketaatan dan lebih lanjut ditingkatkan ke tingkat ketiga palaksanaan Pancasila, yaitu kesadaran ber-Pancasila. Ketaatan setiap pribadi yang bersifat mutlak adalah wajib bertaat, karena penjelmaan kewajiban legal. Karena Negara mempunyai wajib distributif, yaitu wajib membagi untuk memenuhi kepada warga negara semua yang menjadi haknya maka warga negara sebagai perimbangan hak negara mempunyai wajib bertaat pada negara, untuk memenuhi semua hak hidup negara. Hak-hak hidup negara sebagai kelaziman diatur di dalam peraturan hukum. Kewajiban bertaat pada negara bukan hanya bersifat imperatif sebagai konskwensi aturan hukum, tetapi juga sebagai keharusan kodrat bernegara. Negara adalah wujud organisasi hidup bersama, sehingga adanya pendukung kekuasaan dan penguasa merupakan bawaan kodratnya. Ketaatan kepada negara merupakan ketaatan kodrat agar penguasa dan negara dapat melaksanakan tugasnya sebagai organisasi hidup bersama. Ketaatan pada negara perlu dijadikan dasar untuk ditingkatkan lebih lanjut menjadi kesadaran ber-Pancasila. Ketaatan pada negara perlu dijadikan dasar untuk mengamati dan menilai diri pribadi sendiri agar selalu sadar terdorong bertaat melaksanakan Pancasila secara terus menerus (Notonagoro, 1980: 165).

Unsur-unsur yang tercantum dalam Pancasila merawankan hati rakyat dan bangsa Indonesia, bahkan penjelmaan dari cita rindu kalbunya. Kepribadian bangsa Indonesia yang telah terbentuk pada masa lalu akan tetap menjadi identitas bangsa Indonesia dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman di masa sekarang dan yang akan datang (Notonagoro, 1951).

Kepribadian bangsa Indonesia adalah sifat-sifat tetap yang khusus sebagai ciri khas bangsa Indonesia. Ciri khas bangsa Indonesia adalah jumlah kesatuan sifat-sifat yang tetap terlekat pada bangsa dan orang Indonesia yang menyebabkan bangsa Indonesia dan orang Indonesia sebagai diri terpisah dari bangsa lain dan orang bangsa lain serta berbeda dari bangsa-bangsa lain dan orang warga bangsa-bangsa lain. Pengertian Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia dapat ditelusuri dari pandangan Notonagoro, bahwa setiap manusia mempunyai kepribadian yang bertingkat. Setiap orang Indonesia mempunyai susunan kepribadian bertingkat, yaitu mempunyai hakikat pribadi kemanusiaan, hakikat pribadi kebangsaan Indonesia, dan hakikat pribadi perseorangan. Hakikat pribadi kebangsaan Indonesia merupakan penjelmaan hakikat pribadi kemanusiaan sebagai makhluk monopluralis yang dilekati kualitas-kualitas dan sifat-sifat khusus ciri watak bangsa Indonesia.

Hakikat abstrak pribadi kemanusiaan terdiri atas unsur-unsur hakikat yang bersama-sama menjadikan manusia ada. Bangsa Indonesia sebagai kesatuan orang Indonesia mempunyai hakikat abstrak manusia. Hakikat abstrak manusia tersebut menyebabkan terpisah dari makhluk lain-lainnya dan berbeda dari makhluk lain-lainnya. Hakikat pribadi kebangsaan merupakan penjelmaan dari hakikat abstrak atau hakikat jenis manusia. Hakikat pribadi kebangsaan melulu mengandung sifat-sifat yang tetap, terdiri atas sifat-sifat hakikat kemanusiaan dan sifat-sifat tetap yang khusus sebagai ciri khas bangsa Indonesia. Kepribadian bangsa Indonesia menyebabkan bangsa Indonesia dan orang Indonesia sebagai diri terpisah dari bangsa lain dan orang bangsa lain serta berbeda dari bangsa-bangsa lain dan orang warga bangsa-bangsa lain. Sifat-sifat hakikat kemanusiaaan menyebabkan bangsa Indonesia dan orang Indonesia sama dengan bangsa lain dan orang bangsa lain. Sifat-sifat ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan dapat menjadi sifat khas bangsa-bangsa lain, tetapi kesatuan rumusannya sebagai Pancasila hanya dimiliki dan menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Jati diri bangsa Indonesia adalah Pancasila. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila, yaitu bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Notonagoro, 1980).

Pengertian Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia dapat dijelaskan lebih lanjut melalui penjelasan tentang hubungan antara bangsa Indonesia dengan Pancasila. Taufiq Effendi menjelaskan bahwa Pancasila dan kepribadian bangsa tidak dapat dipisahkan dan terpisahkan. Pancasila merupakan dasar filsafat negara dan bangsa Indonesia, serta sumber segala sumber hukum, sedangkan kepribadian bangsa adalah implementasinya sehari-hari sebagai perilaku setiap manusia Indonesia. Pertama, implementasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang agamis (religius). Bangsa yang agamis mempercayai adanya Tuhan dan beriman, sehingga pasti dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang halal dan yang haram. Bangsa Indonesia akan selalu mengimplementasikan niali-nilai religius di dalam setiap bidang-bidang kehidupannya (Effendi, 2008: 48). Kedua, implementasi sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menghormati hak azasi manusia. Bangsa Indonesia akan selalu menghormati hak azasi orang dan bangsa lain serta memperhatikan kepentingan orang lain. Bangsa Indonesia akan selalu berlaku adil, yaitu perilakunya selalu toleran, sopan santun, dan saling tolong menolong (Effendi, 2008). Ketiga, implementai sila Persatuan Indonesia, bahwa setiap warga negara Indonesia menghormati bangsa dan negara dengan mendahulukan semangat untuk bersatu dan menjauhkan egoisme kedaerahan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta tanah air, yaitu selalu bertingkah laku dan berbuat demi keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (Effendi, 2008). Keempat, implementasi sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang demokratis. Bangsa Indonesia memahami pentingnya kebebasan menyampaikan pendapat, tetapi tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Demokrasi bermakna kebebasan tetapi ada batas tanggung jawabnya, yaitu tidak mengganggu kebebasan orang lain. Setiap warga negara siap untuk menerima pendapat yang disetujui oleh orang banyak dengan cara musyawarah (Effendi, 2008). Kelima, implementasi sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menghormati kebersamaan. Kebersamaan artinya memperhatikan kehendak bersama, tujuan bersama yang didasarkan kepada persepsi yang sama untuk saling mengisi dan membantu. Sifat gotong royong ditumbuhkan untuk saling membantu ke arah keadilan dengan mengesampingkan kepentingan sendiri. Keadilan diutamakan dalam hal pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar, yaitu pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan perlindungan yang dirasakan sebagai tanggungjawab bersama (Effendi, 2008).

Permasalahan tentang pengembangan kepribadian Pancasila adalah permasalahan tentang upaya bangsa Indonesia menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, tetapi dengan tetap mempertahankan kepribadian Pancasila. Pengembangan Pancasila untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman adalah masalah pengembangan nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi pemikiran dan sikap hidup rasional bangsa-bangsa lain, terutama bangsa Barat. Pemikiran dan sikap rasional yang ditumbuhkan bagi bangsa Indonesia harus dilepaskan dari sistem nilai-nilai rasional individualistis yang menjadi ciri masyarakat modern Barat. Pemikiran dan sikap hidup rasional yang ditumbuhkan bagi bangsa Indonesia diupayakan untuk tetap mengutamakan semangat kekeluargaan yang sesuai dengan sistem nilai Pancasila. Pemikiran dan sikap hidup rasional menjadi ciri baru yang tidak mengubah ciri batiniah bangsa Indonesia yang mengutamakan semangat kekeluargaan.

Notonagoro mempunyai pandangan tentang cara mentransformasikan nilai-nilai baru yang berasal dari bangsa-bangsa lain bagi kelangsungan kepribadian bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Pengembangan nilai-nilai Pancasila untuk masa yang akan datang sebagai akibat dari hubungan dengan dunia luar akan mendapat pengaruh pula dari bentuk-bentuk penjelmaan filsafat dari luar. Pikiran-pikiran kefilsafatan dari luar tersebut tidak dapat begitu saja diterima, tetapi harus dihadapi dengan cara tertentu agar dapat memperkaya kehidupan di Indonesia.

Permasalahan pengembangan nilai-nilai Pancasila dalam menghadapi pengaruh pemikiran dan filsafat dari luar telah dipikirkan dan diketemukan cara untuk mendapatkan kemanfaatan yang sebaik-baiknya, yaitu menerima pemikiran baru dari luar tersebut secara eklektis. Cara eklektis ditempuh dengan melepaskan pemikiran baru tersebut dari dasar sistem atau aliran filsafat yang bersangkutan dan selanjutnya diinkorporasikan, yaitu dimasukkan dalam struktur sistem nilai Pancasila. Pemikiran-pemikiran baru dari luar tersebut diganti dasarnya, yaitu menjadi berdasarkan Pancasila dan dijadikan unsur yang serangkai dalam struktur sistem nilai Pancasila. Misalnya, prinsip kefilsafatan demokrasi adalah sebagai penjelmaan dari hak kebebasan manusia sebagai individu. Demokrasi di dalam sistem Pancasila tidak didasarkan atas kebebasan manusia sebagai individu melulu, tetapi atas hak kebebasan manusia sebagai individu dan makhluk sosial dalam kesatuan dwitunggal yang seimbang harmonis dinamis. Metode eklektis inkorporatif tersebut dapat menjadi jalan mendekatkan cara pemikiran, sikap hidup bangsa-bangsa di seluruh dunia yang mempunyai latar belakang sistem filsafat yang berbeda. Pemikiran dan sikap hidup rasional dapat dikembangkan sebagai ciri baru bangsa Indonesia yang tidak mengubah sifat-sifat batin jati diri bangsa Indonesia (Notonagoro, 1973).

Notonagoro menjelaskan lebih rinci tentang penerapan metode eklektis inkorporatif bagi kepentingan hidup bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Permasalahan kehidupan bangsa Indonesia di masa yang akan datang berarti meliputi permasalahan modernisasi bangsa secara menyeluruh. Permasalahan modernisasi bangsa Indonesia tersebut berarti ciri-ciri sosial budaya bangsa Indonesia yang sebagian besar masih bercorak kebudayaan agraris tradisional akan dihadapkan dengan kebudayaan modern dengan bawaan nilai-nilainya yang khusus. Bangsa Indonesia memasuki jaman kebudayaan modern dengan persyaratan- persyaratan yang sesuai dengan jaman modern tersebut. Permasalahan-permasalahan dalam proses modernisasi dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, persoalan tentang menumbuhkan kemampuan menggunakan ilmu dan hasil teknologi modern yang menghendaki syarat-syarat pendidikan yang khusus. Kedua, persoalan tentang menumbuhkan kemampuan berpikir rasional dalam hal penggunaan sarana dan waktu untuk mencapai kesejahteraan. Pemikiran rasional juga diperlukan untuk tetap memelihara nilai-nilai kekeluargaan yang dihadapkan dengan nilai-nilai rasional individualistis yang menjadi ciri-ciri masyarakat modern, agar tidak terlempar ke dalam pertentangan nilai-nilai dan norma-norma yang dapat mengakibatkan disintegrasi sosial.

Permasalahan bangsa Indonesia dalam menyesuaikan diri dengan masa modernisasi yang penting mendapat perhatian adalah pengembangan sistem nilai Pancasila. Bangsa Indonesia di masa modernisasi perlu mempunyai kecakapan menguasai ilmu pengetahuan dan penggunaan hasil teknologi modern. Bangsa Indonesia juga perlu mempunyai kemampuan berpikir rasional dalam hal penggunaan sarana dan waktu untuk mencapai kesejahteraan. Pemikiran rasional yang ditumbuhkan bagi bangsa Indonesia harus dilepaskan dari sistem nilai-nilai rasional individualistis yang menjadi ciri-ciri masyarakat modern Barat. Pemikiran rasional yang ditumbuhkan bagi bangsa Indonesia diupayakan untuk tetap mengutamakan semangat kekeluargaan yang sesuai dengan sistem nilai Pancasila. Notonagoro secara lebih rinci berpandangan, bahwa zaman modern adalah jaman yang menuntut persyaratan-persyaratan sosial yang khusus. Pertama, adanya kombinasi dan pertalian yang erat dari keseluruhan faktor-faktor fisik dan abstrak untuk setiap permasalahan nasional, sehingga tidak dimungkinkan lagi berpikir, bersikap, dan bertindak kompartemental. Kedua, jaman yang serba penuh alat dan produk-produk teknologi menuntut adanya manusia yang cakap dalam bidangnya. Jaman modern mempersyaratkan pembedaan keahlian yang luas dan banyak, tetapi karena tidak dapat berdiri sendiri-sendiri dalam memecahkan persoalan-persoalan, maka diperlukan koordinasi yang kapabel dan efektif. Ketiga, adanya jalinan yang semakin erat antara persoalan pertambahan penduduk dan persoalan-persoalan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Keempat, keseluruhan konteks kemasyarakatan dunia mengakibatkan semakin dekatnya komunikasi antar bangsa dan wilayah, sehingga saling mempengaruhi antar kelompok-kelompok masyarakat di dunia dengan hasil-hasil kebudayaannya menjadi lebih intensif. Eksistensi bangsa yang kokoh dipersyaratkan agar tidak terpecah belah sebagai akibat masuknya nilai-nilai baru yang bertentangan dengan sistem nilai Pancasila (Notonagoro, 1972: 8).

Kehidupan berbangsa yang kokoh dan tidak terpecah belah menjadi syarat utama bangsa Indonesia dalam menuju kehidupan modern. Bangsa Indonesia yang sedang mengalami proses-proses perubahan menuju modernisasi akan melalui berbagai macam gejolak. Pertama, adaptasi pada nilai-nilai kebudayaan modern. Kedua, kemampuan menerima, menanggapi, dan memecahkan tantangan lingkungan nasional dan internasional dengan ciri tuntutan kehidupan yang meningkat. Ketiga, keadaan sosio kultural yang sesuai, yaitu kesiapan meninggalkan nilai-nilai lama yang menghambat dan menemukan nilai-nilai baru yang sesuai dengan perkembangan jaman, yaitu melepaskan ciri-ciri masyarakat agraris tradisional dan memasuki masyarakat yang dinamis rasional (Notonagoro, 1972).

Pembinaan kehidupan berbangsa yang kokoh dalam menuju ke masyarakat modern menurut Notonagoro adalah mempersiapkan generasi muda agar adaptif terhadap nilai-nilai kebudayaan modern dan keadaan sosio kultural yang sesuai. Generasi muda juga dibawa oleh jalannya waktu menuju jaman modern tersebut dengan persyaratan-persyaratan individual dan kelompok yang lebih kompleks. Jaman juga akan membentuk pribadi-pribadi dan waktu juga akan membebani dengan berbagai persoalan yang kompleks yang pada gilirannya akan menguji kemampuan generasi muda menerapkan peranannya sesuai dengan perkembangan masyarakat beserta persyaratan-persyaratan sosial, kelompok, dan individual yang dituntutnya (Notonagoro, 1972).

Notonagoro berpandangan bahwa mempersiapkan generasi muda merupakan salah satu persiapan yang penting bagi pengembangan Pancasila sebagai kepribadian bangsa. Masa kepemimpinan generasi 1945 sudah waktunya mundur, sehingga mutlak diperlukan upaya untuk menjamin penerusan nilai-nilai 1945 seperti yang terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945. Pewarisan nilai-nilai 1945 merupakan usaha pengembangan Pancasila sebagai jati diri bangsa. Pewarisan nilai-nilai 1945 tersebut dituangkan dalam pola-pola pelaksanaan melalui pendekatan sosialisasi, dengan metode-metode keteladanan, edukasi, komunikasi, dan integrasi. Tujuan pewarisan nilai-nilai 1945 adalah terwujudnya ketahanan nasional berlandaskan ideologi negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945, dan Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945 dalam kehidupan kenegaraan, kemasyarakatan, serta pemantapan stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pendekatan untuk mencapai tujuan pewarisan tersebut dapat ditempuh antara lain melalui pendekatan sosiologis dan sosial psikologis, yaitu bahwa masalah pematangan sikap mental generasi muda pada umumnya dapat terjadi melalui proses sosialisasi, keteladanan, komunikasi, dan integrasi antar generasi.

Nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang diwariskan adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang telah mendapat kesepakatan seluruh rakyat, yaitu nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945. Sila-sila Pancasila masing-masing mengandung nilai-nilai intrinsik yang substansial, bersifat tetap, dan merupakan kesatuan bulat dengan susunan hirarkhis piramidal. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah: Pertama, negara persatuan, yaitu negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia. Negara mengatasi segala faham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Kedua, tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ketiga, negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan/ perwakilan. Keempat, negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Kelima, negara yang merdeka dan berdaulat. Keenam, anti penjajahan, karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan (Notonagoro, 1972).

  1. PENGEMBANGAN PANCASILA MELALUI PENYELENGGARAAN NEGARA

Pengertian Pancasila yang abstrak atau umum universal mengandung bawaan atau potensi untuk dijelmakan dalam kehidupan bernegara yang mempunyai sifat umum kolektif. Pengertian Pancasila yang umum universal tersebut bersifat tetap tidak berubah, dan tidak dapat dipengaruhi oleh tempat dan waktu. Pengertian Pancasila yang umum kolektif merupakan suatu penjumlahan, maka isinya selalu dapat berubah sesuai keadaan hal-hal yang unsur-unsurnya dijumlahkan.

Pengertian Pancasila yang umum universal dijadikan dasar oleh Notonagoro untuk menjelaskan pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sebagai dasar filsafat negara merupakan cita-cita bangsa, sehingga harus dilaksanakan dalam penyelenggaraan hidup kenegaraan artinya diselenggarakan dalam kehidupan umum kolektif. Isi arti yang umum kolektif harus tetap mengandung unsur-unsur persatuan dan kesatuan, maka isinya harus mengandung unsur-unsur yang umum universal. Isi arti yang umum kolektif meliputi hal-hal yang mengandung unsur-unsur yang sama dan yang tidak sama. Isi arti yang umum kolektif merupakan suatu penjumlahan, maka isinya selalu dapat berubah sesuai keadaan hal-hal yang unsur-unsurnya dijumlahkan tersebut. Isi arti Pancasila yang umum kolektif memungkinkan seseorang dapat memberikan isi kepada arti Pancasila yang berlainan, tetapi tetap dalam batas-batas isi arti yang abstrak umum universal. Isi arti Pancasila yang umum kolektif merupakan penjumlahan atau pengumpulan isi-isi yang diberikan oleh masing-masing pihak yang berbeda, karena perbedaan agama, pandangan, dan pendirian hidup. Isi arti Pancasila yang abstrak umum universal merupakan pembatas yang mutlak bahwa di antara semua isi yang berbeda tersebut terdapat unsur-unsur kesamaan. Isi arti Pancasila yang abstrak umum universal dapat menjadi kenyataan sebagai asas persatuan, kesatuan, damai, kerja sama, nasional dan internasional, sehingga Pancasila adalah sumber yang tak terhingga dalamnya dan luasnya bagi perkembangan hidup kenegaraan, kebangsaan, dan kemanusiaan (Notonagoro, 1980).

Pengertian Pancasila yang umum kolektif, yaitu pelaksanaannya atau pengembangannya dalam penyelenggaraan negara harus sesuai dengan isi artinya yang umum universal. Pengertian kesesuaian menyatakan adanya dua hal dan di antara dua hal tersebut ada hubungan, yaitu hubungan perbandingan. Dua hal yang diperbandingkan tersebut adalah negara pada satu pihak dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil pada pihak yang lain. Hasil perbandingan di antara dua hal tersebut dapat bermacam-macam, yaitu mulai dari sama sampai dengan tidak sama. Kesesuaian termasuk dalam pengertian yang tidak sama. Dua hal yang tidak sama tersebut dapat diperinci mulai dari dari ketidaksamaan yang sedikit, banyak, dan sampai sepenuhnya tidak sama. Dua hal yang sepenuhnya tidak sama dapat diartikan berlainan atau berbeda, tetapi dapat juga diartikan bertentangan. Kesesuaian tidak mengandung arti sepenuhnya berlainan dan bertentangan, tetapi ada unsur kesamaan antara dua hal yang diperbandingkan. Kesesuaian terletak di antara sama dan sepenuhnya berlainan atau bertentangan. Hasil perbandingan di antara dua hal yang mempunyai hubungan tersebut disebut sebagai asas hubungan. Unsur-unsur dalam masalah hubungan dapat dibedakan menjadi tiga macam. Unsur hubungan pertama disebut pendukung hubungan. Unsur hubungan kedua disebut pokok pangkal hubungan. Unsur hubungan ketiga disebut asas hubungan atau hasil hubungan. Asas hubungan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu asas hubungan yang berupa sifat, asas hubungan yang berupa bentuk, luas, dan berat, serta asas hubungan yang berupa sebab-akibat. Unsur pendukung hubungan merupakan akibat dari unsur yang menjadi pokok pangkal hubungan.

Pancasila dalam kedudukan sebagai dasar filsafat negara mempunyai kedudukan yang menentukan. Negara berkedudukan sebagai unsur pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil berkedudukan sebagai unsur pokok pangkal hubungan. Unsur pokok pangkal hubungan mempunyai kedudukan menentukan, apalagi Pancasila bukan hanya sebagai unsur pokok pangkal hubungan saja, tetapi juga menjadi dasarnya. Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil merupakan dasar yang berganda dalam hubungannya dengan negara Republik Indonesia, yaitu merupakan pokok pangkal hubungan dan sebagai landasan Pancasila, sehingga benar-benar kuat dalam hal kedudukannya yang sangat menentukan tersebut. Negara Indonesia dengan unsur-unsur yang menjadi landasan Pancasila mempunyai hubungan yang istimewa yang hanya terjadi dalam hubungan yang berasas sebab-akibat, yaitu hubungan yang bersifat mutlak. Negara Republik Indonesia dengan hal-hal yang menjadi landasan Pancasila dan juga karena Pancasila merupakan dasar negara, maka hubungan tersebut merupakan suatu keharusan yang bersifat mutlak.

Praktek hidup kenegaraan seharusnya selalu dengan sengaja memelihara hubungan mutlak tersebut. Unsur hubungan yang bersifat mutlak antara negara dengan unsur-unsur yang menjadi landasan Pancasila bersifat dinamis, meliputi baik waktu yang sedang dialami maupun masa yang akan datang, justru dengan titik berat pada seluruh masa yang akan datang tersebut. Hubungan sebab-akibat antara negara dengan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebenarnya secara umum memang ada. Negara adalah lembaga kemanusiaan yang diadakan oleh manusia. Tuhan adalah asal mula segala sesuatu termasuk manusia, sehingga ada hubungan sebab-akibat yang tidak langsung. Rakyat adalah jumlah manusia-manusia pribadi, sehingga ada hubungan sebab akibat antara negara dan rakyat, apalagi kekuasaan negara Republik Indonesia dengan tegas dinyatakan berasal dari rakyat, yang tersimpul dalam asas kedaulatan rakyat. Penjelmaan hakikat satu, yaitu kesatuan rakyat juga mempunyai hubungan sebab-akibat dengan negara yang bersifat tidak langsung. Meskipun adil tidak dapat digolongkan dalam asas hubungan sebab-akibat dengan negara, tetapi mempunyai peranan penting sebagai pendorong terjadinya akibat yang berupa negara. Adil adalah dasar citi-cita kemerdekaan bangsa. Apabila suatu bangsa tidak merdeka adalah tidak adil, karena tidak mempunyai negara sendiri dan akan adil apabila suatu bangsa telah merdeka dan mempunyai negara sendiri.

Unsur-unsur yang menjadi sebab dalam hubungan sebab-akibat menimbulkan unsur yang menjadi akibat. Unsur-unsur yang menjadi sebab menjelma dalam akibatnya dan akibatnya tersebut merupakan penjelmaan sebabnya, dalam keseluruhannya atau suatu bagiannya. Unsur-unsur yang terdapat pada sebabnya, terutama unsur-unsur yang termasuk substansial atau keadaan-keadaan yang mutlak menjelma atau diturunkan kepada akibatnya sebagai keadaan bawaannya. Konsekuensinya, bahwa ada hubungan yang bersifat keharusan mutlak antara negara Republik Indonesia sebagai atau serupa akibat terhadap sebabnya yang langsung atau tidak langsung serta dalam arti luas, yaitu merealisasikan kesamaan dengan sebab-sebabnya, dalam segala sesuatunya. Keharusan untuk menyesuaikan diri dalam hal sifat-sifat dan bentuk, lingkungan kehidupannya, nilai-nilai dan martabat, memelihara kenyataan dan kebenaran, kebaikan atau kesusilaan, dan keindahan (Notonagoro, 1980).

Pandangan Notonagoro tentang pelaksanaan Pancasila melalui penyelenggaraan negara didasarkan pada pandangannya, bahwa Pancasila merupakan ciri-ciri khas yang menjadi kepribadian bangsa Indonesia sepanjang masa. Bangsa Indonesia telah mendapatkan kepribadiannya sendiri, sehingga seharusnya mampu menjelmakannya di dalam bentuk atau bangun hidup, tingkah laku, cara, dan perbuatan hidup sebagai penjelmaan kepribadiannya yang sesuai dengan tuntutan jaman. Segala sesuatu sifat dan keadaan hidup kenegaraan akan mewujudkan penjelmaan dasar filsafatnya, yaitu Pancasila. Sifat-sifat dan keadaan-keadaan negara harus sesuai dengan Pancasila. Sifat-sifat dan keadaan-keadaan negara dapat dibedakan antara sifat dan keadaan batin; sifat dan keadaan yang berupa kekuatan, tenaga, dan daya; serta sifat dan keadaan lahir. Pokok-pokok kenegaraan sampai dengan penyelenggaraan negara, yaitu hakikat negara, kekuasaan, pendukung kekuasaan negara terlepas dari bentuk dan ujudnya dalam keadaan nyata, maka rakyat, bangsa, masyarakat, adat isitiadat, kebudayaan, kesusilaan, agama/kepercayaan, dan daerah, semuanya termasuk dalam lingkungan golongan sifat dan keadaan batin atau bawaan negara dan bangsa Indonesia. Bentuk republik, kesatuan, organisasi negara atas dasar kedaulatan rakyat, kekuasaan negara untuk memelihara keselamatan dan perdamaian abadi, kekuasaan untuk membangun, memelihara, mengembangkan kesejahteraan dan kebahagiaan, kekuasaan membuat peraturan hukum, kekuasaan untuk melakukan pemerintahan, kekuasaan untuk menjalankan pengadilan, kekuasaan untuk ikut melaksanakan ketertiban, kemerdekaan, dan perdamaian, semuanya termasuk lingkungan golongan sifat dan keadaan negara yang berupa kekuatan, tenaga, dan daya. Lingkungan sifat dan keadaan negara dan bangsa yang bersifat lahir adalah sifat yang berasal dari luar yang telah meresap dan berakar sehingga menjadi sifat baru.

Pandangan Notonagoro perlu dirinci lebih lanjut dalam hubungannya dengan pelaksanaan Pancasila dalam hidup kenegaraan tersebut. Pandangan Notonagoro tentang sifat dan keadaan negara sebagai penjelmaan pelaksanaan Pancasila dapat disintesiskan dari pandangannya tentang negara yang diuraikan pada masing-masing isi arti sila-sila Pancasila. Sifat-sifat dan keadaan-keadaan negara yang disintesiskan meliputi sifat dan keadaan batin serta sifat dan keadaan yang berupa kekuatan, tenaga, dan daya. Sintesis diadakan dengan berdasar pada rumusan kesatuan sila-sila pancasila yang hirarkhis piramidal. Sila ketiga Pancasila didasari dan dijiwai oleh sila pertama dan kedua, kemudian bersama-sama mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima.

Negara Indonesia adalah negara kesatuan. Sifat kesatuan kebangsaan dan wilayah negara Indonesia pada saat Proklamasi Kemerdekaan menjadi sifat mutlak, yang selanjutnya dalam keadaan senyatanya harus selalu diamalkan. Perbedaan dalam lingkungan bangsa harus ada kesediaan untuk tidak membiarkan atau untuk tidak memelihara dan membesar-besarkan perbedaan-perbedaan. Kesediaan untuk selalu membina kesatuan dengan berpegang teguh kepada adanya golongan-golongan bangsa, suku-suku bangsa, dan keadaan hidupnya yang beraneka ragam, tetapi tetap ada kesediaan, kecakapan, dan usaha untuk dengan kebijaksanaan melaksanakan pertalian kesatuan kebangsaan dengan berpegang kepada berbagai asas pedoman bagi pengertian kebangsaan dalam suatu susunan majemuk tunggal. Pengertian pembinaan kebangsaan dalam suatu susunan majemuk tunggal adalah menyatukan daerah (geopolitis), menyatukan darah, membangkitkan, memelihara, dan memperkuat kehendak untuk bersatu dengan mempunyai satu sejarah dan nasib, satu kebudayaan dalam lingkungan hidup bersama dalam satu negara, yang bersama-sama diselenggarakan dan diperkembangkan (Notonagoro, 1980).

Negara Indonesia meskipun bukan lembaga agama, tetapi memiliki tertib negara dan tertib hukum yang mengenal hukum Tuhan, hukum kodrat, dan hukum susila (etis). Hukum-hukum tidak tertulis tersebut menjadi sumber bahan dan sumber nilai bagi negara dan hukum positif Indonesia (Notonagoro, 1980). Segala aspek penyelenggaraan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan. Perincian masalah-masalah yang menyangkut penyelenggaraan negara antara lain meliputi penyelenggaraan negara yang bersifat material maupun yang bersifat spiritual. Penyelenggaraan negara yang bersifat material antara lain bentuk negara, tujuan negara, tertib hukum, dan sistem negara. Penyelenggaraan negara yang bersifat kerokhanian antara lain moral negara, para penyelenggaraan negara, dan warga negaranya.

Hubungan negara dengan Tuhan bersifat tidak langsung, yaitu negara mempunyai hubungan sebab akibat langsung dengan manusia sebagai pendukungnya, sedangkan manusia mempunyai hubungan sebab akibat yang langsung dengan Tuhan sebagai causa prima (sebab pertama). Negara dengan Tuhan mempunyai hubungan kesesuaian dalam arti sebab akibat yang tidak langsung lewat manusia sebagai pendukung pokok negara.

Negara sebagai lembaga kemanusiaan dan lembaga kemasyarakatan senantiasa harus sesuai dengan nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan, yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu. Penyelenggaraan negara yang berdasarkan Pancasila harus dijiwai dan bersumber pada nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan. Hukum Tuhan senantiasa merupakan sumber nilai bagi hukum positif di Indonesia.

Nilai-nilai religius merupakan dasar kerokhanian dan dasar moral bagi bangsa Indonesia dalam pelaksanaan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan penguasa wajib menghormati dan memperhatikan nilai-nilai religius yang telah diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Negara yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung prinsip perikemanusiaan atau internasionalisme yang terjelma dalam hubungan dan penghargaan terhadap semua bangsa dan semua negara. Kebangsaan atau nasionalisme Indonesia tidak chauvinistis, yaitu tidak sempit mengandung harga diri yang berlebihan (Notonagoro, 1980). Negara Indonesia mempunyai sifat mutlak monodualis kemanusiaan, maka negara Indonesia bukan negara liberal dan bukan negara kekuasaan belaka atau diktatur. Negara Indonesia adalah negara terdiri atas perseorangan yang bersama-sama hidup baik lahiriah maupun batiniah, yang mempunyai kebutuhan dan kepentingan perseorangan serta kebutuhan dan kepentingan bersama, yang diselenggarakan tidak saling mengganggu, tetapi dalam kerjasama. Negara Indonesia adalah negara hukum kebudayaan.

Negara hukum kebudayaan mempunyai tujuan menghindarkan gangguan, memelihara ketertiban, keamanan, dan perdamaian ke dalam dan ke luar, serta menuju kepada pemeliharaan segala kebutuhan dan kepentingan agar tercapai keadilan. Negara hukum kebudayaan memberi jaminan kepada setiap orang mendapatkan segala sesuatu yang telah menjadi haknya, agar tercapai kesejahteraan dan kebahagiaan bersama, yaitu setiap orang dipenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang meliputi kebutuhan sandang pangan, dalam hal kebudayaan, dan kerohanian (Notonagoro, 1971).

Pengertian tentang negara hukum kebudayaan memberi kejelasan pandangan negara dan bangsa Indonesia terhadap hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan dengan hakikat manusia. Hakikat manusia merupakan dasar ontologis hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia bukan merupakan pemberian penguasa, bukan merupakan pemberian negara, bukan merupakan pemberian masyarakat melainkan telah melekat pada hakikat kodrat manusia. Hakikat manusia adalah dasar filsafat hak-hak asasi manusia, sehingga pandangan tentang hak-hak asasi manusia sangat ditentukan oleh pandangan filsafatinya tentang manusia. Pandangan negara dan bangsa Indonesia terhadap hak-hak asasi manusia berbeda kontradiktif dengan negara dan bangsa yang mengikuti pandangan Materialisme dan Atheisme. Pengikut Materialisme dan Atheisme berpandangan bahwa hak asasi manusia tidak ada hubungannya dengan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Negara Indonesia adalah negara kerakyatan. Negara Indonesia bukan negara untuk satu orang dan untuk satu golongan, tetapi negara didasarkan atas rakyat, tidak pada golongan, tidak pada perseorangan. Negara satu untuk semua dan semua untuk satu, berdasarkan permusyawaratan dan gotong royong, berdasarkan kekuasaan yang ada pada rakyat (kedaulatan rakyat). Negara kerakyatan adalah negara demokrasi monodualis, yaitu dapat dikembalikan kepada sifat kodrat manusia sebagai perseorangan dan makhluk sosial dalam kesatuan monodualis. Sifat kesatuan yang keseimbangannya dinamis adalah sesuai dengan keadaan dan perkembangan jaman. Negara kerakyatan adalah negara keduatunggalan sifat kodrat manusia atau negara monodualis, yaitu negara yang terdiri atas perseorangan yang bersama-sama hidup untuk bersama-sama memenuhi baik kepentingan, kebutuhan, kesejahteraan, dan kebahagiaan perseorangan, serta kebutuhan, kesejahteraan, dan kebahagiaan bersama. Asas kekeluargaan benar-benar mempunyai kedudukan pokok dalam hidup kenegaraan Indonesia. Asas hidup kekeluargaan, bukan hanya mencakup hidup kekeluargaan ke dalam, tetapi juga ke luar. Semboyan dalam hidup berkeluarga adalah bukan satu untuk satu seperti Liberalisme, bukan semua buat satu seperti tirani atau diktatur, tetapi satu untuk satu dan untuk semua, semua untuk satu dan untuk semua seperti demokrasi monodualis (Notonagoro, 1980).

Salah satu unsur pokok negara adalah rakyat. Rakyat pada hakikatnya merupakan kumpulan dari manusia, sehingga dasar pokok dalam setiap negara dikembangkan berdasarkan pada konsep dasar tentang hakikat manusia. Beberapa macam aliran kenegaraan dikembangkan berdasar pada hakikat sifat kodrat manusia, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara yang berpokok pangkal pada sifat kodrat manusia yang hanya sebagai makhluk individu belaka maka sifat kodrat hakikat negara tersebut adalah negara individualis atau atomis atau dalam sistem negaranya sering dikenal dengan negara demokrasi liberal. Apabila suatu negara mendasarkan sifat dan hakikat negara berdasarkan pada sifat kodrat manusia hanya sebagai makhluk sosial saja, maka sifat dan hakikat negara adalah merupakan negara klasa atau negara organis bahkan mungkin negara diktatur.

Pendirian yang ketiga yaitu negara mendasarkan sifat hakikat negara pada sifat kodrat manusia baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai makhluk individu, yaitu sifat kodrat monodualis, yaitu negara yang terdiri atas perseorangan yang secara bersama-sama untuk kebahagiaan baik perseorangan (sebagai anggota masyarakat), maupun kepentingan bersama. Kedua-duanya diselenggarakan dengan tidak saling mengganggu, dalam keadaan bersama-sama hidup berdampingan, tenteram, damai, dan senantiasa mewujudkan suatu kerjasama, maka negara monodualis tersebut merupakan negara yang mencakup seluruh warganya (seluruh rakyat), jadi merupakan negara kerakyatan. Negara monodualis merupakan negara demokrasi yang mencakup seluruh rakyatnya. Sebenarnya negara demokrasi bukanlah terletak pada suatu ketentuan yang berdasarkan suatu pilihan (politik) belaka namun pada hakikatnya bersumber pada sifat kodrat manusia. Sifat demokrasi monodualis adalah senantiasa merupakan suatu keseimbangan yang dinamis di antara dua sifat kodrat manusia yaitu sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kedinamisan sifat demokrasi tersebut dalam wujud dan tingkat keseimbangannya sesuai dengan tempat, kondisi, situasi, dan keadaan jaman.

Lapangan tugas bekerjanya negara dalam memelihara keadilan sosial dapat dikelompokkan menjadi enam. Pertama, memelihara kepentingan umum yang khusus tentang kepentingan negara sendiri sebagai negara. Kedua, memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama para warga negara yang tidak dapat dilakukan oleh para warga negara sendiri. Ketiga, memelihara kepentingan bersama warga negara perseorangan yang tidak dapat seluruhnya dilakukan oleh para warga negara sendiri dalam bentuk bantuan dari negara. Keempat, memelihara kepentingan warga negara yang tidak dapat seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri dalam bentuk bantuan negara, ada kalanya negara memelihara seluruh kepentingan perseorangan, yaitu fakir miskin dan anak terlantar. Kelima, bukan hanya bangsa Indonesia dalam keseluruhannya harus dilindungi, tetapi juga suku bangsa, golongan warga negara, keluarga, dan warga negara perseorangan. Keenam, tidak cukup hanya ada kesejahteraan dan ketinggian martabat kehidupan umum bagi seluruh bangsa, tetapi juga harus ada kesejahteraan dan martabat kehidupan tinggi bagi setiap suku bangsa, golongan warga negara, keluarga, dan setiap warga negara perseorangan (Notonagoro, 1980).

Apabila Notonagoro berpendapat bahwa pelaksanaan Pancasila melalui penyelenggaraan negara adalah masalah pengembangan nilai-nilai Pancasila menjadi prinsip-prinsip dan norma-norma yang umum kolektif, maka Soerjanto Poespowardojo dan Alfian berpendapat, bahwa masalah pengembangan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara yang bersifat umum kolektif adalah masalah pengembangan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang dinamis.

Nilai-nilai Pancasila tidak langsung bersifat operasional, sehingga setiap kali harus dieksplisitkan pengembangannya. Pengembangan Pancasila dilakukan dengan menghadapkannya kepada berbagai masalah kehidupan yang selalu silih berganti melalui refleksi yang rasional, sehingga terungkap makna operasionalnya. Nilai-nilai Pancasila perlu dijabarkan menjadi ideologi terbuka agar dapat terungkap prinsip-prinsip operasionalnya. Pengembangan nilai-nilai Pancasila menjadi ideologi dilaksanakan melalui interpretasi dan reinterpretasi yang kritis. Ideologi terbuka memiliki sifat yang dinamis dan tidak akan membeku. Agar nilai-nilai dasar Pancasila menjadi semakin operasional dan semakin menunjukkan fungsinya bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan dewasa ini, maka perlu diperhatikan beberapa dimensi yang menunjukkan ciri khas orientasi Pancasila. Orientasi Pancasila meliputi dimensi-dimensi teleologis, etis, dan integral-integratif.

Dimensi teleologis menunjukkan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara mempunyai tujuan mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dimensi teleologis ini menimbulkan dinamika kehidupan bangsa. Manusia mempunyai cita-cita, semangat, dan niat atau tekad. Manusia mampu mewujudkan cita-cita, semangat, dan niat atau tekad tersebut menjadi kenyataan dengan usaha dan kreasinya. Dimensi etis menunjukkan bahwa menurut Pancasila manusia dan martabatnya mempunyai kedudukan yang sentral. Seluruh proses menuju masa depan ditujukan untuk mengangkat derajat manusia melalui penciptaan mutu kehidupan yang manusiawi. Masa depan yang manusiawi seharusnya mewujudkan keadilan dalam berbagai bidang kehidupan. Manusia dituntut untuk bertanggungjawab atas usaha dan pilihannya. Dimensi etis menuntut perkembangan masa depan yang bertanggungjawab. Dimensi integral-integratif menempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya. Manusia adalah pribadi yang juga merupakan relasi. Manusia harus dilihat dalam keseluruhan sistem yang meliputi masyarakat, dunia, dan lingkungan hidupnya. Masa depan bukan hanya diarahkan pada peningkatan kualitas manusia, melainkan juga kepada peningkatan kualitas strukturnya dan relasinya (Poespowardojo, 1991).

Ideologi Pancasila memang seharusnya tetap mengandung nilai-nilai Pancasila, tetapi dikembangkan sebagai keyakinan yang normatif. Nilai-nilai Pancasila sangat berguna sebagai dasar dan sumber nilai bagi ideologi dan proses pengembangan ideologisnya. Ideologi seharusnya mengandung tiga dimensi agar dapat memelihara relevansinya terhadap perkembangan aspirasi masyarakatnya dan tuntutan perubahan jaman. Ideologi yang kuat dan tahan uji dari masa ke masa perlu memiliki tiga dimensi yang saling berkaitan dan saling memperkuat, yaitu dimensi realitas, dimensi idealitas, dan dimensi fleksibilitas. Dimensi realitas dapat diartikan, bahwa suatu ideologi yang kuat mengandung nilai-nilai dasar yang bersumber dari nilai-nilai yang nyata hidup di dalam masyarakatnya. Nilai-nilai dasar ideologi nyata tertanam dan berakar di dalam masyarakatnya. Pancasila sebagai ideologi telah memenuhi dimensi realitas di dalam dirinya. Nilai-nilai dasar Pancasila bersumber atau digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Nilai dasar Pancasila adalah sifat kekeluargaan atau kebersamaan yang direkat dan dijiwai oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, perikemanusiaan, semangat persatuan, semangat musyawarah / mufakat, dan rasa keadilan sosial.

Dimensi idealitas dapat diartikan, bahwa suatu ideologi yang kuat mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Idealisme atau cita-cita tersebut sehrusnya berisi harapan-harapan yang masuk akal dan mungkin direalisasikan. Ideologi yang kuat mewujudkan keterjalinan antara dimensi realitas dan dimensi idealitasnya. Ideologi yang kuat dapat menjadikan dirinya sebagai dasar (dimensi realitas) dan sekaligus tujuan (dimensi idealitas) untuk membangun berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai ideologi sekaligus menjadi landasan dan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pancasila sebagai ideologi bukan hanya memenuhi kedua dimensi tersebut, tetapi juga memenuhi sifat keterkaitan yang saling mengisi dan memperkuat.

Dimensi fleksibilitas adalah dimensi pengembangan, yaitu dimensi yang memperkuat dimensi realitas dan idealitas yang terkandung di dalam ideologi. Pengembangan pemikiran-pemikiran baru akan dapat memelihara makna dan relevansi suatu ideologi tanpa harus kehilangan hakikatnya, sehingga nilai-nilai dasarnya tetap relevan dan komunikatif dengan masyarakatnya yang terus berkembang (Alfian, 1991).

Pengembangan Pancasila sebagai dasar negara menjadi ideologi negara sesuai dengan semangat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945 berfungsi menggambarkan tujuan negara maupun proses pencapaian tujuan negara tersebut. Tujuan negara yang secara material dirumuskan sebagai melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi harus mengarah kepada terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan semangat dan nilai-nilai Pancasila. Proses pencapaian tujuan negara tersebut dan perwujudannya melalui perencanaan, kebijaksanaan, dan keputusan politik harus tetap memperhatikan dan bahkan merealisasikan dimensi-demensi yang mencerminkan ciri wawasan Pancasila (Poespowardojo, 1991).

  1. PENGEMBANGAN PANCASILA MELALUI PERUNDANG-UNDANGAN

Pandangan Notonagoro tentang pelaksanaan Pancasila melalui bidang perundang-undangan adalah pelaksanaan yang bersifat objektif. Pelaksanaan Pancasila yang bersifat objektif didasarkan pada pandangan, bahwa norma atau pengatur pelaksanaan Pancasila di dalam bidang-bidang hidup kenegaraan adalah perundang-undangan. Pandangan Notonagoro yang sangat penting tentang pelaksanaan Pancasila melalui perundang-undangan adalah pandangannya tentang tertib hukum dan kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Pokok Kaidah Fundamental Negara (Staats fundamental norm). Undang-Undang Dasar Negara yang merupakan hukum dasar negara yang tertulis tidak merupakan peraturan hukum yang tertinggi, karena Undang-Undang Dasar Negara masih mempunyai dasar-dasar pokok. Dasar-dasar pokok Undang-Undang Dasar Negara dalam hakikatnya terpisah dari Undang-Undang Dasar Negara, yaitu dinamakan Pokok Kaidah Negara yang Fundamental (Staats fundamental norm).

Notonagoro menjelaskan, bahwa hubungan antara negara dan hukum mempunyai persoalan-persoalan utama, yaitu tentang hakikat, sifat, asal, dan tujuan negara. Penyelesaian permasalahan tentang negara dan hukum di bidang Filsafat Hukum telah memunculkan beberapa macam pendirian. Penyelesaian permasalahan khusus dalam bidang negara memunculkan tiga pendirian. Pertama, pandangan yang berpendirian, bahwa manusia dalam bernegara sepenuhnya terlepas dalam hubungan dengan asal mulanya (Tuhan) dan sebagai bagian universum artinya sifat manusia dalam bernegara hanya sebagai diri pribadi berdasar atas kekuasaan dirinya sendiri. Manusia dalam sifat diri pribadinya hanya sebagai makhluk individu. Kedua, pandangan yang berpendirian bahwa sifat diri pribadi manusia dalam bernegara hanya sebagai makhluk sosial. Ketiga, pandangan yang berpendirian bahwa manusia dalam sifat diri pribadinya mempunyai sifat kedua-duanya dalam kesatuan dwitunggal.

Penyelesaian permasalahan khusus dalam bidang hukum telah memunculkan dua pendapat. Pertama, pandangan yang berpendirian bahwa di dalam negara hanya ada satu hukum yang mengikat ialah hukum positif yang diadakan oleh negara dan yang berlaku atas kuasa negara. Kedua, pandangan yang berpendirian bahwa ada hukum lain di samping atau di atas hukum positif, yaitu hukum etis (hukum susila), hukum filosofis yang sifatnya abstrak, hukum kodrat yang tertanam pada diri manusia, dan hukum yang diberikan oleh Tuhan (Notonagoro, 1955).

Soal-soal pokok Filsafat Hukum pernah dikesampingkan pada abad XIX. Ilmu hukum dipandang mampu menyelesaikan soal kenegaraan dan hukum dengan mendasarkan diri atas hukum positif saja. Sikap ilmu hukum ini akhirnya tidak dapat dilanjutkan, karena dalam semua lapangan hidup timbul soal-soal yang pemecahannya di luar batas kemampuan hukum positif dan ilmu hukum, serta hanya mungkin diselesaikan atas dasar ideal, spekulatif, dan teoritis, yaitu dengan menggunakan hasil-hasil Filsafat Hukum. Ajaran-ajaran di bidang Filsafat Hukum telah menjadi pedoman dan pegangan yang fundamental bagi hidup kenegaraan dan hukum positif pada jaman perubahan-perubahan besar, antara lain ketika di dunia Barat terjadi pembentukan negara-negara atas dasar agama, pada jaman pemisahan negara dari agama, dan pada jaman keunggulan demokrasi di Inggris, Perancis, Amerika Serikat, ketika revolusi di Rusia, jaman nasional sosialis di Jerman, dan jaman Fasis di Italia (Notonagoro, 1955: 11).

Negara dan tertib hukum di Indonesia perlu menyusun pertanggungjawaban dan mengusahakan memecahkan soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum berdasarkan pengalaman negara-negara lain. Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum di Indonesia perlu menemukan pedoman dan pegangan yang fundamental bagi hidup kenegaraan dan tertib hukum Indonesia. Pedoman dan pegangan yang fundamental yang perlu mendapat perhatian adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 merupakan penjelmaan Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia. Persoalan utama Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang perlu diperhatikan adalah tentang isi, tujuan, asal, hakikat, dan kedudukan, serta tentang kemungkinannya dipergunakan sebagai dasar penyelesaian soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum Indonesia ditinjau dari sudut pandang Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum (Notonagoro, 1955).

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas empat bagian. Bagian pertama merupakan pernyataan hak segala bangsa atas kemerdekaan, bagian kedua merupakan pernyataan tentang berhasilnya perjuangan kemerdekaan Indonesia, bagian ketiga merupakan pernyataan kemerdekaan rakyat Indonesia, dan bagian keempat mengikrarkan pernyataan pembentukan pemerintahan negara dengan dasar kerohanian lima sila yang disebut Pancasila.

Bagian-bagian pertama, kedua, dan ketiga Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pernyataan yang tidak ada hubungan organis dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoneisa Tahun 1945. Bagian-bagian tersebut menguraikan keadaan dan peristiwa yang mendahului terbentuknya negara Indonesia, sedangkan bagian keempat merupakan pernyataan tentang keadaan setelah negara Indonesia ada, serta mempunyai hubungan kausal dan organis dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hubungan kausal dan organis tersebut meliputi beberapa sudut. Pertama, Undang-Undang Dasar ditentukan akan ada. Kedua, yang akan diatur di dalam Undang-Undang Dasar adalah tentang pembentukan pemerintah negara, yang memenuhi berbagai syarat. Ketiga, negara Indonesia berbentuk Republik yang berkedaulatan rakyat. Keempat, ditetapkannya dasar negara Pancasila. Susunan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut akan menjadi unsur penting bagi penentuan hakikat dan kedudukannya (Notonagoro, 1955).

Bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang keempat sebenarnya menjadi Pembukaan dalam arti yang murni bagi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Isi bagian keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat digolongkan menjadi empat macam. Pertama, tentang tujuan negara, tercantum dalam kalimat: untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kedua, tentang ketentuan diadakannya Undang-Undang Dasar tercantum dalam kalimat: maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Ketiga, tentang bentuk negara tercantum dalam kalimat: yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Keempat, tentang dasar kerohanian (filsafat negara) tercantum dalam kalimat: dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penjelasan resmi tentang isi Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 termuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II nomor 7, seluruhnya mengenai bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang keempat tersebut. Penjelasan yang resmi itu menyebutkan, bahwa Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di samping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.

Penjelasan resmi juga menyebutkan, bahwa pokok-pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ada empat macam. Pertama, negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menerima aliran pengertian negara persatuan yang uraiannya tercantum dalam bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kedua. Kedua, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Ketiga, negara berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan/ perwakilan. Keempat, negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Undang-Undang Dasar Negara harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggaraan negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar Negara) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar Negara menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya (Notonagoro, 1955).

Hakikat dan kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah: Pertama, Pembukaan memuat dasar-dasar pokok kerohanian negara (dalam bagian-bagian pertama, kedua, dan ketiga). Kedua, daerah negara. Ketiga, asas kerohanian Pancasila. Keempat, ketentuan tentang asas politik berupa bentuk negara (bagian keempat). Kelima, saat mulai berlakunya adalah pada waktu Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945 ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945. Lima faktor tersebut memungkinkan ketentuan tentang hakikat dan kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menurut syarat-syarat ukuran yang diketemukan dalam Ilmu Hukum. Pada saat mulai berlakunya Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tanggal 18 Agustus 1945 berhentilah berlakunya tertib hukum yang lama dan timbullah tertib hukum Indonesia.

Tertib hukum ialah keseluruhan peraturan-peraturan hukum dalam susunan yang hirarkhis dan harus memenuhi empat syarat. Pertama, ada kesatuan subjek yang mengadakan peraturan-peraturan hukum. Kedua, ada kesatuan asas kerohanian yang meliputi keseluruhan peraturan-peraturan hidup. Ketiga, ada kesatuan waktu dalam mana peraturan-peraturan hukum tersebut berlaku. Keempat, ada kesatuan daerah di mana peraturan-perturan hukum tersebut berlaku.

Pembagian susunan yang hirarkhis seluruh peraturan-peraturan hukum dapat diadakan di dalam tertib hukum. Undang-Undang Dasar yang merupakan hukum dasar negara yang tertulis tidak merupakan peraturan hukum yang tertinggi, seperti juga dinyatakan dalam penjelasan resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, karena diterangkan bahwa Undang-Undang Dasar Negara masih mempunyai dasar-dasar pokok. Dasar-dasar pokok Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam hakikatnya terpisah dari Undang-Undang Dasar Negara, dinamakan Pokok Kaidah Negara yang Fundamental (Staats fundamental norm). Pokok kaidah fundamental negara mengandung tiga syarat mutlak. Pertama, ditentukan oleh pembentuk negara. Kedua, memuat ketentuan-ketentuan tentang dasar negara. Ketiga, memuat bukan hanya mengenai soal organisasi negara. Karena Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memenuhi persyaratan tersebut, maka merupakan hakikat Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mempunyai kedudukan dua macam terhadap tertib hukum Indonesia. Pertama, menjadi dasarnya, karena Pembukaan yang memberikan faktor-faktor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia. Kedua, memasukkan diri di dalamnya sebagai ketentuan hukum yang tertinggi sesuai dengan kedudukannya asli sebagai asas bagi hukum dasar lainnya, baik yang tertulis (Undang-Undang Dasar Negara) maupun yang convention, dan peraturan-peraturan hukum lainnya yang lebih rendah (Notonagoro, 1955: 44 – 45).

Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat empat hal yang menjadi syarat bagi adanya suatu tertib hukum. Pertama, adanya suatu pemerintah Republik Indonesia, maka ada kesatuan subjek atau penguasa. Kedua, adanya Pancasila, maka ada kesatuan asas kerohanian. Ketiga, dengan disebutkannya seluruh tumpah darah Indonesia, maka ada kesatuan daerah. Keempat, dengan disebutkannya, disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam bentuk negara, maka timbul suatu masa baru yang terpisah dari waktu yang lampau dan merupakan jangka waktu yang berlangsung terus. Jadi, peraturan-peraturan hukum yang ada di negara Indonesia mulai saat berdirinya negara Indonesia merupakan suatu tertib hukum ialah tertib hukum Indonesia (Notonagoro, 1959: 15).

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam segala sesuatunya memenuhi syarat-syarat mutlak bagi Pokok Kaidah Fundamental Negara yang menurut pengertian ilmiah mengandung beberapa unsur mutlak, yaitu :

  1. Pokok Kaidah Fundamental Negara dalam hal terjadinya:
    1. ditentukan oleh pembentuk negara
    2. terjelma dalam suatu bentuk pernyataan lahir (ijab kabul) sebagai penjelmaan kehendak pembentuk negara untuk menjadikan hal-hal tertentu sebagai dasar negara yang dibentuk.
  2. Pokok kaidah fundamental negara dalam hal isinya :
    1. memuat dasar-dasar negara yang dibentuk, atas dasar cita-cita kerohanian (asas kerohanian negara), serta untuk cita-cita negara (tujuan negara).
    2. memuat ketentuan diadakannya Undang-Undang Dasar Negara, merupakan sebab berada, sumber hukum bagi Undang-Undang Dasar Negara.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menurut sejarah terjadinya ditentukan oleh pembentuk negara sebagai penjelmaan kehendaknya yang dalam hakikatnya terpisah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menurut isinya memuat asas kerohanian negara (Pancasila), asas politik negara (Republik yang berkedaulatan rakyat), tujuan negara (melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, menyerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial), serta menetapkan adanya suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Jadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara tahun 1945 dalam segala sesuatunya memenuhi syarat-syarat mutlak bagi Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Pokok Kaidah Fundamental Negara dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat, dan tak berubah bagi negara yang dibentuk, sehingga dengan jalan hukum tidak dapat diubah (Notonagoro, 1959: 17).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai hubungan hirarkhis dan organis dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai kedudukan di bawah dan di dalam lingkungan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan isi penjelmaan asas kerohanian negara, asas politik negara, dan tujuan negara. Pancasila telah mempunyai bentuk dan isi formal maupun material untuk menjadi pedoman hidup kenegaraan dan hukum Indonesia. Seluruh hidup kenegaraan dan tertib hukum Indonesia didasarkan atas, ditujukan kepada, dan diliputi oleh Pancasila, asas politik, dan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Notonagoro, 1971: 171-175).

Pandangan Notonagoro tentang Tertib Hukum Indonesia didasarkan pada pandangan Kelsen yang dikenal sebagai tokoh yang melahirkan pandangan Stufenbau des Rechts. Kelsen menjelaskan bahwa peraturan-peraturan hukum yang jumlahnya banyak merupakan suatu sistem, karena peraturan hukum yang satu (lebih tinggi) merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan hukum yang lain (lebih rendah). Tingkat-tingkat atau jenjang-jenjang tersebut akhirnya sampai kepada dasar yang terakhir, yaitu norma dasar (basic norm). Suatu peraturan hukum merupakan derivasi dari peraturan hukum yang lebih tinggi dan bukan merupakan suatu derivasi dari suatu fakta. Suatu peraturan hukum tertentu harus dapat dikembalikan kepada peraturan hukum yang lebih tinggi atau di atasnya. Kesimpulan dari pandangan Kelsen, bahwa norma dasar menjadi dasar bagi adanya sistem norma (a system of norm, a legal order). Suatu peraturan hukum tertentu dapat diuji keabsahannya dalam arti kesesuaiannya dengan peraturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya (Soejadi, 1999: 34).

Pandangan Notonagoro tentang Pokok Kaidah Fundamental Negara didasarkan pada pandangan Nawiasky. Nawiasky menjelaskan bahwa permasalahan Staatsfundamentalnorm berkaitan dengan isinya, hakikat yuridisnya, tidak mengandung peraturan-peraturan yang bersifat memaksa untuk tingkah laku lahiriah, penetapan dan perubahannya dilakukan oleh lembaga yang sama, serta berkaitan dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar negara. Permasalahan Pokok Kaidah Fundamental Negara yang penting adalah menyangkut isinya, yaitu memuat ketentuan tentang prinsip-prinsip dasar politik negara yang secara hukum tidak dapat diubah.

Isi Staatsfundamentalnorm adalah memuat ketentuan tentang pembentukan konstitusi termasuk juga ketentuan perubahannya dan juga memuat ketentuan tentang prinsip-prinsip dasar politik. Prinsip-prinsip dasar politik tersebut secara hukum tidak dapat diubah. Hakikat yuridis Staatsfundamentalnorm adalah menetapkan syarat yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan pembentukan konstitusi, merupakan syarat berlakunya konstitusi, tidak hanya diisyaratkan, tetapi juga harus ditetapkan. Staatsfundamentalnorm tidak mengandung peraturan-peraturan yang bersifat memaksa untuk tingkah laku lahiriah. Norma jenis ini berisi sesuatu yang bersifat kunnen (dapat), bukan sollen (seharusnya), dan bukan pula mussen (harus). Norma fundamental memberikan wewenang atau dasar kuasa kepada konstitusi untuk menetapkan peraturan-peraturan tentang organisasi negara (Soejadi, 1999: 102).


Jelaskan Pancasila sebagai pandangan hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia

Materi ini diperkaya dengan pengayaan video yang bisa anda di akses pada link berikut.

V 3.2 Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia

Source: https://www.youtube.com/watch?v=nu3ebUTxu-0