Jabarkan yang anda ketahui tentang ekspresivitas dalam seni rupa

Jabarkan yang anda ketahui tentang ekspresivitas dalam seni rupa
VDOC.PUB

Download Embed

This document was uploaded by our user. The uploader already confirmed that they had the permission to publish it. If you are author/publisher or own the copyright of this documents, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA

Kerja Arsip & Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia Anna Mariana  Erie Setiawan  Galatia Puspa Sani Nugroho Gde Putra  Hafiz Rancajale  Helly Minarti  Joned Suryatmoko Kathleen Azali  Muhidin M Dahlan  Rachmi Diyah Larasati Penyunting: Far ah Wa rda ni & Yo shi Fa ja r Kr esn o M u rt i Kerja Arsip & Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia Arsipelago! Kerja Arsip dan Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia penyunting: Farah Wardani dan Yoshi Fajar Kresno Murti Ed. 1, Yogyakarta: Indonesian Visual Art Archive (IVAA), 2014 xx + 204 hlm, 15 x 22 cm ISBN 978-602-70013-3-6 Cetakan Pertama: 1000 eksemplar, Mei 2014 Penyunting Farah Wardani Yoshi Fajar Kresno Murti Penulis Anna Mariana Erie Setiawan Galatia Puspa Sani Nugroho Gde Putra Hafiz Rancajale Helly Minarti Joned Suryatmoko Kathleen Azali Muhidin M. Dahlan Rachmi Diyah Larasati Penyelaras Akhir Miranda Harlan Tim Penyusun Farah Wardani (Pelindung/Direktur IVAA) Christy Mahanani (Manajer Program) Mia Hera Puspita (Pelaksana Program) Yoshi Fajar Kresno Murti (Koordinator Peneliti) Sita Magfira (Asisten Peneliti) Desain Buku Gamaliel W. Budiharga Terbitan ini dapat terselenggara karena partisipasi dan dukungan dari: Ford Foundation Dicetak di Yogyakarta, Indonesia Terima kasih kepada Heidi Arbuckle, Idaman Andarmosoko, Eric Awuy, Dewan Kesenian Jakarta, Elis Fadjaringsih, Studio Audio Visual Puskat, Endo Suanda, Tikar Media Budaya Nusantara, John Bamba, Institut Dayakologi, Museum Nusa Tenggara Timur, Decky Yulian dan Insomnium, Djoehari dan Galeri Raos Batu, FX Domini ‘Sisco’ Hera, Komunitas Pencinta Kajoetangan, Dwi Cahyono dan Yayasan Hinggil, Anwar Jimpe Rachman dan Kampung Buku, Musra Dahrizal, Edy Utama, Gusti Asnan, Nusyirwan Effendi, Edin Hadzalic dan Rumah Budaya Fadli Zon, Lembaga Kerapatan Adat Nagari (LKAN) Aie Angek, Nan Jombang Dance Company, Ka’bati, Sayyid Madany Syani dan Komunitas Ruang Kerja Budaya (RKB), Benny Sumarna, David Darmadi, Wulan Andayani, Desi Mufianti. Kerja Arsip & Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia Anna Mariana  Erie Setiawan  Galatia Puspa Sani Nugroho Gde Putra  Hafiz Rancajale  Helly Minarti  Joned Suryatmoko Kathleen Azali  Muhidin M Dahlan  Rachmi Diyah Larasati Penyunting: Far ah Wa rda ni & Yo shi Fa ja r Kr esn o M u rt i vi pengantar daur ulang! Kerja Arsip dan Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia pengantar Y oshi Faja r K r e s n o M u r t i (1) Proyek Budaya: Arsip sebagai Proses dan Produk Sekurang-kurangnya hadir dua perkara yang me­ nge­muka ketika ‘ngobrol mengenai dokumentasi dan pendokumentasian seni budaya dengan orangorang pemerintahan, yaitu: perkara politic of claim dan politic of access. Ungkapan yang sering mun­cul ber­kaitan dengan politic of claim, misalnya: “Tra­di­ si A atau B penting segera didokumentasikan, nan­ti keburu diklaim Malaysia (atau negara lain).” Da­lam hal ini, motif pendokumentasian didasari oleh pe­ma­ ham­an bahwa arsip diperlukan untuk mem­per­kuat ar­gu­mentasi klaim kepemilikan. Kita tahu se­ca­ra umum, Indonesia dan Malaysia sebagai ne­garabangsa sering kali sensitif-bersitegang untuk saling mengklaim bahwa produk budaya seperti reog, ke­ris, vii ataupun batik merupakan warisan miliknya. Pengarsipan seni budaya di­ba­yang­­ kan menjadi penting posisinya di dalam arena politic of claim antarorang, antar­bu­ da­ya, dan antarnegara-bangsa. Ungkapan lain yang sering muncul terkait dengan perkara kedua, yaitu politic of access, misalnya: “Kita khawatir jika semua data dibuka untuk umum atau di-onlinekan, semua orang bisa mengaksesnya secara populer, dan kita bisa kehilangan seni budaya kita yang adiluhung.” Dalam hal ini, motif pendokumentasian didasari oleh pemahaman bahwa arsip diperlukan untuk menjaga “keunikan” aset seni bu­ da­­ya bangsa. Kita tahu secara umum, banyak orang dari luar Indonesia tertarik dan belajar secara mendalam seni tradisi nusantara, sedangkan orang-orang lo­ kal justru malah meninggalkannya. Tidak hanya mempelajari, banyak orang luar Indonesia mengoleksi produk budaya “Indonesia” yang langka dan unik dalam ber­bagai bentuk materialisasinya, serta digunakan untuk beragam kepentingan yang justru sering kali tidak terkait dengan lokalitas di mana produk budaya ter­se­ but dihasilkan. Pengarsipan seni budaya dianggap menjadi penting dalam are­na politic of access untuk menjaga akses otoritas (identitas atau lokalitas), yang di­ba­ yang­kan oleh nalar Pemerintah mempunyai keunikan atau bersifat tiada dua­nya (adiluhung). Di dalam konteks wacana kedaulatan warga sebuah negara-bangsa, sesung­guh­ nya politic of claim dan politic of access merupakan dua perkara yang mendasar bagi proses kerja dokumentasi dan pendokumentasian seni budaya negarabang­sa Indonesia. Terutama di dalam posisinya sebagai negara bekas jajahan yang terus bergerak dan tidak pernah fiks di dalam ketegangan (identitas) ke­hi­ arsipelag o ! Kenyataannya, politic of claim dan politic of access yang menjadi legitimasi pen­ dokumentasian seni budaya yang dikerjakan oleh nalar pemerintah kita, sesung­ guh­nya gagal dipraktikkan. Malaysia tetap berusaha mematenkan reog, batik, dan keris, serta Jepang tetap mematenkan tempe. Dokumen tulisan, rekaman audiovi­sual dalam berbagai format, foto dan sketsa, hingga benda-benda purbakala, ji­mat, pusaka, serta benda-benda warisan leluhur lainnya berkeliaran di pasaran jual-beli dan berputar di ruang-ruang koleksi orang per orang maupun museum. Dari sisi akses, kita bahkan harus membayar sangat mahal untuk mendengarkan atau melihat—misalnya dokumentasi tari A atau tradisi musik B yang berasal dari daerah terpencil di nusantara—yang dikoleksi kolektor maupun museum-museum besar dunia. Dari sudut pandang pengarsipan, diperlihatkan bahwa sesungguhnya pe­merintah kita gagal melindungi (produk) seni budaya, dan dengan demikian ti­ dak bisa menjaga kelangsungan (proses) hidup tradisi warganya. Kegagalan posisi atau peran yang (seharusnya) diampu Pemerintah sering kali menjadikan politic of claim dan politic of access jatuh hanya sebagai jargon yang menjadi legi­ timasi sebuah proyek pengarsipan atau pendokumentasian seni budaya yang dikerjakannya: tanpa pembaruan cara pandang, tanpa pengambilan posisi ke­ber­ pi­hakan, dan tanpa visi budaya kemanusiaan. viii pengantar dupannya. Politic of claim dan politic of access se­ mestinya digagas dalam kerangka strategi kebu­ dayaan negara-bangsa poskolonial yang mempunyai cara pandang, metodologi, dan posisi ideologi ke­ber­­ pihakan yang jelas pada kesejahteraan dan kea­dil­an rakyat. Yaitu pada bagaimana negara mam­pu men­ jamin dan melindungi kelangsungan dan ke­ber­lan­ jut­an sebuah praktik budaya maupun pro­duk bu­daya yang dikreasi maupun diwarisi oleh se­bu­ah masya­ rakat, mendorong untuk tetap melekat (embedded) mau­pun menubuh (embodied) dalam daur ulang per­ kem­bangan zaman. Di dalam cara pan­­dang ini, po­li­tik klaim dan akses yang dikerjakan ne­gara dile­tak­kan pada kerja yang melihat posisi ar­sip dan ker­ja peng­ ar­sipan seni budaya bukan ber­orien­tasi pa­da produk, tetapi pada proses. Motif dasar bukan se­ba­gai proyek ekonomi politik, tetapi sebagai pro­yek budaya yang dinamis. Di dalam konteks arena pasar yang buas menindas dan lansekap kapitalisme global yang ekspansif, otoritas akan klaim dan akses sangat menentukan po­sisi strategis kuasa kontrol politik, sosial budaya, pengetahuan, dan nilai ekonomi sebuah lokalitas dan iden­titas negara-bangsa. Namun, di ranah praktik ki­ta menemui kenyataan: bahwa sebagai negarabang­sa yang baru, kita belum bisa menciptakan doku­mentasi, cara pendokumentasian, maupun cara mem­bangun tempat dokumentasi seni budaya bang­ sa yang berangkat dari konteks realitas sehari-hari masyarakatnya dan mempunyai visi ke masa depan. Do­kumentasi, cara pendokumentasian, dan cara mem­­bangun tempat dokumentasi yang diprak­tik­kan hing­ga saat ini merupakan warisan nalar ko­lo­nial yang sarat dengan berbagai pengetahuan dan ke­ pen­tingan kolonialisme yang justru menindas. Do­ ku­­mentasi mengenai kelahiran “Indonesia” sebagai nation state dan arsip masa lalu “keindonesiaan” di­ bangun, direproduksi, dan dipelihara oleh momen ko­ lo­nialisme. Di dalam nalar kolonialisme, dasar utama pen­dokumentasian setidaknya berpusar pa­da tiga ke­pentingan kekuasaan (kolonial), yaitu: kepen­ting­ an birokrasi, politik, dan ekonomi. Nalar inilah yang direproduksi dan diwarisi secara sadar maupun tidak “...otoritas akan klaim dan akses sangat menentukan po­sisi strategis kuasa kontrol politik, sosial bu­daya, penge­ tahuan, dan ni­lai ekonomi sebuah lokal­ itas dan iden­ titas negarabangsa.” ix sadar oleh mesin penggerak negara-bangsa terjajah hingga sekarang. Sebagai ranah kerja membangun kepentingan sebuah nation state—persoalan dasar cara pandang, metode, dan strategi kerja arsip dan pengarsipan justru tidak dibangun dari realitas sosial kepentingan hidup orang banyak masa kini dan sama sekali tidak dirumuskan dalam konteks visi masa depan. Dokumentasi dan pendokumentasian dianggap bukan merupakan kerja budaya yang mendasar dalam konteks “pembangunan” kedaulatan kewargaan, apalagi dianggap sebagai sebuah proyek pembebasan: mengembangkan pengetahuan (kebudayaan) kritis tentang diri sendiri secara berkelanjutan. Keberadaan kerja kebudayaan diabaikan, dan negara tidak bisa diharapkan di dalam membangun kerja arsip dan pengarsipan (seni budaya). (2) Inisiatif Kewargaan, Kerja Komunitas, dan Inovasi Individu Inisiatif, kerja, dan inovasi berbagai pihak dalam masyarakat tumbuh tanpa keha­ dir­an negara, bahkan sering kali bertentangan dengan cara pandang negara atau­pun lembaga formal lainnya. Kerja-kerja arsip dan pengarsipan lebih bersifat spesifik—disesuaikan kebutuhan, spontan, serta sporadis dalam (genealogi) ga­gas­ an. Sering kali bersifat praktis, sebagai bentuk penyesuaian, respon, maupun cara ber­­tahan dari (ke)warga(an), komunitas, ataupun lembaga, serta individu-individu di dalam konteks negara, pasar, dan globalisasi. Berbeda dengan nalar formal, ker­ja arsip dan pengarsipan yang dikerjakan oleh inisiatif individu, komunitas, arsipelag o ! Sampai saat ini, Pemerintah telah gagal melindungi kehidupan seni budaya, bahkan dalam menjaga kelangsungan hidup tradisi warganya. Dari perspektif kerja arsip dan pengarsipan, kegagalan Pemerintah tidak hanya dalam perkara bagaimana ia memperlakukan masa lalu melalui pengelolaan arsip-arsip seni budaya, tetapi lebih jauh lagi, juga dalam perkara penggunaan: bagaimana masa lalu disikapi dan dimanfaatkan melalui arsip-arsip untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Dalam situasi demikian, inisiatif (ke)warga(an), kerja komunitas dan lembaga, serta inovasi yang dikerjakan oleh orang per orang yang bergelut dengan seni budaya—salah satunya melalui kerja dokumentasi—merupakan sebuah kerja yang tumbuh dan berkembang secara mandiri serta kreatif. Dalam prak­tik sehari-hari, pengelolaan, penggunaan, dan cara melihat masa lalu yang diker­jakan oleh inisiatif orang per orang, komunitas, maupun lembaga nonPemerintah, melalui kerja “pengarsipan” di dalam tubuh masyarakat, tumbuh se­ cara beragam. Keragaman dalam cara melihat masa lalu menghadirkan mak­na, ekspresi, bahasa, dan media yang beragam pula dalam kerja arsip dan peng­arsip­ an di dalam gerak masyarakat, serta di tengah lansekap globalisasi. x dan (ke)warga(an) lebih sering memperlakukan produk budaya sebagai media ko­munikasi dan bahasa di dalam relasi praktik sosial. Akses dan klaim terhadap produk budaya sering kali bukanlah sebagai hal yang diprioritaskan, tetapi sisi penggunaan lebih dipentingkan. Latar, tempat, relasi, maupun ruang perjumpaan sering kali terasa lebih hidup dan dihidupkan daripada soal aspek “pelestarian” produk budaya. pengantar Seni budaya dalam konteks kerja (ke)warga(an), komunitas, dan individu lebih dimaknai sebagai proses yang hadir dari praktik nilai sehari-hari yang dikerjakan dan dihidupi di dalam masyarakat kebanyakan. Dalam anggapan ini, nilai da­sar­ nya adalah: produk budaya akan selalu dilahirkan ketika proses interaksi, kerja ber­sama, dan komunikasi nilai antarorang terjadi di dalam sebuah ruang, makna, tempat, dan waktu. Posisi arsip seni budaya—dalam hal ini sebagai produk budaya sekaligus sebagai proses, yang menjadi bagian dari proses yang mendorong hadirnya interaksi, kerja bersama, dan komunikasi antarorang yang terus bergerak. Permasalahannya terjadi ketika lansekap fisik maupun lansekap pengetahuan masyarakat sudah berubah. Reproduksi nalar formal (lembaga) negara dan nalar pasar yang meletakkan komodifikasi di dalam segala hal sebagai dasar dari hu­ bung­an antarorang dan antarhal. Proses interaksi, kerja bersama, dan komunikasi antar­orang dilihat sebagai sebuah produk sosial dan lalu dikomodifikasikan me­la­lui berbagai media populer. Tanah, sebagai manifestasi relasi, kerja sama, dan komunikasi telah dipisahkan dari praktik hidup sehari-hari, privatisasi ruang dan waktu, serta menjadi komoditas. Seni budaya menjadi produk. Praktik arsip dan pengarsipan seni budaya terintegrasi juga dalam nalar pasar, yang melihat kerja arsip dan pengarsipan yang telah dilakukan sebagai arena kompetisi serta investasi. Demikian juga, sering kali kerja-kerja arsip dan pengarsipan seni budaya (ke)warga(an), komunitas, dan individu yang telah dilakukan, kadang-kadang ma­ suk di dalam nalar politik (claim and access), yang melihat kerja arsip dan peng­ arsipan yang telah dilakukan sebagai arena kuasa untuk mengklaim dan meng­ ak­ses sumber daya. Di dalam ketegangan permasalahan seperti ini, kerja arsip dan pengarsipan seni budaya yang telah dilakukan oleh warga, komunitas, mau­ pun individu di sisi yang lain mengandung kerentanan saling bertumpang tindih, mengulang-ulang hal yang sama, dan bernafas pendek. Tetapi, pada sisi yang lain lagi, kerja arsip dan pengarsipan memberi peluang seperti halnya kerja mendaur ulang, menghasilkan proses yang kreatif dan memberi daya hidup pada reproduksi karya, informasi, pengetahuan, dan cara pandang yang berbeda dengan nalar dominan. xi (3) Kamar Kerja, Kata Kerja, dan Kerja Pembacaan Buku ini hadir ingin membicarakan seni budaya dari posisi kerja arsip dan pengar­ sip­an yang berangkat dari kerja individu, komunitas, maupun (ke)warga(an). Pada mu­lanya sebuah pertemuan kecil dari sebuah diskusi yang disusun dan direkam untuk membicarakan persoalan arsip dan pengarsipan seni budaya di Indonesia. Berang­kat dari pertemuan tersebut, kami mengundang beberapa orang dari ber­ ba­gai latar belakang untuk menuliskan semacam refleksi di seputar kerja arsip dan pengarsipan seni budaya di Indonesia, yang berangkat dari meja kerja yang telah digeluti selama ini. Beberapa di antaranya bahkan sudah mempunyai tulisan. Dalam waktu singkat, buku ini disunting dan disusun dengan tujuan utama untuk meng­hadirkan wacana arsip dan pengarsipan seni budaya di Indonesia dari sudut pandang dan cara penyajian yang beragam. Semua penulis yang diundang dalam kum­pulan tulisan ini telah bekerja maupun mempunyai perhatian yang dalam terhadap kerja arsip dan pengarsipan seni budaya. Kerangka buku ini terdiri dari tiga kamar kerja dan sebuah penutup yang berupa re­ flek­si teoretis mengenai kerja arsip dan pengarsipan. Kami menyebutnya sebagai “kamar kerja”, sebagai upaya untuk mendudukkan kerja arsip dan pengarsipan seni budaya dalam sebuah konteks, lokasi, tubuh, dan tetap menjadi kata kerja, yaitu: sebuah proses yang dikerjakan dari berbagai ranah dan dari berbagai ca­ ra pandang. Para penulis berasal dari berbagai latar belakang, yang sporadis sifat­nya, dan yang menuliskan refleksi gagasan dan praktik yang telah maupun se­dang dikerjakan seperti sedang berada di sebuah kamar kerja. Serpihan-ser­ pihan bentuk, ragam, dan praktik yang dihasilkan dari kamar kerja-kamar kerja diharapkan akan membentuk sebuah gagasan ataupun wacana alternatif menge­ nai kerja arsip dan pengarsipan seni budaya di Indonesia. Kerangka Keindonesiaan Kamar kerja pertama adalah kamar kerja Keindonesiaan. Empat orang penulis mem­bicarakan persoalan kerja arsip dan pengarsipan dalam kerangka keindo­ nesiaan, dari ranah praktik kerjanya masing-masing. Mereka mendudukkan posisi arsipelag o ! Kerja arsip dan pengarsipan seni budaya yang dibahas di dalam buku ini sejak awal disadari bukan hanya perkara teknis, birokratis, ekonomis, maupun politis, te­ tapi sebuah kerja kebudayaan yang bernafas panjang. Tidak hanya melihat arsip dan pengarsipan sebagai produk, ataupun perkara pengumpulan, penyimpanan, mau­pun pelestarian teks-teks seni budaya, tetapi juga sebuah nafas semangat yang hidup dan menghidupkan kerja-kerja individual, komunitas, maupun (ke) warga(an). Oleh karena itu, buku ini merupakan sebuah usaha awal yang, tentu, banyak sekali kekurangan dan harus terus-menerus dilanjutkan dan diperluas cakupan ranah pembahasannya. xii pengantar kerja arsip dan pengarsipan di dalam kerangka kerja menulis keindonesiaan melalui bidang kerja masing-masing, yaitu: kliping, tari, musik seni, dan sinema. Ke­ rangka kerja keindonesiaan ini penting dikaitkan selama konsepsi negara-bang­ sa masih melekat dan dipraktikkan dalam konsepsi kewargaan politik kita. Dan, be­­gitulah seharusnya: keindonesiaan disusun bukan dari sebuah konsep abstrak na­sional(isme) yang hegemonik, tetapi dibangun dari usaha kecil-kecil serta ga­ gas­an yang berserakan melalui praktik realitas sehari-hari masyarakatnya yang kom­pleks dan penuh ketidakadilan. Kamar kerja pertama dibuka dengan tulisan Muhidin M. Dahlan: “Praktik Kliping dan Daya Budi Kultural”. Tulisan Muhidin menceritakan secara meyakinkan bahwa prak­tik kliping merupakan cara kita menjaga detail cerita sebagai negara-bangsa. Kliping, menurut Muhidin, tidak hanya mengandung perkara teknis semata di dalam kerja pengarsipan, tetapi merupakan praktik kultural. Kliping tidak hanya dipa­hami sebagai guntingan koran yang menjadi arsip; lebih dari itu, ia menjadi media sekaligus ruang bersama mempercakapkan secara berkelanjutan detail ce­rita sebagai bangsa. Praktik kliping di dalam konteks ini menjadi beragam jen­ de­la yang selalu bisa dipilih dan selalu terbuka untuk melihat dan memahami pergerakan masyarakat dan nasional(isme) Indonesia. Hadirnya benda-benda cetak massa(l) seperti koran, buku, dan majalah, serta keberadaan jurnalis yang mencatat berbagai peristiwa yang terjadi di dalam gerak hidup masyarakat, ber­ tum­buh seiring menguatnya arus kesadaran pergerakan nasional(isme) sebagai negara-bangsa. Dengan demikian, praktik mengkliping tidak hanya “membina doku­mentasi” bangsa, tetapi juga menjadi sumber yang tidak pernah habis dari daya budi kultural. Ia menjadi media kerja dan bahasa menulis dan cara menger­ ja­kan keindonesiaan. Tulisan kedua di dalam kamar kerja pertama yaitu tulisan Helly Minarti: “Mengingat Tubuh: Tubuh Tari sebagai Arsip”. Helly menulis tentang tari dan melakukan studi pe­nelusuran sejarah yang menunjukkan posisi kerja arsip dan pengarsipan tari dalam kerangka negara-bangsa. Dokumentasi tari menjadi penting ketika ber­ ta­nya mengenai proses kultural masuknya tari ke dalam kanon sejarah negarabang­sa Indonesia: Sejak kapan tari menjadi bahasa tersendiri yang tidak melayani “tuan-tuan” sebelumnya (misalnya adat, tradisi, agama, hiburan, bahkan negara)? Sejak kapan tari hadir sebagai ekspresi untuk dirinya sendiri di dalam konteks penga­lam­an Indonesia (hal. 28). Di akhir penelusurannya, Helly menegaskan bahwa tubuh tari adalah arsip itu sendiri, dan ia harus didekati sebagai arsip yang hidup, yang menyim­pan ingatan masa silam, sekaligus memproduksi ingatan masa depan (hal. 39). Ba­gai­mana mungkin tubuh tari yang hidup didokumentasikan? Dengan demikian, ke­beradaan arsip dan kerja pengarsipan dalam konteks tari, sesungguhnya ber­ba­lik arah dan berlawanan sama sekali dengan nalar kerja dokumentasi yang formal ala Pemerintah dan kolektor. Seperti dikatakan Helly: “... mengintegrasikan arsip men­jadi penting dalam beragam praktik tari kontemporer, bukan hanya semata-mata untuk kepentingan akademis yang sempit, tapi xiii untuk lebih mengenal diri kita (siapa ‘aku’ sekarang) melalui tubuh tari.” (hal. 39) Sesungguhnya, kerja arsip dan pengarsipan seni budaya dalam konteks keindonesiaan lebih ditujukan untuk menge­nali diri sendiri dan membangun keindonesiaan dari dalam persoalannya sendiri. Tulisan keempat di dalam kamar kerja pertama ditulis oleh Hafiz Rancajale: “Pak Misbach: Sang Arsip”. Tulisan ini merupakan refleksi dari proses pembuatan filem Anak Sabiran: Di Balik Cahaya Gemerlapan (Forum Lenteng, 2013). Filem tersebut se­sungguhnya merupakan sebuah filem tentang dunia arsip filem Indonesia yang dibuka dari jendela sosok Misbach Yusa Biran. Misbach merupakan orang film yang merintis berdirinya Sinematek Indonesia, yang menjadi tempat arsip un­tuk menyimpan koleksi dokumentasi perfileman Indonesia. Pernak-pernik ce­ ri­ta tentang sosok Misbach sebagai orang filem sekaligus dokumentator filem Indonesia, serta temuan-temuan yang dibongkar dari koleksi dokumentasi Sinematek Indonesia selama proses pembuatan filem tentang arsip filem tersebut, se­cara garis besar memperlihatkan kompleksitas dan carut-marut infrastruktur ker­ ja arsip dan pengarsipan filem di Indonesia. Arsip koleksi Sinematek Indonesia se­ sung­­guhnya mengandung rekaman yang sangat berharga mengenai perjalanan kebu­dayaan modern Indonesia sebagai negara-bangsa. Lebih jauh dari itu, proses pem­­buatan filem Anak Sabiran ini menjadi eksperimentasi metode maupun cara pan­dang baru di dalam memperlakukan arsip, mengolahnya, dan membangun “cerita” baru, yang tidak lain merupakan sebuah upaya menafsirkan perjalanan panjang kebudayaan modern kita sendiri. arsipelag o ! Tulisan ketiga di dalam kamar kerja pertama ditulis oleh Erie Setiawan: “Arsiptektur Musik Seni Indonesia Masa Kini (Ideologi dan Kritik)”. Erie menulis persoalan arsip dan pengarsipan dari ranah musik seni: sebuah area yang merepresentasikan aspek modernitas yang diserap, tumbuh, dan berbiak seiring dengan pertumbuhan ne­gara-bangsa Indonesia yang masih muda. Keberadaan musik seni selama ini jauh dari wacana besar nasionalisme. Untuk itu, sesungguhnya Erie sedang beru­ saha membawa ranah musik seni ke dalam kerangka negara-bangsa melalui pemetaan dan penelusuran wacana serta praktik musik seni yang terjadi selama ini. Kerja pemetaannya dimulai dari upaya penelusuran perkembangan musik seni Indonesia, yang struktur dasarnya ditandai dengan berdirinya Sekolah Musik Indonesia (SMIND) pada tahun 1952. Melalui tulisannya, Erie mengerjakan semacam pemetaan awal untuk membangun desain pertumbuhan musik seni di Indonesia. Harapannya, terbentuk sebuah gambaran yang berkesinambungan di dalam pertumbuhan musik seni tersebut, yang bisa dipelajari dan dikritisi dari waktu ke waktu. Hal tersebut harus didukung dengan pendokumentasian yang baik, sehingga diharapkan mampu mendorong praktik dan wacana musik seni Indonesia yang kuat, baik dari segi teknis-estetis maupun konsep-ideologis. Me­ lalui tulisannya, Erie secara tidak langsung menunjukkan, posisi kerja arsip dan peng­arsipan dalam bidang apa pun sesungguhnya penting untuk membangun kritik dan ideologi yang terkait dengan kerangka kerja keindonesiaan. xiv pengantar Menghidupkan Ingatan (Kolektif) Kamar kerja kedua merupakan kerja menghidupkan ingatan kolektif. Tiga orang penulis membicarakan kerja arsip dan pengarsipan sebagai bagian dari usaha mendorong hadirnya ingatan masyarakat akan sebuah tema atau isu tertentu. Kehadiran ingatan masyarakat akan tema atau isu tertentu ini menemukan konteksnya, ketika nalar formal (lembaga) negara dan nalar pasar mereproduksi narasi, sejarah, dan kerja arsip serta pengarsipan sebagai bagian dari politic of claim dan politic of access yang menjadi dasar dari legitimasi kekuasaan yang hegemonik. Kerja arsip dan pengarsipan dalam situasi ini menjadi media dan bahasa untuk membangun narasi dan “sejarah” alternatif (memori), serta membangkitkan ingatan kolektif masyarakat sebagai bagian dari gerak resistensi terhadap ilusi nalar formal (lembaga) negara dan pasar. Tulisan pertama di kamar kerja kedua ditulis oleh Anna Mariana. Tulisan Anna, berjudul “Menghidupkan Arsip, Mencipta Wacana: Pentingnya Arsip untuk Gerakan Sosial”, secara jelas menunjukkan posisi kerja arsip dan pengarsipan di dalam kerja mendorong hadirnya ingatan kolektif masyarakat sebagai bagian dari gerakan sosial. Di dalam konteks ini, kegiatan mengarsip bukan hanya perkara mengumpulkan dan memelihara, tetapi mengandung dua hal sekaligus, yaitu: menciptakan dan menghidupkan arsip. Posisi yang diambil, cara pandang terhadap arsip, dan bagaimana arsip diolah dan diperlakukan, berada dalam pilihan landasan yang jelas. Melalui dua kasus kerja arsip dan pengarsipan yang diangkat di dalam tulisan, yaitu Pameran Kronik Agraria (September 2011) dan Proyek Revitalisasi Pojok Gerakan Pemuda dan Perempuan, Benteng Vredeburg Yogyakarta (2012), ditunjukkan bahwa pengarsipan menjadi kata kunci bagi usaha pendekonstruksian ingatan yang direpresi oleh rezim atau sebagai alat perjuangan gerakan sosial—dalam bentuk menarik dan mudah dipahami (hal. 91). Tulisan kedua di dalam kamar kerja kedua ditulis oleh Gde Putra. Tulisan berjudul “Poster Aksi Tolak Reklamasi di Teluk Benoa, dan Merebut Masa Depan Bali” meru­ pa­kan tulisan paling up to date dari rangkaian tulisan di buku ini, dilihat dari tema kasus yang dibicarakan. Tulisan Putra membicarakan poster aksi tolak reklamasi Teluk Benoa di dalam konteks perubahan sosial Bali. Berkebalikan dengan visualisasi Bali yang digambarkan selama ini melalui berbagai media massa(l), poster aksi tolak reklamasi justru memvisualisasikan Bali dari kenyataan seharihari. Semacam gambaran dari sisi lain pariwisata, budaya, dan pembangunan Bali yang selama ini di-eksotisasi dan dimarginalisasi. Dalam konteks kerja arsip dan pengarsipan, kerja menulis yang dilakukan Gde Putra merupakan kerja menghidupkan arsip sekaligus melakukan kerja pengarsipan. Ia membangun sebuah bentuk pengarsipan yang didasarkan pada sebuah rentetan peristiwa yang menjadi momentum untuk membicarakan ingatan-ingatan keresahan sosial yang tertutupi di dalam wacana media massa(l), mengenai perubahan sosial yang kompleks dan tidak adil di arena Bali kontemporer. Poster aksi di dalam konteks aksi tolak reklamasi Teluk Benoa merupakan arsip sekaligus sebentuk cara xv menyajikan arsip, yaitu: sebagai media resistensi perlawanan terhadap pembangunan Bali yang menindas dan merusak lingkungan. “Yang menarik di dalam praktik pembacaan arsip dan kerja pengarsipan tidak lagi terpukau pada perkara arsipnya, tetapi pada keragaman cara membaca dan untuk kepentingan apa praktik pembacaan tersebut dikerjakan.” arsipelag o ! Tulisan ketiga di dalam kamar kerja kedua berjudul “Peng­arsipan dan Sejarah (Personal): Medayu Agung dan Oei Hiem Hwie”, yang ditulis oleh Kathleen Azali. Tu­lisan ini merupakan sebuah liputan mendalam me­ nge­­nai sosok Oei Hiem Hwie, proyek dokumentasi yang dikerjakan Oei, serta Perpustakaan Medayu Agung yang terletak di Jalan Medayu, Rungkut, Surabaya, sebagai tiga hal yang tak terpisahkan. Oei Hiem Hwie seorang “arsip” yang hidup, seorang eks-Tapol Pulau Buru, dan seorang Tionghoa di Ja­ wa, yang menjadi representasi dari kekuatan suara yang dipinggirkan selama ini oleh negara Orde Baru da­lam penulisan sejarah warga dan sejarah negarabangsa. Proyek pengarsipan yang dilakukan Oei dan kemudian disajikan kepada publik melalui per­pus­ ta­kaan yang didirikannya—Perpustakaan Medayu Agung, merupakan narasi lain mengenai kerja ar­sip dan pengarsipan yang dilakukan oleh inisiatif indi­ vi­du dan komunitas. Oei Hiem Hwie, dokumentasi yang dikumpulkannya, serta Perpustakaan Medayu Agung yang dihidupinya, merupakan representasi dari narasi arsip, pengarsipan, penulisan, dan seka­li­ gus sebagai realitas lingkungan yang terus-menerus ha­­rus bertahan menghadapi penetrasi nalar sempit ne­gara, pasar, dan kelas menengah masyarakat yang hipokrit. Oei sebagai eks-Tapol Pulau Buru dan seorang Tionghoa, dalam kurun sejarah yang pan­jang, mengalami diskriminasi terus-menerus. Kerja arsip dan pengarsipan yang dilakukan oleh Oei dan juga Perpustakaan Medayu Agung yang didirikannya, merupakan kerja yang sangat pen­ting bagi pengembangan pengetahuan, namun hing­ga saat tulisan ini dibuat ia juga tidak pernah men­da­ patkan daya dukung dari Pemerintah maupun lem­ ba­ga formal lainnya. Di akhir tulisannya, Kathleen mengajak untuk melihat kerja keras Oei Hiem Hwie, do­kumentasi, dan Perpustakaan Medayu Agung se­ ba­gai kata kerja bagi kita semua. xvi pengantar Praktik Pembacaan Kamar kerja ketiga merupakan praktik pembacaan. Dua orang penulis pertama dalam kamar kerja ini berusaha melakukan praktik pembacaan terhadap arsip mau­pun kerja pengarsipan dengan cara pandang pekerja seni dan akademisi. Tulisan ketiga, sebuah boks reportase di empat kota, yang dikerjakan oleh tim pe­neliti buku ini, merupakan usaha awal menelusuri bagaimana masa lalu, se­ mangat perubahan kota, dan tumbuhnya komunitas-komunitas kreatif hidup dan dihidupkan dalam konteks serta cara kerja yang beragam. Yang menarik, ketiga tulisan ini berusaha memperlihatkan bahwa, di dalam praktik, pembacaan arsip dan kerja pengarsipan tidak lagi terpukau pada perkara arsipnya, tetapi pada ke­ ra­gaman cara membaca dan untuk kepentingan apa praktik pembacaan tersebut dikerjakan. Tulisan Joned Suryatmoko berjudul “Arsip Bergerak: Mengarsipkan Seni Tradisi, Mengo­lah Interaksi” merupakan sebuah praktik pembacaan terhadap relasi antara kerja pengarsipan, lembaga pengarsipan (SAV Puskat), dan refleksi seorang peng­guna arsip yang terus bergerak. Tulisan Joned merupakan sebuah upaya me­narik hubungan yang sinergis antara kerja pengarsipan seni (tradisi) dengan me­dia baru ataupun bentuk bahasa ucap yang lain untuk menggerakkan (baca: meng­hi­dupkan) arsip. Hubungan yang sinergis ini, oleh tulisan Joned, disajikan melalui studi kasus SAV (Studio Audio Visual) Puskat di Yogyakarta, yang berdiri tahun 1969 dan telah melakukan kerja pengarsipan seni tradisi, yang kemudian dikaitkan oleh Joned dengan keberadaan Teater Rakyat yang diinisiasi oleh SAV Puskat sejak 1980-an. Joned melihat dasar-dasar hidup seni tradisi mempunyai kemiripan dengan semangat Teater Rakyat yang berkembang sejak tahun 80an: sebagai media pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, seni tradisi yang didokumentasikan oleh SAV Puskat sesungguhnya menemukan bentuk semangatnya pada Teater Rakyat, yang juga merupakan pengguna dokumentasi SAV Puskat. Di titik inilah, tulisan Joned menegaskan kembali mengenai eks­plo­rasi bentuk baru maupun media lain yang perlu dikembangkan, oleh siapa pun juga yang melakukan kerja pendokumentasian, untuk terus-menerus mengon­teks­tual­ kan dirinya dengan perkembangan masyarakat. Arsip itu terus bergerak, hal yang diar­sipkan juga terus bergerak, maka bentuk ataupun media “mengolah”-nya juga harus terus bergerak. Tulisan kedua di dalam kamar kerja ketiga ditulis oleh Galatia Puspa Sani Nugroho: “Membuka Katalog, Mengungkap Ideologi”. Tulisan ini secara jelas sudah menunjukkan dirinya sebagai praktik membaca arsip yang biasa dilakukan dalam kerja akademisi. Arsip yang dibaca adalah arsip seni rupa Yogyakarta, dengan fokus pembacaan pada periode peristiwa Biennale Jogja yang diselenggarakan sejak 1988 hingga 2007. Arsip yang dibaca Galatia berbentuk katalog. Hal ini cukup menarik, karena katalog merupakan sumber utama wacana yang sengaja dituliskan untuk menyampaikan gagasan sebuah peristiwa pameran seni rupa. Usaha pembacaan Galatia ini merupakan metode pembacaan arsip yang biasa dalam penulisan sejarah, tetapi fokusnya pada materi arsip katalog justru membuka peluang untuk membicarakan rangkaian peristiwa pameran dalam Biennale Jogja (1988-2007) dari “dalam”. Hasilnya bisa berupa kritik terhadap sebuah penyelenggaraan peristiwa pameran seni rupa, hingga penyingkapan gerak ideologi yang ada di balik rentetan peristiwa penyelenggaraan Biennale Jogja 1988-2007. Tulisan ketiga di dalam kamar kerja ketiga merupakan reportase singkat dari pembacaan empat kota, yaitu: Yogyakarta, Padang, Malang, dan Makassar. Tulisan yang dirangkum ini bertujuan untuk menceritakan mengenai bagaimana masa lalu direspon dan dipergunakan oleh komunitas-komunitas urban dan kota itu sendiri. Reportase diarahkan untuk melihat kota sebagai arsip yang bergerak dan lalu dibaca dalam konteks bagaimana berbagai inisiatif warga, komunitas, maupun individu secara kreatif mengolah dan mengelola masa lalu, dipergunakan untuk kepentingan masa kini. Kota-kota berubah dalam lansekap, relasi, dan aktivitas yang semakin global; di sisi lain, kota-kota juga menyimpan kenangan, ingatan, dan jejak yang berakar di dalam denyut kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Di satu sisi, terdapat semacam gelombang besar cara pandang yang memperlakukan masa lalu, masa kini, dan masa depan hanya sebagai produk dan reproduksi bentuk semata. Di sisi lain, terdapat riak-riak kecil relasi, cara berkomunikasi, dan kerja-kerja budaya yang tumbuh di sekujur tubuh masyarakat, sebagai bentuk resistensi yang beragam di tengah pertumbuhan kota yang buas menindas. (4) Penutup Buku ini pada akhirnya “ditutup” dengan tulisan Rachmi Diyah Larasati, yang berjudul: “Meneorikan Arsip: Karya Tubuh, Dekolonisasi Berpikir, Taktik, dan Pemberdayaan Ingatan”. Tulisan ini merupakan sebuah perbincangan tentang arsip. Ia seolah menjadi tulisan yang mengabstraksikan gagasan-gagasan yang telah dituliskan pada kamar kerja-kamar kerja sebelumnya, mengenai kerja arsip dan pengarsipan. Tulisan ini juga menegaskan kembali beberapa persoalan yang dikemukakan dalam pengantar ini. Secara mendasar, tulisan Larasati mengingatkan secara kritis mengenai “bahaya” yang dikandung dari posisi arsip sebagai “the presence”. Arsip sebagai produk budaya merupakan representasi dari klasifikasi, fragmentasi, maupun produksi pengetahuan yang tak pernah bisa lepas dari pengetahuan imperial, kolonial, patriarkal dan bahasa kapitalisme yang hegemonik. Di sisi lain, kerja arsip dan pengarsipan dalam arti luas juga mempunyai harapan dan peluang untuk selalu menjadi “teori yang berangkat dari keseharian yang berpihak”. Seperti judul tulisannya, peluang dan harapan ini dimungkinkan ketika mendudukkan xviii pengantar kerja arsip dan pengarsipan sebagai: (1) “karya tubuh” yang hidup dan berpusar pada kehormatan manusiawi; (2) Sebagai praktik yang terus-menerus dari upaya “dekolonisasi berpikir”; serta, (3) Sebagai bahasa “taktik dan pemberdayaan ingatan”, yaitu sebuah metode melihat dan merasakan relasi sosial yang konkret, sehari-hari, dan yang juga banyak mengandung ketimpangan. Kerja arsip dan pengarsipan merupakan kerja politik: klaim, akses, dan pengetahuan. Dasar utamanya bukan pada produk budaya, tetapi pada proses-pro­ ses budaya yang berlangsung melalui tubuh dan ikat­ an yang kuat terhadap tanah. Arsip seni dan bu­da­ya sebagai sebuah proses dan kedudukannya se­ba­gai “the presence” tak mungkin mewakili ke­oten­tikan, “kebenaran”, maupun tafsiran realitas. Stra­tegi bu­da­ ya diperlukan di dalam kerja arsip dan peng­ar­sipan sebagai bagian dari siasat, strategi, resistensi, dan resiliensi individu, komunitas, dan (ke)warga(an) di tengah hegemoni lembaga (formal) negara dan pe­ net­rasi pasar yang menindas.  xix daftar isi vi pengantar daur ulang! Kerja Arsip dan Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia Yoshi Fajar Kresno Murti 01 Praktik Kliping & Daya Budi Kultural Muhidin M. Dahlan 24 MENGINGAT TUBUH: TUBUH TARI SEBAGAI ARSIP Helly Minarti ARSIPTEKTUR MUSIK SENI INDONESIA MASA KINI (Ideologi & Kritik) Erie Setiawan 60 PAK MISBACH: SANG ARSIP Di Balik Rekaman “Anak Sabiran: Di Balik Cahaya Gemerlapan” Hafiz Rancajale 74 “Menghidupkan Arsip”, Mencipta Wacana Pentingnya Arsip Untuk Gerakan Sosial Anna Mariana 92 Poster Aksi Tolak Reklamasi di Teluk Benoa, dan Merebut Masa Depan Bali Gde Putra 107 Pengarsipan dan Sejarah Personal Medayu Agung dan Oei Hiem Hwie Kathleen Azali arsipelag o ! 41 xx 129 ARSIP BERGERAK Mengarsipkan Seni Tradisi, Mengolah Interaksi Joned Suryatmoko 143 Membuka Katalog, Mengungkap Ideologi Galatia Puspa Sani Nug r o h o 168 membaca kota Reportase Singkat Kerja Arsip dan Pengarsipan Seni Budaya pengantar tim ivaa 186 Meneorikan Arsip Karya Tubuh, Dekolonisasi Berpikir, Taktik, dan Pemberdayaan Ingatan Rachmi Diyah Larasati 196 profil penulis 199 indeks Kamar Kerja I Kerangka Keindonesiaan M uhidin M . D ahlan xxii arsipelag o ! K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 1 - 01 - Praktik Kliping & Daya Budi Kultural Notosoetardjo, H.A. Bung Karno Dihadapan Pengadilan Kolonial Lembaga Penggali dan Penghimpun Sedjarah Revolusi Indonesia, Endang, dan Pemuda, Jakarta, 1963 M enurut kamus, kliping adalah “gun­­­ tingan ko­ran”. Gunting da­lam fra­­ sa “guntingan” adalah per­­ka­kas pemotong kertas, semen­ta­ra “ko­­­ ran” adalah produk infor­ma­si yang dicetak (dan di­ba­ca) secara massa(l). Mengapa “koran” dan bukannya “majalah”? Barang­ ka­li, ke­ti­ka lema “kliping” dibuat, koranlah yang digun­ ting, se­mentara majalah (umumnya) dijilid. Selain itu, ukur­an ma­­jalah lebih kecil ketimbang koran, yang menye­babkan penyim­panannya lebih ringkas. Untuk me­ring­kas penyim­pan­an koran, maka terlebih dahulu me­lalui kerja kliping. Mengkliping koran adalah aktivitas menggunting/me­­ mo­tong secara khusus bagian-bagian tertentu di ko­ lom-kolom yang tercetak di sejumlah ruas halaman ko­­ran. Menggunting bisa juga dipahami sebagai prak­ tik mengum­pulkan dan menyeleksi informasi massa(l). P raktik K liping dan D aya B udi K ultural Muhidin M. Dahlan 2 arsipelag o ! Sebagai salah satu anggota keluarga besar pers (ce­tak), ko­ran adalah jurnal yang berisi catatan harian ten­tang ke­giatan masyarakat, komunitas, hingga infor­masiinfor­masi penyelenggaraan negara, dalam bera­gam aspek­nya. Karena bentuknya jurnal, catatan hari­an, maka prak­tik pencatatan ini disebut juga prak­tik jurnalistik. Adapun pa­ra penulis dan pencatat infor­ma­si yang dimuat di me­dia cetak (kini juga media audio/audiovisual dan daring) disebut jurnalis. Mengumpulkan, menyeleksi, dan mencatat ulang ca­tat­an harian jurnalis di media massa(l) menghasilkan do­ku­men­tasi. Jurnalis mencatat semesta kehi­dup­an massa(l), se­­­mentara dokumentator menyeleksi, menyim­pan, dan meman­fa­at­kan­ nya le­wat praktik kliping. M uhidin M . D ahlan Sampai di sini, praktik mengkliping bukan lagi perkara tek­nis, melainkan bersulih menjadi praktik kultural. Pro­duk dari mengkliping sejumlah informasi adalah doku­ men­tasi. Menyimpan dan sekaligus memanfaatkan doku­men­tasi dalam praktik kultural bukan hanya membantu mem­perkukuh argumentasi dalam menulis, melainkan juga mem­bantu memperpanjang ingatan sekelompok atau keseluruhan masyarakat atas siklus waktu sejarahnya. Renaisans Indonesia II: Revolusi Cetak dalam Arus Pergerakan Jika renaisans Indonesia pertama di abad ke-10 di masa Dharmawangsa Teguh di­­ku­­­kuhkan oleh tradisi pener­je­mah­an yang massif dari Bharat (India), maka renaisans ke­dua sepuluh abad kemudian ditandai dengan hadirnya benda-benda ce­­tak massa(l), seperti koran, buku, dan majalah. Di zaman yang disebut Ben Anderson sebagai print revolution ini, arus pergerakan mengen­darai koran se­ba­gai pembentukan kesadaran dan memobilisasi “pen­dapat publik”. Koran bergeser peruntukan: yang se­mula se­kadar untuk mengumumkan produk-produk niaga di­se­lingi bacaan hiburan, sebagaimana menjadi pe­nanda koran-koran terbitan kalangan Tionghoa, maka ketika arus pergerakan Indonesia awal meng­­alami pasang naik, ko­ran menjadi pernyataan politik dan mimbar di ma­na ke­­luh-kesah disuarakan. Nyaris tak terbantahkan bahwa semua tokoh kunci per­­gerakan yang namanya ma­suk keluar dalam buku se­jarah (pergerakan) Indonesia adalah para pemimpin re­­daksi. Karena itu, membaca sejarah (pergerakan) Indonesia dan tumbukan ide di dalamnya mestilah meng­hadirkan jur­nal­is­tik di dalamnya. Ia bukan se­bagai pantulan lampu sorot di pinggir, melainkan ba­gi­an dari lampu utama, di mana re­ volusi Indonesia ada­lah juga print revolution itu sendiri. Jur­nalis bukan saja se­ba­ K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 3 gai pencatat harian yang tekun, tapi juga ha­dir dan turut serta berselancar da­lam arus per­gerakan na­ sional. Mereka sebagai hoofdrecateur sekaligus pe­ mimpin dan pemikir aksi-aksi pergerakan. Notosoetardjo, H.A. Bung Karno Dihadapan Pengadilan Kolonial Lembaga Penggali dan Penghimpun Sedjarah Revolusi Indonesia, Endang, dan Pemuda, Jakarta, 1963 “... praktik mengkliping bu­kan lagi perkara teknis, melainkan bersulih menjadi praktik kultural.” Kliping Lini Masa Indonesia: Dari Kerja Noto, Ikhtiar Osman, hingga Ketekunan Pram Mengkliping adalah melestarikan cerita Indonesia, baik cerita baik maupun buruk, kepahlawanan mau­ pun pengkhianatan, ide-ide saleh maupun ide-ide sa­­ lah, politik patriotik maupun politik mumpung, ber­san­ dar pada ide Indonesia-sentris atau Belanda-sen­tris. Mereka yang memilih mengkliping Indonesia, baik as­pek umum maupun aspek khususnya, sebetulnya me­­lakukan usaha memberi penghormatan kepada ke­ringat dan pengorbanan para jurnalis. Para jur­nal­ is adalah jantung pencatatan Indonesia yang ber­ de­tak hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi ta­hun, abad demi abad. Maka, mengkliping adalah pernyataan kebudayaan, yakni jangan melupakan kerja kaum jurnalis, seperti yang terbaca jelas dalam se­baris kata-kata jurnalis garis keras Doenia Bergerak, Mas Marco Kartodikromo: “Journalist itu harus berani di­hukum dan dibuang/ Kare­na dia yang mesti me­nendang/ Semua barang yang melang­ malang.” P raktik K liping dan D aya B udi K ultural Namun, inilah yang terjadi. Saat perayaan Seratus Ta­hun Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2008, tak satu pun, TAK SATU PUN, kolom surat kabar dan ma­ ja­­lah yang mem­beri ruang untuk merefleksikan peran jurnalis dalam arus besar pergerakan. Kesimpulan itu saya dapatkan ke­tika pada 21 Mei 2008, saya mem­ be­li belasan koran di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Dan pencatat peristiwa Indonesia hari demi hari itu hilang posisinya dalam se­ja­rah besar. Atau, jurnalis itu sendiri yang lupa posisi sen­­tralnya dalam gelombang pasang naik sejarah Indonesia? Entahlah. 4 arsipelag o ! “Karena praktik kliping adalah menyusun rantai ceri­ ta Indonesia secara berkesinambungan dan tanpa jeda, maka mengkliping boleh juga dibilang praktik politik yang radikal.” M uhidin M . D ahlan Karena praktik kliping adalah menyusun rantai cerita Indonesia secara berkesinambungan dan tan­pa je­da, maka mengkliping boleh juga dibilang prak­tik po­litik yang radikal. Di hadapan rezim fasis, juru kli­ping yang patriotis adalah pengingat tentang ja­lan­nya sejarah yang dihilangkan, namun ia bukan se­ja­ra­wan yang dituntut harus “bersikap ilmiah dan ti­dak me­mihak”. Kecintaannya pada subjek tema ter­ten­tu mem­ buatnya kerap terlihat sebagai pembela, ke­timbang pembanding. Prinsip itu yang dipegang oleh Hadji Achmad Notosoetardjo, saat ia menyusun karya kliping yang gi­­­gan­­­tis tentang jalannya salah satu tonggak pen­ting per­­ge­rakan kebangsaan, yakni peristiwa “Indonesia Meng­gugat”. Kerja kliping Notosoetardjo tentang pe­ristiwa itu me­lahirkan buku berjudul Bung Karno Dihadapan Penga­dil­an Kolonial. Buku yang dicetak Pe­nerbit “Endang” dan “Pe­muda” tahun 1963 itu ada­­lah buku paling penting dan tiada banding, yang mengisahkan hari demi hari jalan­nya peristiwa “Indonesia Menggugat”. Teks pleidoi Soekarno itu sendiri barangkali bisa dengan mudah kita ba­ca ka­ re­na bertebaran di mana-mana. Tapi, bagaimana pro­ log, dialog, metalog, dan epilog peristiwa “Indonesia Meng­­gugat”, hanya buku Notosoetardjo setebal 696 ha­­la­man ini yang menggambarkannya de­ngan utuh, dari pel­bagai suara. Apa yang dilakukan Noto mula-mula kerja biasa. Ia meng­kliping dengan mengambil satu tema atau pe­ ris­­tiwa khusus. Notosoetardjo menghindari “tafsir”, ka­ re­na itu karyanya ini terlihat “bisa dipercaya”. Selain meng­gunting teks-teks yang bertebaran di koran dan ma­jalah, ia juga memburu dokumentasi foto yang K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 5 me­­mi­liki tautan dengan peristiwa yang diklipingnya. Oleh karena itu, lini masa per­gerakan 1929-1931 yang dihadirkannya meng­hidupkan latar dari teks berapi yang ditulis dan di­bacakan Soekarno di Landraad Bandung selama 27 hari, dari 18 Agustus hingga 29 September 1930, dengan meng­hadirkan 32 saksi. Totalitas Noto mengkliping bersandar pada kecintaannya menggeluti tema-tema per­gerakan nasional, dan lebih spesifik lagi tentang PNI dan Soekarno. Kecintaan itu membawa Notosoetardjo menjadi segelintir penyelamat tulisan-tulisan di tiga ma­jalah yang dipimpin Soekarno dari kemusnahan, yakni Suluh Indonesia Muda, Persatuan Indonesia, dan Fikiran Ra’jat. Noto, misalnya, menyalin ulang semua teks Persatuan Indonesia, sebuah majalah setengah bulanan yang terbit pertama kali 15 Juli 1928, mengalami dua kali beslag, dan mati selama-lamanya di Nomor 177. Noto menjadi pengumpul, pengkliping, dan sekaligus penyelamat semua isi majalah pergerakan itu dari kehancuran total. Bukan hanya itu, kecintaan Noto membawanya sampai pa­da gagasan mencetak ulang majalah bulanan Fikiran Ra’jat; sebuah majalah yang terbit sebagai dummy per­­ta­ma kali 15 Juni 1932, dan pada nomornya ke-55, 21 Juli 1933, tutup selamanya karena mengalami beslag. Ma­jalah Fikiran Ra’jat yang berjargon “Kaum Marhaen! Ini­lah Madjallah Kamoe! Soekarno!” yang beredar di masya­rakat saat ini adalah repro yang dilakukan Noto ta­hun ‘70-an, untuk menghidupkan peristiwa masa silam men­ja­di pengalaman masa kini. Tak berhenti di situ saja, Notosoetardjo rupanya menyiap­kan lini masa Indonesia di masa Soekarno diasingkan di Endeh hingga masa pendudukan Jepang. Dan ten­tu saja, Noto mengkliping dengan intensif era kegentingan dan kerawanan Republik di tahun 1945 hingga 1959. Disebut era yang genting, karena di sinilah pon­dasi kenegaraan ditentukan dan sekaligus diuji. Sayang sekali, saya hanya me­nemukan kliping yang disusun Noto tahun 1945 dan 1946. Kliping Revolusi su­ sun­an Notosoetardjo itu sudah dalam ketikan di atas kertas setengah kuarto dan di sana-sini terdapat coretan editan. Kronik ini tampaknya dipersiapkan untuk terbit, namun tak pernah terwujud. P raktik K liping dan D aya B udi K ultural Rekaman peristiwa serupa bukannya tak pernah dila­ku­­kan. John Ingleson, misal­ nya, menulis Jalan ke Penga­sing­an: Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun 19271934 (1988) yang kemudian menjadi polemik selama be­berapa bulan di harian Kompas. Buku itu membawa kita pada pergulatan wacana faset-faset pembuangan ba­gian kedua terhadap kaum pergerakan setelah Digoel ’26. Namun, kliping-kli­ ping Notosoetardjo yang disusun secara runtut bisa menghidupkan teks Soekarno se­bagai drama tragedi yang panjang, penuh dinamika, dan melibatkan begitu ba­ nyak suara manusia di luar dan dalam pengadilan. Kliping Notosoetardjo meng­ ubah ruang pengadilan menjadi ruang pertunjukan. Di sana, Soekarno berdiri kukuh men­jadi mahabintangnya, yang diselingi suara riuh 32 saksi. Lewat kliping Noto, sua­sana persidangan Landraad hadir seutuh-utuhnya. 6 arsipelag o ! M uhidin M . D ahlan Justru yang terbit sebagai buku adalah kliping-kli­ ping yang disusun Osman Raliby, khususnya tahun 1945 hingga 1946. Himpunan kliping revolusi Osman ini diterbitkan oleh Penerbit Bulan-Bintang tahun 1953, dengan judul Documenta Historica I: Sedjarah Dokumenter dari Pertumbuhan dan Perdjuangan Negara Republik Indonesia. Osman mengumpulkan dan menyusun kembali peristiwa “pertumbuhan dan per­djuangan Negara RI” dari 17 Agustus 1945 hingga Desember 1946, dengan bersandar pada koran-ko­ ran yang terbit di Kutaraja, Aceh, yakni Semangat Merdeka maupun Berita Republik Indonesia. Bagi Osman, kliping yang disusunnya adalah usaha mela­ wan pendustaan dan penipuan sejarah. Tulisnya di pagina awal yang bertarikh 17 Agustus 1952: “Tjatetan-tjatetan ini adalah dilakukan dengan teliti sekali … jika terdapat kurang sempurna pentjatetannja, maka itu untuk sebagian adalah karena sesuatu kealpaan, sedang se­bagian adalah disebabkan penerimaan-penerimaan ko­ mu­nikasi jang kurang teratur disebabkan kurangnja tenagatenaga listrik di Atjeh dewasa ini.” Osman sekelumit menceritakan proses pengumpulan kliping ini, hingga menjadi Documenta Historica, yang menurutnya disarikan: “dari bungkusan yang berisi ribuan, jah puluhan ribu tjarikan-tjarikan kertas jang bermatjam-matjam bentuk dan tjoraknja, kertas-kertas bersih dan kertas-kertas jang telah ko­tor dan usang, bungkusan itu dengan tak disengadja se­ la­­lu disebut dengan nama dokumen sedjarah oleh anakanak saja jang dengan tabah dapat menjelamatkannja se­tiap kali ada pengungsian dan/atau serangan-serangan udara dari pihak Belanda”. Yang tak terbayangkan adalah bagaimana ikhtiar Osman melindungi ribuan kertas-kertas kerjanya yang “kotor dan usang” itu dalam fase perang yang kacau-balau, hingga menghadirkannya sebagai se­ bu­ah dokumen sejarah yang penting, Documenta Historica I. Sayang, kelanjutan buku kliping ini tak per­­nah terbit lagi. Raliby, Osman Documenta Historica I: Sedjarah Dokumenter dari Pertumbuhan dan Perdjuangan Negara Republik Indonesia Bulan-Bintang, Djakarta, 1953 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 7 P raktik K liping dan D aya B udi K ultural Walaupun demikian, bentuk yang sudah dibikin Osman inilah yang memudahkan Pramoedya Ananta Toer menyusun kliping Kronik Revolusi Indonesia (1945-1949), yang masing-masing dibagi dalam lima jilid. Bahkan bentuk tampilan isinya pun di­susun tak berbeda dengan yang dilakukan Osman, walaupun Pram dalam pe­ nga­­­kuannya juga menyebut nama T.A Talsya, yang menulis tiga jilid kronik “Per­ juang­an Kemerdekaan di Aceh” yang terbit tahun 1990, yakni Batu Karang di Tengah Lautan 1945-1946; Modal Perjuangan Kemerdekaan 1947-1948; dan Sekali Republiken tetap Republiken 1949. 8 arsipelag o ! M uhidin M . D ahlan Apa yang dikerjakan Pramoedya Ananta Toer ini di­ pu­­­ji setinggi-tingginya oleh sejarawan Onghokham sebagai “pekerjaan yang mahahebat, memerlukan energi, usaha, biaya dll. yang hebat”. Pram sendiri me­ rasa kliping yang disusunnya menjadi Kronik Revolusi adalah setara dengan tugas sejarah dalam mem­ berikan bentuk kepada masa lalu, agar roman muka masa lalu kurang lebih jelas terpampang di mu­ka kita. Ketika roman muka masa lalu itu sudah terpampang telanjang, kata Pram, tercapailah tu­gas kronik, dan dengannya tugas sejarah, yang oleh seorang sejarawan dirumuskan dengan kata-ka­ta “daftar kejadian, keedanan, dan kesialan umat manusia”. Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil Kronik Revolusi Indonesia (Jilid II - 1946) Yayasan Adikarya IKAPI, The Ford Foundation, KPG, Jakarta, 1999 Pram memang memiliki ambisi untuk menyajikan bu­ ku kliping, yang dalam kata-kata Pram sendiri: “ter­ leng­­kap dan lebih melingkupi dari pendahulunya, ka­ rena itu diharapkan mampu menjadi acuan lebih ter­ per­caya bagi mereka yang membutuhkan … se­bu­ah se­jarah yang minus opini”. Terlengkap di situ ber­arti bu­kan hanya peristiwa politik yang dicakup, me­la­ in­kan peristiwa-peristiwa di luarnya yang dianggap pe­­riferal seperti seni, budaya, dan olahraga, di arus za­man yang bernama Revolusi. Lalu pertanyaannya, di mana rantai peristiwa tahunta­­hun yang lain, yang membuat manusia-manusia Indonesia terus bergerak dengan segala-gala ke­ber­ un­­­tungan dan kesialannya? Bermaksud melengkapi dan menyusun rantai lini ma­ sa Indonesia yang beberapa sudah dirintis pen­da­ hu­­lu kegiatan kliping ini, saya mengoordinatori ker­ ja pengklipingan dengan rentang waktu yang be­lum per­­nah dikerjakan siapa pun, yakni satu abad; ter­ hi­­tung sejak 1 Januari 1908 hingga Desember 2008. Yayasan Indonesia Buku menggerakkan sekitar 70an ca­lon sarjana sejarah dan peminat dokumentasi di Yogyakarta untuk membaca dan menuliskan kembali sa­ripati sekira 400-an koran dan majalah berbahasa Melayu/Indonesia dan yang terbit semasa. Hasilnya adalah 21 jilid dummy Kronik Kebangkitan Indonesia, tebal selu­ruh­nya sekira 1,7 m, dengan catat­ K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 9 an: lini masa peristiwa 1945 hingga 1949 dilompati un­tuk memberi penghormatan kepada kerja yang dilakukan Noto, Osman, dan Pram. Mengkliping Ide dan Sejarah Rang­­kai­an Tumbukan Gagasan Mengkliping tak semata mengumpulkan dan menyu­sun peristiwa yang “menjadi berita” dalam bentuk kro­nik hari demi hari. Praktik mengkliping jauh lebih luas dari itu, yakni mengumpulkan dan menguratori ser­pihan gagasan/ide tentang suatu hal yang terentang jauh. Mendokumentasikan gagasan tertulis bukan hanya memberi kita gambaran pergulatan pemikiran, ta­pi juga pertumbukan dan kesinambungan ide itu sen­diri. Dalam bahasan praktik mengkliping gagasan inilah kita berjumpa dengan buku serial Capita Selecta yang disusun dengan sangat gigih oleh Pitut Soeharto. Buku ini sesungguhnya proyek Menteri Penerangan Ali Moertopo dan pembiayaan ri­set­ nya ditanggung Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dengan mak­sud mem­ perkenalkan kembali “batu-batu ba­ngun­­an sejarah yang menjadi dasar ter­ben­tuk­ nya ne­ga­ra dan bangsa Indonesia merdeka”. Capita Selecta berisi kumpulan tulisan asli (disan­dingkan terjemahannya jika ditulis da­lam baha­sa Belanda) dan pidato tokoh-tokoh perintis per­ge­rakan kebangsaan— minus pemikir-pemikir yang ber­ha­lu­an komunis—dalam menyusuri berkem­bang­­ nya na­sio­nalisme. Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, Soemarto, Soekiman, Abdoel Moeis, Agoes Salim, Satiman, Moh. Jamin, Gatot Mangkoepradja, Soetomo, RP Soeroso, Iwa K. Soemantri, Mohammad Hatta, dan Soekarno antara lain sejum­ lah na­ma yang tulisannya ter­muat dalam Capita Selecta. Buku Capita Selecta terdiri dari 23 seri, yang masing-masing dengan ketebalan 350-an halaman dan me­mu­at lebih kurang 20 artikel. Oleh Pitut Soeharto, ma­singmasing seri gagasan dibubuhi judul serupa ju­dul-judul roman. Baca ke-23 judul Capita Selecta ini: (1) Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok; (2) Cahaya di Kegelapan; (3) Maju Setapak; (4) Permata Terbenam; (5) Belenggu Ganas; (6) Kamar Gelap yang Sepi; (7) Terali Besi; (8) Sangkar Emas; (9) Lepas Bebas Mengangkasa; (10) Kata yang Satu; (11) Kehadiran yang Seribu Hari; (12) Keringat di Terik Matahari; (13) P raktik K liping dan D aya B udi K ultural Koran—juga majalah dan buku—adalah media massa(l) yang berperan cukup besar memicu dan mendinamisasi lahirnya jejak-jejak ide tentang ke­bangunan ke­­bangsaan dalam pelbagai aspeknya. Pen­carian yang keras dan kuat tentang persamaan, kemerdekaan, demokrasi di alam pemikiran manusia-ma­nusia Indonesia bisa kita rentangkan jika kita menya­­jikan seluruh potongan gagasan da­ri segala za­man pergerakan itu, untuk dibaca dalam konteks ke­kinian. arsipelag o ! M uhidin M . D ahlan 10 Pasang Surut; (14) Di Ufuk Barat; (15) Siapkan Diri; (16) Robeknya Tiga Warna; (17) Badai Melanda Tahta; (18) Gelombang Rakyatku Datang; (19) Lonceng Bahagia; (20) Kutemukan Diriku Pribadi; (21) Pancaran Dinamika; (22) Jeritan Jelata; dan (23) Lawan Kemelaratan. Melihat rentang gagasan yang disusur Capita Selecta ini—sekira 60 tahun dihitung sejak warsa kedua abad 20 hingga tahun ‘70-an, saat Orde Baru kokoh “melawan kemelaratan”—boleh dibilang inilah proyek paling ambisius perihal kliping ide. Walaupun itu tadi, hanya mencakup lini masa akar-tumbuh nasionalisme kultural (Jawa), nasionalisme keagamaan (Islam dan Katolik), nasionalisme kebangsaan, dan nasionalisme Pancasila (pembangunan). Gagasan-gagasan nasionalisme versi kaum kiri dikesampingkan. Lantaran dianggap penting—paling tidak bagi pemerintah Orde Baru—buku ini diba­gikan ke seluruh perpustakaan sekolah. Makanya, di halaman judul (h. 3) K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 11 tertulis isian yang mesti diisi oleh sekolah. Misalnya, tang­gal diterima dan mulai dipergunakan, paraf ke­ pa­la sekolah, dan petugas perpustakaan. Kliping ide bukan hanya Capita Selecta. Doku­men­ tasi 20 tahun terakhir juga melakukan kerja pen­do­ ku­mentasian yang sama. Bukalah buku Pemikiran So­sial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999. Do­ku­ mentasi yang dikumpulkan David Bourchier dan Vedi R. Hadiz pada 2003 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 2006 ini ada­lah lini masa gagasan-gagasan sosial politik pen­ting yang tumbuh dan membuncah sepanjang pe­me­rintahan Orde Baru dibangun dari katastrofe dan run­tuh juga oleh katastrofe. Kronik Kebangkitan Indonesia - 21 jilid (versi dummy) dengan tebal selu­ruh­ nya sekitar 1,7 m Yang membedakan Capita Selecta dan Pemikiran Sosial dan Politik bukan saja soal rentang lini masa lahirnya ide-ide, melainkan cara membingkai kliping ide yang dikumpulkannya. Bourchier dan Hadiz men­ ja­­dikan 84 kliping ide sebagai cara memperkuat peri­­wayatan yang mereka lakukan terhadap Orde Baru, militer—termasuk juga Golkar sebagai selimut de­mokratisnya—dan sekaligus memperlihatkan be­ ker­­janya sistem organis-isme, ekonomi teknokratik, dan pembangunan yang apolitis, yang dirancang se­­de­mikian rupa oleh Ali Moertopo cs setelah menonjob-kan Soemitro dan kawan-kawannya yang ber­ ga­­ris politik PSI. Bukan hanya itu, pamflet-pamflet ge­ P raktik K liping dan D aya B udi K ultural Ada 84 bacaan yang terkompilasi dalam buku kliping ide ini, yang mencakup sejumlah pidato, pu­ luh­an kolom surat kabar, beberapa pamflet, buklet, dan pleidoi pengadilan yang merentang sepanjang 34 tahun, antara 1965 hingga 1999. Buku kliping ide ini dimaksudkan sebagai radar mencermati ba­ bakan-babakan penting bagaimana rezim Orde Ba­ru mencari format politik pada era 1965-1973 dan me­ ne­mukan tahun emasnya pada 1973-1988. Antara 1988 hingga 1997 adalah fase munculnya kete­ gang­an dan pertentangan mengiringi sejumlah opti­ misme. Dan puncaknya adalah hadirnya krisis yang men­jungkalkan kekuasaan Orde Baru, dan lahirlah Reformasi. 12 arsipelag o ! rakan mahasiswa dan sejumlah brosur protes yang dilakukan LSM seperti YLBHI, PRD, dan manifes Petisi 50, juga disertakan sebagai akar-akar lahirnya pro­tes dan pembangkangan terhadap kebusukan sistem politik dan kebijakan eko­no­mi serdadu-serdadu pedagang. M uhidin M . D ahlan Seperti menyatukan kerja pengklipingan ide yang dilakukan Pitut Soeharto (Capita Selecta) dan Bourchier-Hadiz (Pemikiran Sosial dan Politik), Majalah Mingguan Tempo mengeluarkan edisi khusus untuk menyambut “100 Tahun Kebangkitan Nasio­nal”, dengan judul sampul: Indonesia Yang Kuimpikan: 100 Catatan Yang Me­ re­kam Perjalanan Sebuah Negeri. Jurnalis-jurnalis yang tergabung dalam majalah yang terbit pertama kali pada 6 Maret 1971 ini mengumpulkan teks-teks terpilih ber­isi aksara yang membuat imajinasi tentang Indonesia selalu bergerak dan diperbarui. Di sini, ketika pengertian “kliping” kita perluas dengan “mengumpulkan teks-teks yang berisi aksara”, maka yang dilakukan Tempo di edisi khusus No 3731/19-25 Mei 2008 ini adalah penyempurnaan contoh yang dipaparkan sebelumnya. Tidak hanya maklumat, pidato, brosur yang disigi dan diterakan, melainkan juga buku peta, catatan harian, kumpulan artikel, puisi, prosa, serta buku-buku ilmiah yang dianggap penting “membangun imajinasi bersama tentang Indonesia”. Tujuan yang ingin dicapai dalam pengumpulan kliping ide adalah bahwa Indonesia bukan negeri yang dibangun oleh akrobat suara dalam tradisi keli­sanan, me­­lain­ kan tulisan dalam tradisi keberaksaraan. Buku, novel, puisi, mak­lu­mat, pida­to, surat, catatan harian, polemik, laporan jurnalistik, peta, atlas, ensiklo­pe­dia, dan ki­tab undang-undang yang terkumpul adalah puspawarna yang memper­li­hat­kan sim­pul pergolakan pemikiran Indonesia modern dalam 100 tahun, 1908-2008. Tentu saja, bukan hanya tiga usaha itu (Pitut Soeharto, Bourchier-Hadiz, dan Tempo) yang mewakili kerja “kliping ide”. Masih banyak usaha-usaha yang lain. Se­perti tahun 2012, Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta mengeluarkan bu­ ku “kliping-ide” tentang seni rupa, terdiri dari 900 tulisan yang terentang dari tahun 1930-an hingga 2000-an. Setahun sebelumnya, IVAA mengeluarkan Seri Katalog Data IVAA yang merupakan senarai peristiwa-peristiwa Seni Visual Indonesia. Ber­sandar pada tema yang spesifik, keempat Seri Katalog Data itu disusun dari rangkaian kliping dan katalog, yakni: (1) “Rupa Tubuh Wacana Gender dalam Seni Ru­pa Indonesia (1942-2011)”; (2) “Reka Alam Praktik Seni Visual dan Isu Lingkungan di Indonesia (Dari Mooi Indie Hingga Reformasi)”; (3) “Kolektif Kreatif Dinamika Seni Rupa Dalam Perkembangan Kerja Bersama Gagasan dan Ekonomi (Kreatif) (19382011)”; dan (4) “Interkultural Pengolahan Gagasan dan Ekspresi Seni Visual Serta Media Alternatif dalam Konteks Keberagaman (1935 - 2011)”. Kliping ide juga bekerja di ranah kerja personal yang mengumpulkan kliping karya mereka sendiri di ratusan antologi karya yang sudah terbit dan mengisi K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 13 Soeharto, Pitut & A. Zainoel Ihsan Capita Selecta Keem­pat, Matahari Ter­benam: Kumpulan Tu­lisan Asli dan Pi­dato Tokoh-tokoh Perin­tis Pergerakan Kebangsaan dalam menelusuri Berkembangnya Nasio­nal­isme Aksara Jayasakti, 1981 P raktik K liping dan D aya B udi K ultural “Kita bisa meng­ artikan bahwa kerja kliping ide kemudian menjadi se­ben­ tuk usaha sejarah men­je­lajahi arus pe­mikiran dan ge­lombang na­ rasi tentang ki­ta dalam ke­rangka ke­indonesiaan.” katalog-katalog dunia perbukuan di Indonesia. Kita bisa mengartikan bahwa kerja kliping ide kemudian menjadi sebentuk usaha sejarah menjelajahi arus pemikiran dan gelombang narasi tentang kita dalam kerangka keindonesiaan. Kliping sebagai Kerja Politik Mengarsip bukanlah kerja teknis. Ini kerja politik. Ketika penghancuran Wikileaks di awal dekade kedua abad 21 ini menyentakkan dunia, kita tahu, para pengarsip masih hidup dan melakukan tugasnya. Bersama 14 arsipelag o ! Bourchier, David & Vedi R. Hadiz (ed) Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999 M uhidin M . D ahlan Freedom Institute dan Pustaka Utama Grafiti Jakarta, 2006 “Dame Stella Rimington yang ber­pendidikan dan bekerja sebagai arsiparis sejak 1959 di Worcester menjadi contoh sahih bagaimana dunia intelijen (detektif) dan arsip berada dalam satu paket.” timnya, Julian Assange mencari, mengunggah, dan menyebarkan arsip-arsip rahasia (kejahatan) sebuah negara. Kita tahu, ledakan kasus Julian “Wikileaks” itu kemudian menjadi bahan bakar bagi para aktivis demokrasi untuk menentang RUU yang didesain pe­ me­­rintah cum militer tentang keamanan negara dan keterbukaan informasi kepada publik. Julian Assange lebih dikenal sebagai jurnalis dan aktivis internet, dan sama sekali tak ada satu pun ca­ tut­an kepadanya sebagai seorang arsiparis: mencari, mengum­pulkan, mengamankan, dan menyebarkan. Julian memang lebih tepat disebut politisi arsip ka­re­ K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 15 na kemampuannya melakukan penelusuran dengan hasil yang membuat masya­ ra­kat sipil terkaget-kaget dan penguasa ( juga pengusaha hitam) jantungan. Contoh lain adalah pergolakan Madiun pada September 1948, dimulai dengan pro­vo­kasi arsip “Red Drive Proposals”. Dalam dokumen itu, disebutkan Amerika men­­janjikan sekira 56 juta dolar kepada Pemerintah Soekarno-Hatta, asalkan PKI bisa di­bas­mi. Pada 1965, ketika hubungan PKI-Angkatan Darat meruncing, Amerika Se­rikat melakukan operasi black letter (surat kaleng). Dokumen “Gilchrist” tentang “Dewan Jenderal” dari Duta Besar Inggris untuk Kementerian Luar Negeri Inggris di London menjadi provokasi ketegangan yang berakhir dengan memilukan: pem­ ban­­taian massal. Padahal, kita tak pernah tahu, arsip atau dokumen “Red Drive Pro­posals” atau “Gilchrist” itu ada atau tidak. Misteriusnya dua dokumen itu setara de­ngan sas-sus arsip “Supersemar” yang menjadi karpet merah berkuasanya Soeharto. Tiga dokumen yang tersaji itu hanya contoh ekstrem yang tampak di paras sejarah Indonesia: bagaimana arsip dan politik berada dalam satu paket. Untuk mencari, meng­urai, menjelaskan, dan memberikan putusan diperlukan sosok-sosok baru de­ngan keahlian khusus. Sosok itu bernama politisi arsip berkemampuan khusus. Dengan cara kerja arsiparis berkemampuan khusus itu, tentu tak terbayangkan bila Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) suatu ketika justru berasal dari arsiparis. Inilah yang pernah terjadi di Inggris. Pada 1992-1996, pemerintah Inggris mempercayakan badan intelijennya, M15, dipimpin arsiparis. Dame Stella Rimington yang ber­ pendidikan dan bekerja sebagai arsiparis sejak 1959 di Worcester menjadi contoh sahih bagaimana dunia intelijen (detektif) dan arsip berada dalam satu paket. Yang tak juga dilupakan, Rimington adalah seorang novelis yang salah satu karyanya di­ganjar Booker Prize pada 2011. P raktik K liping dan D aya B udi K ultural Kita membutuhkan kehadiran dan pengabdian para pengarsip dengan pendidikan dan keahlian teknis di atas rata-rata. Tapi, kita juga butuh politisi arsip dengan ke­mam­puan setara detektif. Sebab arsip bukan saja soal dokumen, tapi juga soal mal­praktik untuk kejahatan-kejahatan besar kekuasaan yang terencana (politik). Sung­guh naif bila kita menyebut arsip kalis dari politik. Bukalah sejarah dan cer­ mati kisah hidup tragis salah satu tokoh kunci pergerakan kebangsaan awal, yak­ni Tirto Adhi Soerjo, yang dihancurkan D.A Rinkes. Penasehat Pemerintah un­ tuk Urusan Pribumi itu menggunakan gerakan arsip yang rapi untuk mencatat, mengon­trol, memojokkan, dan menumbangkan Tirto dari gelanggang pergerakan, te­pat seratus tahun silam. Pramoedya Ananta Toer menyebut gerakan arsip Rinkes itu lewat metafora “Rumah Kaca”. Dengan arsip, gerak-gerik Tirto terlacak tanpa se­kat. Dengan tangan pengadilan, Tirto dibuang dan usaha dagangnya dipailitkan. Tak hanya itu, arsip-arsip itu dimasukkan Rinkes ke Kotak Pandora. Hasilnya, 40 ta­hun usaha-usaha Tirto di jalan pergerakan raib tak berbekas. Oleh gerakan arsip itu, Tirto dibunuh dua kali dalam sejarah. M uhidin M . D ahlan 16 arsipelag o ! Sebagai bagian dari keluarga besar kerja pengarsipan, mengkliping juga adalah kerja politik. Bahkan Taufiq Ismail menyebut pekerjaannya mengkliping peristiwa dan karya-karya budaya-sastra sebelum dan sesudah G-30S sebagai usaha meluruskan sejarah yang sudah dibengkokkan PKI dan ormas-ormas selimutnya. Kliping budaya itu, oleh Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto di-binding menjadi buku dan diberi judul: Prahara Budaya (Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.). Buku kliping yang diterbitkan Republika dan Mizan ini muncul saat Republik Indonesia merayakan tahun emas (1995). Umbul-umbul kemenangan diki­ bar­kan di mana-mana. Dan kliping tanpa saingan ini dirujuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia dan/atau penulis-penulis esai pendek di koran dan/atau pem­bi­ cara di forum-forum budaya, ketika sampai pada pem­ ba­hasan soal Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Lekra oleh buku kliping ini sepenuhnya tergambar sebagai monster ber­watak iblis, algojo pengacau budaya, gerombolan pe­maki dan mesin bahasa yang urakan. Catatan di kliping dalam Prahara Budaya bahkan menuding penyair-penyair yang memakai metafora “darah” dan “merah” sebagai terlibat langsung dan tahu persis hari pembunuhan jenderal-jenderal Angkatan Darat. Di Prahara Budaya, kliping adalah peneguhan sikap po­litik untuk mengasasinasi (to assassinate) la­wan ke­budayaan di panggung sejarah Indonesia ta­hun 1960-an. Kliping adalah legasi yang diramu, disu­ sun, dan dikocok sedemikian rupa untuk diper­ca­yai pembaca sebagai keadaan yang terberi, kea­da­an yang demikianlah adanya. Dengan kliping, penyu­ sunnya memperoleh landasan argumentasi untuk menyebarkan tuduhan tanpa bantahan, walaupun informasi-informasi dalam kliping masih sangat sumir. Dalam konteks Prahara Budaya, kliping adalah se­ buah metode yang dipakai secara sadar oleh Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto untuk memakzulkan Lekra tan­pa pembelaan apa pun. Karya-karya pekerja dan pemundak Lekra dihadirkan bukan untuk mene­­ guhkan kerja kreatif mereka di gelanggang kebu­ “Di Prahara Budaya, kli­ ping adalah peneguhan sikap politik untuk meng­ asasinasi (to assassinate) la­wan ke­bu­ dayaan di panggung sejarah Indonesia ta­hun 1960-an.” K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 17 dayaan yang bergemuruh, melainkan untuk menunjukkan pola berpikir dan cara menulis mereka seperti zombie. Yang Taufiq Ismail lupakan adalah bahwa satu tahun setelah esai meragukan tafsir Taufiq Ismail atas kliping-kliping Lekra yang disusunnya, adalah saya dan tim Index Press melakukan penelitian dan pembacaan intensif terhadap ratusan surat kabar di Indonesia, untuk menyambut satu abad terbitnya Medan Prijaji yang jatuh pada tahun 2007. Dan di situ saya dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri menemukan koran resmi PKI yang terlarang, Harian Rakjat, dalam jumlah ribuan edisi. Di koran yang sembilan kali diberedel tentara di masa Orde Karno itulah puzzle paras Lekra terkumpul satu demi satu dengan hasil di luar dugaan. Buku Lekra Tak Membakar Buku dan dua sekondannya: Gugur Merah (Puisi) dan Laporan dari Bawah (Cerpen) adalah buku yang memakai metode kliping untuk melawan dominasi Prahara Budaya. Bahwa generasi pembaca yang baru mestilah memiliki alternatif bacaan, terutama saat mereka membaca peristiwa kebudayaan di rentang 1950-1965. Di Prahara Budaya, Lekra disempitkan hanya sebagai orgaan yang konsen dengan kesusastraan dengan wajah momok hiyong. Di Lekra Tak Membakar Buku, kliping-kliping tentang Lekra yang pernah (di)hilang(kan) di­susun ulang untuk memberi informasi bahwa Lekra organisasi yang solid dan memiliki pola kerja dan tuntunan yang rapi. Cakupan wilayah kerja kreatif Lekra di­gambarkan lebih luas ketimbang hanya mengurus soal kesusastraan. Lapangan kesusastraan hanyalah satu bidang kerja kreatif. Masih ada kerja musik, film, seni pertunjukan dan drama, tari, penerbitan, dan pengelolaan akademi untuk regenerasi kader budaya progresif. Sayang, setelah tiga bulan terbit, pelbagai hambatan mulai menghampiri distribusi buku Lekra Tak Membakar Buku. Ditolak oleh toko buku raksasa dengan cabang P raktik K liping dan D aya B udi K ultural Karena hadir sebagai metode, maka untuk memberikan pukulan balik atas Prahara Budaya, mestilah dengan jalan kliping pula. Mestilah ada usaha melakukan penghadiran kembali kliping yang lain atas subjek Lekra dan peristiwa kebudayaan semasa. Maka, pada tahun 2005 atau satu dasawarsa setelah Prahara Budaya terbit, saya membaca ulang Prahara Budaya dan mempertanyakan soal-soal sumir yang disodorkannya. Esai pendek untuk memperingati 55 tahun Lekra yang berjudul “Lekra Membakar Buku?” itu dimuat Jawa Pos edisi Minggu pada 17 Agustus 2005. Yang mengagetkan adalah ketika dua pekan kemudian muncul bantahan Taufiq Ismail atas esai itu di halaman yang sama koran yang terbit di Surabaya itu. Esai saya dianggap hanya kegelisahan anak muda dan berusaha meyakinkan saya bahwa Lekra demikianlah adanya: organ pembakar buku, dan tak ada keraguan di dalamnya, tak ada abu-abu, semuanya sudah terang benderang. Taufiq Ismail hendak mengatakan bahwa kliping yang dihadirkannya di Prahara Budaya adalah kebenaran yang tak bisa lagi digoyang dan dibantah. 18 arsipelag o ! di mana-mana, nasib buku ini terkatung-katung dan tercecer di toko-toko buku loakan, sebelum disusul oleh keluar surat vonis pelarangan dari Pemerintah No. 141/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009. Buku kliping itu pun masuk dalam daftar panjang buku-buku terlarang di Indonesia. M uhidin M . D ahlan Protes ekstraparlementer lewat petisi publik dan serangkaian protes lewat diskusi dan pameran seni seperti biasa dilakukan untuk menyuarakan penolakan atas ke­putusan Pemerintah memberangus bacaan publik. Namun, jalan lain ditempuh— yang sebelumnya belum pernah ditempuh dalam sejarah pelarangan buku— yakni, mengadakan perlawanan litigasi dengan mengajukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, atas kewenangan Pemerintah melakukan pelarangan buku. Di sidang MK, saya adalah pemohon IV untuk perkara Nomor 13/PUUVIII/2010 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963: Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang. Perjuangan litigasi di MK itu diputuskan pada 13 Oktober 2010. Di hari itu, Ketua MK Mahfud MD membacakan “doa penguburan” dua staatsblad yang selama ini dija­dikan dalih hukum Pemerintah melakukan penertiban dan pelarangan barang cetakan (buku dan pers). Mulai 13 Oktober, buku Lekra Tak Membakar Buku bebas beredar sebagai bacaan publik. Nasibnya memang tak semulus nasib Prahara Budaya yang men­jum­pai pembaca tanpa hambatan. Tetapi, kehadiran dua buku yang nasibnya kini se­tara pasca-13 Oktober 2010 adalah jejak bahwa praktik mengkliping adalah ker­ja politik budaya. Praktik Kliping sebagai Kerja Harian Kebudayaan Sebagai penghormatan kepada dua orang yang telah memberikan seluruh hidup­ nya untuk menulis dan praktik kerja dokumentasi, izinkanlah saya menutup uraian prak­tik mengkliping ini dengan dua cerita dan satu paragraf penyimpul. Satu cerita berasal dari “gunting berwarna” Pramoedya Ananta Toer dan satu cerita lagi dari “ritus malam” Hans Bague Jassin. Ketika Pramoedya Ananta Toer bertandang ke Yogyakarta pada 2004, saya ber­ ta­nya kepada Maemunah Thamrin, istrinya, perihal gunting yang dipegang oleh Pramoedya Ananta Toer yang penuh dengan bebatan isolasi. Dan ini keterangan yang diberi Maemunah dengan logat Betawi yang khas: “Dia itu tuh kayak anak ke­cil gitu. Ke mana-mana bawa gunting terus. Bentar lagi tuh dilepas (isolasi). Trus digan­ti lagi dengan warna merah.” K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia “Gun­ting”, sebagaimana sudah saya urai di paragraf awal tulisan ini, adalah lema yang dipakai kamus men­dam­pingi lema “koran” untuk memberi pengertian “kliping”. Dan Pram memperlakukan gunting dalam pengertiannya yang harfiah, selurus-lurusnya sesuai pengertian kamus, yak­ni sebagai alat untuk melerai dan mencacah informasi yang diperlukannya dari koran-koran yang saban hari ter­bit. Gunting di tangan Pram adalah perkakas kerja meng­himpun sejarah. Perkakas ini sudah dikenal Pram se­jak 1942, saat ia bekerja di kantor beri­ta Jepang, Domei. Tugasnya mula-mula semata meng­kli­ping se­mua kejadian yang masuk dari seluruh kawat du­nia. Ini pe­ngakuannya: Pram keliru. Praktik mengklipingnya terhenti di ma­ lam 13 Oktober (1965), saat segerombolan laskar yang “dika­wal” serdadu mengepung rumahnya dan mem­bakar se­lu­ruh dokumentasi yang puluhan ta­ hun dibangunnya. Hi­dupnya setelah itu berpindah da­ri penjara ke penjara, hing­ga diasingkan ke Buru. Se­pulang dari Pulau Buru ta­hun 1979, barulah ia me­ mu­lai lagi dari nol klipingnya. Sa­at itu, usianya sudah ren­ta. Namun kali ini, klipingnya le­bih fokus pada in­ for­masi ihwal desa-desa di seluruh In­donesia. “Ini sa­ ya kerjakan sebagai konsekuensi pan­dang­an saya sendiri: untuk dapat mencintai tanahair dan bang­sa, secara wajar orang dituntut untuk tahu tentang yang dicintainya, tanahair dari sosio-geo­grafinya, bang­sa dari sejarahnya. Kalau tidak, cin­ta­nya terhenti pa­da cin­ta monyet,” demikian Pram berargumen atas pi­lih­ an temanya. Untuk pengumpulan kliping “citrawi Indonesia” itu, ti­ ap pagi Pram duduk di meja makan dengan gunting dan tiga koran hingga pukul tujuh. Dilanjutkan dengan mem­­­bakar sampah dan berkebun. Sepulang bertani, ia meng­gunting lagi dan menulis surat, serta kegiatanke­gi­a­tan ringan lainnya. Tidur teratur selama dua jam “Pram keliru. Praktik mengkli­ pingnya terhenti di malam 13 Oktober (1965) saat se­ge­rom­ bolan laskar yang “dika­wal” serdadu me­ nge­pung ru­ mahnya dan membakar se­­lu­ruh do­ku­ men­tasi yang pu­luhan tahun di­bangunnya.” P raktik K liping dan D aya B udi K ultural “Gaji saya 30 perak sebulan. Itu un­tuk makan, sekolah. Juga saya belikan kemeja warna bi­ru untuk kuliah di Sekolah Tinggi Islam. Harganya 75 pe­rak. Saya ngutang untuk itu dan bayar dengan tulisan … hahahaha. Dari sana pengalaman saya mengkliping. Sampai sekarang. Tak berhenti.” 19 M uhidin M . D ahlan 20 “Ka­rena tenar se­bagai pendo­ ku­mentasi yang ulung, banyak penerbit mengi­­ rim­kan buku-bu­ ku terbitannya, ba­ik penerbit di Indonesia maupun dari luar negeri. Be­­berapa tokoh mem­per­ cayakan koleksi bu­ku mereka untuk di­simpan Jassin.” arsipelag o ! hing­­ga pukul 2 siang. Menerima tamu hingga pukul 4 so­re dan dilanjutkan dengan membakar sampah. Pram me­nem­pelkan klipingnya di kertas antara pukul 7 hingga 9 ma­lam dan di sela-selanya menulis surat. Itu­lah jadwal rutin yang dijalankan Pram menyusun kliping, yang di­angan­kannya menjadi sebuah ensi­ klo­­pedia raksasa ten­tang kawasan Indonesia. Jika se­­dang bepergian, se­luruh perkakas kliping ia bawa ser­ta dalam perjalanan. Se­mua dikerjakannya sendiri tan­pa banyak bicara, ham­pir se­lama 30 tahun. Kli­ ping yang terkumpul baru 17 me­ter te­balnya (saya mengu­kurnya secara manual dan sek­sa­ma) dan tak pernah bisa berlanjut lagi karena ia keburu mangkat. Kedisiplinan yang sama ditunjukkan H.B Jassin yang me­lakukan praktik mengkliping dan mengumpulkan do­ku­mentasi sejak 1932. Di buku tipis bersampul bi­ ru dengan desain minimalis, ada sekuplet cerita ihwal la­tar pen­dokumentasian H.B Jassin. Judulnya Me­ ngenal Le­bih Dekat Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin (2011). Bu­ku ini diberi secara gratis oleh Oyon Sofyan saat saya me­wa­wancarainya di PDS H.B Jassin, Jakarta, pada 2012. Al­kisah, mula-mula H.B Jassin mengumpulkan catat­ an ha­rian sendiri dan surat pribadi yang kemu­di­an ber­lanjut me­nyimpan kepunyaan orang lain. Mulamu­la meng­gun­ting sa­at Perang Dunia Kedua ber­ke­ca­ muk di Pasifik. Ka­­rangan-karangan di Pujangga Baru dan Panji Pus­taka—dan berlanjut dengan Asia Raja, Jawa Baru, dan Ke­budajaan Timur—digunting Jassin. Jassin menye­­leksi, menggunting, mengetik mana-ma­ na yang pen­ting ka­re­na sadar ruang penyimpanan yang terba­tas. Me­nurut penga­kuan Jassin, seusai Indonesia merde­ka, ko­ran-ko­ran makin banyak, bu­ ku-buku terbitan mem­ban­jir, dan pekerjaan Jassin ma­kin banyak. Semuanya diker­ja­­kannya sendiri de­ ngan—dalam istilah Jassin sendiri—“kese­nangan dan ke­­gembiraan”. Jassin membagi waktunya dengan ketat. Waktu meng­­­kli­ping dan menulis dilakukan Jassin tengah ma­­lam hingga su­­buh di dapur rumah yang dikon­trak­ nya di Gang Siwalan 3, dekat Tangsi Peng­go­rengan, K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 21 Tanah Tinggi, Jakar­ta Pusat. Siang dipakainya untuk mengajar di uni­ver­­sitas atau memburu buku-buku di sejumlah pasar lo­ak­an, terutama Kwitang, Pasar Senen. Dengan pembagian waktu yang ketat dan di­siplin inilah, Jassin menghasilkan do­ kumentasi sastra yang jumlahnya gigantis, dengan kliping “tengah malam” se­ba­ gai bahan dasarnya. Mengetahui kayanya ni­lai dokumentasi Jassin, kolektor-ko­ lektor asing menawar koleksi Jassin yang di­to­laknya secara tegas. Kata Jassin, se­bagaimana dikisahkan ulang Abdul Hadi WM: “Betapa banyak dokumentasi sastra dan ilmiah kita yang berharga terus saja mengalir ke luar negeri. Isi perpustakaan Profesor Husein Djajadiningrat mengenai pengetahuan Islam yang tak terbilang jumlahnya, terpaksa jatuh ke salah satu perpustakaan universitas di Amerika. Isi perpustakaan Muhammad Jamin juga hilang tanpa bekas, sebagaimana nasib yang menimpa perpustakaan Hadji Agoes Salim.” Hingga 2011, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin mengoleksi 33.125 judul buku fiksi; 17.352 buku nonfiksi; 575 judul buku referensi; 246 judul majalah; 797 judul buku drama termasuk naskahnya; 600 map biografi pengarang; 400 map foto pe­ nga­­rang; 799 map foto dan peristiwa sastra; 17.357 map kliping sastra dan bu­da­ya; 1.789 judul skripsi dan disertasi; 500 judul makalah; 900 kaset rekaman suara; dan 60 video rekaman gambar. Kedisiplinan kerja mengkliping yang diteladankan H.B Jassin, sehingga kita me­ nyak­sikan hasilnya di PDS H.B Jassin yang disebut-sebut sebagai satu-satunya pu­­sat dokumentasi sastra modern Indonesia terlengkap di dunia—juga Pramoedya Ananta Toer tentu saja—adalah kedisiplinan seorang kadet. Semangat yang me­ lan­­­dasinya adalah asketisme. Asketisme tak bicara uang, tapi sebuah sikap man­­­­diri, konsisten, dan sendiri menerobos waktu untuk mencari renik demi renik penge­­tahuan. Jassin mengkliping dan melakukan kerja dokumentasi sepanjang hayatnya, kare­ na katanya: “Dengan dokumentasi kita menjadi kenal masalah-masalah, dalam hal do­kumentasi kesusas­ traan ini, kita menjadi kenal masalah-masalah kesusastraan dan pengarang-pengarang, la­tar be­lakang, dan sejarahnya. Dokumentasi adalah alat untuk memperpanjang ingatan, mem­per­da­ P raktik K liping dan D aya B udi K ultural Sadar posisi dokumentasinya, Jassin menolak seluruh tawaran asing untuk mem­ bo­­­yong hasil dari jerih payahnya puluhan tahun membangun dokumentasi sastra. Ia sabar merawatnya sendiri dan mengembangkannya secara terus-me­ne­rus de­ ngan jalan mengkliping dan mencari. Ketekunan itu berbuah anugerah yang lain. Ka­rena tenar sebagai pendokumentasi yang ulung, banyak penerbit mengi­rim­kan buku-buku terbitannya, baik penerbit di Indonesia maupun dari luar negeri. Be­ berapa tokoh mempercayakan koleksi buku mereka untuk disimpan Jassin. Be­ las­an koran mengirimkan cuma-cuma terbitan mereka, terutama yang terdapat ha­laman budaya dan sastranya. 22 arsipelag o ! “Di era Pram dan Jassin, gunting menjadi senjata mengkliping; di zaman kiwari dengan kecanggihan teknologi digital, internet dan seluruh percabangan tool-nya menjadi senjata “membina dokumentasi”.” lam, dan memperluasnya. Dengan mem­bina dokumentasi kita dapat menulis analisa-analisa, pemandangan-pe­man­ dang­an dan sejarah kesusastraan.” M uhidin M . D ahlan Pram mengkliping dan melakukan kerja dokumentasi sepanjang hayatnya, karena kata­nya: “Sejak dulu, orang-orang Indonesia tak memiliki tradisi men­ do­­ku­mentasi. Sejak zaman raja-raja. Kalau mereka men­­do­­ ku­mentasi itu semata demi raja-raja. Sejarah kita pun jadi se­jarah para raja. Tak heran saya kalau orang asing yang ba­nyak menulis tentang Indonesia. Kita tak punya de­tail ten­tang diri kita sendiri. Bayangkan, bangsa besar ini tak ke­nal di­rinya sendiri.” Demikianlah, pada akhirnya mengkliping adalah cara ki­ta “membina dokumentasi”, agar kita punya detail ce­­ri­ta sebagai bangsa yang besar. Di era Pram dan Jassin, gunting menjadi senjata mengkliping; di zaman kiwari dengan kecanggihan teknologi digital, internet dan seluruh percabangan tool-nya menjadi senjata “mem­bina dokumentasi”. Yang tak pernah berubah ada­lah: ketekunan dan obsesi! Ketekunan saja tak cukup. Ketekunan hanya menghasilkan tumpukan da­ ta mentah yang menghabiskan ruang penyimpanan ka­­mar atau perangkat penyimpan komputer; semen­ ta­­ra obsesi melahirkan usaha yang gigih untuk me­ ngu­­­bah, memola, dan mentransformasikan data-da­ta men­­jadi makna baru, menjadi daya budi kultural. Da­ lam pengertian terakhir inilah kita memahami ucapan Pram ini: “Hampir semua karya saya berasal dari kli­ ping­an koran”.  K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 23 Bacaan “Buku Kliping” Bourchier, David dan Vedi R. Hadiz (ed.), Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999, Freedom Institute dan Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2006 Bujono, Bambang dan Wicaksono Adi (penyunting), Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai, Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 2012 Dahlan, Muhidin M. dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Harian Rakjat 1950-1965, merakesumba, Yogyakarta, 2008 Dahlan, Muhidin M. dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Laporan dari Bawah: Sehimpunan Cerita Pendek Harian Rakjat 1950-1965, merakesumba, Yogyakarta, 2008 Dahlan, Muhidin M. dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965, merakesumba, Yogyakarta, 2008 Dahlan, Muhidin M. dkk, Kronik Kebangkitan Indonesia (Jilid I – 1908-1912), IBOEKOE, Yogyakarta, 2008 Dahlan, Muhidin M. dkk, Kronik Kebangkitan Indonesia (Jilid II – 1913-1917), IBOEKOE, Yogyakarta, 2008 Dahlan, Muhidin M. dkk, Kronik Kebangkitan Indonesia (Jilid III – 1918-1922), IBOEKOE, Yogyakarta, 2014 Dahlan, Muhidin M. dkk, P.R.A.M: Edisi Khusus Buletin “IBUKU”, Yayasan Indonesia Buku, Jakarta & Yogyakarta, 2006 Ismail, Taufiq dan D.S Moeljanto, Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI dkk., Republika dan Mizan, Bandung, 1995 Jassin, Hans Bague, Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi, Balai Pustaka, Djakarta, 1951 Jassin, Hans Bague, Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, CV Haji Masagung, Djakarta, 1964 Jassin, Hans Bague, Surat-Surat 1943-1983, Gramedia, Jakarta, 1984 Notosoetardjo, H.A, Bung Karno Dihadapan Pengadilan Kolonial, Lembaga Penggali dan Penghimpun Sedjarah Revolusi Indonesia, Endang dan, Pemuda, Jakarta, 1963) Notosoetardjo, H.A, Dokumen Majalah “Persatuan Indonesia”, t.t. dan masih dalam bentuk draf naskah tercecer Notosoetardjo, H.A, Dokumen Revolusi Indonesia (1945-1946), t.t. dan masih dalam bentuk draf naskah tercecer Raliby Osman, Documenta Historica I: Sedjarah Dokumenter dari Pertumbuhan dan Perdjuangan Negara Republik Indonesia, Bulan-Bintang, Djakarta, 1953 Soeharto, Pitut dan A. Zainoel Ihsan, Capita Selecta Keempat, Matahari Terbenam: Kumpulan Tulisan Asli dan Pidato Tokoh-Tokoh Perintis Pergerakan Kebangsaan dalam Menelusuri Berkembangnya Nasionalisme, Aksara Jayasakti, 1981 Sofyan, Oyon, Mengenal Lebih Dekat Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin, Lingkar Mitra dan Yayasan Dokumentasi Sastra H.B Jassin, Jakarta, 2011 Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, Kronik Revolusi Indonesia (Jilid I - 1945), Yayasan Adikarya IKAPI, The Ford Foundation, KPG [Kepustakaan Populer Gramedia], Jakarta, 1999 Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, Kronik Revolusi Indonesia (Jilid II - 1946), Yayasan Adikarya IKAPI, The Ford Foundation, KPG [Kepustakaan Populer Gramedia], Jakarta, 1999 Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, Kronik Revolusi Indonesia (Jilid III - 1947), Yayasan Adikarya IKAPI, The Ford Foundation, KPG [Kepustakaan Populer Gramedia], Jakarta, 2001 Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, Kronik Revolusi Indonesia (Jilid IV - 1948), Yayasan Adikarya IKAPI, The Ford Foundation, KPG [Kepustakaan Populer Gramedia], Jakarta, 2002 Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, Kronik Revolusi Indonesia (Jilid V - 1949), Yayasan Adikarya IKAPI, The Ford Foundation, KPG [Kepustakaan Populer Gramedia], Jakarta, 2004 P raktik K liping dan D aya B udi K ultural Dahlan, Muhidin M. dkk, Kronik Kebangkitan Indonesia (Jilid IV-XXI), kedelapan belas jilid buku lanjutan kronik ini masih dalam bentuk draf siap cetak 24 arsipelag o ! H elly M inarti - 02 - MENGINGAT TUBUH: TUBUH TARI SEBAGAI ARSIP Helly Minarti Tiga penari Indonesia di Martha Graham School (dari kiri ke kanan: Wisnu Wardhana, Setiati Kailola, Bagong Kussudiardja), sekitar 1958. Foto: koleksi pribadi Setiati Kailola 25 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia M E N G I N G AT T U B U H : T U B U H TA R I S E B AG A I A R S I P 26 arsipelag o ! D alam diskursus teoriteo­ri kritis, tu­­buh ma­­­­ nu­­sia ke­­rap di­ba­ca se­ba­­gai wacana yang me­­­nyim­­pan ingat­an (me­­mori) di mana se­jarah —dan ke­ki­ni­ an— melintas, ter­ma­suk tubuh yang me­­ nari. Namun, tu­buh, melalui apa ge­rak­­ H elly M inarti an yang lantas disepakati sebagai “ta­­ rian” dieks­pre­si­kan, terikat oleh ruang dan waktu. Sehingga, tari pun sering di­deskripsikan sebagai ekspresi kultural yang sifatnya se­saat (ephemeral), jika ti­ dak ilusif, ka­rena gerak tubuh yang me­ nari tidak da­pat “disimpan” layaknya tu­lisan, lukisan, atau patung. Adalah ke­ muskilan mengu­lang peristiwa tari, ka­ re­na tidak akan bisa persis sama, meski pe­nari dan reper­toar yang ditarikan ti­ dak berbeda. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 27 Pada awal abad ke-20, modernisasi dalam penciptaan seni memungkinkan karya tari diabadikan ke dalam medium fotografi, meski medium ini tetap terbatas dalam menangkap gerak. Fotografi cenderung membekukan gerak ke dalam pose-pose statis yang bisa jadi sarat tafsir dan cenderung menghilangkan kompleksitas serta konteks kultural tarian itu sendiri. Di tahun 1940-an, para analis dan teoris gerak tari Barat seperti Rudolf van Laban (asal Jerman yang mengungsi ke Dartington, Inggris) atau pasangan Joan dan Rudolf Benesh (Inggris) lantas mengembangkan metode-metode notasi gerak tari yang menjadi panduan hingga beberapa dekade mendatang, bahkan ketika medium video menjadi lebih terjangkau dan akhirnya me-massal. Di era digital ini, metode notasi mereka konon menemukan reinkarnasinya ke dalam aplikasiaplikasi yang dikembangkan melalui sistem komputerisasi. Di Indonesia dan masa sebelumnya (Hindia Belanda), tari disimpan dalam ingatan dan tuturan, seperti cerita-cerita ibu saya tentang pengalamannya diam-diam be­ lajar Topeng Cirebon dan Ketuk Tilu, karena dilarang ayahnya yang masih meng­ anggap menari bukan kegiatan untuk gadis baik-baik; atau anekdot tentang triktrik membohongi kakek saya agar bisa berdansa waltza di Hotel Savoy Homan, Bandung, pada 1960-an. Saya ingat, ibu saya sempat memiliki sehelai fo­to hitam putih ketika ia menari Ketuk Tilu di Bandung. Tari juga direkam ke dalam relief candi, naskah (seperti dalam Serat Wedhatama yang ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV), foto, serta serakan di berbagai medium, antara lain berupa footage terselip di dalam film dokumenter para neo-Orientalis, seperti adegan dua gadis cilik penari yang dibidik pelukis Meksiko José Miguel Covarrubias di tahun 1930-an—mereka menari dengan dada telanjang dan posisi M E N G I N G AT T U B U H : T U B U H TA R I S E B AG A I A R S I P Di Barat, meski medium film kemudian ditemukan, namun masih dicurigai oleh be­­ be­rapa eksponen tari modern seperti Isadora Duncan (1877-1927)—penari le­gen­ da­ris yang disebut sebagai pencetus tari modern—serta Sergei Diaghilev (18721929), impresario Ballets Russes berbasis di Paris (1909-1929) yang karismatik. Ba­ik Duncan maupun Diaghilev menolak medium film, sehingga deskripsi tentang je­jak-jejak tari mereka harus bersandar pada catatan-catatan para kritikus di me­ dia massa, biografi penari, atau sumber-sumber tekstual lainnya. Karya Vaslav Nijinsky (1890-1950), produksi Ballets Russes yang paling terkenal—bertajuk Le Sacre du Printempts (Rite of Spring), akhirnya direkonstruksi oleh sejarawan tari Millicent Hodson melalui penelitian bertahun yang menggunakan sumber multiar­sip, baik tekstual (ceceran catatan Nijinski dan para kolaboratornya), notasi mu­ sik pengiring, sketsa kostum dan panggung, ingatan penari senior yang menjadi asis­ten koreografer (Nijinsky), serta tubuh para penari Joffrey Ballet di New York. Ja­linan arsip ini menjadi referensi untuk rekonstruksi, karena tiadanya arsip audiovisual tentang karya penting ini, yang turut menandai babak baru dalam mo­ dernisme tari di Eropa. 28 arsipelag o ! H elly M inarti punggung yang jauh lebih melengkung daripada penari-penari Bali zaman sekarang. Tentu saja banyak yang bisa diungkap dari arsip tari. Cukilan ragam posisi tari yang ditemukan di situs-situs kuna, misalnya di relief Candi Prambanan yang dibangun sekitar abad ke-9 Masehi. Temuan ini membuka ikonografi tari sebagai ladang jelajah baru yang menghubungkan arkeologi dan seni pertunjukan (Iyer: 1998). Beberapa tahun setelah penelitiannya ini, Iyer (kini Lopez y Royo) kembali ke situs Prambanan dan berkolaborasi dengan penari/koreografer asal Solo, Mugiyono Kasido, untuk membaca kembali relief-relief tadi sebagai dasar untuk mencipta sebuah tarian baru. Praktik penelitian Lopez y Royo ini adalah salah satu contoh bagaimana hubungan antara tari dan arsip—melalui arkeologi—bisa terjalin. Arsip tari tidak selalu berkisah tentang sesuatu yang abstrak atau mati; dan praktik pengarsipan di sini menjadi aksi aktif dalam me(re)konstruksi narasi tentang masa lalu maupun masa kini Indonesia. Tari dan menari juga kerap dibayangkan sebagai salah satu laku ekspresi yang sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Baik dalam masyarakat tradisional maupun modern, tari hadir dalam beragam ritual: keagamaan, sosial, maupun hiburan (komersial). Dalam konteks yang lebih eks­ pe­rimental, tari pun menemukan inkarnasinya da­ lam modernitas (dan modernisme) global, meski ma­ suknya tari ke dalam ranah terakhir ini terhitung lam­ bat dibandingkan seni modern lainnya, seperti seni ru­pa atau fotografi, yang mediumnya sendiri memang lahir dari rahim modernitas. Salah satu pertanyaan utama dalam proses kultural ma­suknya tari ke dalam kanon sejarah negara-bang­ sa Indonesia yang masih belia ini adalah: sejak kapan tari menjadi bahasa tersendiri yang tidak melayani “tuan-tuan” sebelumnya (misalnya adat, tradisi, aga­ ma, hiburan, bahkan negara). Sejak kapan tari hadir sebagai ekspresi untuk dirinya sendiri? Atau, me­min­ jam rumusan Afrizal Malna: sejak kapan “aku” mun­cul di dalam tari dalam konteks pengalaman Indonesia “Tari dan menari juga kerap dibayangkan sebagai salah satu laku ekspresi yang sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri.” K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 29 (dalam upayanya menjadi modern?). Pertanyaan-pertanyaan ini akan coba dija­ wab melalui penelusuran sebuah studi kasus tentang satu momentum khu­sus di se­jarah tari Indonesia, dalam kaitannya memahami kedudukan dan fungsi ar­sip, yang antara lain ditarik dari pengalaman penulis meneliti tari sepuluh tahun bela­ kang­an ini. Rute Kultural: Kolonial-Pasca KolonialAmerikanisasi Pentas Martha Graham dan kelompok tarinya di Jakarta tahun 1955 adalah bagian dari politik kebudayaan Amerika pasca-Perang Dunia II (lihat Prevots: 1998). Untuk memperbaiki citra Amerika Serikat di dunia dan menandingi gencarnya gerakan kebu­dayaan yang dijalankan golongan kiri, maka Presiden D. Eisenhower menga­ ju­kan proposal ke Kongres untuk mendanai tur para eksponen koreografi tari modern Amerika—seperti Graham, Merce Cunningham, dan José Limón—ke ber­ bagai belahan dunia. Dewan Kuratorial dari Eisenhower Emergency Fund ini me­mu­ tus­kan untuk mengirim Graham dan kelompok tarinya pentas ke berbagai negara di Asia Timur, kecuali Jepang (mereka memilih untuk mengirim Cunningham yang kar­yanya dianggap lebih eksperimental, sehingga lebih sesuai untuk Jepang yang dianggap lebih maju dibanding negara-negara Asia Timur lainnya—lihat Prevots: 1998). Dalam konteks menjadi Indonesia, dinamika kultural ini—termasuk yang me­wujud dalam bentuk pertentangan global antara berbagai aliran politik—telah di­bahas melalui penelitian kolektif yang dipimpin oleh Dr. Jennifer Lindsay (lihat Lindsay dan M.H.T. Liem: 2012). Pentas Graham ini lantas disusul oleh perjalanan dua penari Indonesia ke Amerika Serikat di tahun 1958 tadi, atas biaya Rockefeller Foundation. Sepuluh tahun berselang, di tahun 1968, proses Amerikanisasi dalam kehi­dup­an politik dan budaya pasca-Tragedi 1965 di Indonesia pun mengalami mo­men­tum­ nya. Sejak tahun 1967, ketika arah politik berbalik, politik kebudayaan Amerika pun mendominasi tata kehidupan seni di Indonesia. Di dunia tari, dominasi ini dia­ wali oleh dikirimnya para seniman tari Indonesia untuk belajar di universitas-uni­ ver­sitas Amerika yang segera disusul oleh dukungan program lainnya. Hal ini ikut M E N G I N G AT T U B U H : T U B U H TA R I S E B AG A I A R S I P Meski jejak modernisme tari di Indonesia bisa dilacak hingga ke akhir abad XIX, ketika empat penari Jawa asal Wonogiri menari di pavilion Hindia Belanda dengan iringan gamelan Sunda—sebuah contoh mistifikasi Orientalis yang sempurna— namun kanon informal yang beredar sering kali mematok kunjungan dua penari Jawa lainnya (Wisnu Wardhana dan Bagong Kussudiardja) ke Amerika Serikat pada tahun 1958 sebagai salah satu momentum penting tari “modern” Indonesia, tiga tahun setelah pementasan Martha Graham (koreografer eksponen tari modern Amerika) di Jakarta. 30 arsipelag o ! H elly M inarti me­mengaruhi arah institusionalisasi seni di dunia akademi—yang diawali oleh di­ bu­kanya Kokar (Konservatori Karawitan) di tahun 1950 di Yogyakarta—termasuk da­lam seni tari. Pembacaan sejarah yang kritis tentang proses Amerikanisasi dalam bidang ke­bu­ dayaan ini adalah bukti nyata dari manfaat arsip, betapapun terbatasnya yang masih bisa diakses. Untuk melacak jejak dan pengaruh repertoar Graham ketika pen­tas di Jakarta, misalnya, tidaklah mudah; terutama dokumentasi kearsipan dalam ben­ tuk audio-visual. Helaian buku program acara memang cukup mudah diperoleh ka­­rena tersimpan rapi (bahkan sudah dipindai ke dalam format digital) di dalam arsip Martha Graham Company. Saya cukup mengirim surat elektronik kepada ma­ najer kelompok tari itu, yang masih aktif pentas dengan fokus memperkenalkan reper­toar historis karya Graham, dan ia pun segera mengirimkan. Ulasan dari surat kabar serta jurnal yang lebih mendalam (seperti tulisan Claire Holt: 1969) bisa di­ da­pat, kecuali arsip paling penting, yaitu dokumentasi dalam bentuk audio-visual. Mung­kin karena ketujuh repertoar tersebut sudah banyak difilmkan ketika pentas di Amerika, sehingga perjalanan Graham dirasa tidak perlu didokumentasi secara detail (paling tidak oleh Graham sendiri), kecuali berupa laporan-laporan tertulis. Namun, jika kita sepakat setiap pertunjukan tari adalah unik karena terikat ruang dan waktu, sehingga kedua elemen ini menentukan konteks sebuah pertunjukan, maka dokumentasi tadi tetap penting bagi pengalaman Indonesia. Kendala ini—minimnya arsip tari atau ketersediaan akses di ranah publik—iro­nis­ nya, masih berlaku untuk pengalaman-pengalaman historis tari Indonesia yang lebih baru. Akibatnya, sejarah tari modern Indonesia ditulis kebanyakan melalui pe­nu­turan yang sering kali berudar dalam tataran mitos ketimbang fakta. Salah satu yang cukup populer misalnya adegan pelemparan telur busuk ke atas pang­gung, ketika Sardono mementaskan Samgita Pancasona (melihat tahunnya, seharusnya versi lanjut karena Sardono mencipta versi I-IX selama kurun 19691971) di Surakarta pada 1971. Cerita ini beredar dari waktu ke waktu, layaknya mitos yang mengembara. Namun, sayangnya, diskusi tentang bagaimana dan mengapa peristiwa ini terjadi tidak jua berlangsung dalam ruang-ruang diskursif. Begitu pula data yang menyangkut peristiwa dan penga­laman tari yang penting di dekade-dekade be­rikutnya. Jikapun ada, dokumentasi ini justru dite­­mukan di koleksi arsip pribadi, bukan milik pub­lik. Misalnya, tidak satu pun materi audio-visu­ al ten­tang karya Hoerijah Adam—koreografer asal Minangkabau—yang tersedia. Harapan saya terak­hir, film 8mm yang direkam oleh ibu seorang pe­nari senior, entah ke mana jejaknya (konon, film ini di­serahkan kepada seseorang untuk ditransfer ke for­mat DVD, namun seturut berita terakhir yang saya terima, ‘seseorang’ ini wafat tanpa sempat menye­rah­kan master maupun kopian-nya). Sehingga, un­tuk me(re) konstruksi cara Hoerijah mencipta gerak tari dan koreografi, saya harus bersiasat dengan me­wa­wancarai para kolaboratornya (terutama mantan pe­narinya). K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia Penulisan sejarah tari Indonesia secara kritis memang ba­­ru dalam taraf hasrat, karenanya masih belum me­­­­wa­ca­na, na­mun tu­lisan ini ingin memfokuskan pa­­­­­da mo­men­tum khusus yang disebut oleh Dr. Edi Sedyawati (1998) sebagai “TIM Intercultural Workshop”, yang saya identifikasi berlangsung an­ta­ ra 1968 dan 1971. Momentum ini penting karena me­­ nan­­­­dai sebuah babak eksperimentasi dalam dunia ta­ri oleh sekelompok seniman Indonesia, yang rekam je­jaknya (trajectory) menghubungkan apa yang lokal de­ngan global; yang proses krea­tifnya melahirkan tran­sisi dan transformasi atas konstruksi tentang apa yang “tradisional” dan/atau “nasional” menjadi eks­ pe­­­ri­mentasi memodern—menjadi aku—yaitu ketika ta­­ri ti­dak lagi melayani kepentingan di luar dirinya sen­diri. Meminjam Savigliano (2011: 168), para seniman tari ini adalah eksponen yang telah menjadi bagian dari “dance traffic and trafficking”, yaitu istilah yang berarti pertemuan-pertemuan internasional dan interkultural antar-para penari berikut pengetahuan-pengetahuan tari yang telah berlangsung selama berabad-abad lamanya. Perjalanan tari mereka juga melukiskan dinamika dari mobilitas kultural, yaitu dialektika antara impuls-impuls persistensi dan perubahan kultural (Lindsay, 2012: 22). Kompleksitas ini terwakili oleh karya-karya koreografi yang dilahirkan melalui praktik artistik yang lahir le­ wat proses kolaboratif. Dalam periode inilah, penari Sardono menggubah Samgita Pancasona I-IX (dari 1969 hingga 1971) dan Dongeng Dari Dirah (1974); Julianti Parani dengan Sangkuriang; Farida Sjuman (sekarang Oetoyo) dengan Rama dan Shinta, Gunung Agung Meletus, Putih Putih, serta Putih Kembali; sementara Hoerijah Adam menciptakan Tari Payung (1970), Sepasang Api Jatuh Cinta (1971), dan sendratari Malin Kundang (1971). Yang paling khusus dan penting adalah lahirnya bera­ gam praktik artistik dari eksperimentasi ini, ter­ma­suk proses terjadinya kolaborasi antarmereka dan para penari pendukungnya (di antara nama-na­ma yang M E N G I N G AT T U B U H : T U B U H TA R I S E B AG A I A R S I P “Sejak tahun 1967, ketika arah politik berbalik, politik kebudayaan Amerika pun mendominasi tata kehidupan seni di Indonesia.” 31 H elly M inarti 32 arsipelag o ! K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 33 M E N G I N G AT T U B U H : T U B U H TA R I S E B AG A I A R S I P Malin Kundang (1971) karya Hoerijah Adam Foto: koleksi pribadi Dr. Julianti Parani 34 arsipelag o ! ke­lak terkenal dan tetap di jalur tari adalah Sentot Sudiharto, Retno Maruti, dan Sal Murgiyanto). Dengan minimnya arsip fisik (foto, apa­lagi audio-visual), maka kepingan penting dari se­ja­rah tari modern Indonesia ini, tidak jarang, hanya mung­kin dilacak dan disusun melalui tuturan tentang ingatan (memori) tubuh para penari ini, serta para penari dari generasi yang lebih muda yang berguru kepada mereka (seperti dalam kasus Hoerijah Adam yang meninggal dalam usia muda, 35 tahun, pada November 1971). H elly M inarti TIM International Workshop 1968 - 1971 & Transformasi Korpo­ral (Corporeality) Apa yang sesungguhnya terjadi di TIM Intercultural Workshop 1968-1971? Hal ini berawal dari diresmi­ kan­nya Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat ke­­se­nian di Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin, yang memerintah dari 1966 hingga 1977. Dengan visi men­ ja­­dikan ibukota Jakarta sebagai salah satu me­tro­­ po­lis di kawasan regional—sebuah proyek mo­­dern­­ isme—TIM dirancang untuk menjadi sarana per­kem­ bangan seni di Jakarta, yang dilengkapi in­fra­struktur kesenian yang diwakili oleh Akademi Jakarta, PKJ TIM (pengelola), serta Dewan Kesenian Jakarta; yang terakhir ini ditempatkan menjadi pe­ran­cang program (kuratorial). Ali Sadikin terkenal ber­­kata, “...seniman itu sulit diatur, biarlah mereka mengatur dirinya sendiri,”— sebuah gagasan yang akhir­nya tertuang ke dalam pendirian DKJ melalui Su­rat Keputusan Gubernur. TIM memang menjadi ba­gi­an dari proyek modernisme Ali Sadikin, yang mem­perkenalkan ideologi kemajuan (progress) mela­lui pro­ses modernisasi de­ngan segala kon­se­kuen­sinya (se­perti yang didiskusikan oleh beberapa ahli per­ko­taan). Kehadiran TIM mengundang para seniman (yang tak terasingkan pasca-1965) untuk berkumpul dan menjadikan TIM forum pertemuan, melalui panggung pentas, pameran, maupun diskusi. “Tiba-tiba saja, Ali Sadikin terkenal berkata, “... seniman itu sulit diatur, biarlah mereka mengatur dirinya sendiri, ...” K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 35 tersedia ruang berlatih serta ruang untuk berpentas. Belum lagi DKJ waktu itu mampu mendanai produksi yang rasa-rasanya cukup saja, sehingga kami tidak perlu mencari tambahan biaya lain,” kisah Farida Oetoyo (wawancara, 2011). Menurut Farida, prosesnya terjadi secara alamiah. “Misalnya, Sardono berimprovisasi dengan Sentot, lalu kami awalnya menonton dari pinggir. Eh, tidak lama kemudian, kami pun bergabung,” kenang Farida. Kurun ini adalah masa ketika identitas kultural penari berhubungan langsung de­ ngan identitas kepenariannya, seperti ditegaskan Sardono pada Murgiyanto (1991). “Kebanyakan peserta (TIM Intercultural Workshop) sadar jika mereka me­wa­kili bukan hanya diri mereka sendiri sebagai individual, namun juga (mewakili) se­buah gaya tari tertentu serta mewakili wilayah kultural. Saya membawa serta per­sepsi pribadi dan kultural saya sebagai seorang penari Jawa. Kami bertukar ga­gasan M E N G I N G AT T U B U H : T U B U H TA R I S E B AG A I A R S I P “Kami” di sini adalah mereka yang telah memiliki rekam jejak “dance traffic and trafficking” serta mobilitas kultural tadi. Farida, misalnya, belajar balet klasik sejak kecil di Singapura, Australia, dan Jakarta; mendirikan sekolah balet bersama Julianti Parani pada 1959 dan menamakannya Nritya Sundara (yang uniknya diam­bil dari bahasa Sanskrit), sebelum meneruskan mendalami balet di Akademi Balet Bolshoi di Moskow (waktu itu ibukota Uni Soviet) selama empat tahun (1964-1968). Sardono, anggota termuda DKJ angkatan pertama, belajar pencak silat sejak kecil serta menari Jawa klasik di bawah bimbingan beberapa empu di Surakarta, dan mencuri perhatian sebagai Hanuman dalam produksi akbar Balet Ramayana (1961), sebelum berangkat ke New York untuk tampil dalam World Fair pada 1964. Sardono (waktu itu 19 tahun) memutuskan untuk tinggal le­bih lama di New York, dan mengambil beragam kelas gerak dan tari, mulai dari kelas Jean Erdman (salah satu mantan murid Martha Graham) hingga kelas yang kemudian ia ketahui sebagai yoga. “Waktu itu, W.S Rendra sedang di New York, dan percaya atau tidak, saya belum pernah mendengar tentang dia sebelumnya,” ujar Sardono yang baru 19 tahun ketika berangkat ke New York (wawancara, 2011). Se­telahnya, Sardono juga sempat pergi ke Kalimantan dan tinggal bersama suku Dayak Kenyah; pengalaman yang amat membekas baginya. I Wayan Diya, penari asal Bali, baru saja kembali dari India, di mana ia menetap selama hampir satu de­ka­ de, antara lain untuk belajar di Kalakshetra, perguruan seni yang didirikan oleh Rukmini Devi, penari yang terkenal merevitalisasi bharatanatyam hingga ke bentuk yang kini dunia kenal secara luas. Hoerijah Adam, yang baru saja menetap di Jakarta, adalah penari asal Minangkabau yang telah mengukir nama di Sumatra Barat dengan terobosan-terobosan teknik tarinya yang menegaskan kembali asal tari Minang, yang berdasar pada gerakan-gerakan pencak silat; citra yang sebelumnya didominasi oleh tari Melayu yang populer di daerah perkotaan. Julianti Parani, meski mobilitasnya terlihat tidak lintas-geografis, namun berlatih ba­let serta beberapa teknik gerak Barat seperti Martha Graham (di bawah arahan Setiati Kailola)—dua pendekatan akan tubuh yang amat berbeda, jika tidak ber­ tentangan. H elly M inarti 36 arsipelag o ! “Saya tidak melatih mereka agar bisa menjadi penari balet klasik yang profesional, tetapi saya mengadaptasi teknik tersebut sebagai sebuah bahasa gerak,...” dan pengalaman.” (Sardono, dikutip Murgiyanto, 1991: 348, terjemahan saya). Farida Oetoyo Pertukaran gagasan dan pengalaman di antara para penari ini terjadi terutama dalam tataran korporal, yaitu ketika mereka saling belajar teknik menari satu sama lain, dan kemudian saling membantu proses kreatif masing-masing dalam mencipta koreografi. Ketika Hoerijah Adam harus mengajarkan teknik tari Minangnya kepada Farida Oetoyo dan Julianti Parani yang berbasis tari balet klasik, misalnya, ada transformasi dan adaptasi korporal yang ter­ ja­di, karena teknik Minang yang mengakar pada pen­cak silat itu “bertemu” tubuh-tubuh tari berbasis ba­let klasik. Begitupun sebaliknya. Farida Oetoyo, m­isalnya, dengan sengaja mengadaptasi teknik tari balet klasik gaya Rusia-nya. “Saya tidak melatih me­reka agar bisa menjadi penari balet klasik yang profesional, tetapi saya mengadaptasi teknik ter­se­ but sebagai sebuah bahasa gerak,” cetus Farida (wa­ wan­cara, 2011). Hasilnya adalah sebuah teknik gerak yang baru, tentu dengan sensibilitas atau “rasa” balet klasik. Pertama-tama, para penari ini sangat menyadari identitas personal serta kultural mereka masingmasing. Kedua, mereka memprioritaskan pertukaran “gagasan dan pengalaman” ini, yang terutama terjadi dalam tataran korporal—tidak lagi primordial— yang terjadi melalui modernisme-modernisme yang saling terhubung, yang mereka temukan dalam perjalanan sebelumnya, karena beberapa di antara mereka telah mengalami capaian tertentu akan mobilitas kultural dalam bentuk “dance-traffic” yang eklektik, baik dalam lokalitas mereka sendiri (Jawa, Minangkabau, dan Jakarta di tahun 1950-an, ketika jejak modernitas Hindia Belanda masih terasa, misalnya dengan kehadiran guru-guru balet asal Belanda yang baru memutuskan kembali ke Belanda pada dekade berikutnya) maupun di dalam pusatpusat kosmopolitan seperti Chennai di India (bagi I Wayan Diya), New York (Sardono), atau Moskow (Farida Oetoyo) (Minarti, 2014: 79). K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 37 Di forum-forum seperti inilah, perbedaan mendasar dari setiap teknik tari yang diwakili terungkap. Sardono, misalnya, mengamati perbedaan tentang kon­ sep ‘perempuan’ dalam tari Jawa putri dan tari Minang di dalam workshop ini (Murgiyanto, 1991). Jika yang pertama mewakili arketipal tertentu, ia tidak mene­ mu­kan hal yang sama dalam tari Minangkabau, misalnya, yang mendasarkan ge­ rak perempuan Minang pada tokoh sosok ideal “si ganjuo lalai”, yang dilukiskan da­lam pepatah ( jika ia bergerak) “semut terinjak pun tidak mati, tersandung alu pun akan patah jadi tiga”. Artinya, gerak perempuan Minang haruslah anggun, namun mengan­dung kekuatan yang dahsyat—jika dibutuhkan. Con­toh singkat yang saya kutip di awal tulisan ini, tentang bagaimana Millicent Hodson, seorang peneliti dan ahli tari asal Amerika Serikat, menghabiskan ber­ ta­hun-tahun untuk merekonstruksi Le Sacre du Printempts (Rite of Spring) karya Vaslav Nijinsky—koreografer asal Rusia keturunan Polandia yang menciptakan kar­ya yang diproduksi Ballets Russes di tahun 1913—adalah salah satu cara untuk “menghi­dupkan” arsip tari dan mengubahnya menjadi materi pembelajaran dan peng­ajaran tentang sejarah sekaligus refleksi perkembangan tari saat ini. M E N G I N G AT T U B U H : T U B U H TA R I S E B AG A I A R S I P Bayangkan jika proses ini terdokumentasi dengan baik. Karya koreografi-ko­reo­ grafi yang dihasilkan selama periode TIM Intercultural Workshop 1968-1971 ini penting bagi sejarah perkembangan tari Indonesia, namun sayangnya, do­ku­ men­tasi tentang pencapaian prosesual ini terbilang minim. Hoerijah Adam, yang meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika masih berumur 35, berakhir tan­pa meninggalkan jejak berupa dokumentasi audio-visual tentang koreografi-ko­reo­ gra­fi yang ia ciptakan pada masa ini. Meski meletakkan kembali tari Minang pa­da da­sar pencak silatnya, Hoerijah kerap membawa narasi tari Melayu yang ia pe­ lajari sejak belia, namun dengan pendekatan personal yang radikal. Tari Payung gu­­bahannya, misalnya, dikenal memiliki tempo yang spesifik (“... pada awal proses, Hoerijah kerap memainkan sendiri biolanya dalam latihan, agar bisa menjaga tem­ po seperti yang ia inginkan,” cetus Sentot Sudiharto, pasangan Hoerijah dalam me­nari nomor ini (wawancara, 2011). Hoerijah juga mengubah Tari Payung yang asli­nya amat Melayu, dengan memasukkan idiom-idiom pencak silat Minang ke da­lamnya, sehingga “rasa” Tari Payung-nya menjadi khas Hoerijah. Narasi Tari Pa­yung pun ia ubah, untuk merefleksikan situasi kehidupan personalnya saat itu, mi­salnya nomor ini berakhir dramatik dengan Sentot membanting payungnya de­ ngan keras hingga robek—amat berbeda dengan Tari Payung versi Melayu yang di­tarikan dengan manis, di mana para penari tampil sambil menebar senyum. Ha­ sil­nya? Ketika nomor ini dibawa ke EXPO 1970 di Osaka, ia tidak terlalu sering di­­tampilkan karena tidak sesuai harapan para birokrat yang menemani saat itu. Ilus­trasi seperti ini saya peroleh melalui penuturan Sentot Sudiharto—empat puluh ta­­hun setelah nomor ini dicipta dan dipentaskan. Bayangkan jika ada dokumentasi audio-visual untuk karya tari ini! 38 arsipelag o ! H elly M inarti Dalam konteks akademi tari di Inggris, misalnya, dekade pertama abad ke-21 men­ ja­di periode di mana arsip tari dikontekstualisasi menjadi praktik tersendiri, yang mem­beri kontribusi tidak hanya pada pendidikan tinggi tari secara khusus, namun juga pendidikan secara umum. Siswa setingkat SMA di Inggris yang memilih kualifikasi A-Level (kualifikasi bagi mereka yang ingin melanjutkan ke universitas) dapat memilih satu paket belajar tentang proses koreografis beberapa penata tari kontemporer Inggris seperti Sobhana Jeyasingh atau Akram Khan, sebagai materi pelajaran. Kedua koreografer ini setuju untuk menyerahkan arsip-arsip tentang karya mereka, masing-masing Making of Maps (1992)1 bagi Jeyasingh dan Zero Degrees (2007) bagi Khan, untuk dijadikan pilihan materi pelajaran bagi siswasiswa A-Levels di Inggris Raya.2 Paket berbasis video Making of Maps, misalnya, terdiri dari karya utuh (do­ku­ men­tasi pementasan) berikut video yang memuat diskusi antara Jeyasingh de­ ngan komposer Alistair MacDonald; sebuah analisis tentang bagian-bagian dari ko­reografi tersebut serta informasi tentang bharatanatyam—salah satu gaya tari asal India yang menjadi dasar bagi karya-karya Jeyasingh di periode awal karirnya, ketika ia mencipta Making of Maps. Paket ini sengaja dirancang sebagai pengantar untuk Shobana Jeyasingh Company serta perkembangannya dalam konteks kontemporer “British-Indian dance”—sebuah kategori atau terminologi yang beredar dalam khazanah tari di Inggris Raya. Di Indonesia, melalui paparan saya yang terbatas dalam kerja dan praktik (baik melalui kerja penelitian maupun kuratorial) dengan institusi pendidikan tinggi tari di sini, saya mendapat kesan jika arsip tari belum mendapat tempat dalam proses pembelajaran—baik tentang masa lalu, apalagi tentang kekinian tari Indonesia. Meski para koreografer muda kita sudah fasih mengunggah (upload) video pe­men­ tasan mereka ke situs-situs seperti YouTube dan Vimeo, namun kesadaran akan arsip sebagai bahan pembelajaran masih minim, seperti tecermin dalam pem­bi­ca­ raan kasual, tulisan sinopsis pengantar karya, ataupun uraian-uraian dalam forum lokakarya maupun diskusi. Ketimpangan kesadaran kita akan pentingnya membangun dan memelihara arsip tari kita dengan mudah tecermin dari muatan-muatan arsip tari di YouTube, yang tentu saja sebagian berhubungan dengan banyak hal, seperti teknologi dan infrastruktur di masa lalu maupun kini. Buat praktik penelitian saya pribadi, lebih mudah mengakses arsip-arsip tentang sejarah tari Barat melalui medium ini ketimbang sejarah tari kita sendiri. Temuan saya di YouTube kadang mencengangkan dan membuat iri. Beberapa contoh, misalnya Hexentanz (Witch 1) “Making of Maps”; http://bufvc.ac.uk/dvdfind/index.php/title/13137 (Diakses pada 3 April 2014) 2) Untuk daftar lengkap tentang materi tari (2013-2015) yang dapat dipilih oleh siswa A-Levels sila tengok: http://filestore.aqa.org.uk/subjects/AQA-DANC3-W-TRB-SW-13-15.PDF (diakses, 3 April 2014). Saya mengutip dua paket spesifik di atas karena kedua paket inilah yang saya sempat akses langsung, koleksi dari NRCD (National Resource Centre for Dance, University of Surrey, Guildford Inggris Raya). K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 39 Dance) karya Mary Wigman (1886-1973)3—panteon tari ekspresionis (Ausdrucktanz) asal Jerman, yang amat memengaruhi khazanah tari di Barat di awal abad ke-20; cuplikan-cuplikan video yang lumayan lengkap tentang Josephiné Baker, penari kulit hitam asal Amerika Serikat yang mengguncang Paris di akhir 1920-an – 1930an dengan tarian rok pisangnya (banana skirt). Semakin saya meneliti tentang tari, semakin nyata bahwa tubuh tari adalah arsip itu sendiri, namun tubuh tari di sini harus didekati sebagai arsip yang hidup, yang menyimpan ingatan masa silam, sekaligus memproduksi ingatan masa depan. Dalam titik temu inilah, kesadaran akan pentingnya mengintegrasikan arsip men­ ja­di penting dalam beragam praktik tari kontemporer, bukan hanya semata-mata un­tuk kepentingan akademis yang sempit, tapi untuk lebih mengenal diri kita (siapa “aku” sekarang) melalui tubuh tari.  Bibliografi Holt, C., (1969) “Two Dance Worlds – A Contemplation”, dalam van Tuyl, M., (ed). Anthologies of Impulses: Annual of Contemporary Dance 1951-1966, New York: pp. 116-131 Lindsay, J., dan Liem, M.H.T., (eds). (2012) Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965, Leiden: KITLV Press Minarti, H., (2014) Modern and Contemporary Dance in Asia: Routes, Bodies and Discourse, disertasi doktoral (tidak diterbitkan), University of Roehampton (London: Inggris Raya) Murgiyanto, S., (1991) Moving Between Unity in Diversity: Four Indonesian Choreographers, disertasi doktoral (tidak diterbitkan), New York University (New York: AS) Prevots, N., (1998) Dance for Export: Cultural Diplomacy and the Cold War, Middletown: Wesleyan University Press Sedyawati, E., (ed), (1998) “Contemporary Indonesian Dance”, dalam Performing Arts, Indonesian Heritage Series, Singapore: Archipelago Press: pp. 109-115 3) http://www.youtube.com/watch?v=Tp-Z07Yc5oQ (diakses 3 April 2014). Hexentanz diciptakan sekitar tahun 1914 dan film dokumentasi di mana klip ini diambil adalah pentas di tahun 1926. M E N G I N G AT T U B U H : T U B U H TA R I S E B AG A I A R S I P Ketika saya meneliti tentang Gusmiati Suid—koreografer asal Minangkabau dan murid langsung Hoerijah Adam—dan mencari dokumentasi tentang karyanya, Rantak, yang dicipta tahun 1978 dan kini populer ditarikan oleh anak-anak di Sumatra Barat, saya menemukan 44 video terkait di YouTube (2009), sementara kini jumlah itu sudah 3040; namun tidak satu pun menyangkut pementasan yang ditarikan oleh para penari Gumarang Sakti itu sendiri —kelompok tari yang didirikan oleh Gusmiati. Untuk itu, pada 2010, saya meminta mantan penari Gumarang Sakti, Benny Krisnawardi dan Davit Doang, untuk menarikan Rantak—dan video inilah yang menjadi referensi saya. E rie S etiawan 40 arsipelag o ! K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 41 - 03 - Ideologi & Kritik Erie Setiawan Poster ceramah musik “Anatomi Musik Kontemporer” Slamet A. Sjukur. Sumber: Arsip Dewan Kesenian Jakarta H arus disampaikan pada awal tulisan ini sebuah fakta yang cukup ironis: sulitnya membaca (arsip) musik seni1 Indonesia secara periodik sesuai arah dan orientasinya pada masingmasing generasi, tidak seperti dalam sastra atau seni rupa (lukis), meskipun setiap periode mengalami konfliknya masing-masing. Dari arsip yang ditelusuri di beberapa sumber mengenai catatan musikologis peristiwa musik Indonesia, sebelum dan 1) Istilah “musik seni” (art music) dipakai bukan sebagai kategorisasi an sich, bukan pula sebuah genre yang berasosiasi pada bentuk atau medium. Musik seni berkonotasi pada orientasi penciptaan yang merepresentasikan keluasan, kedalaman, ekspresivitas, dan inovasi, yang disadari penuh oleh komponis (Vincent McDermott: 2013). Musik seni tidak berorientasi komersial seperti lazim kita mengenal musik dalam logika industri pada umumnya. Istilah “musik seni” memang mengandung risiko tertentu, tetapi harus dipilih untuk membantu memberikan pemahaman yang lain akan fenomena musik yang begitu luas di dunia ini, meskipun, ketika sudah berwujud karya, musik tetaplah disebut musik. A R S I P T E K T U R M U S I K S E N I I N D O N E S I A M A S A K I N I : I de o l o gi & K ritik ARSIPTEKTUR MUSIK SENI INDONESIA MASA KINI E rie S etiawan 42 arsipelag o ! sesudah kemerdekaan hingga saat ini, perjalanan musik seni Indonesia memang berlangsung sporadis, fragmentatif, dan parsial, meskipun berbagai dife­ ren­siasi faktanya bisa kita baca. Hampir bisa dika­ta­ kan tidak ada ideologi yang diciptakan dan mam­pu berkesinambungan serta berpengaruh pada peru­ bah­an signifikan terhadap pengembangan musik se­ ca­ra periodik, baik secara kekaryaan maupun ilmu pe­ngetahuannya. Sulit pula mencari jejak “artefak es­tetik” yang kuat, selain berita-berita pendek yang ditemukan di kliping dan beberapa buku yang lebih sering opini ketimbang sejarah dan analisa. Harus pula dipertanyakan kembali, apa fungsinya disiplin mu­sikologi di Indonesia (perguruan tingginya) yang ko­non berfokus pada penelitian tentang sejarah dan ana­lisis musik. Kita miskin ahli di bidang ini. Su­dah ten­tu, menyinggung apa yang terjadi dalam du­nia musik seni masa kini harus didahului dengan mem­ bu­ka lembaran arsip sebelumnya, dan tidak mungkin me­lompat begitu saja. Beruntung sekali penulis menemukan artikel yang ditulis Ben Pasaribu yang mengulas kaleidoskop musik kontemporer Indonesia (2005).2 Mundur ke belakang, ada Sutanto Mendut yang menulis “Catatan 90-an Komponis Kontemporer Indonesia.”3 Mundur lagi, ada Suka Hardjana dalam 6 Tahun Pekan Komponis Muda, yang menyoroti fakta penciptaan musik baru dari 1979 hingga 19854, atau Amir Pasaribu yang pada 1986 menulis Analisis Musik Indonesia dengan sangat kritis dan tajam.5 Pada 1977, D. Djajakusuma juga sudah menyampaikan pidato mengenai ide-ide pen­ciptaan musik (tradisi) baru dalam sebuah acara yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, se­ ta­hun setelah karya Slamet A. Sjukur Parentheses 2) Ben Pasaribu. “Kaleidoskopik Musik Kontemporer Indonesia”. Dalam Jurnal Etnomusikologi. Universitas Sumatera Utara. Vol. 1 No. 2. September 2005. 3) Sutanto Mendut. Kosmologi Gendhing Gendheng. Indonesia Tera: 2002. 4) Suka Hardjana. 6 Tahun Pekan Komponis Muda. Dewan Kesenian Jakarta: 1986. Suka Hardjana secara aktif melakukan pembacaan dari 1970-an hingga 2013, terutama melalui Forum Pekan Komponis. 5) Amir Pasaribu. Analisis Musik Indonesia. Pantja Simpati: 1986. Ceramah musik kontemporer Franki Raden Sumber: Arsip Dewan Kesenian Jakarta K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 43 V dipergelarkan dan mengguncang telinga banyak orang yang ketika itu masih nyaman mendengar yang “lurus-lurus”; dari sinilah konon titik mula diskursus musik kontemporer Indonesia, dan kemudian Pekan Komponis Muda-Dewan Kesenian Jakarta sebagai momen penting selanjutnya. Dua dekade sebelumnya lagi adalah pergulatan yang cukup keras tentang pencarian identitas dan ideologi musik Indonesia, yang memang baru seumur jagung pasca-didirikannya Sekolah Musik Indonesia (SMIND) tahun 1952, sebagai sekolah musik formal pertama di Indonesia. Amir Pasaribu: Jejak yang Hilang Pada dekade 1950-an, Amir Pasaribu adalah salah satu tokoh yang berdiskusi cukup serius dengan Ki Hadjar Dewantara dan beberapa tokoh lain untuk menemukan apa itu “kebudayaan nasional”, termasuk musik sebagai sebuah ideologi—meskipun usaha ini terbilang kurang berhasil karena tidak ada yang meneruskan di kemudian hari. Amir Pasaribu meninggalkan beberapa karya penting, sebagiannya adalah karya-karya piano yang dimainkan oleh pianis Ananda Sukarlan, yang menurut penuturan Ananda, teknik pianonya sangat khas Indonesia, berbeda dengan karya-karya piano dari Barat. “Dia komponis Indonesia pertama yang menggunakan teknik komposisi seperti bi-tonal, poliritme, atau musik-musik abad ke-20. Uniknya, Amir Pasaribu menggunakan teknik Barat, tetapi dengan idiom Indonesia. Dia yang menemukan itu pertama kali. Musik Amir Pasaribu sangat Indonesia, tetapi dengan teknik yang bukan semata-mata Klasik-Romantik. Dan itu yang membuka mata saya bahwa, oh ternyata bisa. Ada banyak kemungkinan.”6 Amir, pada 1950, pernah pula membuat Liga Komponis dan Ikatan Pemusik Indonesia untuk pertama kalinya. Tetapi sayang, Amir Pasaribu memiliki kevakuman berkarya yang cukup lama, dan sebagian besar arsip karya-karyanya sudah tidak terawat, bahkan hilang. Menurut Yohanes Bintang Prakarsa, surutnya nama dan posisinya adalah setelah ia pindah ke Suriname, sejak pertengahan tahun 6) Wawancara Art Music Today dengan Ananda Sukarlan. 12 Juni 2012. A R S I P T E K T U R M U S I K S E N I I N D O N E S I A M A S A K I N I : I de o l o gi & K ritik Di samping itu, melompat ke dekade 1990-an dan 2000-an, Masyarakat Musikologi Indonesia (kemudian menjadi MSPI) juga meninggalkan beberapa terbitan penting untuk membaca (arsip) pengetahuan musik, karawitan, maupun etnomusikologi di Indonesia, yang bisa menjadi sumber wawasan berharga, terutama bagi kajian. Tak ketinggalan pula tulisan-tulisan Franki Raden maupun Dieter Mack, yang turut mewarnai perdebatan tentang musik modern Indonesia dengan data-data yang detail. Tulisan ini melengkapi apa yang pernah ditulis sebelumnya. Karena terbatasnya ruang, maka dihindari analisis yang mendalam serta pembacaan arsip secara kronologis. Tulisan ini lebih merangkum beberapa momen penting secara fragmentatif, yang menurut penulis perlu untuk diketengahkan. 44 arsipelag o ! E rie S etiawan 1960-an. Ia bekerja antara lain sebagai dirigen Orkes Filharmoni di Paramaribo, serta—setelah Suriname merdeka pada tahun 1975—sebagai penerjemah dan penulis pidato untuk Kedutaan Besar Indonesia, dan kemudian berhenti membuat komposisi.7 Tahun 2015 adalah peringatan 100 tahun komponis yang sering disebut pula sebagai pendidik, kritikus, dan intelektual musik seni generasi pertama ini. Perjalanan hidupnya ditulis oleh Erita Sitorus untuk penelitian pascasarjananya, dan kemudian dibukukan. Yang penting dari Amir Pasaribu adalah percikan dialektika ideologis bagi arah musik Indonesia pada masa itu. Amir juga disebut generasi pertama komponis Indonesia, setelah era W.R Supratman, Cornel Simanjuntak, Binsar Sitompul, Liberty Manik yang sebetulnya lebih pas disebut sebagai penulis lagu (song writer). Kemudian, 1970-an adalah dekade di mana wacana tentang musik kontemporer Indonesia mulai bersemi dan menimbulkan banyak perdebatan di kalangan para komponis dan ahli musik, khususnya di Jakarta. Perdebatan ini masih (agak) berlanjut sampai 2005, ketika diselenggarakan Pekan Komponis ke11 di STSI Surakarta (sekarang ISI Surakarta), meskipun perdebatan ini juga tidak menjadi jelas ujung-pangkalnya, dan sekarang sudah terasa tidak menarik lagi untuk dibicarakan. Bersamaan dengan perdebatan ini, karya musik seriosa juga mulai bertumbuh, dengan tokoh-tokoh sentral seperti Mochtar Embut, F.X Sutopo, R.A.J Soedjasmin, Tuwuh. Dekade 1980-an adalah yang paling seru, di mana banyak pemikiran, perdebatan, dan derasnya karya-karya baru yang muncul akibat gesekan, pertemuan, maupun diskusi intensif tentang estetika penciptaan berdasarkan pengalaman masingmasing komponis, terutama yang pernah mengenyam studi formal. Salah satu faktanya, Suka Hardjana berhasil “membaurkan” para komponis yang bertolak dari tradisi (pendidikan karawitan) dan komponis yang bertolak dari tradisi (pendidikan musik klasik Barat) dalam forum Pekan Komponis Muda-Dewan Kesenian Jakarta, yang mewarnai perkembangan pada masa itu tentang pergumulan sosial dan kreatif berbau “baru”. Dari Pekan Komponis tersebut (terakhir 2013), lahir namanama yang sebagian (tidak semua) mampu mengusung ideologi yang konsisten dan berhasil hingga saat ini. Suka Hardjana selalu “mengakui” bahwa hampir se­ mua komponis Indonesia yang moncer adalah alumni Pekan Komponis Indonesia, misalnya Rahayu Supanggah, I Wayan Sadra8, Nyoman Windha, dan seterusnya. 7) Yohanes Bintang Prakarsa. Amir Pasaribu: Riwayatmu Kini. 2008. 8) I Wayan Sadra berhasil meninggalkan jejak Bukan Musik Biasa (BMB) di Solo, sebuah kegiatan rutin yang memfasilitasi para komponis untuk mementaskan dan mendiskusikan karyanya. Ketika artikel ini ditulis, BMB sudah memasuki seri ke-39. Pasca-meninggalnya I Wayan Sadra, BMB diteruskan oleh kolega-koleganya, seperti Joko S. Gombloh, Gunarto “Gondrong”, dan kawan-kawan. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 45 Ton De Leeuw Musik Kontemporer Untuk Awam Sumber: Arsip Dewan Kesenian Jakarta Kepincangan Ilmu Musik Ada sebuah momen yang penting pula pada kurun ‘80-an, di mana Suka Hardjana dari LPKJ (sekarang IKJ) mengalami benturan pemikiran yang seri­ us dengan Suhastjarja dari AMI (sekarang ISI Yogyakarta).9 Seperti dilaporkan harian Kompas, Kamis, 5 November 1981: “Akademi Musik Indonesia (AMI) memang menolak me­ masukkan musik masa kini ke dalam kurikulumnya. Se­ bab, jenis musik tersebut sama sekali tidak berbi­ca­ra pada lingkungan. Dan bisa membuat se­ko­lah men­jadi lembaga yang mengucilkan mahasiswa dari masyarakatnya. De­mi­ 9) Dalam wawancara penulis dengan Suka Hardjana (4/3/2014), beliau juga membenarkan fakta ini. A R S I P T E K T U R M U S I K S E N I I N D O N E S I A M A S A K I N I : I de o l o gi & K ritik “Inilah salah satu kegagalan kebijakan per­gu­ruan tinggi mu­sik kita pada masa itu, yang hanya melihat musik secara ka­sat mata (ma­terialisme) serta me­ng­a­ baikan fakta-fakta ilmu pengetahuan yang bisa digali di sebaliknya.” 46 arsipelag o ! kian pen­dapat Ketua AMI Yogya, A.P Suhastjarja, Master of Music. Jenis mu­sik yang di­ang­gap hanya dinikmati segolongan sangat kecil masyarakat dan tidak di­­­terima ling­kungannya tersebut adalah musik konkrit, elektronik, elektro akustik, yang da­lam bahasa awam disebut “musik tak lazim.”10 E rie S etiawan Perdebatan ini sungguh menarik dan berpengaruh be­sar pada kualitas pendidikan mu­­sik di tingkat per­­gu­ruan tinggi. Terjadi “mazhab” Jogja yang tidak pro dengan musik masa kini, dan “mazhab” Jakarta yang sangat terbuka dengan ber­­­­ba­gai ke­mungkinan kontemporer. Dari sinilah, me­nu­rut asumsi penulis, terjadi stag­nasi se­rius yang mem­e­ngaruhi cara pandang “intelektualitas” maupun la­­ku krea­tif para komponis maupun musisinya. Ada ke­mandekan teoretik yang cukup mem­­batu. Kampus seni (musik) yang konon tertua di Indonesia (berdiri 1960-an!) ter­­nyata tidak pernah bisa mengikuti perubahan zaman yang terjadi hingga hari ini. Inilah salah satu kegagalan kebijakan perguruan tinggi musik kita pada masa itu, yang hanya melihat musik secara kasat mata (materialisme) serta me­nga­bai­kan fakta-fakta ilmu pengetahuan yang bisa digali di sebaliknya. Musik sebagai “jem­ batan” me­nuju sains: fisika, psiko-akustik, misalnya, belum pernah dipandang perlu. Dan agaknya, kebijakan yang keblinger ini merembet ke hampir seluruh perguruan tinggi lain yang memiliki program musik. Kurikulum pendidikan di perguruan tinggi mu­sik kita rata-rata juga berhenti pada sumber materi Abad ke-19 (Romantik Akhir). Ini disebut oleh Slamet A. Sjukur11 bahwa kita ketinggalan 200 tahun! Anehnya, ma­ sih banyak yang percaya kalau yang paling tua ini paling bagus. Alhasil, pasca-Masyarakat Musikologi Indonesia, tidak ada satu pun perguruan ting­ gi musik di Indonesia yang memiliki laboratorium representatif yang menyimpan ar­ sip lengkap musik seni karya Indonesia dari dekade ke dekade, sampai pada ana­ lisis lengkapnya, pencatatan sejarah, dan perkembangan terbarunya, yang pada era sekarang ini, musik sangat berdampingan mesra dengan teknologi paling mu­ takhir, sungguh berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya. Dampaknya yang serius bagi banyak mahasiswa, alumni, pekerja musik, maupun masyarakat saat ini, kegiatan “berpikir musik” adalah sesuatu yang rasanya berat dan tidak perlu! Ki­ta sudah melihat bersama fakta yang jelas, bahwa selera musik masyarakat Indonesia menjadi seragam tanpa ada penyeimbang yang proporsional.12 10) Sesuai yang ditulis wartawan Kompas Efix Mulyadi. Dikutip dari arsip asli Dewan Kesenian Jakarta. Permasalahan ini juga diulas secara cukup detail pada buku Dieter Mack (Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural, Arti, 2005). 11) Slamet A. Sjukur adalah salah satu sosok komponis yang perlu sekali dicatat karena kemampuan multidisiplinnya dan kete­guh­an­nya merawat musik hingga hari ini melalui ceramah maupun pem­bangunan pola regenerasi. Forum musikologisnya yang masih ber­jalan adalah Pertemuan Musik Surabaya dan Pertemuan Musik Jakarta, yang diselenggarakan sebulan sekali. Artikelnya masih bisa kita baca sebulan sekali di majalah musik Staccato. 12) Baca pula: artikel “Menuju Kematian Musikologi” oleh penulis, di: www.artmusictoday.com K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 47 Apabila ide Soekarno menolak imperialisme Barat melalui jalur musik tidak “dibu­ nuh”, mungkin kondisi musik Indonesia tidak seperti yang kebanyakan kita tonton di televisi saat ini. Kalaupun pop, akan memiliki warna tersendiri yang unik, tidak 100% Amerika, seperti misalnya yang terjadi pada grup musik pop Eropa Timur yang unik dan khas. Soeharto berbeda pandangan, terutama pasca-1965, se­men­ jak kran industri dibuka lebar, termasuk musik. Lalu musik pop merajalela. SBY pun ikut-ikutan bikin lagu pop yang mendayu-dayu, meninggalkan 4 ke­ping album “ma­nis” yang sama sekali tidak mencerminkan “nilai kultural” keindonesiaan. Da­ lam proses cipta lagu ini, Yapi Tambayong melakukan analisis dan memosisikan SBY sebagai pengarang lagu, bukan kita melihatnya sebagai presiden.13 Sudah sekitar 50 tahun belakangan, komponis musik Indonesia berjuang keras menggali kekayaan estetik mereka secara mandiri tanpa bantuan infrastruktur yang memadai beserta strategi kebudayaan dari poros negara, seperti halnya yang terjadi di Amerika, Jepang, Jerman, Perancis, Hongaria, yang kentara sekali bagaimana musik diakui sebagai sebuah kekuatan untuk membantu masyarakat memahami budaya mereka sendiri, meskipun banyak pula komponis merasa terasing dengan negaranya sendiri karena situasi tirani politik pada masanya. Sebagian contoh, masyarakat Perancis familiar dengan Satie, Debussy, atau Ravel, masyarakat Hongaria mengenal Bartok atau Kodaly sebagai peneliti folklor serta pencetus format pendidikan musik vokal untuk tujuan kesehatan masyarakatnya; Jepang sangat mengakrabi Toru Takemitsu, dst. Tetapi, di Indonesia, sedikit sekali yang mengenal Amir Pasaribu, Slamet A. Sjukur, Tony Prabowo, apalagi leluhur Ki Tjokrowasito—generasi pertama yang memperkenalkan gamelan pada dunia, yang pada dekade ‘90-an diteruskan Sapto Rahardjo dengan Yogya Gamelan Festivalnya, dan tetap diteruskan hingga saat ini. Sudah tidak relevan lagi mengatakan bahwa musik Barat di Indonesia adalah “barang impor” dan kita merasa inferior akibat terbelenggu “kepemilikan budaya” yang nyata-nyata pseudo (ini masih terjadi di beberapa fakta akibat doktrin-doktrin tidak jelas). Pada faktanya, Vincent McDermott, komponis Amerika mengatakan, sekarang musik klasik Barat ada di mana-mana, di seluruh Asia, Afrika, Amerika, dan seterusnya; menjadi bahasa musik dunia, seperti halnya gamelan terkenal di seluruh Amerika dan Jepang dalam kemandiriannya masing-masing, yang berbeda dengan pertumbuhannya di Indonesia.14 Banyak musisi Asia yang ampuh melebihi musisi Eropa sebagai pengimpornya. Sebutlah misalnya Vietnam, Thailand, Filipina, dan Cina. 13) Lebih lengkap, baca: Yapi Tambayong. Pak Presiden Menyanyi. KPG: 2011. 14) Vincent McDermott adalah komponis Amerika yang disebut sebagai generasi ke-2 yang turut mempromosikan gamelan ke Benua Amerika. Lebih lengkap tentang pemikirannya, baca: Vincent McDermott. Imagi-Nation. Art Music Today: 2013. A R S I P T E K T U R M U S I K S E N I I N D O N E S I A M A S A K I N I : I de o l o gi & K ritik Komponis yang Sendirian 48 arsipelag o ! E rie S etiawan Di Indonesia, Pemerintah lebih memandang musik dengan kacamata kuda, sehing­ ga hanya memiliki program-program dengan dalih pe-lestari-an (musik tradisi!), te­tapi secara halus justru mematikannya karena tidak ada upaya konkret serius se­telah proyek demi proyek selesai. Perguruan tinggi musik negeri di negara ini, yang kedudukannya setingkat di bawah Kementrian, juga tidak cukup kuat untuk menyokong disiplin ilmunya (Musikologi, Etnomusikologi?). Dan kita pun semakin jauh tertinggal, bukan tertinggal dengan bangsa lain, tetapi justru tertinggal de­ ngan pemahaman akan sejarah (musik) kita sendiri, sementara wacana adiluhung yang pseudo masih sering didengung-dengungkan. Lalu, arsip (pemikiran) musik kita di masa kini apa? Riset yang sampai di tengah masyarakat apa? Jangankan menjawab pertanyaan Mas Lono Simatupang: “untuk apa arsip itu?” Ada saja enggak. Yang sudah kadung nyusuh dan disusuh iya, te­ ta­pi yang dikelola, yang dipakai, yang dinamis? Penting untuk dicatat bersama, bah­­wa saat ini tak ada satu pun organ independen maupun Pemerintah yang men­­dedikasikan diri pada fokus pengarsipan musik seni, padahal sumbernya se­­ dang melimpah ruah. Sering mahasiswa yang sedang melakukan penelitian mu­sik kebingungan karena kosongnya arsip musik kita. Contoh kecil yang jelas se­ka­li adalah, kita bisa pergi ke toko buku. Simaklah betapa langkanya buku yang berisi pe­mikiran musik, kecuali cara cepat bermain gitar atau keyboard yang ke­banyak­ an menjebak karena berisi informasi yang keliru.15 Harus diakui pula bahwa kelemahan komponis kita saat ini adalah tentang “ke­ sa­­daran dokumentasi pribadi”. Contoh kecil, ketika diminta menyusun portofolio dan menulis data arsip ke-karya-an pribadi secara kronologis, mereka biasanya ke­­­labakan, dan tak sedikit arsip yang sudah tidak disimpan lagi. Kesadaran peng­ ar­­sipan musik menurut saya memang harus dimulai dari komponisnya, dari pen­ cip­­­tanya. Ilmu musikologi membantu analisis dan pencatatan sejarahnya, kampus dan lembaga membantu pengelolaan dan “berfungsinya” arsip itu. Adakah me­ nye­­­but sejarah musik Eropa, misalnya, tidak memulainya dari Bach, Beethoven, Brahms, Stravinsky, Schoenberg, dan seterusnya? Dari sinilah muncul wacana “ekosistem musikal”, yaitu betapa pentingnya ker­ja sa­ ma sinergis antara para organ yang berkepentingan untuk menunjang ke­ma­ju­an musik dan cara pandang sebuah bangsa akan budayanya sendiri, mau­pun per­ sing­gungan sinkretis antarbudaya. Harus diakui kembali secara lebih menge­ru­cut, bah­wa perjalanan musik kita sangatlah “individual”, berjalan sendiri-sendiri sesuai kehendak person masing-masing—dan ini tidak sehat, karena tidak tumbuh dialek­ tika. Pemikiran Fulcher (2005) barangkali akan lebih membuka pemikiran kita me­ 15) Dalam hal ini, perlu sekali digarisbawahi peran Pusat Musik Liturgi Yogyakarta yang sudah puluhan tahun konsisten merawat pengetahuan musik melalui penerbitan rekaman maupun literatur yang banyak membantu siswa atau mahasiswa musik, baik literatur seputar teknis maupun wawasan. Penulis pernah melakukan studi literatur kecil lewat sebuah esai berjudul “Jagad Perbukuan Musik di Indonesia”, dimuat di harian Suara Merdeka, 2007. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 49 nge­nai apa pentingnya sinergi/kerja sama antara komponis dan intelektual un­ tuk mewujudkan fakta nyata dari representasi nilai kultural karya musik, maupun mem­­bedah pemikiran komponisnya: Intelektual Prancis di segala bidang sangat menyadari bagaimana orientasi ideo­lo­gis diwujudkan melalui simbolisasi dalam gaya maupun genre, tidak ha­nya da­lam musik tetapi juga seni pada umumnya. Mereka sangat menyadari pen­ting­nya upa­ya tersebut; maka, intelektual bersama para komponis terlibat diskusi se­cara men­dalam tentang fakta musik yang terjadi, membangun persepsi politik ber­sa­ma-sama, dan ini berpengaruh bagi evolusi musik Prancis.16 Penanda Penting Sebelumnya, juga harus digarisbawahi bahwa di Indonesia, pada zaman sekarang, ke­putusan seseorang untuk menjadi “komponis” dalam arti yang murni17 merupakan pilihan yang berisiko tinggi, karena setidaknya beberapa alasan: (1) minimnya mu­ sisi berkualitas yang menjadi penyeimbang; (2) infrastruktur dan pendidikan yang sangat tidak memadai untuk menunjang karir seorang komponis; (3) kerja ke­ras me­lalui jalur komisi/commision work, kompetisi, hibah untuk konser, proyek kon­ ser mandiri maupun bersponsor, atau dari undangan yang muncul musiman; (4) tan­­tangan untuk menghidupi musik dengan kesadaran pengetahuan yang tinggi: ter­­utama berkontribusi pada pengembangan teknik (skill) maupun cara pandang pe­­ngetahuan musisinya (musicianship) beserta masyarakat pendukungnya; (5) ke­ mam­puan menjadi networker yang bagus; dan mungkin masih banyak alasan lain lagi. Rata-rata yang tidak kuat menjadi komponis mandiri akan memilih lari ke jalur al­ternatif seperti membuat musik untuk tari, musik untuk teater, dan musik untuk ke­pentingan advertising/aspek komersial lain, bahkan banting setir: tidak lagi men­cipta. Jika melihat fakta 50 tahun terakhir, persentase yang konsisten pada ja­lurnya memang hanya segelintir, dan sesungguhnya kita belum sanggup untuk meng­hidupi musik yang sewajarnya dengan dialektika ekosistem yang sehat dan seimbang, tanpa harus mengatakan ideal. 16) Kutipan diterjemahkan. Jane F. Fulcher. “The Composers as Intellectual: Music and Ideology in France 1914-1940”. Oxford University Press. 2005. Hal. 8. Contoh dari fakta ini bisa dilihat dari karya-karya atau perjalanan seniman musik Perancis seperti Erik Satie, Claude Debussy, Maurice Ravel, dan seterusnya. 17) Baca pula: Sejak Kapan Indonesia Punya Komponis? Artikel Gatot D. Sulistiyanto di www.artmusictoday. com. Gatot lebih menyoroti fakta mengenai komponis sebagai pengarang musik, juga lagu, tidak dalam arti yang ketat. A R S I P T E K T U R M U S I K S E N I I N D O N E S I A M A S A K I N I : I de o l o gi & K ritik Perkembangan penciptaan musik seni sampai pada masa kini sudah tentu per­lu diteliti: sejauh apa komponis, organ-organ lain, SDM, dan infrastruktur pen­du­kung­ nya mampu bersinergi secara menyeluruh dan menyadari kebutuhan ber­sa­ma. Fak­­ta kekaryaan kreatif musik seni generasi ini sesungguhnya membanjir dan be­ gi­­tu variatif. Tetapi, semua itu masih sebatas ibarat kita melihat batu di air yang ke­ruh. 50 arsipelag o ! Ciri Masa Kini E rie S etiawan Kegairahan mencipta pada dekade 2000 hingga sekarang ditandai oleh perkem­ bang­an yang signifikan, terutama di bidang teknologi musik dan teknologi infor­ma­ si (internet) yang sangat berpengaruh dan membantu para komponis untuk meng­ aktualisasikan idenya: melalui medium bunyi, cara kerja, maupun referensi yang mudah sekali diakses. Hubungan komponis dan internet pada masa kini men­jadi se­macam “dual ekosistem” tersendiri yang tidak bisa dihindari, apalagi de­ngan mun­­culnya gadget yang bisa dipakai dengan mudah dan dibawa ke mana pun. Mun­culnya berbagai fasilitas baru ini juga menciptakan tren musiman bagi kom­ ponis yang muncul lalu hilang dan memilih untuk eksis sebagai musisi maupun arranger, dengan alasan yang telah disebut di atas. Agak sulit memang membaca eksis­­tensi yang “tipe-tipe” seperti itu. Tetapi, itulah kelemahan kita dari tahun ke tahun. Pergelaran komposisi musik pun mengalami pergeseran, yaitu tidak harus me­la­lui panggung, melainkan upload and share, baik melalui situs umum yang po­pu­ler semacam soundcloud, youtube, facebook, maupun blog pribadi. Ini juga sa­rana efektif bagi komponis generasi sekarang untuk “mencitrakan” dirinya ke ha­dapan publik. Aktivitas komposisi zaman sekarang bisa berlangsung sangat ce­pat, tetapi ju­ga bisa menghilang dengan sangat cepat bagi daya ingat kolektif masya­rakat, karena tumpah ruahnya informasi. Pantas dipertanyakan pula secara le­bih men­ da­lam mengenai ideologi atas pengaryaan para komponis generasi sekarang, se­ belum dilakukan analisis mendalam terhadap karya dan setiap cirinya pada ke­ sem­patan penelitian yang lain. Banyak rupa-rupa pengertian ideologi yang tidak bisa dijadikan “tunggal.” Untuk membantu memudahkan penelitian ini hanya dipilih satu dari beberapa kate­gori definisi ideologi yang disampaikan Egleton (1991: 1), seperti dikutip Bagus Takwin (2003: 4), yaitu ideo­logi adalah “serangkaian kepercayaan (beliefs) yang menjadi orientasi bagi “tindakan”.18 Penjelasan Egleton tersebut terasa lebih netral daripada ideologi da­lam matra “isme-isme” dalam politik kebudayaan, yang masih sulit ditemukan pada komponis muda, yang rata-rata dari mereka masih mengalami pergu­mul­an yang hebat dari proses pencarian menuju ke­matangan. Semacam se­ rangkaian kepercayaan orien­tatif ini juga bisa dimaknai sebagai semacam “si­kap kreatif yang ingin dikonsistenkan” ke depan ba­gi perjalanan masing-masing kom­ po­nis. Dipilih bebe­ra­pa sampel untuk disampaikan pada tulisan ini. Konklusi singkat berupa kritik secara esensial didasar­kan metode dalam musi­ ko­logi empiris (empirical musicology).19 Musikologi empiris beserta metodenya, 18) Bagus Takwin. Akar-akar Ideologi. Jalasutra: 2003. 19) Erick Clarcke, Nicholas Cook (ed,). Empirical Musicology: Aims, Methods, and Prospect. Oxford University Press. 2004. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia me­nu­rut penulis, adalah paling tepat untuk mela­ku­ kan pembacaan berdasarkan sumber-sumber musik seperti—menurut Cook (2004)—partitur (score data), rekaman audio, rekaman video, catatan pribadi kom­ ponis (diary data), wawancara, dan beberapa hal lain yang orientasinya bukan analisis atau sejarah yang su­dah dimiliki musikologi, melainkan pada pem­be­­ dah­an pengalaman (empiris) setiap komponis. Ini tentu sa­ja menarik dan harus dilakukan lebih dulu sebelum me­ne­ruskannya ke soal-soal atau isu dalam cultural studies, supaya kita tidak terhindar “menga­ la­mi” lang­sung bagaimana fakta bunyi dari karya musik. Para Komponisnya Pertumbuhan aktivitas penciptaan musik seni masa kini terjadi di banyak kota, baik di Jawa maupun luar Jawa: Yogyakarta, Solo, Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Makassar, Pekanbaru, Padangpanjang, Medan, dan masih banyak lagi. Pada kesempatan ini hanya disinggung beberapa momen penting yang terjadi di Yogyakarta dan sedikit Jakarta. Data yang disampaikan harus dikroscek kembali dengan sumber yang lain. Sangat tidak fair pula rasanya jika tidak menyebut di luar yang akan disebut di bawah. Tulisan ini akan bisa dilanjutkan kembali untuk menguak di­ na­mika penciptaan musik seni yang tumbuh di berba­ gai tempat lainnya. Haruslah disebut, komponis Yogyakarta generasi 2000-an paruh pertama antara lain adalah Gatot D. Sulistiyanto20, Tony Maryana, Denny Yuda Kusuma, Clemens Felix Setiyawan, Doly Fillamenta, Bagus Mazasupa, Asril Gunawan, Yefta Frigid Pane, Parlin Sihite, Yosep Suryo Priyambodo, Daniel Caesar, Warsana “Kliwir”, Sandyo, Budi Pramono, Anon Suneko, Pandu Hidayat, Joko Santosa, Bowo, Rizal 20) Tentang komponis Gatot D. Sulistiyanto, penulis pernah mela­ku­ kan catatan kuratorial yang dimuat dalam buku program pergelaran tung­gal karya-karya komposisinya, “Nawangsari”, atas hibah dari Yayasan Kelola, September 2012. Bisa dibaca pula versi internet di: www.artmusictoday.com. A R S I P T E K T U R M U S I K S E N I I N D O N E S I A M A S A K I N I : I de o l o gi & K ritik “Rata-rata yang tidak ku­at menjadi kom­ po­nis mandiri akan memilih lari ke jalur alter­ na­tif seperti mem­buat musik untuk tari, musik untuk teater, dan musik untuk ke­pentingan advertising/aspek ko­mersial lain, bah­kan banting setir: tidak lagi mencipta.” 51 52 arsipelag o ! E rie S etiawan “Jupri”, Felix Avi, Gregorius Heriyanto Pemangku, dan lain-lain. Generasi paruh kedua, pada sekitar 2007 mun­cul 6,5 Composers Collective, sebuah study club pa­ ra komponis muda, dan mereka menghasilkan be­be­rapa rekaman CD audio hasil kon­ser langsung mau­pun project yang mereka kerjakan dengan bia­ya mandiri. Mun­cul nama-nama seperti Christanto Hadijaya, Gardika Gigih Pradipta, Perjaga Brutu, Yashinta Anggar Kusuma, Chozin Mukti, Seta Dewa, Julius Catra Henakin, Verita Shalavita Koapaha, Rocky Irvano, Markus Rumbino, Hery Christian, Patrick Gunawan, Agustinus Joko Prayitno, Vishnu Satyagraha, Gian Afrisando, Muh. Nur Arifin. Muncul pu­la nama-nama lain generasi sesudahnya, antara lain seperti: Puput Pramuditya, Kharisma M., Christa Ken Utami, Anastasia Apsari, Armada Setyadi, Rininta Yulia Kartika, dan seterusnya. Para komponis muda berusia ratarata 20-an tersebut sebagiannya juga meru­pa­kan alumni dari event tahunan Yogyakarta Contemporary Music Festival (YCMF) yang dinahkodai oleh komponis Michael Asmara. YCMF terselenggara pertama ka­li pada 2004, kemudian berlanjut 2005, 2007, 2008, 2009, 2010, dan tiga tahun belakangan sedang mengalami kevakuman. Chozin Mukti bekerja sama dengan Seta Dewa menelurkan Young Composers Forum setelah 6,5 Composers Collective, yang pada saat ini dilanjutkan oleh gene­ ra­si 2010-an, antara lain Aldy Maulana, Septian Dwi Cahyo, Nike Efendi, Syamsul Rizal, dan lain-lain. Septian Dwi Cahyo adalah satu yang kelihatan menonjol di antara yang lain. Baru saja ia tampil sebagai finalis Young Composers in Southeast Asia Competition & Festival 2013 yang diselenggarakan di Mahidol University’s College of Music, Bangkok, Thailand, setelah sebelumnya Mathius Shan Boone dan Diecky Indrapraja juga menjadi finalis pada ajang komponis mu­da dua tahunan paling bergengsi di Asia Tenggara ini. Nama-nama lain seperti Agustinus Welly, Bayu “Papang”, Sudaryanto, Gigin Ginanjar, Sprite Rukaya, Komang, Gigih Alfajar, Bangkit Yudha P., Uyau Moris, Said Fakhrur, Leo, Arita, Teteh, Kadek, dan lain-lain lahir dari latar belakangnya sebagai pemusik tradisi (peng­ra­wit) dan dari etno­musikologi, yang turut pula mewarnai penciptaan musik seni akhir-akhir ini. Ada pula fakta lain yang muncul belakangan, yaitu komponis yang “lahir” ka­ rena studi S2 Penciptaan Komposisi, dengan karya-karya yang dibuat dan di­ tam­­pil­kan untuk memenuhi syarat kelulusan. Mereka sebagian berasal dari Yogyakarta, namun kebanyakan berasal dari daerah lain. Menyebut beberapa: Armand Rambah, Firnando Sinaga, Nugra P. Pilongo, Jusuf Tjahjo Budi Utomo, Dwi Sutrianto, Ovan Bagus Jatmiko, Relin Mourinho, Soekarno, Tanaka Manaloe, Faizal, R.M Aditya Andriyanto, dan lain-lain. Sedikitnya lima tahun terakhir adalah gelombang luar biasa bagi dunia penciptaan musik seni di Yogyakarta. Momen yang masih segar dalam ingatan adalah kegiatan yang diinisiasi oleh Tembi Rumah Budaya Yogyakarta dengan Forum Musik Tembinya (FoMbi). Mereka menyelenggarakan program “Musik Tradisi Baru” (yang sudah menghasilkan dokumentasi tiga CD audio: 2011, 2012, 2013) hasil penciptaan para K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 53 kom­ponis muda. Dari situ bisa jelas tergambar betapa kayanya idiomatik musik nu­santara, beserta cara garap yang dilakukan oleh para komponis muda yang rata-rata berusia 20-an. Ini melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh Djaduk Ferianto, Purwanto, Sapto Rahardjo dari generasi terdahulu, dalam cara kerja kom­ po­sisi yang lebih rileks dan familiar untuk banyak kalangan. Daftar para komponis dan kelompok alumni “Musik Tradisi Baru” Tembi adalah sebagai berikut: 2011 Nadidada (kolektif) Fahmy Arsyad Said Gading Suryadmaja Luca Pietrosanti dan Tanto A’an Moema Akar Liar (kolektif) Sobaya (Basith dan kolektif) Christanto Hadijaya 2012 Ibu Jari (kolektif) Bayu Citra Raharja Kazavi (kolektif) Irfan dan Margi Psycoetnyc (kolektif) Septian Dwi Cahyo Sound of Hanamangke (kolektif) 2013 Tappin P. Saragih Saryanto Angela Lopez Agus Widodo Dharma, Agam, Kidjing Arif Rahman Hakim BWJ Youth (kolektif) A R S I P T E K T U R M U S I K S E N I I N D O N E S I A M A S A K I N I : I de o l o gi & K ritik Dari album “Musik Tradisi Baru” bisa dilacak bagaimana setiap komponis memiliki per­sepsi yang berbeda satu sama lain dalam mengolah unsur musik berbagai et­ nik ke dalam bentuk dan cara garap baru yang tidak konvensional tetapi fresh un­tuk didengarkan di zaman sekarang, meskipun tidak semuanya melakukan olah krea­tif yang brilian; nampak dari pengolahan materi yang sebatas itu-itu saja. Dan apakah mereka “sudah la­yak” untuk mendapat predikat komponis juga ma­sih harus dipertanyakan lagi dengan beberapa pa­ra­­meter ideal. Karena kebiasaan kita adalah su­ka main-main. Gesang dan Ismail Marzuki disebut kom­po­­nis (bahkan maestro!), padahal mereka hanya song writer. Beberapa pengamat didatangkan untuk men­­­jadi tim juri dalam forum ini, antara lain: Rahayu Supanggah, Oni Krisnerwinto, Frans Sartono, Remy Soetansyah (alm.), Rizaldi Siagian, Purwanto, dan Eros Candra. 54 arsipelag o ! Konter Lain 3 Seri Musik Tradisi Baru E rie S etiawan Tembi Sementara, menyinggung sedikit komponis Jakarta generasi paruh pertama 2000-an, tercatat beberapa komponis yang tergabung dalam The Circle, mereka adalah para mahasiswa dari Universitas Pelita Harapan. Muncul nama-nama seperti Andreas Arianto Yanuar, Zaki Andiga, Eric Liunardus, Fero Aldiansya Stefanus, Iswara Giovani, Nikanor R. Hariprawiro, Dwiani Indraningsri, dan lain-lain. “The Circle merupakan suatu kelompok yang dibentuk oleh para komponis muda di kawasan Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2004. Kelompok ini pada mulanya terbentuk sebagai la­boratorium belajar bersama di bawah bimbingan Otto Sidharta dan Bernd Asmus, dua penga­jar di Universitas Pelita Harapan (UPH). Karya musik yang ditulis para anggota The Circle me­ru­pa­kan kelanjutan dari seni musik zaman terdahulu, seperti musik klasik dan musik tradisional. Se­ba­ gaimana setiap bentuk kesenian kontemporer menanggapi berbagai gejala yang berlangsung di sekitarnya, musik yang dihasilkan para komponis muda itu pun merupakan buah interaksi me­reka dengan perkembangan budaya yang terjadi hingga kini, termasuk perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, kehidupan urban, dan tradisi.”21 Selain nama-nama di atas, sekarang sedang muncul pu­la nama lain sesudahnya, seperti Muhammad Arham, Stevie Jonathan, Budi Kristanda, Raden Andika, Christian Febrianto, dan lain-lain. Jakarta agak lain, dan rata-rata mereka menge­luh­kan mi­nim­ nya ruang dialog ataupun solidaritas sosial, berbeda de­ngan Yogyakarta yang terbuka dan mudah sekali “seng­golan” satu dengan yang lain. Pa­da April 2014 ini diselenggarakan pentas bersama antara komponis yang studi di Universitas Pelita Harapan dan ISI Yogyakarta. Divisi rekambergerak dari Art Music Today selama se­dikitnya lima tahun terakhir me­lakukan gerilya rekaman keliling atas jejak karya-karya musik seni masa kini, khu­susnya dari aktivitas yang terjadi di Yogyakarta, sebuah melting pot terbesar bagi komponis saat ini. Ada ratusan hasil rekaman yang 21) Sesuai tertulis di buku program konser The Circle. Teater Salihara: 22 Januari 2011. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 55 didokumentasi secara baik. Perkembangan ini tentu saja cukup menggembirakan, setidaknya melampaui jumlah komponis alumni Pekan Komponis Dewan Kesenian Jakarta (data lihat di bawah). Peningkatan ini barulah dari segi kuantitatif. Untuk melakukan analisis mendalam terhadap satu per satu karya hasil koleksi Art Music Today tersebut dibutuhkan waktu dan tim kerja yang tidak sedikit. Suka Hardjana mengakui, sepanjang belasan kali Pekan Komponis diselenggarakan, nyaris tidak ada ideologi yang bisa dibaca secara berkesinambungan, kecuali dari komponis yang berangkat dari tradisi karawitan, meskipun sejatinya dunia ka­ra­ witan tidak mengenal istilah komponis yang sumber istilahnya datang dari Barat. Dan ini memang problem utama kita.23 Agak sulit menemukan ideologi yang kuat, ka­rena ini memang berhubungan dengan wawasan seorang komponis yang pada ak­hirnya memengaruhi sikapnya dalam berkarya. Sepanjang perjalanan komponis, se­lalu ada fase-fase tertentu yang mengalami perubahan, baik dari teknik, medium, ca­ra kerja, maupun pandangan-pandangan. Menjadi seorang komponis rasanya tak cukup hanya menjahit bunyi dan kemudian mementaskannya ke publik.24 Dialektika di sebaliknya sungguh penting, karena dari pemikiran komponislah kita bisa membaca seberapa jauh sebuah karya musik memiliki makna bagi masyarakat. Sering kali komponis muda merasa kesulitan apabila mereka ditanya orientasi dan sikap-sikap yang semestinya harus dipersiapkan sejak dini, setidaknya pada usia 20-an, seperti kebanyakan para komponis yang kemudian berhasil menemukan kekhasannya masing-masing dan karakter yang begitu kuat. Para komponis alumni Pekan Komponis DKJ 2013 ini antara lain: Seta Dewa (Yogyakarta), Dinar Rizkianti 22) Simo Mikkonen. State Composers and the Red Courtiers: Music Ideology and Politic in the Soviet 1930s. JYVÄSKYLÄN YLIOPISTO. 2007. 23) Wawancara dengan Suka Hardjana. idem. 24) Pemahaman tentang komponis di Indonesia memang bertumbuh sangat variatif dalam berbagai maknanya. Contohnya, istilah komponis bisa begitu saja digunakan ke dunia musik dalam konstelasi industri/hiburan tanpa beban. Indonesia memberlakukan istilah ini seperti netral-netral saja. Namun, dalam perdebatan musikologis akan terasa lain cuacanya. A R S I P T E K T U R M U S I K S E N I I N D O N E S I A M A S A K I N I : I de o l o gi & K ritik Pada dasarnya, analisis atas suatu karya musik sangat tidak relevan untuk ke­ mu­­dian menyim­pulkan ideologi di sebaliknya tanpa mempelajari pemikiran kom­ po­nisnya dan konteks zaman atau kehidupan sekitarnya. Misalnya, apabila kita mem­­baca se­jarah musik di Uni Soviet pada masa rezim Stalin, sangat jelas ter­gam­ bar­kan ke­hidupan para komponis yang sangat terikat dengan situasi politik pa­da masa itu; sebagian dari mereka harus lari ke Amerika atau Prancis untuk “meng­ aman­kan” diri. Kecamuk pribadi dan dorongan untuk tetap berkarya mendasari la­­hirnya karya-karya besar para komponis. Shostakovich, Rimskii-Korsakov, Sergei Prokofiev, Igor Stravinsky, adalah sebagian contoh komponis besar yang hi­dup da­lam kancah ideologi-ideologi politik yang memengaruhi cara pandang masya­ ra­kat Uni Soviet pada paruh pertama abad ke-20. Bahkan Shostakovich meng­ anggap karirnya sebagai komponis adalah teror sepanjang masa.22 56 arsipelag o ! (Bandung), Rio Eka Putra (Padang Panjang), Hamrin Samad (Solo), Ramasona Alhamd (Jakarta), Yan Priya Kumara Janardhana (Denpasar). Ben Pasaribu (2005) mengklasifikasikan 15 corak teknik penciptaan yang dipa­kai dalam penciptaan musik seni masa kini di Indonesia. Menurutnya, selain mene­ rus­kan gaya penciptaan yang lazim, baik dalam konteks musik Barat maupun penerusan tradisi kulturnya, tendensi komponis musik seni masa kini di Indonesia mengupayakan pula teknik baru yang mengeksplorasi elemen fundamental musik. Antara lain, menurut Ben: E rie S etiawan “(1) pengolahan harmoni dan progresi, (2) teknik dua belas nada atau serialisme, (3) cara pointilisme atau klangfarbenmelodien, (4) politonalitas dan eksplorasi interval nada, (5) teknik cluster [penjejalan nada-nada], (6) mikrotonal dan modus-modus baru, (7) eksplorasi keragaman warna suara pada perkusi, (8) prepared piano dan fortified piano, (9) penggabungan instrumen, penciptaan instrumen musik baru serta found object sound25, (10) pencarian teknik baru dalam menabuh, bernyanyi, termasuk pencarian kemungkinan dalam tanda meter dan pengembangan pola-pola irama (11) menggunakan elektronik baik secara digital computerized, algorhitmic composition, maupun teknik musique concrete, (12) conceptual music, (13) penyertaan elemen teater secara total organization, (14) penggunaan multimedia, dan, (15) secara bertahap menuju penggunaan virtual reality.”26 Lima belas corak yang ditunjukkan Ben akan membawa pula kompleksitas teknik pada masing-masing item-nya. Betapa sulitnya kerja keras di sebaliknya, jelas tak semudah mengarang lagu dan kemudian mengiringinya dengan gitar. Pemahaman esensial seperti ini sangat penting sebagai tolok ukur penciptaan musik seni modern, yang menurut Rahayu Supanggah bukan karena modern itu selalu identik Barat, tetapi lebih pada sikap, bukan bentuk (material). Arsip musik seni masa kini menjadi penting untuk dipetakan kembali, sejauh mana perkembangan kekaryaan para komponis bisa dibaca, sejauh apa kedalaman estetik yang hendak dicapai dengan segenap pengetahuan maupun sikapnya. Beberapa komponis diwawancarai mengenai latar belakang proses penciptaannya untuk menggali simpul pemikiran mereka terbaru. Ini hanyalah contoh kecil “cerita” di sebalik proses mereka, tanpa bermaksud mewakili yang lain. Ini masih sangat prematur, dan bukan sebagai upaya untuk menggeneralisasikannya. Patrick Gunawan mengatakan demikian: “Semenjak tahun 2010, saya mulai mempelajari interlocking rhythm dan materi bunyi yang ada pada musik tradisi Indonesia, dan mencoba untuk mengimplementasikan struktur tersebut ke dalam beberapa parameter dalam musik elektronik. Tanpa saya sadari, dalam proses berkarya, 25) Harus dicatat pula Wukir Suryadi, generasi muda yang konsisten menciptakan alat musik baru hasil olah kreatifnya, dan ia sendiri yang memainkan sekaligus menciptakan karyanya. 26) Dalam tulisan ini, Ben menyebutkan nama-nama komponis musik baru Indonesia sampai dekade 1990-an akhir. idem. Kaleidoskopik Musik Kontemporer Indonesia. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 57 saya banyak sekali terpengaruh dengan pemahaman chance atau peluang, dalam hal ini saya memberikan kebebasan terhadap ‘masa depan’ untuk menentukan struktur dan esensi estetika dari karya saya. Pemberontakan yang terus bergejolak pada diri saya akhirnya membuat saya berpikir untuk melepaskan diri dari konteks pengertian musik yang selama ini sudah terbangun. Hal-hal tersebutlah yang menjadi landasan utama saya dalam berkarya, terutama semenjak 2010.” Agak lain dengan Christian Febrianto: Yang lainnya, misalnya Mathius Shan Boone, mengu­ta­­rakan sebagai berikut: “Sebenarnya dari waktu ke waktu selalu ada proses atau fase perubahan. Dulu saya punya ide untuk menggabungkan karakter-karakter musik Timur atau Barat dalam satu interaksi musik, tapi sekarang saya mulai mengeksplor musik yang multidimensional (memiliki banyak sudut pandang) yang saling berinteraksi satu sama lain. Banyak sudut pandang yang sebenarnya berbagi kesatuan yang sama. Saya sering ambil berkaitan dengan semesta (yang menarik perhatian saya). Susunan semesta yang besar bisa dilihat dalam semesta yang kecil. Dari semesta galaksi bisa dilihat semesta tata surya, yang kemudian bisa ditarik hingga dalam semesta atom. Sebuah lukisan juga terdiri dari semesta warna (karya George Seurat menjadi referensi saya). Semuanya terikat dalam satu aksi-reaksi yang membentuk sebuah kesatuan semesta yang tersusun dari semesta dan dimensi yang berbeda.” Julius Catra Henakin memiliki proses dan cara pandang yang berbeda pula: “Pertimbangan yang dilakukan dalam membangun ideologi dalam berkarya semua ditentukan dalam sistem aplikasi unsur musik (melodi, ritme, harmoni, dst.), unit musikal (figur, motif, semifrase, frase), dan struktur bentuk (simetris, non-simetris, regular, iregular). Sering kali komunitas komponis di Indonesia terjebak dalam aspek ekstramusikal, namun perlu diketahui bahwa karya seni memiliki unsur-unsur dan elemen yang menunjukkan identitasnya untuk berkontribusi dalam fenomenologi yang sedang maupun tidak sedang berlangsung.” Apa yang disampaikan Julius Catra Henakin bisa menjadi pintu masuk yang tepat untuk berdiskusi lebih lanjut, bahwa inilah, yang menurut penulis pula, adalah fakta yang memprihatinkan dan problem besar pada proses penciptaan musik seni masa kini. “Sering komunitas komponis di Indonesia terjebak dalam aspek ekstramusikal...,” kata Catra. Yang ia maksudkan adalah narasi-narasi di luar musik yang sering dipakai untuk menutupi “kelemahan” para komponis yang belum benar-benar serius memperdalam teknik komposisinya, namun mudah tergelincir ke soal lain. A R S I P T E K T U R M U S I K S E N I I N D O N E S I A M A S A K I N I : I de o l o gi & K ritik “Potret diri, sejujur-jujurnya. Vocab-nya ya ketolong dari analisa dan seberapa terbuka kita dengar (hearing/listening). Tapi intinya kalau saya potret diri. Sangat personal, sangat dipengaruhi lingkungan dan masa saat saya hidup. I make music as a 2014 human living. Acknowledge the past, foresee the future. Selain itu filter. Seperti kita ini pintu gerbang. Apa yang kita dapat dari luar kemudian disaring, diproses, lalu keluar lewat karya. Sekali lagi, sangat personal. Secara teknis saya banyak mengeksplorasi instrumen non-musikal, seperti bunyi air, peralatan dapur, dll.—yang di mana pergerakan itu saya pelajari awalnya dari Amerika (Ives, fluxus, sampai sekarang). Ujung-ujungnya saya juga mempertanyakan ‘apa itu seni’ dan ‘apa itu musik’, melalui proses penciptaan karya-karya saya.” 58 E rie S etiawan arsipelag o ! Karya dan peserta 26 Tahun Pekan Komponis Dewan Kesenian Jakarta Sumber: Buku Program Pekan Komponis Indonesia 2013 Ekstramusikal yang dimaksud Catra adalah sesuatu di luar musik (ini biasa disebut programatik) yang mencoba digambarkan melalui bunyi: misalnya tentang alam, sifat-sifat manusia, kesedihan, murka, keprihatinan, rasa cinta, konflik, dan seterusnya. Tetapi, rata-rata—berdasarkan beberapa referensi auditif, pengalaman menonton konser, dan teks yang dikumpulkan penulis belakangan ini—menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara penjelasan verbal dalam karya dan wujud bunyinya karena kelemahan teknik, wawasan, dan ideologi dari masing-masing komponis. Ada kegagalan dalam pembacaan atas bagaimana sebuah ide direpresentasikan. Banyak sekali contoh komponis yang karyanya sa­ ngat programatik tetapi mampu mendudukkan kai­ dah bunyi lebih tinggi derajatnya daripada kaidah ver­bal, karena ia menguasai teknik dengan baik. Pola ima­jinatif yang liar namun dengan backing wawasan dan ketrampilan yang cukup akan berpengaruh be­ K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia Betul sekali bahwa “fitrah penciptaan itu personal, subjektif”, se­perti pendapat Suka Hardjana. Tetapi, karena musik juga me­nyangkut hal-hal teknis dan pengetahuan yang wajib dikua­sai, maka sangat diperlukan tanggung jawab estetika (dalam arti penguasaan “ilmu tentang keindahan”) berdasarkan pema­ham­an yang masuk akal dan pengetahuan yang cukup—bukan ha­nya berdasarkan selera musiman— para komponis. Kita sedang mempertanyakan ke­sung­guhan dan totalitas menjalani sesua­tu, bukan la­gi yang sporadis, fragmentatif, parsial, subjektif, ma­te­ri­al, pragmatis, seperti yang masih terjadi pada per­kembangan mu­sik seni hingga hari ini. Komponis ma­sa kini memiliki tang­gung jawab yang agaknya le­bih besar, karena sekarang semua mung­kin, semua bisa. Referensi tumpah ruah dari segala pen­ju­ru, mes­ ki­pun, harus kita akui bersama lagi secara rendah hati: mu­sik sangat miskin arsip pengetahuannya.  Ucapan terima kasih: Suka Hardjana, Slamet A. Sjukur, Yayasan Tikar Media Budaya Nusantara, Dewan Kesenian Jakarta, “FoMbi”-Tembi Rumah Budaya, IVAA, Art Music Today. A R S I P T E K T U R M U S I K S E N I I N D O N E S I A M A S A K I N I : I de o l o gi & K ritik sar pada keseimbangan antara “narasi sinopsis” dan fakta bu­nyi dalam karya. Kadang-kadang, mendengarkan lagu pop menjadi lebih nikmat daripada mendengarkan komposisi yang mengaku “serius” tapi main-main dalam konsep dan tek­ nik, ditambah musisi yang tidak siap memainkannya. Tidak akan disebut di sini karena contohnya banyak sekali. Mereka ka­dang-kadang percaya sinopsis lebih penting daripada karya itu sen­diri. Ini memang gejala serius yang terjadi pada komponis muda. Kadang-kadang karya tak perlu diberi judul dan sinopsis, tetapi dengan teknik, wawasan, dan imajinasi yang baik akan mam­pu berbicara dengan sendirinya. Ber­ angkat dari sini, harus disam­paikan kesimpulan sing­kat bahwa ideologi para komponis musik se­ni masa kini masih hanya sebatas subjektivitas, ma­terial, dan pragmatis, meskipun ada pula yang be­ra­ni bereksplorasi dengan bi­bit pemikiran yang diu­pa­yakan menuju matang dengan pola-po­la yang je­las. Yang harus dicatat adalah bahwa karya musik bu­­kanlah hasil akhir, karena banyak komponis besar jus­tru berpikir lebih keras untuk menghasilkan produk penge­tahuan di luar produk dalam wujud karya itu sen­diri. Jika karya musik dijadikan produk akhir yang praktis, musnahlah kita, karena komponis sedang berada dalam zona pragmatisme. 59 60 arsipelag o ! - 04 - PAK MISBACH: SANG ARSIP H afiz R ancajale Di Balik Rekaman “Anak Sabiran: Di Balik Cahaya Gemerlapan” Hafiz Rancajale P ada 1971, dalam sebuah artikel yang ber­­ju­­dul “Meng­awetkan Sedjarah Lain”, ma­­ja­lah Tempo melaporkan aktivitas Ling­­karan Seni Djakarta, yang memutar filem-filem lama yang mulai sulit diakses oleh publik. Pada sesi diskusi, Asrul Sani me­nyampaikan pentingnya arsip filem di Indonesia. Ia mengatakan bahwa sejarah sosio-kultural akan se­gera habis, karena tidak pernah tersimpan dengan ba­ik. Sejarah sosio-kultural kita hanyalah cerita dari yang hidup, yaitu dari mulut ke mulut. 1 Pada artikel tersebut, digambarkan bagaimana awal mula ide pembentukan Sinematek Indonesia (SI) di­ ha­dirkan oleh orang-orang filem, seperti: H. Misbach Yusa Biran, Asrul Sani, D. Djajakusuma, dan Sjuman Djaja. Asrul menjelaskan, Misbach telah melakukan wa­wan­cara dengan orang-orang tua perfileman, yang 1) Majalah Tempo, 11 September 1971 Tumpukan seluloid di ruang penyimpanan Sinematek Indonesia. SUMBER: koleksi Forum Lenteng K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 61 PA K M I S B A C H : S A N G A R S I P H afiz R ancajale 62 arsipelag o ! Ribuan arsip fotografi Sinematek Indonesia. SUMBER: koleksi Forum Lenteng “Saya men­je­las­ kan pada Pak Misbach, bahwa: “filem yang akan kita buat bu­­ kan tentang Pak Misbach, na­­ mun tentang du­ nia arsip filem Indonesia.” me­ru­pakan satu-satunya sumber sejarah filem kita, un­tuk dapat merekam sejarah perfileman Indonesia. Pa­da acara tersebut, Sjuman Djaja menyumbangkan filem pendeknya untuk dikoleksi oleh Misbach, dan men­jadi karya filem Indonesia pertama yang menjadi koleksi SI.2 Cuplikan artikel di atas merupakan bagian dari riset awal Forum Lenteng, saat memproduksi filem Anak Sabiran: Di Balik Cahaya Gemerlapan (Forum Lenteng, 2013). Artikel tersebut kami temukan di arsip per­pus­ ta­kaan Sinematek. Ada ribuan kliping koran dan teks tentang perkembangan dunia perfileman Indonesia yang tersimpan dengan baik di sini. Tentu, ada ribuan pula catatan dan temuan yang kami dapat, untuk kepentingan produksi filem Anak Sabiran dan aktivitas lainnya di Forum Lenteng. Rencana dan ide memproduksi filem tentang sejarah filem Indonesia melalui arsip filem, oleh Forum Lenteng sudah dibayangkan sejak lima ta­hun sebelumnya. Untuk keperluan itu, kami telah mela­ku­ kan wawancara dengan berbagai tokoh perfileman ter­masuk Pak Misbach, mengumpulkan berbagai 2) Ibid. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 63 sum­­ber arsip tentang filem Indonesia di SI, Perpustakaan Nasional, arsip Dewan Ke­senian Jakarta, dan lain-lain. Arsip-arsip tersebut didigitalisasi dan tersimpan cukup baik di database Forum Lenteng. Pada akhir 2011, saya mendapat kabar bahwa Pak Misbach mulai sakit-sakitan, maka kami pun memutuskan un­tuk me­ mu­lai produksi filem yang kami rencanakan tersebut. Ajakan bekerja sa­ma pada mulanya ditolak oleh Pak Misbach. Menurutnya, ia sudah tidak mau mem­produksi filem, difilemkan, dan juga ia tak terlalu mengerti cara-cara Forum Lenteng mem­ pro­duksi filem.3 Selain itu, ia juga tidak tahu apa kepentingan kami mem­buat biografi tentang dirinya. Saya menjelaskan kepada Pak Misbach, bahwa: “filem yang akan kita buat bukan tentang Pak Misbach, namun tentang dunia arsip filem Indonesia.”4 Merekam Arsip Filem Pertama adalah kegiatan merekam ‘rekaman’ itu sen­diri. Tidak pernah ada data yang lengkap menge­nai berapa jumlah pasti koleksi yang tersimpan di SI. Dalam buku Lewat Djam Malam Diselamatkan (Sahabat Sinematek, 2012), disebutkan ada 414 judul filem cerita fiksi, yang terdiri dari 87 negative copy, 17 judul filem format 16mm, 58 filem berwarna format 16mm, 53 filem hitam putih format 35 mm, dan 235 filem berwarna format 35mm. Selain filem cerita fiksi, juga terdapat koleksi dokumentasi dengan format filem, sejumlah 313 judul. Hampir seluruh koleksi tersebut dalam kondisi memprihatinkan.5 Terdapat juga koleksi dokumenter yang disumbang oleh berbagai lembaga luar negeri. Menurut karyawan SI, terdapat 2.000-an koleksi dokumenter yang tersimpan di ruang penyimpanan, dan se­ba­­ 3) E-mail kepada Hafiz, 19 Januari 2013, H. Misbach Yusa Biran, Anak Sabiran, 2013 4) E-mail kepada Pak Misbach, 19 Januari 2013, Hafiz, Anak Sabiran, 2013 5) Arie Kartikasari, “Catatan dari Ruang Penyimpanan Filem Sinematek Indonesia”, dalam buku Lewat Djam Malam Diselamatkan, Sahabat Sinematek 2012. PA K M I S B A C H : S A N G A R S I P Memfilemkan persoalan dunia “filem” adalah persoalan sendiri, karena apa yang akan kami rekam menjadi sebuah “cerita” adalah sebuah “kebudayaan” yang punya sejarah panjang dan punya caranya sendiri dalam merekam sejarahnya. Filem adalah rekaman kebudayaan modern yang paling lengkap (Misbach, Anak Sabiran, 2013). Dengan kemampuan teknologinya, rekaman-rekaman itu menjadi hidup dan memberi ruang kepada siapa saja yang menyaksikan, untuk dapat menginterpretasi rekaman tersebut secara lebih lengkap, yaitu: secara visual, suara, teks, aktivitas, hubungan antarmanusia, dan sebagainya. Misbach adalah orang pertama di Indonesia yang mengerti pentingnya pengarsipan filem, karena potensi besar dalam merekam kebudayaan modern (J.B Kristanto, Anak Sabiran, 2013). Untuk itu, tentu diperlukan usaha untuk memilah rekaman-rekaman kebudayaan yang panjang itu menjadi lebih sempit dan fokus pada persoalan tertentu, menjadi sebuah cerita yang difilemkan. 64 arsipelag o ! H afiz R ancajale gian besar belum pernah diputar sama sekali. Selain koleksi filem, SI juga menyimpan lebih dari 5.000 koleksi skenario filem Indonesia, yang tersimpan cukup baik. Ia menjadi tempat penyimpanan koleksi skenario terbesar di Indonesia (Anak Sabiran, 2013). Untuk kepentingan cerita dalam filem Anak Sabiran, kegiatan merekam ‘rekaman’ yang tersimpan di SI tersebut kami putuskan untuk memilahnya menjadi dua, yaitu: rekaman filem dan teks. Rekaman-re­ kam­an tersebut secara acak kami pilih dan cari hu­ bung­an­nya dengan H. Misbach Yusa Biran. Pada mu­­lanya, sa­ya memilih beberapa filem yang punya hu­­bungan po­lemik dengan aktivitas Misbach di masa lalu. Namun, setelah melihat beberapa filem, ka­mi memutuskan cukup merekam filem-filem karya Pak Misbach yang masih tersisa dan tersimpan di SI, yaitu: Di Balik Tjahaja Gemerlapan (Persari dan Perfini 1966), Operasi X (1968), dan Honey Money dan Djakarta Fair (1970). Tiga filem ini kami anggap sudah cukup untuk me­wakili bagaimana posisi Pak Misbach dalam kon­ teks pertarungan sosial politik pada masa itu. Ka­mi ju­ga membuka kembali beberapa skenario kar­ya Pak Misbach, dan beberapa karya skenario yang melibatkan dia dalam produksinya. Persoalan kedua adalah merekam Pak Misbach se­ ba­gai seorang tokoh yang melakukan perekaman. Se­bagai seorang sutradara, menurut J.B. Kristanto, ia bu­kanlah sutradara yang cukup sukses. Ia dianggap sangat penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, karena menyelamatkan harta karun kebudayaan modern kita (J.B. Kristanto, Anak Sabiran, 2013). Da­ lam persepsi saya selama ini, Pak Misbach adalah seo­rang tokoh yang sangat sulit untuk didekati. Ia ter­lihat sangat kaku, galak, dan sangat sulit untuk diajak bicara. Hal ini juga diamini oleh Seno Gumira Ajidarma. Sebagai murid di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ia adalah seorang pengagum Pak Misbach me­ lalui tulisan-tulisannya. Misbach digambarkan se­ba­ gai sosok yang berbeda 180 derajat dari apa yang ia tulis dalam bukunya (Seno Gumira Ajidarma, Anak Sabiran, 2013). Namun, dalam proses merekam Pak Misbach, pandangan bahwa ia sosok yang kaku, ga­ H. Misbach Yusa Biran 2013 (atas) dan 1947 (kanan). SUMBER: koleksi Forum Lenteng K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 65 PA K M I S B A C H : S A N G A R S I P lak, dan sulit diajak bicara tidak kami alami sama se­kali. Sosok Pak Misbach, dalam hari-hari kegiatan me­­rekam kami, begitu hangat dan penuh canda. Ia se­perti orang tua yang begitu haus teman bicara. Ada em­­pat rekaman panjang yang kami lakukan dengan Pak Misbach, berupa wawancara. Seluruh re­kaman tersebut penuh canda dan tidak seluruhnya hal-hal yang “serius”. Merekam Pak Misbach menjadi sangat menyenangkan, karena ia sendiri begitu antu­si­as untuk “direkam”. Hal ini pada mulanya tidak ka­mi sadari. Hampir setiap minggu, ia mengingatkan me­la­ lui sms untuk datang merekam dan merekam. Kedua persoalan di atas menjadi konstruksi utama da­ri teknik penceritaan filem Anak Sabiran: Di Balik Ca­haya Gemerlapan. Kami memilah-milah dalam ber­ H afiz R ancajale 66 arsipelag o ! bagai rangkaian cerita (sequence), dalam usaha mem­berikan penekanan kepada penonton tentang bagian-bagian tertentu. Dalam meng­hadirkan “rekaman” yang tersimpan di SI, kami menghadirkan cuplikan lagu dan beberapa adegan yang berhubungan dengan persoalan yang ingin dite­kan­kan, seperti: lagu Si Hitam, yang dilantunkan oleh Titiek Puspa, dihadirkan sebagai gam­­baran bagaimana “seniman” yang dibayangkan oleh Pak Misbach, yaitu sosok menarik, baik budi, dan akhirnya memutuskan menjadi seorang kiai. Hal ini juga ditekankan kembali oleh Riri Riza, yang mengatakan bahwa dalam menulis skenario (produksi filem), harus ada moral positif sebagai ide pokok sebuah filem. Karena dari situ, seorang sutradara akan tahu ke mana arah filem itu dibawa (Riri Riza, Anak Sabiran, 2013). Pada bagian lain, kami juga menghadirkan lagu ABRI Pujaan Hati, yang menggambarkan kecintaan para gadis pada sosok tentara. Secara politis, dengan sengaja, adegan lagu ini kami hadirkan dalam melihat sikap politik Pak Misbach, dalam melihat sejarah berdirinya Orde Baru. Pak Misbach tercatat sebagai salah satu tokoh yang ikut menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu) pada 1963. Kelompok Manikebu ini adalah kelompok yang secara tegas menolak ide gerakan realisme sosialis yang didengungkan oleh LEKRA-PKI. Ia menjadi salah satu seniman yang secara terang-terangan tidak setuju dengan komunisme, dan mendukung penghancuran Partai Komunis Indonesia pada 1965, melalui organisasi Lesbumi-NU. Sudah jamak diketahui dalam berbagai tulisan penelitian, laporan, dan catatan tentang Tragedi 1965, bahwa penghancuran PKI dan pengikutnya pada saat itu merupakan sebuah tindakan sistematis oleh ABRI (Angkatan Darat). Melalui lagu ABRI Pujaan Hati, secara tegas dihadirkan dukungan Pak Misbach pada kehadiran Orde Baru, sebagai keberhasilan penggulingan kekuasaan Soekarno dan penghapusan paham komunisme di Indonesia, pasca-Tragedi 1965. Hal penting dari filem Anak Sabiran adalah, kami tidak ingin terjebak dalam perdebatan tentang pilihan politik sosok Pak Misbach. Bingkai utama filem ini adalah bagaimana menggambarkan persoalan arsip dunia perfileman Indonesia melalui rekaman-rekaman dan wawancara berbagai pihak, yang menurut kami menjadi bagian penting dunia arsip filem di Indonesia. Gambaran pilihan politik merupakan hal yang tak terhindarkan, karena sosok Pak Misbach yang menjadi pelaku utama pertarungan politik kebudayaan pada zamannya. Pak Misbach dan Dunia Arsip Filem Indonesia Persoalan arsip dunia perfileman Indonesia adalah persoalan yang hampir sa­ ma dengan keadaan sosok Pak Misbach secara fisik: renta, sakit-sakitan, dan ter­a­baikan, namun tetap percaya pada pentingnya arsip filem. Saat ia datang mengun­jungi SI dalam proses syuting Anak Sabiran (yang merupakan kunjungan ter­akhirnya), nafas Pak Misbach terengah-engah, dan perlu istirahat beberapa ka­ li. “Saya sesak nafas, nih! Mau istirahat dulu,” celetuknya saat sampai di ruang 67 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia “Tidak ada penambahan buku, sejak saya mundur,” jelasnya. “Mau dapat di mana koleksi seperti ini? Sa­ yang, kan? Masak ini mau dibubarkan?” H. Misbach Yusa Biran Pada sisi yang lain, secara kelembagaan, SI meru­ pa­kan lembaga yang sebelumnya didukung secara pe­nuh oleh Pemerintah, atas kedekatan Pak Misbach Pak Misbach pada saat syuting Anak Sabiran. SUMBER: koleksi Forum Lenteng PA K M I S B A C H : S A N G A R S I P per­­pustakaan SI. Beberapa saat kemudian, ia pun bang­­kit dan menjelaskan koleksi perpustakaan SI. “Tidak ada penambahan buku, sejak saya mundur,” jelasnya. “Mau dapat di mana koleksi seperti ini? Sa­ yang, kan? Masak ini mau dibubarkan?” ungkap­nya. Bagi Seno Gumira Ajidarma, persoalan Sine­ma­tek tidak dapat dimengerti, jika dilihat dari bagaimana cita-cita seseorang atau sebuah lembaga dalam men­capai cita-citanya. Sinematek hanya dapat dilihat seba­gai bobot penting kebudayaan Indonesia, tapi tidak sukses dalam menjalankan misinya. Karena ia hanya sebagai arsip yang masih diam atau pasif (Seno Gumira Ajidarma, Anak Sabiran, 2013). Tentu, peng­abaian ini juga tidak bisa melulu diserahkan tanggung jawabnya pada SI. Ada banyak kritikus dan pembuat filem Indonesia yang tidak tahu sejarah filem Indonesia, karena tidak mau tahu tentang filem-filem kita atau datang melihat koleksi SI. Menurut Riri Riza, sebagai generasi 1990-an, ia tidak terlalu tahu sejarah filem Indonesia, namun dengan kehadiran SI, ia mu­lai melihat kembali pentingnya melihat hubungan per­ kem­bangan sejarah dunia filem Indonesia dengan ma­sa lalunya (Riri Riza, Anak Sabiran, 2013). 68 arsipelag o ! Tumpukan (kanan) dan proyeksi (bawah) seluloid koleksi Sinematek Indonesia. H afiz R ancajale SUMBER: koleksi Forum Lenteng dengan lingkaran kekuasaan Orde Baru. Na­­mun, setelah Orde Baru jatuh, SI menjadi ambruk dan hampir karam. Dalam gambaran sederhana, se­or­ang karyawan SI menjelaskan, terakhir kali ia mem­bu­at katalog adalah pada 1991, dan itu be­lum semuanya. Hal ini terjadi karena keterbatasan alat yang tersedia di SI. Selain itu, dalam perawatan ko­lek­si filem, dana yang dibutuhkan untuk membeli bahan-bahan kimia untuk pembersihan dan pera­wat­an sangat minim. Kadang hanya dikasih sekali da­­lam sebulan. Bahkan, SI yang mempunyai ribuan ko­­leksi filem dengan format 16mm, tidak memiliki alat pe­mu­tar filem 16mm (Anak Sabiran, 2013). Ke­pri­hatinan ini ju­ga yang disampaikan Pak Misbach di ba­gian akhir filem Anak Sabiran, “Tiga puluh tahun hi­dup saya di sini! Masak diginikan saja,” ungkapnya lirih. Seperti diungkapkan di awal tulisan ini, Sinematek su­dah dirintis kehadirannya pada 1971 dan berdiri secara resmi pada 1975 atas dukungan Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dengan Gubernur Ali Sadikin. Se­benarnya, bangsa Indonesia boleh bangga; pa­ da sidang UNESCO 1980, badan dunia ini ba­ru mu­ lai mengimbau seluruh anggotanya untuk men­di­rikan K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia dokumentasi pesta Misbach dan Nani Wijaya, 1969, dalam format hitam putih 8mm. SUMBER: koleksi Forum Lenteng 69 sinematek di negaranya masing-masing. Sinematek Indonesia merupakan pelopor di Asia Teng­­gara.6 Bagi Pak Misbach, memulai SI adalah se­bu­ah kegiat­ an yang sangat naïf, pada mulanya. Ia me­­lihat, per­ soal­an utama filem-filem Indonesia pada wak­­tu itu ada­lah ketidaktahuan para pembuat filem Indonesia ten­tang sejarah kebudayaan Indonesia, ka­rena tidak adanya dokumentasi. Sehingga ia per­lu me­mulai untuk mengumpulkan dokumentasi-do­ku­men­tasi du­ nia filem Indonesia (Misbach, Anak Sabiran, 2013). Temuan Rekaman yang Mengejutkan 6) Citra Filem, UNESCO Mengampanyekan Pengarsipan Filem, 1981 PA K M I S B A C H : S A N G A R S I P Dalam filem Anak Sabiran: Di Balik Cahaya Gemer­lap­ an, kehadiran arsip-arsip filem berupa filem itu sendiri, teks, fotografi, poster, dan sebagainya, diletakkan da­­ lam konteks persoalan yang ingin ditegaskan. Per­ soalan yang ditegaskan di sini mak­sud­nya adalah, bah­­­wa sebagai filem dokumenter yang bercerita ten­­tang se­jarah filem Indonesia, arsip-arsip ini tidak me­­lihat se­­jarah dengan cara yang kaku, namun da­­ pat di­inter­pretasikan kembali oleh penonton. Dalam me­nyu­tradarai filem ini, saya de­ngan sengaja me­­­ nem­­pat­kan dua kecenderungan arsip-arsip te­mu­an; pe­rtama, arsip yang secara langsung ber­hu­bung­an dengan dunia filem Indonesia. Arsip-arsip ini ke­mu­­ dian di dalam filem diinterpretasikan ke da­lam kon­ teks persoalannya, seperti yang kami con­tohkan di atas, berupa cuplikan lagu Si Hitam dan ABRI Pujaan Hati. Be­gitu juga dengan teks maupun fo­to­ gra­fi; ia terhubung dengan ide persoalan yang ka­mi tegaskan dalam filem ini. Salah satu contoh adalah menghadirkan ko­leksi foto dan poster di ruang pe­ nyim­panan SI. Rekaman ini dibuat dengan dra­­ma­tis. Meskipun kami tidak melakukan adegan se­perti pem­ buatan cerita fiksi, na­mun dalam mere­kam koleksi fo­to dan poster yang kondisinya mem­pri­hatinkan itu, saya dan kawan-kawan secara emo­sio­nal larut da­ lam keprihatinan yang men­da­lam. Dialog-dialog yang 70 arsipelag o ! H afiz R ancajale muncul saat membongkar gudang tersebut, terjadi de­ngan sendirinya. Kedua, arsip yang mempertegas biografi Pak Misbach sebagai to­koh utama filem ini. Arsip-arsip berupa foto kami hadirkan secara linear untuk men­deskripsikan biografi tokoh. Tidak ada interpretasi ulang pada arsip-arsip ini. Ia diletakkan sebagai informasi yang runut, dengan penceritaan Pak Misbach ten­tang masa kecilnya dan orangorang di sekitarnya. Salah satu bagian penting dari proses produksi Anak Sabiran adalah ditemukannya arsip-arsip yang mengejutkan. Arsip-arsip ini tidak pernah tersentuh oleh tangan manusia, namun dalam konteks cerita dokumenter ia menjadi sangat relevan. Salah satu arsip temuan yang mengejutkan kami adalah dokumentasi pesta per­ ka­winan Pak Misbach dan Nani Wijaya tahun 1969, dalam format hitam putih 8mm. Arsip ini merupakan satu-satunya format 8mm yang tersimpan dalam ruang penyim­panan dan tidak pernah ditonton, karena proyektor 8mm tidak tersedia di lembaga ini. Saya dan kawan-kawan dengan berbagai cara berusaha untuk dapat me­nonton rekaman ini, bukan karena pesta pernikahan Pak Misbach dan Bu Nani, na­mun karena ingin melihat orang-orang yang hadir pada waktu itu, yang tentu akan menjelaskan hubungan aktivitas sosial dan politik kebudayaan Pak Misbach. Setelah melewati berbagai persoalan untuk dapat memutar rekaman ini, kami pun ber­hasil memproyeksikan rekaman 8mm berdurasi 15 menit ini. Pada mulanya, ka­mi ingin memberikan rekaman ini dalam format digital kepada pasangan Pak Misbach dan Bu Nani, sebagai kejutan. Namun, niat itu kami urungkan setelah wa­ fatnya Pak Misbach saat proses produksi Anak Sabiran. Akhirnya, rekaman pesta per­nikahan itu kami hadirkan sepanjang 7 menit secara utuh dalam filem Anak Sabiran, sebagai penghormatan kepada beliau. Rekaman pernikahan Pak Misbach menjadi anomali bila kita hubungkan dengan sang tokoh pengarsipan filem Indonesia ini. Kondisi rekaman filem sudah ber­ ja­­mur, goresan di sana-sini, dan beberapa shot sudah ti­dak dapat dilihat sama se­kali. Melihat kondisi filem do­ku­mentasi pribadinya yang memprihatinkan ini, ka­­mi mendapat gambaran bagaimana dunia pengarsipan filem kita yang sudah ter­­abaikan, sehingga wila­yah yang emosionalnya sangat dekat pun tak ter­se­la­ matkan. Rekaman ini berbanding lurus dengan per­jalanan usaha Pak Misbach dalam mendirikan Sinematek. Ia dengan penuh semangat didirikan, de­ngan citacita besar, namun pada akhirnya pun ter­abai­kan. Temuan mengejutkan lainnya adalah tumpukan ri­bu­an arsip fotografi dan poster di ruang penyim­pan­an basement SI. Arsip-arsip fotografi ini berserakan di ber­bagai sudut ruangan penyimpanan. Pada pro­ses merekam filem Anak Sabiran, kami mencoba me­nyi­sir satu per satu ribuan arsip di ruang tersebut. Ada banyak koleksi fotografi yang menjelaskan ba­gaimana sejarah dunia perfileman Indonesia da­pat dilihat. Sebagian besar foto tersebut memiliki me­tadata cukup baik, yang tertulis di belakang lem­bar foto. Dalam penjelasan foto, disebutkan tang­gal dan konteks peristiwa yang ada dalam foto. Na­mun, ada beberapa foto yang tidak memiliki ke­ K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 71 titik puspa Si Hitam SUMBER: koleksi Forum Lenteng Anak Sabiran, Sebuah Rekaman Keprihatinan? Sejak awal pembuatan filem Anak Sabiran, Forum Lenteng tidak berniat mengeksploitasi kondisi mem­pri­ ha­tinkan Sinematek Indonesia. Cerita filem ini dengan seng­aja dikonstruksi untuk memberi peng­al­aman “ke­ ar­­sipan filem” yang mungkin tidak terbayangkan oleh penonton sebelumnya. Pengalaman itu tentu tidak dengan begitu mudahnya di­hadirkan ke penonton. Perlu usaha lebih keras dengan bahasa filem dan teknis yang memungkinkan. Melalui Anak Sabiran, kami menghadirkan ruang demi ru­ang yang ada di PA K M I S B A C H : S A N G A R S I P “Ia me­­lihat, per­­soal­an uta­ ma filem-filem Indonesia pa­da wak­­tu itu ada­ lah ke­ti­dak­ ta­huan para pem­buat filem Indonesia ten­ tang sejarah ke­budayaan Indonesia, ka­ rena tidak adanya doku­ mentasi.” te­­­rang­an. Ia dibiarkan begitu saja di antara tum­pukan lem­bar-lembar arsip yang berserakan tersebut. Di an­tara temuan yang menarik itu adalah koleksi re­ kam­an fotografi beberapa filem yang sudah tidak ada lagi format filemnya. Kami menemukan semua doku­men­­tasi produksi filem-filem Bing Slamet, yang saat ini tidak dapat lagi ditonton filemnya. Lalu, te­ mu­an yang menarik adalah rekaman dokumentasi filem Ba­dai Selatan karya Sofia WD, yang merupakan filem pertama Indonesia yang masuk dan diputar di Berlin International Film Festival 1963. Mungkin tidak ba­nyak yang tahu bahwa sutradara perempuan kita, Sofia WD, telah menembus festival berkelas se­ma­ cam Berlin International Film Festival, yang baru bisa di­tembus lagi oleh Edwin dengan filem Postcard from the Zoo, pada 2012. 72 arsipelag o ! membaca arsip misbach H afiz R ancajale SUMBER: koleksi Forum Lenteng SI. Ia dihadirkan begitu saja, apa adanya. Ruang itu hadir, baik se­cara fisik sebagai ruang maupun juga sebagai ruang imajinasi. Ruang fisik hadir se­bagai cara untuk membagi pengalaman kepada penonton, untuk melihat lebih dekat SI dengan kondisi-kondisi fisiknya. Sedangkan ruang imajinasi dihadirkan melalui teknis montase dalam filem, yang diharapkan penonton dapat secara kritis melihat kondisi dunia arsip filem kita. Tentu kami sangat berharap ada sebuah tindakan yang cukup besar dalam me­nye­lamatkan Sinematek Indonesia. Usaha-usaha yang telah dilakukan selama ini terasa belum cukup. Mengharapkan kehadiran ne­ ga­ra dalam menye­la­matkan har­ta karun budaya ini seperti menjangkau cita-cita yang sangat jauh un­ tuk da­pat diraih. Di lain pihak, mengharapkan du­­ nia industri filem kita untuk menye­la­mat­kan­nya pun seperti mengharapkan cinta yang bertepuk se­be­ lah tangan. Da­lam be­berapa tahun terakhir, mun­ cul inisiatif penyelamatan koleksi SI. Yang paling fe­­­no­­menal adalah restorasi filem Lewat Djam Ma­ lam, karya Usmar Ismail. Inisiatif yang digagas oleh Yayasan Konfiden, Sahabat Sinematek, dan Kineforum Dewan Ke­senian Jakarta ini, begitu riuh dan menjadi perbincangan di kalangan dunia per­ filem­an Indonesia. Namun, keriuhan tersebut hanya se­saat. Hingga saat ini, belum ada tindakan yang lebih konstruktif dalam penyelamatan koleksi SI. Jadi, sebelum be­nar-benar tenggelam, marilah kita se­la­ mat­kan Sinematek Indonesia.  Kamar Kerja Ii Menghidupkan Ingatan (Kolektif ) A nna M ariana 74 arsipelag o ! - 05 - “Menghidupkan Arsip”, Mencipta Wacana Pentingnya Arsip Untuk Gerakan Sosial Anna Mariana K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia Sumber: Koleksi Ahmad Nashih Luthfi “ M enghidupkan A rsip ” , M encipta W acana : P entingnya A rsip U ntuk G erakan S o sial Pameran “Kronik Agraria” di IPB International Convention Centre, 12 - 13 September 2011. 75 76 arsipelag o ! Antara “Menumpuk” dan “Menghi­dupkan” Arsip: Sebuah Pengantar Sekitar akhir 2011, saya bertemu dengan adik ang­katan di Asrama Putri Ratnaningsih UGM (Asrama RN), yang mengabarkan bahwa koleksi perpustakaan Asra­ma RN akan dihibahkan ke Perpustakaan Kota Yogyakarta dikarenakan manajemen pengelola As­ra­­ma yang sudah berubah. Organisasi Keluarga As­ra­­ma Mahasiswa Ratnaningsih (KAMPR) yang me­nge­lola perpus­ta­ ka­an Asrama pun sudah tidak ada ka­­rena telah membubarkan diri. Saya tentu saja ka­get luar biasa. Sebagai salah satu alumni asrama ter­sebut, saya tentunya menyayangkan keputusan itu, sebab koleksi perpustakaan yang terdiri dari bu­ A nna M ariana ku, novel, majalah, termasuk juga catatan-catatan ke­giat­an keorganisasian Asrama RN, foto-foto kegiatan, la­poran-laporan kegiatan Asrama RN yang telah di­dirikan sejak 1954 itu, jika dihibahkan ke Per­pustakaan Kota Yogyakarta, tentunya seluruh jejak per­jalanan Asrama RN akan turut hilang. Catatan arsip mengenai sejarah berdirinya Asrama Ratnaningsih, yang pertama kali dibuka langsung oleh PJM Soekarno, pada 1954 hingga 2000-an ter­hi­tung sangat rapi dan lengkap—selama saya ber­ada di asrama tersebut. Arsip yang di­ mi­liki ada­lah ra­tusan foto kegiatan mulai tahun 1970-an hingga 2000-an, laporanla­poran kegiatan orga­ni­­sasi As­rama, proposal-proposal kegiatan ker­ja sa­ma yang melibatkan banyak organisasi di luar Ratnaningsih, dst. Hal ini seharusnya dapat dibaca sebagai kha­za­nah arsip soal gerakan perempuan yang ber­co­­rak as­rama mahasiswa: bagaimana ia ber­kem­bang secara organik, ber­je­ja­ring, dan da­pat meng­gam­barkan pula potret aktivisme mahasiswa dari masa ke masa. Koleksi perpustakaan dan juga arsip organisasi yang tersusun rapi itu memuat be­ra­­gam informasi, mulai dari gaya hidup, interaksi so­sial, pengabdian kepada masyarakat, hingga bu­tir-butir pemikiran para penghuninya. Hal yang ter­nya­ ta dibaca secara lain oleh para pihak pengelola Asrama saat ini, dengan me­ nganggap bahwa organisasi tersebut sudah tidak penting lagi, dan tidak perlu “me­numpuk” catatan-catatan tersebut. Pihak pengelola Asrama tidak lagi melihat ada hal-hal sosial maupun kultural yang menghidupi asrama tersebut, termasuk ko­leksi perpustakaannya. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 77 Cerita pembuka tulisan ini merupakan salah satu contoh bagaimana kegiatan mendokumentasi pada sa­tu masa tertentu akan hilang begitu saja, hanya di­­ka­­ renakan hal yang sangat sepele—misalnya, ti­dak ada lagi yang berminat atas koleksi yang di­kum­­pulkan—maupun karena penghilangan secara pak­sa atau penyingkiran oleh suatu sistem yang he­ge­­monik—sebagaimana yang terjadi pada Asrama Ratnaningsih. Tanpa adanya topangan gerakan—se­mi­sal organisasi KAMPR ini—dan juga struktur (ke)kuasa(an) yang kuat untuk ”memberdayakan” arsip, ma­ka yang terjadi adalah banalitas atas proses peng­arsipan! Pemahaman soal arsip dan pengarsipan sering kali ter­lampau sempit. Pengertian arsip masih dipandang terbatas hanya pada tumpukan kertas soal informasi masa lalu yang berdebu di kantor-kantor arsip pe­me­rin­tahan, dan bukan pada koleksi arsip—yang terdiri da­ri catatan harian, memoar, laporan kegiatan, nota, susunan acara, dst.—suatu lembaga maupun individu, karena dianggap tidak objektif. Hal ini seolah-olah menjustifikasi arsip hanyalah menjadi “urusan” para sejarawan yang bergelut dengan masa lalu, yang diakses hanya di kantor-kantor arsip belaka. Maka, koleksi perpustakaan sebuah organisasi mahasiswa seperti KAMPR, yang sudah memulai dan sadar mendokumentasi atas organisasinya, pada akhirnya hanya tinggal menjadi cerita pada masa kini. Hal ini dikarenakan arsip hanya 1) Wawancara dengan Elok Angraeni dan Windi Wahyu Ningtyas (pengurus KAMPR periode akhir), 12 dan 14 Oktober 2011. Koleksi yang tersisa dan yang dikelola Etnohistori saat ini tinggal sebagian kecil novel populer 1980-an – 2000-an, sebagian arsip foto-foto kegiatan Asrama, majalah, buku, dan kliping koran yang tersisa, seperti Kompas dan Kedaulatan Rakyat. “ M enghidupkan A rsip ” , M encipta W acana : P entingnya A rsip U ntuk G erakan S o sial Arsip foto yang dimiliki oleh Asrama Ratnaningsih sejatinya dapat dijadikan se­bagai sumber sejarah. Selain itu, koleksi ribuan buku, novel, maupun kliping koran, serta majalah yang cukup lengkap, dapat pula menjadi sumber bagi siapa pun yang akan melakukan penelitian. Koleksi perpustakaan RN tersebut didapat dari para ma­hasiswa penghuni Asrama Ratnaningsih yang, apabila telah menyelesaikan ku­liahnya, maka mereka diwajibkan untuk menyumbang minimal dua buah bu­ ku (atau yang lainnya) serta karya tugas akhirnya, seperti hasil penelitian praktik la­pangan dan skripsi. Selain itu, warga Ratnaningsih berlangganan koran yang kemudian dikliping oleh bagian litbang KAMPR. Proses mendokumentasi, meng­ kliping-mengumpulkan sega­la hal menyangkut arsip keorganisasiannya dila­ ku­kan sangat intens dan rapi, tetapi akibat dari adanya peru­bahan manajerial pengelolaan Asrama, koleksi per­pustakaan menjadi berantakan. Sebagian ko­ lek­si mulai tidak terawat sejak 2008, karena proses regenerasi pengurus KAMPR dihentikan secara halus dan sistemik dengan tidak memberikan warisan pe­ ngetahuan tentang keorganisasian kepada para penghuni yang baru masuk. Mes­kipun dapat dirawat oleh pengurus ter­ak­hir KAMPR, namun sebagian koleksi per­pustakaan tidak dapat diselamatkan. Akhir­nya, untuk mencegah se­makin “hi­ langnya” jejak-je­jak yang ter­si­sa dari ko­lek­si perpustakaan Asrama RN ini, pe­ ngu­rus KAMPR terakhir menyerahkan sisa ko­leksi ter­sebut untuk dikelola oleh Etnohistori, pada awal 2012.1 78 arsipelag o ! A nna M ariana dipahami sebagai sesuatu yang dianggap harus “objektif” sebagaimana hal yang berkaitan dengan catatan Pemerintah, seperti algemene, Rijksblad, Dagh-register, Memorie van Overgave, Algemene Gemeente, dst., sedangkan memori ataupun sumber sezaman yang lebih bersifat personal, yang dianggap lebih subjektif, sering kali tidak dimasukkan ke dalam kategori arsip.2 Nampaknya, pengertian soal arsip yang terlalu sempit ini dikarenakan problem historiografi sejarah Indonesia yang melulu melihat sejarah yang ideo­lo­gis dan sekaligus moralis. Sejarah seolah ha­rus di­kaitkan pada konsep yang lebih besar, misalnya na­sionalisme. Namun, perdebatan para sejarawan me­nge­nai arsip pun selalu terjadi dalam setiap perubahan periode. Sekitar 1980-an, mulai banyak sejarawan yang berubah dalam cara pandang melihat subjek se­jarah mana yang harus dinarasikan. Hal ini turut membentuk cara pandang da­lam melihat kedudukan serta pengertian sebuah arsip. Hakikat arsip secara luas seharusnya adalah sekumpulan sumber informasi di masa lalu (sumber se­ja­rah). Pengertian arsip mulai berubah pula, seiring dengan pengertian soal kon­sep masyarakat turut memengaruhi metodologi penulisan sejarah. “First hand knowledge” sebagai pengertian arsip selama ini, yang dilihat hanya ba­gi­an dari “dokumen Pemerintah”, menjadi sangat cair dan tidak kaku, karena “first hand knowledge” dimaknai terhadap segala hal informasi yang berada da­lam satu zaman yang dapat dilakukan interogasi terhadap arsip.3 Maka, jika pan­dang­an soal pengertian arsip sendiri tidak banyak berubah, akan banyak situs pen­ dokumentasian, sebagaimana kasus Asrama RN di atas, yang kemudian “meng­hilang”. Selain itu, bisa saja proses “menghilang”-nya satu situs arsip dan do­­ 2) Hal ini dapat dilihat dari pengertian arsip yang dijelaskan secara eksplisit bahwa dokumen Pemerintah disebut sebagai arsip, se­ dang­kan di luar itu maka bukan disebut arsip. Silakan periksa pen­ ja­baran Soeri Soeroto, “Penelitian Bahan-Bahan Arsip Masalah dan Ke­nyataan”, dalam ANRI, Arsip dan Sejarah, (Jakarta: ANRI, 1980), hlm. 67-68. 3) Mona Lohanda, Sumber Sejarah dan Penelitian Sejarah (Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998), hlm. 4-5. “Dalam ruang sekecil apa pun, “menghi­ dupkan” arsip, baik itu arsip suara, teks, mau­pun ma­­ terial yang lain, pa­da ak­ hirnya da­pat mem­bentuk satu wa­cana tandingan.” K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 79 kumentasi terjadi ketika proses pengarsipan yang dilakukan oleh lembaga ter­se­ but hanya sebatas mengumpulkan arsip tanpa “menghidupkan”-nya. Membaca Proses “Menghidupkan” Arsip pada Pojok Gerakan Perempuan Museum Vredeburg dan Kronik Konflik Agraria Setiap individu maupun lembaga yang melakukan pengarsipan sering kali dihadapkan pada masalah setelah mengumpulkan dan mendokumentasikan arsip—apa pun bentuknya: soal bagaimana koleksi tersebut dapat dipergunakan dan dapat diakses oleh masyarakat banyak. Persoalan akses sangat problematis. Hal ini dikarenakan akses ketersediaan arsip yang hanya terbatas di lembagalembaga pemerintahan yang sangat birokratis. Belum lagi persoalan tidak tersebarnya informasi mengenai keberadaan arsip oleh masyarakat. Persoalan terakhir terkait pada bagaimana cara menghidupi arsip tersebut. Pada bagian ini, 4) Henk Schulte Nordholt dan Fridus Steijlen, “Don’t Forget to Remember Me: Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-Hari di Indonesia pada Abad ke-21”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (eds), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: KITLV, Yayasan OBOR Indonesia dan Pustaka Larasan, 2008), hlm. 378-379. “ M enghidupkan A rsip ” , M encipta W acana : P entingnya A rsip U ntuk G erakan S o sial Menciptakan proses tawaran wacana “yang lain” dari arus utama, baik dari pemi­ kir­an/perspektif baru maupun secara kelembagaan dengan “menghidupkan” arsip me­­mang tidak mudah. Namun, hal itu bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Dalam ruang sekecil apa pun, “menghidupkan” arsip, baik itu arsip suara, teks, maupun ma­­­­terial yang lain, pada akhirnya dapat membentuk satu wacana tandingan. Ma­ ka, kehadiran satu proses kreatif dalam “menghidupkan” arsip dalam berbagai ben­tuk penting untuk dilakukan. Selain untuk memperkaya pembacaan atas arsip itu, ia pun bekerja untuk membuat satu gerakan yang lebih otoritatif, dikarenakan ia bekerja dengan basis data arsip yang kuat. Proses semacam ini tentunya akan menya­darkan masyarakat masa kini. Arsip seharusnya bukan hanya dianggap se­ ba­gai proyek “mengumpulkan” apa yang tersedia (disediakan) oleh pilihan re­zim kuasa (kolonial) yang dianggap berharga belaka, karena bisa saja ia meng­ha­ dapi ancaman jebakan (pos)kolonial. Maka, kegiatan mengarsip haruslah “men­ cip­takan” sekaligus “menghidupkan” arsip. Proses menciptakan arsip meru­pa­kan pro­­yek yang biasanya paling akhir dilakukan oleh sejarawan. Padahal sejatinya, pro­­ses pengarsipan tersebut, jika dilakukan oleh sejarawan, maka tidak sejarah yang kita “ciptakan” tersebut akan sangat membantu menyediakan arsip yang da­ pat digunakan dalam penelitian pada masa yang akan datang.4 Tulisan ini se­di­kit ba­nyak akan menyinggung soal bagaimana “penciptaan” arsip tersebut. Mes­ki de­ mikian, tulisan ini lebih banyak berupaya menunjukkan bagaimana “meng­hi­dup­­ kan” arsip dalam berbagai kesempatan, ruang, dan waktu bagi sebuah gerakan sosial. 80 arsipelag o ! akan dibahas mengenai perjalanan proses bagaimana arsip—sekecil apa pun— mampu bergulir dalam berbagai kesempatan, menciptakan rangkaian akumulasi pengetahuannya sendiri, ketersebaran dan kemudahan aksesnya, sehingga informasi arsip tersebut memiliki “nafas” yang lebih panjang sebagai bagian dari sejarah masyarakatnya. Berikut ini akan disampaikan soal bagaimana upaya “menghidupkan” arsip sebagai salah satu bagian dari “siklus pengetahuan” antara produksi pengetahuan (baca: pengalaman) dan berjalannya suatu gerakan sosial. A nna M ariana Kasus I: Revitalisasi Museum Vredeburg: Menyoal Narasi Gerakan Perempuan Persoalan pengarus-utamaan jender di Indonesia dalam beragam ranah kadang ka­la dianggap final oleh semua kalangan. Akan tetapi, dalam realitas keseharian, per­soalan mendasar atas hak-hak perempuan dan juga keadilan masih sering kali di­jumpai tepat di depan mata. Persoalan trafficking (perdagangan manusia), kri­ mi­nalisasi buruh migran, dan perbudakan seksual adalah beberapa amsal yang da­pat disebut. Proses kampanye atas pentingnya hak-hak perempuan, semisal hak bersuara, hak atas tubuh perempuan, hak-hak reproduksi, dst. pada dasarnya su­dah banyak dilakukan oleh banyak kalangan, mulai dari seniman dalam karyakar­­yanya, hingga para akademisi yang merangkai analisisnya dalam laporan pe­­ne­litian maupun buku-buku bertema jender. Namun, pertanyaannya adalah: menga­pa persoalan mengenai perempuan seolah tak pernah pupus? Hal ini ten­ tu­nya tidak mudah dijawab dan juga bukan pertanyaan ujian yang harus dijawab da­lam hitungan singkat, dalam beberapa paragraf saja. Persoalan yang dihadapi sa­ngat serius, karena terkait erat dengan bagaimana “mesin” penghasil pemikiran ser­ta ide kesetaraan jender dan keterhubungan dengan aksi atau gerakan tidak per­­nah seiring sejalan dalam perjalanan historisnya, bahkan tidak dipahami apa­ la­gi diyakini oleh para perempuan Indonesia sebagai alat pembebasan. Maka, sangat penting untuk memulai bagaimana menghubungkan antara pengetahuan berper­spektif kesetaraan jender (baca: arsip) dengan pergerakan atau aksi itu sendiri. Narasi sejarah pergerakan perempuan selama ini pun selalu dilekatkan dalam pe­ rio­disasi peristiwa politik di Indonesia secara umum. Contohnya adalah periodi­ sasi yang ditulis oleh KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) dalam mem­per­ingati setengah abad pergerakan wanita Indonesia.5 Dalam buku ini, narasi soal per­ge­ rakan perempuan memiliki pembabakan sejarah atau periodisasi sejarahnya ber­ dasarkan pada sejarah politik nasional. Kowani membuat pembabakan se­bagai berikut: 5) Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978). K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia Sumber: Koleksi pribadi a. Pergerakan wanita pada masa penjajahan • Masa Pemerintah Hindia Belanda (19281942) • Masa pendudukan Jepang (1942-1945) b. Pergerakan wanita pada masa perang kemer­ de­kaan (1945-1949) c. Pergerakan wanita pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) d. Pergerakan wanita pada masa Demokrasi Ter­ pim­pin/Orde Lama (1960-1965) e. Pergerakan wanita pada masa Orde Baru (1966-1978)6 Bila kita cermati, periodisasi ini sama persis dengan periodisasi politik Indonesia secara umum, yang sa­ ngat bias Orde Baru. Padahal, sejatinya, pergerakan perem­puan yang memiliki aspek tertentu dan respon pa­ra perempuannya yang berbeda seharusnya meng­ hasilkan narasi berbeda dari historiografi yang ber­ co­rak politik nasional. Apakah memang periodisasi 6) Ibid. hlm., xii-xiii. “ M enghidupkan A rsip ” , M encipta W acana : P entingnya A rsip U ntuk G erakan S o sial Pengunjung Museum Vredeburg pada pembukaan pojok diorama 2 dan 4, di Pojok Gerakan Perempuan dan Pemuda, 5 April 2012. 81 82 arsipelag o ! per­gerakan perempuan selalu sejalan dengan situasi politik nasional? Bagaimana de­ngan persoalan-persoalan keseharian yang dihadapi para buruh migran dalam na­rasi sejarah pergerakan perempuan? Apakah ia (pergerakan perempuan) tidak me­miliki periodisasi sejarah pergerakannya tersendiri? Hal ini jelas merupakan se­ buah problem historiografis.7 Salah satu contoh kutipan lain yang menarik tentang bagaimana historiografi yang menarasikan pergerakan wanita Indonesia selama ini dapat kita simak seperti berikut ini: A nna M ariana “....pada tanggal 15 Oktober 1945, tentara Inggris (dengan Gurkha-nya) yang diboncengi tentara Belanda, mendarat di Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, dan tempat-tempat lainnya. Mereka ditugaskan menerima penyerahan dari Jepang.”8 Narasi pada paragraf berikutnya diisi oleh kondisi pertahanan melawan pihak Sekutu. Setelah itu, baru soal pergerakan perempuan ditempatkan dalam narasi tersebut, seolah-olah cerita mengenai keberadaan perempuan dalam masa revo­ lu­si hadir ketika keadaan terdesak, membutuhkan bantuan atau perlindungan para perempuan, bukan pada cerita bagaimana para perempuan yang memiliki penge­ ta­huan ini melihat peristiwa perang kemerdekaan tersebut. Perempuan selalu di­gam­barkan pada posisi yang tidak memiliki inisiatif untuk bergerak; kalaupun digam­barkan berjuang, maka pilihan kata yang dipakai adalah “sumbangan”, “pe­ranan” perempuan, dst. Ia berada di pinggiran narasi utama. Apakah kondisi se­benarnya memang semacam itu? Bagaimana sesungguhnya cerita-cerita ini­ sia­tif para perempuan dalam rentangan periode-periode historisnya? Dalam me­ narasikan suatu kisah masa lalu, apalagi kisah perempuan, diperlukan satu me­ to­dologi yang kuat dan pisau analisis yang tepat, jika menginginkan narasi yang di­hasilkan adalah tentang bagaimana kesetaraan jender telah terbangun. Pada awal 2012, saya membantu sebuah proyek penelitian untuk kepentingan merevitalisasi Museum Vredeburg Yogyakarta bersama dengan Lembaga Sakala. Pro­yek penelitian ini dimaksudkan untuk menambahkan pengetahuan sejarah yang sudah terdapat di dalam Museum Vredeburg, yang berupa diorama-dio­ ra­ma sejarah Indonesia, dengan tambahan perangkat multimedia. Vredeburg sen­diri merupakan museum yang memfokuskan pada peran Yogyakarta untuk ke­mer­dekaan Indonesia dalam penarasiannya. Penambahan material yang be­ rupa multimedia tersebut memungkinkan untuk mengubah narasi soal gerakan perem­puan yang selama ini hanya berpaku pada corak narasi nasional, dan lebih ber­fokus pada sejarah politik. Suatu upaya untuk “menghidupkan” arsip soal ge­rakan perempuan yang mandiri kepada publik masyarakat yang lebih luas. Pro­ses semacam ini pada akhirnya tentu akan mencipta satu wacana baru dan pengetahuan tersebut, karena museum diakses oleh banyak pihak. 7) Notulensi Serial Diskusi Genealogi Gerakan dan Studi Perempuan #2, Etnohistori-FFD-Syarikat, 17 Mei 2013. 8) Kowani, Sejarah Setengah Abad., op.cit., hlm. 67. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 83 Ruang-ruang publik semacam museum harus “direbut” dengan pewacanaan yang baru, dengan metodologi penarasian sejarah yang lebih berkeadilan jender. Ke­ter­ li­batan saya dalam revitalisasi pojok gerakan perempuan di Museum Vredeburg mem­beri inspirasi bagi Etnohistori untuk memulai suatu workshop, diskusi, serta penelitian dengan tema “Genealogi Studi dan Gerakan Perempuan”. Ada beberapa ru­ang kosong pada Pojok Gerakan Pemuda dan Perempuan di Museum Vredeburg itu, yang tidak dapat diisi karena keterbatasan ruang. Maka, rintisan awal tentang timeline gerakan perempuan tersebut harus diteruskan dalam ruang-ruang yang lebih luas lagi, dengan “menghidupkan” arsip-arsip lainnya yang terkait dengan ge­rak­an perempuan. Lingkar diskusi tersebut telah menjaring banyak kalangan, mu­lai da­ri mahasiswa, aktivis, maupun para peneliti soal perempuan, untuk mendis­ ku­si­kan sampai sejauh mana dan apa sajakah pencapaian gerakan perempuan mulai dari awal abad XX sampai awal abad XXI ini.10 9) Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Syarikat, 2008), hlm. 51-64. 10) Lihat http://etnohistori.org/edisional/geneologi-gerakan-dan-studi-perempuan-indonesia. Workshop dan lingkar diskusi Etnohistori “Genealogi studi dan gerakan perempuan” berlangsung sebanyak 10 kali pertemuan, dengan agenda diskusi membuat anotasi bibliografi atas karya-karya utama tentang pergerakan perempuan. Agenda beri­kut­nya adalah membuat alur timeline soal pergerakan perempuan “ M enghidupkan A rsip ” , M encipta W acana : P entingnya A rsip U ntuk G erakan S o sial Pengetahuan mengenai arsip CPI (Congres Perempoean Indonesia) I di Yogyakarta, misalnya, menjadi upaya untuk “menghidupkan” arsip. Pada dasarnya, hal-hal yang berkait dengan CPI memang sudah banyak diketahui oleh para akademisi, secara spesifik oleh para sejarawan. Tetapi, pengetahuan mengenai CPI sebagai suatu peristiwa sosial belum tentu dipahami bahkan dinarasikan dan diakses oleh publik secara luas. Penyajian arsip soal CPI di dalam buku-buku sejarah yang ditulis, tentu akan berbeda jika “pengetahuan” atas arsip itu bisa dilihat dan dinikmati dengan penyajian yang menarik di sebuah pameran museum. Pengunjung dapat langsung memencet/menyentuh layar-layar dari informasi yang diinginkan. Misalnya saja, apa saja programma (susunan acara) selama CPI I tersebut, siapa saja tokoh-tokoh penggagasnya, dan juga sebagian inti dari isi makalah-makalah yang disampaikan para peserta kongres. Proses translasi pengetahuan, dalam hal ini arsip CPI, menjadi bagian dari pameran suatu museum merupakan satu contoh bagaimana proses penarasian sejarah yang biasanya dianggap membosankan dapat dihadirkan melalui estetika, dengan tujuan untuk mendekonstruksi serta menyeimbangkan “penciptaan” dokumen, yang selama ini dilakukan oleh Orde Baru melalui museum-museum.9 De-ideologisasi militer atas museum-museum yang sangat gencar didirikan pada masa Orde Baru harus segera dilakukan, karena monumen-monumen yang didirikannya itu setiap tahun masih terus-menerus dikunjungi oleh para siswa dari berbagai tingkatan sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai menengah. Kita harus mampu mendekonstruksi ideologisasi museum-museum tersebut dengan menyajikan arsip-arsip yang selama ini tidak dimunculkan. Maka, pojok-pojok multimedia yang menjadi proyek revitalisasi Vredeburg itu mengambil posisi semacam ini. 84 arsipelag o ! Kami membuat workshop ini dengan tujuan menghim­ pun dokumentasi soal gerakan perempuan dan mem­ bu­ka ruang diskusi serta dialog yang selebar-lebarnya dalam membincangkan persoalan gerakan dari masa lalu hingga saat ini. Kami melakukan diskusi kritis atas pengertian pergerakan perempuan, yang selama ini hadir dalam historiografi pergerakan perempuan, yang sering kali dimaknai hanya sebagai organisasi.11 A nna M ariana yang di­batasi dalam isu yang senantiasa diperbincangkan selama satu abad pergerakan, seperti aspek perkawinan, kekerasan terhadap per­empuan, ekonomi perempuan, pendidikan, dan kesehatan, serta me­lakukan analisis terhadapnya. Proses ini masih berlangsung, di­ka­ re­nakan para partisipan yang bergabung dalam kegiatan ini bersifat su­karela, sehingga sempat tidak berjalan dengan lancar. Selain itu, pro­ses pengumpulan dokumentasi terkendala banyak hal, terutama da­na untuk “berburu” beragam macam dokumentasi soal pergerakan dan studi perempuan ini. 11) Untuk menyebut beberapa karya terkait pergerakan perempuan yang dimaknai sebagai “organisasi” saja, dapat ditemui seperti kar­­ya Maria Muharram, dkk., Peranan Wanita Indonesia dalam Pem­bangunan (Jakarta: Norindo Pratama, 1975), Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), Departemen Penerangan, “Pergerakan Wanita Indonesia”, Jakarta: 1952. Pojok Multimedia Gerakan Perempuan Museum Vredeburg. Foto diambil pada 5 April 2012. Sumber: Koleksi pribadi K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 85 Kasus II: Arsip, Estetika, dan Gerakan Agraria: Belajar dari Proses Kreatif Kronik Konflik Agraria Persoalan agraria, tepatnya konflik agraria, akhir-akhir ini mengisi pemberitaan dan perbincangan yang cukup intens dalam media. Sebut saja kasus petani versus perusahaan penambang pasir di Kulon Progo, kasus lumpur Lapindo yang tidak pernah diselesaikan, hingga kasus petani versus Angkatan Darat (AD) di Urut Sewu, Kebumen, yang baru-baru ini mengeluarkan petisi bagi Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, untuk mengembalikan tanah di Urut Sewu kepada warga.13 Konflik agraria yang semakin menjadi perhatian banyak kalangan pada saat ini, pada dasarnya dapat dibaca sebagai buah dari perjalanan panjang perjuangan para pegiat agraria, agar pengetahuan persoalan agraria sebagai persoalan bangsa Indonesia sejak zaman dahulu diketahui oleh masyarakat luas. Kajian agraria sempat “dibungkam” pada masa Orde Baru dengan diidentikkan sebagai ajaran komunis dengan agenda land reform-nya. Padahal, agenda land reform (reforma agraria) merupakan agenda para founding people bangsa Indonesia pascakolonial, dengan inti reforma agraria tujuannya adalah mengubah struktur kepemilikan agraria.14 12) Notulensi Diskusi Genealogi Gerakan dan Studi Perempuan #4, Etnohistori-FFD-Syarikat, 8 Juni 2013, dan notulensi diskusi “Genealogi Gerakan dan Studi Perempuan #10, Etnohistori-FFD-Syarikat, 3 November 2013. 13) http://urutsewu.tumblr.com 14) Ahmad Nashih Luthfi, Melacak Pemikiran Agraria: Sumbangan Mazhab Bogor (Yogyakarta: STPN Press, 2011). “ M enghidupkan A rsip ” , M encipta W acana : P entingnya A rsip U ntuk G erakan S o sial Titik poin inilah yang coba kami dekonstruksi sebagai metodologi penghadiran narasi pergerakan yang baru. Bahwa pergerakan perempuan bukan hanya di lingkaran orang yang masuk ke dalam “organisasi” saja, tetapi juga pergerakan dalam arti pemikiran/ide yang dihasilkan dari para perempuan Indonesia yang berjuang, studi mengenai perempuan Indonesia, serta mendekonstruksi pengertian gerakan perempuan yang elite dengan mencoba menunjukkan adanya gerakan perempuan yang sifatnya keseharian, bersifat non-elite, namun organik dalam perkembangannya di masyarakat luas.12 Perjuangan memproduksi pengetahuan berdasarkan pengalaman di Museum Vredeburg, diikuti dengan proses workshop Etnohistori, menjadi tanda bahwa perjuangan (pergerakan) perempuan melalui “menghidupkan” arsip dapat dilakukan serta merangsang pergerakan yang lainnya. Selain itu, kegiatan ini menunjukkan bahwa perjuangan dalam memperoleh keadilan dan kesetaraan jender itu tidak diperoleh dari pemberian namun harus diperjuangkan. A nna M ariana 86 arsipelag o ! Dari latar belakang semacam ini, maka kemunculan pameran panel kronik agraria me­rupakan upaya yang cerdas untuk memberi lans­kap pengetahuan/ informasi kepada publik yang luas, bahwa persoalan masa kini (agraria) yang di­ha­­dapi me­rupakan satu persoalan yang ber­ke­lan­jutan dari persoalan agraria masa lalu. Karya ber­ju­dul Kronik Agraria yang disusun oleh Ahmad Nashih Luthfi, M. Fauzi dan Razif (naskah), dan Alit Ambara (desain) ini merupakan satu contoh ba­gai­mana “meng­­hidup­kan” arsip menjadi sebuah karya baru yang di­tam­pil­kan melalui media pameran. Keempat orang ini mengumpulkan, menyusun, serta mendesain dengan tam­­pilan yang estetik arsiparsip persoalan agraria. Panel-panel dua dimensi ini mencakup tiga isu krusial: Kon­flik Agraria, Kronologi Sejarah Agraria, dan Pe­mi­kiran Agraria.15 Panel-panel ini lalu dipamerkan dalam rangka acara peringatan 50 tahun UUPA (Un­dang-Undang Pokok Agraria) 1960 di STPN (Se­kolah Tinggi Pertanahan Nasional) Yogyakarta. Se­rangkaian acara selain pameran panel terdiri dari dis­kusi buku, seminar, pemutaran film dokumenter ber­­temakan agraria, hingga performance art. Acara ber­langsung dari 14 sampai 17 Desember 2010. Salah satu contoh bagaimana teks dihadirkan dalam pa­nel ini adalah soal pemikiran agraria yang su­dah digagas oleh para founding people kita dan me­nun­ juk­kan bahwa reforma agraria merupakan agen­da bang­sa yang sangat penting diketahui untuk per­ge­ rak­an. Berikut ini adalah pemikiran agraria yang di­ lon­tarkan Soekarno tentang land reform: “Ini adalah suatu kemadjuan jang penting-maha-penting dalam Revolusi Indonesia! Revolusi tanpa Landreform ada­ lah sama sadja dengan gedung tanpa alas, sama sadja de­ngan pohon tanpa batang, sama sadja dengan omong be­sar tanpa isi... Ini bukan “komunis”! Ketjuali itu, apakah orang tidak tahu bahwa negara-negara jang bukan ko­mu­ nis­pun banjak yang mendjalankan landreform? Pakistan men­djalankan landreform, Mesir mendjalankan landreform, 15) Ahmad Nashih Luthfi, Razif dan M. Fauzi, Kronik Agraria Indonesia: Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor (Yogyakarta: STPN, SAINS dan ISSI, 2011). Salah satu panel Kronik Agraria “Kemerdekaan Agra­ ria: Perjuangan dan Pengingkaran” yang dipamerkan di STPN pada 2010. Sumber: Ahmad Nashih Luthfi, Razif dan M. Fauzi, Kronik Agraria Indonesia: Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor (Bogor dan Yogyakarta: STPN, SAINS dan ISSI, 2011), hlm. 2-5 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 87 Iran mendjalankan landreform!!! ... Karena itu, hadapilah per­soalan Landreform ini setjara zakelijkobjektif sebagai sa­tu soal keharusan mutlak dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat dan Revolusi, dan djangan hadapi dia dengan komunisto-phobi!!”16 Selain soal pandangan, ide, pemikiran dari tokoh-tokoh, kronik agraria menyam­ pai­kan pula soal sejarah konflik agraria. Berikut narasi yang disampaikan dalam Kronik Agraria tentang sejarah konflik agraria: Sebagaimana diungkapkan dalam panel yang kemudian dibukukan, konflik sudah berlangsung dari masa liberalisasi ekonomi, yang dikenal dengan periode tanam paksa, 1870. Tokoh-tokoh kemerdekaan kemudian menggagas soal meng­ubah 16) Ibid., hlm. 51-52. 17) Ibid., hlm. 26. “ M enghidupkan A rsip ” , M encipta W acana : P entingnya A rsip U ntuk G erakan S o sial “Konflik Agraria di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang Agraria tahun 1870 terbit. Contohnya antara lain pemberontakan petani di perkebunan karet Ciamis pada tahun 1905 dan kasus Gempolsewu di Kendal pada 1920-an, kemudian disusul pemberontakan petani di Sumatera Timur, Sulawesi Selatan, Minahasa, dan Blitar; seluruh konflik itu bersumber dari lahirnya hak erfpacht (sekarang hak guna usaha, HGU) yang memberi jalan bagi lahirnya perkebunanperkebunan besar dan penggusuran rakyat.”17 88 arsipelag o ! Para pengunjung pameran Kronik Agraria pada panel “Tokoh-Tokoh Agraria dalam Sejarah Indonesia”, dalam rangka 50 Tahun UUPA di STPN Yogyakarta, 14-17 Desember 2010. Sumber: Koleksi Ahmad Nashih Luthfi A nna M ariana penguasaan tanah dan perubahan struktur agra­ ria, yang diperjuangkan setelah kemerdekaan. Kon­ flik yang dihadapi saat ini sudah tentu akan su­lit diberantas jika keadaan perubahan struktur agra­ria­ nya belum juga diwujudkan. Pameran panel kronik agraria dalam rangka peri­ngat­ an UUPA tidak berhenti pada waktu peringatan UUPA saja. Pameran kemudian bergulir kembali pada ta­hun berikutnya, yakni tahun 2011. Acara pameran di­laksa­ na­kan oleh Institut Pertanian Bogor bekerja sa­ma de­ ngan STPN. Pameran ini berlangsung di gedung IPB Convention Centre. Material pameran pada kali ini sudah dibuat lebih portabel yang dapat dibawa ke mana saja, karena panel terbuat dari bahan outdoor printing. Materi yang disampaikan tidak ada peru­ba­ han. Setelah pameran di IPB, beberapa kali lem­baga lain turut pula menyebarkan pengetahuan itu di ber­ ba­gai kesempatan dalam rangka kampanye “melek agraria”, seperti oleh Mahasiswa Sejarah UGM pa­da aca­ra History Week 2012, maupun oleh Ikatan Maha­ sis­wa Sejarah Indonesia (IKAHIMSI) 2014.18 Terkait data konflik agraria, hal yang menarik untuk di­cer­mati adalah proses pengarsipan yang dilakukan oleh lembaga non-Pemerintah. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Konsorsium Pembauran Agraria 18) Komunikasi pribadi dengan Ahmad Nashih Luthfi, 02/04/2014 via SMS. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 89 (KPA). KPA merupakan salah satu pionir dari gerakan agraria yang banyak me­la­ ku­kan pendokumentasian soal konflik agraria. Data soal konflik agraria ini me­reka su­sun berdasarkan aktivitas mengkliping dan mencatat dari berbagai sumber, se­ per­ti media massa lokal. Salah satu tabel hasil olahan dari database sengketa agra­ria KPA adalah sebagai berikut: 10 provinsi dengan jumlah sengketa agraria tertinggi Tahun Sengketa 1970-2003 (update: 3 September) Ju ml a h S engke ta Jawa Barat 506 DKI Jakarta 186 Sumatera Selatan 181 Jawa Timur 172 Sumatera Utara 169 Jawa Tengah 108 Sulawesi Tengah 71 Lampung 54 Sulawesi Selatan 51 DI Aceh 51 Sumber: KPA via Ahmad Nashih Luthfi, Razif dan M. Fauzi, Kronik Agraria Indonesia: Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor (Yogyakarta: STPN, SAINS dan ISSI, 2011), hlm. 33 Demikian pula proses mengarsip soal konflik pertambangan yang dilakukan oleh Ja­ringan Advokasi Tambang (JATAM). Jatam mendokumentasikan seluruh persoal­ an tambang, konflik tambang baik yang dilakukan perusahaan, negara, mau­pun ten­tara. Setiap tahun, JATAM mengeluarkan infografis soal konflik tambang ini. Me­narik kemudian data-data ini dikutip, menjadi rujukan mengenai konflik agraria oleh lembaga-lembaga Pemerintah. Kedua lembaga ini, dengan keterbatasan in­ fra­­­­struktur—yang kadang kala SDM terbatas—mampu menunjukkan bagaimana pro­­­ses mengarsip yang akhirnya membangun wacana, terutama bagi gerakan so­ sial. Karena melalui data-data lembaga ini, ketersebaran pengetahuan pada ak­ hir­­nya menjadi data yang dipakai tidak hanya oleh para peneliti yang bergelut di persoalan agraria, bahkan oleh lembaga-lembaga resmi pemerintahan yang se­­ha­rusnya menjadi bagian pekerjaan dari lembaga pemerintahan. Sekali lagi, ge­­rakan “menghidupkan arsip”, bagi gerakan sosial, memiliki pengaruh yang signifikan. “ M enghidupkan A rsip ” , M encipta W acana : P entingnya A rsip U ntuk G erakan S o sial Pro p insi arsipelag o ! A nna M ariana 90 Mendiseminasikan Arsip: Catatan Penutup Mengarsip melalui satu perspektif tertentu dan menjadikannya sebagai bagian da­ ri menelusuri akar persoalan adalah suatu keharusan. Arsip bagi gerakan per­em­ puan dan gerakan agraria merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuang­ annya. Sebagaimana telah disinggung di awal, arsip dapat menjadi alat untuk mem­persatukan ide maupun isu yang sejatinya bisa menjadi alat perjuangan gerakan sosial. Gerakan perempuan yang dimulai dengan mengumpulkan serta membaca ulang narasi gerakan perempuan merupakan salah satu contoh dari usaha itu. Lalu bagaimana Kronik Agraria yang selain secara estetika mampu menarik ba­nyak pihak untuk mengapresiasinya sebagai karya seni, namun yang pasti ada­lah kam­ pa­nye tentang konflik agraria semakin akrab dan mendorong suatu peru­bah­an sosial, terutama bagi gerakan sosial yang dapat lebih mengurat akar ber­da­sarkan pe­ngetahuan yang otoritatif. Respon publik yang melakukan pameran lan­­­jutan dengan menggunakan panel kronik agraria ter­se­but menjadi bukti bahwa publik menjadi ter­sa­dar­­kan: per­­soalan bangsa ini dikarenakan tidak di­be­nahi­nya per­ K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 91 DAFTAR pustaka Konflik pertambangan tahun 2011 yang dihimpun oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sumber: Siti Maemunah “Buruk Pengurusan, Rakyat Bergelut Konflik: Konflik Sumber Daya Alam dan Pengurusannya di Indonesia”, presentasi disampaikan di STPN, 4 Juli 2013. Buku Ahmad Nashih Luthfi. Melacak Pemikiran Agraria: Sumbangan Mazhab Bogor. Yogyakarta: STPN Press, 2011. Ahmad Nashih Luthfi, Razif dan M. Fauzi. Kronik Agraria Indonesia: Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor dan Aktor. Yogyakarta: STPN, SAINS dan ISSI, 2011. Departemen Penerangan. “Pergerakan Wanita Indonesia”. Jakarta: 1952. Kowani. Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1978. Maria Muharram, dkk.. Peranan Wanita Indonesia dalam Pembangunan. Jakarta: Norindo Pratama, 1975. McGregor, Katharine E. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia, Yogyakarta: Syarikat, 2008. Mona Lohanda. Sumber Sejarah dan Penelitian Sejarah. Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998. Nordholt, Henk Schulte dan Fridus Steijlen. “Don’t Forget to Remember Me: Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-Hari di Indonesia pada Abad ke-21”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (eds), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: KITLV, Yayasan OBOR Indonesia dan Pustaka Larasan, 2008. Notulensi Serial Diskusi Genealogi Gerakan dan Studi Perempuan #2. Etnohistori-FFD-Syarikat, 17 Mei 2013. Soeri Soeroto. “Penelitian Bahan-Bahan Arsip Masalah dan Kenyataan”, dalam ANRI, Arsip dan Sejarah. Jakarta: ANRI, 1980. Wawancara dan Internet http://etnohistori.org/edisional/geneologi-gerakan-dan-studiperempuan-indonesia http://urutsewu.tumblr.com Wawancara dengan Elok Anggraeni, 12 dan 14 Oktober 2011, di Sagan dan Masjid Kampus UGM. Wawancara dengan Windi Wahyu Ningtyas 12 dan 14 Oktober 2011, di Sagan dan Masjid Kampus UGM. Komunikasi pribadi dengan Sekjen IKAHIMSI, Samantha Adhitya via SMS. “ M enghidupkan A rsip ” , M encipta W acana : P entingnya A rsip U ntuk G erakan S o sial soalan agraria di negeri ini. Kata kunci dari pro­ses ini ada­lah mendiseminasikan satu hasil kerja peng­­ar­ sipan menuju bentuk kegiatan yang lainnya. Peng­ arsipan harus men­jadi kata kunci, membuat arsip me­miliki daya juang dan daya dongkrak bagi usaha pen­dekonstruksian ingat­an/arsip yang direpresi oleh rezim, atau sebagai alat per­juangan gerakan sosial, tentunya da­­lam bentuk yang menarik dan mudah dipahami.  92 arsipelag o ! - 06 - Poster Aksi Tolak Reklamasi di Teluk Benoa, dan Merebut Masa Depan Bali G de P utra Gde Putra Stereotip Bali dalam Visual Jika Anda masuk ke dalam galeri lukisan atau studio foto di Ubud, maka mudah ditemukan karya seni ru­ pa bertemakan sawah menguning, suasana asri pe­ de­saan, perahu nelayan berjajar, dan pe­man­dang­ an khusuk manusia Bali menjalankan ritus. Begitu ju­ga saat mata Anda melihat hamparan postcard yang dijajakan toko cendera mata di Sanur atau Kuta, maka tema yang sama akan nampak dominan. Visual-visual tersebut menggambarkan Bali sebagai wila­yah damai nan tenang. Modernitas di Bali seolaholah berjalan tanpa adanya gara-gara, dan karena itu, lestarinya ritus-ritus, asrinya sawah ladang, atau birunya air laut masih terpampang sampai saat ini sebagai titik tolak visual tentang Bali. Ingar-bingar pesta wisatawan di diskotek, kelab, hotel, dan vila sepertinya hadir tanpa adanya resistensi, melainkan 93 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia P o ster A ksi T o lak R eklamasi di T eluk B en o a , dan M erebut M asa D epan B ali 94 arsipelag o ! berjalan harmonis, karena tradisi warisan leluhur juga berkumandang di saat yang sama. G de P utra Karena Bali sebagai daerah pariwisata, sudah se­pan­­ tasnya masyarakat yang menggantungkan diri ter­ha­ dap bisnis pelesiran tersebut memancing wisa­ta­wan dengan merayu, baik lewat kata ataupun visual. Na­ mun, logika tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab gam­baran Bali indah tak hanya dipertontonkan untuk merayu para wisatawan, melainkan dipertunjukkan ke­pada orang Bali sendiri. Hal ini pernah dialami Ko­ mu­nitas Pojok saat membuat karya mural di sudut kota Denpasar1. Pecalang menegur para seniman ini kare­na karya mural mereka tentang pedagang kaki li­ma dianggap tidak mencerminkan keindahan Bali. Me­reka akhirnya memenuhi request para pecalang, yai­tu melukis burung Jalak Bali di tembok warga. Kehadiran request pecalang mengindikasikan bahwa mak­na “seni” yang berkaitan tentang hal-hal lampau, budaya dan alam yang tak tersentuh modernitas, atau­pun jika tersentuh modernitas wujudnya berjalan 1) Komunitas Pojok adalah komunitas seni di Denpasar. Mereka ge­ mar menggelar karya di ruang publiK, baik lewat mural, instalasi, atau­pun baliho. Karya-karya mereka dikenal kritis terhadap situasi so­sial di Bali. Mereka banyak mempunyai pengalaman disensor oleh pi­hak Desa Adat saat menggelar hajatan di ruang publik. Untuk lebih jelasnya tentang apa itu Komunitas Pojok, Anda bisa melihat di tautan ini: http://warcd.wordpress.com/2013/04/10/just-like-punk-thepojoks-not-dead/ K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia har­monis, te­lah terinternalisasi pada tubuh manusia Bali. Selera wisatawan telah menjadi arti dari “seni” itu sendiri bagi orang Bali. Perspektif seni yang steril dari visual kegaduhan semakin dimantapkan oleh rezim Orde Baru. Rezim Soeharto tak menyukai kritik, se­hing­ga hasrat kritis rakyat selalu diredam, termasuk pa­da ranah seni. Sampai sekarang, pandangan “seni” menurut rezim Orba yang bersetubuh dengan ideologi pariwisata tersebut masih terwariskan di Pulau Dewata. Jarak antara visual dominan tentang Bali dan kenya­ ta­an di lapangan sangatlah jauh. Pura Subak tempat pe­mujaan Dewi Padi tak lagi berpijak di sawah ka­ re­na tergusur menjadi hotel, dan rerimbunan tebing beru­bah menjadi kerumunan vila mewah. Tak hanya darat­an yang tereksploitasi, sekarang mimpi ambisius inves­tor menguruk lautan diberikan jalan mulus oleh penguasa. Investor PT TWBI (PT Tirta Wahana Bali International) ber­keinginan mereklamasi Teluk Benoa seluas 838 hek­tar. Investor ini berencana membuat “daratan buat­an”, yang di atasnya akan dibangun tempat pele­ siran mewah. Walaupun diberikan jalan mudah oleh pemegang kebijakan, namun masyarakat men­ja­ wabnya dengan jalan buntu. Masyarakat yang me­no­ lak rencana “uruk laut” ini menggelar aksi terus-me­ ne­rus. Perlawanan ini berlangsung sejak sembilan bu­lan yang lalu hingga kini. Kalau mata diarahkan ke kerumunan muda-mudi ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi) yang konsisten menolak rencana ini, maka Anda akan menemukan seni rupa yang melenceng2. Tidak seperti karya seni rupa pada umumnya di Bali, yang dipentaskan dalam gedung ber-AC, serta dipertunjukkan kepada wisatawan, seniman, kolektor, ataupun kurator, karya seni rupa ini digelar 2) ForBALI adalah aliansi masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai macam elemen, baik dari kalangan gerakan mahasiswa, LSM, komunitas, seniman, dan individu-individu yang concern menolak rencana proyek reklamasi Teluk Benoa. Untuk lebih detailnya, cek tautan ini: http://www.forbali.org/tentang-kami/ P o ster A ksi T o lak R eklamasi di T eluk B en o a , dan M erebut M asa D epan B ali “Jarak antara visual dominan tentang Bali dan kenya­ta­ an di lapangan sangatlah jauh. Pura Subak tem­pat pe­mu­ ja­an Dewi Padi tak lagi berpijak di sawah ka­ re­­na tergusur men­jadi hotel, dan rerimbunan tebing beru­ bah menjadi ke­rumunan vila mewah.” 95 96 arsipelag o ! di jalanan berdebu yang dipertontonkan kepada penguasa negeri, dengan cara berdemonstrasi di depan kantor gubernur, gedung DPRD, bahkan istana presiden3. Seni rupa yang tujuannya membuat pusing penguasa itu adalah poster-poster aksi ForBali. G de P utra Kertas karton dengan warna gambar mencolok serta kalimat menohok dari cat air tersebut menggambarkan ketidakselarasan pembangunan di Bali4. Patut diketahui, “daratan buatan” yang mahaluas ini rencananya dibangun di wilayah konservasi. Selain bisa merusak ekosistem laut yang akan diuruk, masyarakat pesisir Bali resah jika “uruk laut” ini direalisasikan, sebab berat daratan buatan seluas 838 hektar tersebut akan menekan air laut ke pesisir. Kalau itu terjadi, maka banjir Rob dan abrasi menjadi keniscayaan5. Warga pesisir takut kampungnya tenggelam, jika proyek ini dipaksa berdiri. Karena proyek reklamasi ini berada di Bali Selatan, warga di wilayah tersebut menjadi gundah jika air diarahkan ke pipa-pipa tempat pelesiran tersebut. Bali Selatan mengalami krisis air karena jumlah penduduknya padat, dan hotelhotel besar yang banyak menyedot air untuk memenuhi kolam renangnya serta menghijaukan kebunnya berpusat di sana. Kondisi berjubel tersebut menyebabkan air menjadi rebutan. Acap kali, keran air warga ‘ngadat’ dibuatnya. Konon, di atas tempat pelesiran itu akan dibangun berbagai macam objek wisata seperti sirkuit F1, tempat hiburan sekelas Disneyland, Art Center, lapangan golf, dan hotel mewah6. Bisa dibayangkan; begitu banyak air yang dibutuhkan untuk menghidupi “dunia fantasi” tersebut. Kehadiran poster aksi tolak reklamasi merefleksikan persoalan luas tentang Bali, yaitu apa yang nampak dalam postcard, brosur hotel, lukisan, dan foto di museum adalah “ahistoris”, karena tak memproyeksikan tempat di mana visual-visual indah itu berpijak. Bagi daerah yang acap kali bergejolak semacam Jakarta, tentu pertautan seni dan kritik sosial sudah menjadi pemandangan lazim. Apalagi Yogyakarta, yang dikenal sebagai kota kampus tempatnya pemasok pemikiran-pemikiran kritis, karya seni rupa bertemakan ketidakadilan adalah lumrah. Sangat mudah ditemui di Jakarta dan Yogyakarta, mural atau pamflet bertemakan kritik sosial di tembok-tembok warga. Bukan berarti poster aksi ForBali sebagai yang pertama menempatkan disharmoni Bali ke dalam seni rupa. Pada kenyataannya, memang mulai muncul seniman-seniman yang kritis 3) ForBALI pernah melakukan aksi demonstrasi di depan istana presiden di Jakarta, pada 22 Januari 2014. Lihat tautan ini: http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1390371071/tolak-reklamasi-pantai, atau http:// portal.balipost.com/2014/01/22/tolak-reklamasi-forbali-berdemo-di-istana.html 4) Poster-poster aksi penolakan reklamasi diarak saat demonstrasi di Gedung DPRD Bali bisa disimak di tautan ini: http://www.youtube.com/watch?v=eZushkDeWDk 5) Bali Post, 31 Oktober 2014, hal. 6. 6) http://www.antaranews.com/berita/350318/konsorsium-bisnis-rencanakan-sirkuit-f1-bali K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia Poster aksi tentu berbeda rasa, karena poster aksi berfungsi sebagai “senjata” yang ditujukan lang­ sung kepada penguasa saat protes di depan kan­tor pemerintahan. Penonton yang dituju ada­lah pe­me­ gang kebijakan. Harapannya, respon “penon­ton” bu­kan terkagum-kagum dengan kritisisme pem­bu­ at karya, melainkan membuat “penonton” tersebut merasa berdosa dan mau mengubah kenyataan de­ ngan mencabut kebijakan politiknya. Kisah perang yang dipentaskan dalam poster aksi to­ lak reklamasi bukanlah kisah perang seperti dalam lu­kis­an di ballroom hotel, yang melulu konflik antar“manusia” berkekuatan super, semisal perseteruan Pandawa vs Kurawa, atau aksi heroik sang Rama melawan Rahwana. Kisah “perang” dalam poster aksi adalah kisah nyata antara rakyat versus penguasapengusaha. Jika kita menyimak poster-poster ter­ sebut, kita akan melihat dusta penguasa, dan sikap keras kepala para petinggi negeri dalam mengikuti kehendak investor. Untuk mengetahui “dusta politik” apa yang direspon, mari kita menyimak poster-poster aksi tolak reklamasi di Teluk Benoa secara runut, berdasarkan konteks historis yang memproduksinya. Poster Tolak Reklamasi dan Respon Aksi protes ForBALI dipicu dari kemunculan dua SK (Surat Keputusan) Gubernur yang dirasa men­cu­ rigakan. Kedua SK tersebut terkesan jelas mem­be­ “Jika kita menyimak posterposter ter­sebut, kita akan melihat dusta penguasa, dan sikap keras kepala para petinggi negeri dalam mengikuti kehendak investor.” P o ster A ksi T o lak R eklamasi di T eluk B en o a , dan M erebut M asa D epan B ali terhadap situasi sosial politik di Bali, namun sering kali mendapatkan sensor. Seperti dialami beberapa komunitas di Bali saat menggelar mural di tembok penduduk. Kadangkala, banjar memiliki perspektif seni bercitarasa pariwisata, yang ogah memberikan izin melukis tembok bertemakan kritik sosial di wilayahnya. Ada juga beberapa seniman individual yang melukis tema-tema kritik sosial, tetapi menjadi “tontonan” eksklusif kelas menengah semata, karena digelar di museum atau galeri. 97 G de P utra 98 arsipelag o ! ri­kan peluang kepada pihak investor PT TWBI untuk me­luluskan rencana reklamasi. SK yang pertama ada­ lah izin reklamasi dan hak konsesi selama 50 tahun bagi investor7. Sedangkan SK kedua mem­berikan izin kepada investor PT TWBI untuk mela­ku­kan Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pe­ngem­bangan, dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa selama dua tahun8. Sebenarnya, gejolak pro­tes sudah bergemuruh saat SK pertama muncul pa­da 26 Desember 2012. Kelompok masyarakat yang me­nolak meminta Gubernur mencabut SK tersebut. Ka­rena protes terus bergemuruh, Gubernur kemudian men­ca­ but SK tersebut dengan cara menerbitkan SK kedua pa­da 16 Agustus 2012. Ternyata, istilah mencabut SK ji­lid satu itu hanya penenang sesaat, sebab SK jilid dua spiritnya tetap sama: memberikan celah bagi in­ ves­tor untuk menjalankan kepentingannya. Padahal sudah jelas, Teluk Benoa dinyatakan dalam Per­aturan Presiden (Perpres) No. 45/ 2011 adalah wi­la­ yah konservasi, dan wajib dirawat keane­ka­ra­gaman mah­kluk hidup yang ada di dalamnya9. Gu­ber­­nur 7) SK no 2138/02-C/HK/2012 8) SK no 1727/01-B/HK/2013 9) Dalam Pasal 55 ayat (5) di Perpres No 45/2011 dinyatakan bah­wa kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang di­mak­sud pada ayat (4) terdiri atas: b). Kawasan konservasi perairan di perairan kawasan Sanur di Kecamatan Denpasar, Kota Denpasar, Perairan Serang­an, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Perairan Ka­­­wasan Teluk Benoa sebagian di Denpasar Selatan, Ko­ ta Denpasar, dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan, Ka­bu­pa­ten Badung, dan perairan kawasan Kuta di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. “...upaya eksploitasi dan penggusuran tanah air juga bekerja pada ranah “bahasa”, yaitu istilahistilah politik para penentu kebijakan.” K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 99 Bali tidak menggubris, beliau tetap acuh dan kukuh dengan sikapnya, mes­­ki melangkahi Perpres se­bagai atur­an tertinggi. Aneh­nya, sikap Gubernur ini ti­d­ ak mem­­buat orang nomor satu di republik ini naik pitam de­­ngan menegur sang Gubernur, misalnya. Sampai se­karang, SK Reklamasi jilid dua ini tidak dicabut, dan ten­tu saja gaung perlawanan terus bergulir hingga saat ini. “SK (Surat Keputusan)”, “Perpres”, atau “MP3EI” adalah istilah-istilah yang memiliki wewenang luar biasa terhadap arah kebijakan negara. Meskipun istilah tersebut bisa memengaruhi hajat hidup orang banyak, tetap saja terasa asing bagi publik dan hanya dimengerti oleh orang-orang khusus. Karena itu, istilah-istilah ini mirip bahasa Kawi, yang butuh penerjemah khusus jikalau ingin mengerti maknanya. Kalau kita kaitkan poster ini dengan tradisi Mebebasan di Bali, maka poster ini memosisikan dirinya sebagai “penerjemah”. Mebebasan ini biasanya hadir dalam setiap upacara di Bali. Tradisi ini adalah tradisi membaca lontar dan mener­je­mah­ kan­nya ke bahasa awam. Lontar-lontar ini berisikan cerita dewa-dewi atau kisah pa­ra leluhur dulu, untuk kepentingan upacara. Di dalam tradisi Mebebasan, terdapat pihak pembaca lontar dan penerjemah. Pihak pem­baca tugasnya membaca lontar secara mentah dalam bahasa Kawi. Kemudian, pi­hak kedua sebagai penerjemah bertugas mengartikan kisah berbahasa Kawi ter­ se­but ke dalam bahasa awam, sehingga dimengerti oleh khalayak. Namun, dalam kon­teks poster sebagai posisi “penerjemah”, maka “bahasa Kawi” yang dibumikan bu­kan tentang puja-puji kepada sang pencipta supaya mau merestui kelancaran upacara, melainkan berisi restu penguasa terhadap kelancaran “upacara besar” yang diselenggarakan oleh pengusaha. Berdasarkan uraian di atas, maka upaya eksploitasi dan penggusuran tanah air juga bekerja pada ranah “bahasa”, yaitu istilah-istilah politik para penentu 10) Di dalam Dokumen MP3EI khususnya dalam laporan perkembangan pelaksanaan MP3EI koridor 5 menempatkan KPI Benoa dengan fokus investasi adalah rencana reklamasi Teluk Benoa. Penetapan KPI Benoa dengan fokus reklamasi Teluk Benoa, sedari awal sudah ada upaya sistemik dari nasional untuk memuluskan PT TWBI untuk melakukan reklamasi di Teluk Benoa karena ada arahan yang secara spesifik di dalam dokumen MP3EI untuk mewujudkan reklamasi tersebut. Arahan untuk mewujudkan reklamasi di kawasan Teluk Benoa rekomendasi dari MP3EI adalah: a). Percepatan penerbitan Perda RTRW Kabupaten Badung untuk mengakomodasi investasi PT. Tirta Wahana Bali International; b). Percepatan penetapan rencana zonasi Kawasan Teluk Benoa oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan; c). Percepatan penerbitan izin pelaksanaan reklamasi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. P o ster A ksi T o lak R eklamasi di T eluk B en o a , dan M erebut M asa D epan B ali Bahkan rencana reklamasi Teluk Benoa sudah direncanakan jauh sebelum ter­bit­ nya kedua SK tersebut. Hal itu tercium kalau membaca isi dari MP3EI (Masterplan Per­cepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Presiden se­pertinya su­ dah tahu akan rencana ini, karena MP3EI juga berdasarkan Perpres, yai­tu Perpres No. 32 Tahun 201110. Situasi yang sangat membingungkan; ada Perpres yang me­ nge­sahkan Teluk Benoa sebagai wilayah konservasi, sekaligus ada Perpres yang men­dukung upaya investor menguruk lautan di wilayah konservasi. 100 arsipelag o ! kebijakan. Semakin misterius makna sebuah bahasa, maka hal itu bisa menjadi ruang strategis bagi penguasa-pengusaha dalam menjalankan kepentingannya. Kemisteriusan bahasa ini ibaratnya tembok yang bisa menutup taktik licik para petinggi. Salah satu hasil penerjemahan “bahasa Kawi” lewat poster yang mengindikasikan kongsi sesat itu adalah pada sosok tengkorak mengenakan jas berdasi sedang berjabat tangan dengan sosok berjas hitam. Di tengah-tengah kedua sosok yang sedang berjabat tangan tersebut, ada Pulau Bali berwujud mini dengan dikelilingi simbol uang dolar. Kedua sosok ini sepertinya melakukan kerja sama. Kalimat “Coret proyek reklamasi Teluk Benoa dari skema MP3EI” mempertegas bahwa dua sosok tersebut melakukan persekutuan sesat. G de P utra Kritik Terhadap Politik Damai Bali dipopulerkan oleh pariwisata sebagai wilayah tanpa konflik, masyarakatnya tenang, dan jauh dari nuansa rusuh. Karena pengertian damai seperti itu, maka pertemuan-pertemuan berskala internasional diadakan di pulau seribu pura ini. Anggapan Bali lebih aman, nyaman, dan jauh dari kekerasan adalah alasan yang selalu muncul dari mulut para penyelenggara. Kehadiran poster aksi tolak reklamasi dalam merespon kebijakan dan peraturan negara ini memiliki muatan reflektif, bahwa jika damai selalu diukur dari ketiadaan pentas-pentas kekerasan secara vulgar, maka pengertian “damai” seperti itu tentu berbahaya untuk diyakini. Praktik “kekerasan” dan “penggusuran” bisa berlangsung halus di wilayah kebijakan. Poster aksi ForBALI menggambarkan bahwa di balik suasana “damai” itu, bekerja tangan-tangan tak terlihat yang berusaha melahap tanah air Bali. Sekecil apa pun perannya, poster-poster aksi tersebut ikut bersumbangsih ter­ha­ dap pendidikan politik masyarakat. Poster ini membuka hal-hal destruktif di balik da­mainya Bali. Jika dikontekskan dengan situasi di Bali, maka poster ini memiliki muatan reflektif dan dekonstruktif tentang makna “damai” yang bernuansa positif selama ini. Justru “damai itu mengerikan”, sebab mentalitas pariwisata yang men­ didik manusia Bali untuk selalu menyangkal hal-hal buruk demi terciptanya har­ mo­ni sosial bisa meredam keinginan masyarakat untuk menuntut haknya sebagai war­ga negara, agar diperlakukan adil oleh pembuat kebijakan. Yang diuntungkan dari pemahaman “damai itu indah” tentu saja para rakus bertahta dan berharta, karena masyarakat jadi emoh berkonflik. Kehadiran poster ini mungkin sebuah penanda bahwa masyarakat Bali mulai bosan berharmoni. Apalagi jika kita melihat sekarang, perlawanan sudah mulai meluas. Tidak hanya masyarakat di sekitar Teluk Benoa yang bergejolak, namun merembet ke wilayah K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia Tentu saja pihak proreklamasi tak menginginkan kesadaran politik kritis masyarakat Bali melebar men­jadi perlawanan massal. Upaya penolakan terus-menerus ini tentu membuat pihak pendukung re­kla­masi gerah. Terang saja mereka ingin meng­ ham­­batnya. Setiap aksi protes yang diadakan oleh ForBali acap kali dibarengi dengan kedatangan pemu­da-pemuda berbadan tegap mengelilingi kan­ tor Gubernur12. Beberapa musisi yang bergabung da­lam ForBALI dicari-cari oleh pemuda berambut ce­ pak yang seperti mau mengintimidasi, dan beberapa kon­ser kampanye penolakan reklamasi oleh ForBALI dida­tangi segerombolan pria tegap yang berusaha 11) Masyarakat Sidakarya melakukan aksi cap jempol darah sebagai bentuk penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. Mereka menolak karena wilayah mereka acap kali banjir. Warga merasa resah jika proyek ini benar adanya dan menenggelamkan desa mereka. Lihat beritanya di Bali Post, 25 Februari hal. 1. 12) http://www.forbali.org/teror-kekerasan-aktivisme-wawancarajerinx-sid-dengan-hai-magazine/ P o ster A ksi T o lak R eklamasi di T eluk B en o a , dan M erebut M asa D epan B ali pesisir lainnya, seperti aksi penolakan di Sidakarya baru-baru ini11. Kehadiran poster-poster itu adalah penanda bahwa candu “damai” mungkin tak kuat lagi menenangkan hasrat protes manusia Bali. 101 102 arsipelag o ! me­man­cing keributan. Demonstrasi penolakan reklamasi di kantor wakil rakyat sering tidak diladeni oleh para anggota dewan. Situasinya berbeda jika aksi demonstrasi dilakukan oleh kelompok proreklamasi; para politisi menyambutnya dan seolah-olah mendukung suara kelompok proreklamasi. G de P utra Poster aksi di atas kemudian muncul sebagai respon ForBALI terhadap upaya mem­persulit aksi penolakan reklamasi. Tampak jelas pada kalimat: “Yang menolak eks­ploitasi dipersulit, tapi yang merusak lingkungan hidup kok dipermudah?”, dengan wajah perempuan berambut pink memelas. Poster tersebut berupaya menerjemahkan situasi tak adil yang dihadapi para penolak reklamasi. Bahkan maknanya sangat dalam bila kita menempatkannya pada ranah politik Indonesia kekinian, yang katanya berada di era baru. Kita bisa melihat cara-cara Orba masih dipraktikkan dalam persoalan pro-kontra reklamasi. Cara-cara Orde Baru yang kerap meredam protes pejuang lingkungan dengan intimidasi ternyata masih berlangsung. Sikap pejabat proreklamasi juga mirip dengan pejabat di era rezim Orba, yang sangat terbuka terhadap kedatangan investor walau merusak alam dan lingkungan nusantara. Upaya mempersulit gerakan tolak reklamasi di Teluk Benoa menandakan bahwa rencana reklamasi terus melaju untuk diupayakan menjadi nyata. Upaya ini nampak jelas ketika Presiden SBY berdiskusi dengan ahli hukum tata negara, Profesor Yusril Ihza Mahendra. Orang nomor satu di republik ini urun rembuk dengan sang profesor perihal peraturan yang melandasi wilayah konservasi di Teluk Benoa13. Tercium lagi bau tak sedap, sebab Presiden menanyakan kemungkinan merevisi Perpres No. 45/2011. Seperti penjabaran di atas, Perpres ini menjadi payung hukum terhadap Teluk Benoa sebagai wilayah konservasi yang harus dirawat dan dijaga. Poster di atas menyentil sikap sang presiden dengan tulisan: “SBY jangan khianati kawasan konservasi Teluk Benoa”, dengan gambar tangan menjewer telinga sosok berpakaian biru yang wajahnya mirip Presiden RI itu. Poster di atas memberikan isyarat kepada penguasa untuk tidak mempermainkan hukum. Di poster itu, Bali seolah ingin dilahap oleh sosok berkulit hijau yang mengenakan jas berwarna hitam beserta dasi di leher. Sedangkan manusia yang tersenyum di sampingnya seolah-olah ingin menahan niat lapar manusia berkulit hijau dengan berujar: “Eits jangan coba tipu-tipu kami. Teluk Benoa harus tetap jadi zona inti konservasi tanpa reklamasi”. Pernyataan menyentil sikap pemerintah pusat itu ditujukan kepada sosok hijau yang bukan berpakaian ala aparat, namun lebih mirip simbol pengusaha karena berjas dan berdasi. Wujud manusia hijau bertaring dan berpakaian ala pengusaha ini semacam sindiran, sebab wujud Pemerintah, pengusaha, dan “monster” tak 13) http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=33&id=83605 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 103 dipisahkan. Hal ini menyiratkan bahwa posisi Pemerintah dalam konteks persoalan reklamasi Teluk Benoa cenderung sejalan dengan kehendak investor. Arsip Kekerasan, Oposisi, dan Merebut Masa Depan Para pejabat pendukung reklamasi berusaha meyakinkan publik bahwa tempat pelesiran mewah itu positif, karena bisa memberikan lapangan pekerjaan, mengharumkan nama Bali, serta mendatangkan banyak wisatawan14. Posterposter aksi itu justru dengan tegas menyatakan bahwa janganlah percaya dengan mudah terhadap makna “kebaikan” dari mulut penguasa-pengusaha, karena sering kali apa yang baik keluar dari mulut penguasa bisa menjadi hal buruk bagi rakyat banyak. Poster tersebut merespon bahwa konsep ekonomi yang katanya demi kemaslahatan publik tersebut pada dasarnya timpang, sebab berlandaskan eksploitasi. Bahkan bisa berbahaya secara ekonomi kalau abrasi atau banjir Rob menimpa pesisir. Bisnis di daerah pesisir akan ambrol. Kata “tolak” yang dominan dalam setiap poster aksi ForBALI menyiratkan sikap oposisi tegas yang tak kenal kompromi dan jauh dari sikap abu-abu. Kehadiran kata “tolak” menakutkan penguasa, karena bisa menggoyahkan kesadaran yang selalu ditanam dalam benak manusia Bali, yaitu untuk selalu bersyukur, dan merasa paling beruntung daripada masyarakat lainnya di nusantara. Ucapan “aget nengil di Bali”, yang dalam bahasa Indonesia berarti: “beruntung tinggal di Bali” sering muncul ketika Bali tenang-tenang saja saat di tempat lainnya terjadi kerusuhan sosial akibat naiknya harga BBM, atau melonjaknya harga sembako. Perasaan beruntung tinggal di Bali ini sangat menyenangkan penguasa karena meredam hasrat melawan dan protes rakyat. Kemunculan “tolak” sebagai kata inti pada poster ForBALI menghadirkan pemahaman baru di Pulau Dewata, bahwa bersyukur bukanlah respon yang layak terhadap ketidakadilan. Bersyukur terus menyebabkan kebijakan negara yang berpihak kepada investor menjadi termaafkan. 14) Sisi positif reklamasi Teluk Benoa pernah diutarakan Gubernur Bali lewat surat terbuka untuk publik di media, lihat tautan ini: http://metrobali.com/2013/08/05/reklamasi-teluk-benoa-untuk-masa-depan-bali/ P o ster A ksi T o lak R eklamasi di T eluk B en o a , dan M erebut M asa D epan B ali Poster aksi ini bisa menjadi “arsip” untuk dipelajari, bagi yang ingin mengetahui bagaimana korporasi memengaruhi arah politik negara demi perluasan akumulasi modal mereka. Arsip visual ini menyimpan kisah mengenai upaya kekerasan terhadap manusia beserta lingkungannya, lewat cara-cara yang seolah-olah “legal”. Poster ini mengarahkan kita untuk mencurigai istilah “legal” ataupun “ilegal”, karena istilah tersebut tidak netral dari kepentingan golongan tertentu. G de P utra 104 arsipelag o ! Poster-poster aksi saat demonstrasi di istana presiden. sumber: ForBALI “...kehadiran poster Tolak Reklamasi Teluk Benoa adalah sebuah perjuangan merebut imajinasi tentang Bali.” Proyek reklamasi memang belum terealisasikan dalam dunia nyata. Oleh karena itu, kehadiran poster Tolak Reklamasi Teluk Benoa adalah sebuah perjuangan merebut imajinasi tentang Bali. Poster-poster ini mengajak imajinasi masyarakat untuk berkiblat pada memori ketidakadilan yang mereka alami, dan tidak terpengaruh pada “sejarah” versi penguasa yang melulu tentang keindahan hampa. Dalam ranah ima­ ji­ner itu, memori-memori ketidakadilan yang berisi­ kan kisah-kisah korup penguasa dan kese­ra­kahan pengusaha dijadikan titik tolak untuk melihat masa depan yang tecermin dalam poster-poster aksi. Di­ ha­rapkan, sinergi memori kelam masa lalu dengan pre­diksi masa depan yang terwakili oleh kisah-kisah dalam poster menjadi kerangka imajinasi. Pada dasarnya, pertempuran dalam ranah imajinasi ini adalah pertempuran merebut masa depan Bali. Ketika berbicara masa depan, maka bukan berbicara tentang diri kita semata, namun menyangkut nasib anak-cucu ke depan. Jikalau kita berandai-andai pro­ yek ini akhirnya batal, maka poster ini akan memiliki ni­lai perjuangan. Sebuah pemaknaan perjuangan baru, ka­rena tidak mengikuti konsepsi negara mengenai “perjuangan” yang selalu mener­je­mah­kan musuh bang­sa ini adalah musuh “eksternal”, seperti K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 105 Seandainya proyek ini akhirnya terealisasikan, maka poster-poster beserta ki­sah yang melatarinya akan menjadi “hantu” bagi sejarah penguasa ke depan. Ten­tu­ nya, penguasa akan menulis para penolak sebagai perusak kemajuan, bahkan penjahat, agar “hantu” itu tak menyusup ke benak rakyat. Ketika bencana akibat proyek itu datang menerpa, maka dengan sendirinya sejarah penguasa akan lebur dan hancur. Pada saat itulah, poster-poster ini akan menyayat-nyayat mata para pendosa. Poster-poster ini akan menjadi mimpi buruk bagi mereka yang terlibat. Dalam menghadapi kedua kemungkinan itu, sudah sepantasnya poster-poster tersebut dirawat. Poster aksi ini bisa menjadi “pustaka” yang berguna sebagai amunisi pemahaman dalam menghadapi ketidakadilan di masa depan. Pustaka ini muncul dari pengalaman nyata kisah manusia Bali dalam menghadapi kongsi sesat penguasa-pengusaha. Kisah nyata tentu akan lebih menyentuh, daripada kisah heroisme dari negeri antah-berantah yang sulit untuk diresapi. Yang jelas, proyek tersebut belum terwujud; segala kemungkinan bisa saja terjadi. Kehadiran poster aksi Tolak Reklamasi ini adalah bagian dari perjuangan merebut “kemungkinan” menjadi “kepastian”, agar kita bisa mati tenang, sebab anak-cucu nanti tidak tenggelam. Semoga.  P o ster A ksi T o lak R eklamasi di T eluk B en o a , dan M erebut M asa D epan B ali kolonialisme Barat atau imperialis asing. Makna perjuangan penolakan reklamasi di sini adalah melawan anak bang­sa sendiri, yang mengabdi kepada kerakusan. Jika perjuangan ini berhasil, maka ki­sah heroik ini akan menjadi teror kepada anak bangsa yang duduk di parlemen ataupun menjadi pemimpin, agar tak berani menciptakan kebijakan merusak. Poster-poster ini akan menjadi pengingat sekaligus pemantik semangat bahwa perjuangan melawan kerakusan itu bisa melahirkan kemenangan. K athleen A zali 106 arsipelag o ! K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 107 - 07 - Medayu Agung dan Oei Hiem Hwie Kathleen Azali harian Trompet Masjarakat (19 November 1960) yang dapat diaman­ kan Oei Hiem Hwie. Foto: Erlin Goentoro B egitu kita memasuki Perpustakaan Medayu Agung, di sebelah kanan ter­ pa­­jang foto hitam putih Bung Karno da­lam sa­tu pigura besar, karya foto pe­milik dan pe­ngelola perpustakaan, Oei Hiem Hwie, sa­at dia masih bekerja se­bagai wartawan di Harian Trompet Masjarakat. Di sebelah pigura, satu kotak kaca memuat versi kecil foto tersebut, bersebelahan dengan foto Oei muda pada saat mewawancarai Bung Karno. Di sela-sela berbagai dokumen, tertata beberapa kantong kecil ber­isi butiran merica dan silika, untuk menyerap ke­ lem­bapan dan mengusir serangga. Kotak itu juga memuat satu piringan hitam dan ka­ set berisi pidato Bung Karno, antara lain pada peri­ ngatan Hari Kemerdekaan ke-6 di halaman Istana Ne­gara, dan di depan mahasiswa Unair pada 1959. Di sebelahnya lagi, tampak foto Haji Masagung, seo­ P engarsipan dan S ejarah P ers o nal : M edayu A gung dan Oei H iem H wei Pengarsipan dan Sejarah Personal 108 arsipelag o ! K athleen A zali rang Tionghoa1 muslim yang dikenal sebagai pendiri Toko Buku Gunung Agung dan Perpustakaan Yayasan Idayu. Terletak di kawasan Medokan Ayu, Rungkut, daerah selatan Surabaya, Perpustakaan Medayu Agung telah lama menarik perhatian berbagai pihak. Gedung dua lantai berukuran sekitar 10x10 meter persegi ini memuat berbagai buku, koran, majalah, kliping, fo­ to, dan berbagai dokumen bersejarah. Berbeda de­ ngan perpustakaan umum, koleksi Perpustakaan Medayu Agung cukup terspesialisasi, dan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua jenis koleksi. Pertama, koleksi khusus, dengan fokus utama subjek sejarah, karya-karya Pramoedya Ananta Toer (ter­ma­ suk naskah aslinya), Bung Karno, dan masalah pem­ bauran dan integrasi etnis Tionghoa di Indonesia. Ke­ dua, koleksi langka, yang mencakup buku-buku kuno ter­bitan pertengahan abad 19 hingga awal abad 20, da­lam bahasa Belanda, Inggris, Melayu, dan Jerman, yang sudah sangat jarang dapat ditemukan. Selain dua koleksi utama tersebut, ada banyak pula koran dan majalah terbitan lama dan kliping pers. Tak heran, perpustakaan ini menjadi salah satu simpul ar­sip dokumen yang sangat penting di Surabaya. Banyak wartawan, mahasiswa, dan peneliti dari da­ 1) Istilah Tionghoa sendiri berasal dari kata Hokkian, Zhonghua (中华), dan penggunaannya berkaitan dengan meningkatnya kebanggaan dan nasionalisme di Tiongkok (Republik Tiongkok pada 1912, dan Re­ publik Rakyat Tiongkok pada 1949). Sesuai dengan perkembangan so­sial politik zaman itu, istilah Tionghoa dan Tiongkok kemudian se­ ca­ra luas digunakan di Indonesia, baik di kalangan kolonial Belanda mau­pun Indonesia. Namun, setelah 30 September 1965, Presiden Suharto pada 1966 menetapkan mengganti Tionghoa dan Tiong­kok menjadi “Cina”, istilah yang bagi banyak orang, terutama ge­ne­rasi yang merasakannya, merupakan penghinaan karena oleh Jepang di­ gu­nakan untuk mencela; “Zhi Na” berarti orang sa­kit, apa­lagi karena ketegangan Tiongkok dan Jepang. Generasi yang lahir setelah 1980an pada umumnya tidak terlalu memahami mak­na penghinaan di baliknya. Istilah dalam bahasa Inggris, “Chinese”, atau “China”, yang dinilai lebih netral dari beban sejarah dan konotasi politik, cukup sering digunakan di generasi yang lebih mu­­da. Lebih lanjut, lihat Hui (2011, 10–14). Tulisan ini menggunakan istilah “Tionghoa” dan bukannya “Tjina/China/Cina”, sesuai dengan Ke­­putusan Presiden No. 12/2014, tentang Pencabutan Surat Edaran Pre­­sidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967. Perpustakaan Medayu Agung Jl. Medayu Selatan IV/ 42-44 Foto: Erlin Goentoro K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 109 Perpustakaan Medayu Agung dan Oei Hiem Hwie sudah beberapa kali diliput di media2. Beberapa kliping koran mengenai perpustakaan ini pun dapat Anda te­ mukan dengan rapi terdata di sana. Tulisan ini berupaya untuk memperkaya tu­ lisan yang telah ada dengan mengurai gagasan apa yang diba­ngun dan tertanam 2) Beberapa tersedia online: “Hidden Treasures: Preserving the Literary Past”, Inside Indonesia http://www. insideindonesia.org/weekly-articles/hidden-treasures. “10 Hal Unik Tentang Per­pus­ta­­ka­­an Medayu Agung Surabaya”, Kompasiana: http://edukasi.kompasiana.com/2013/11/04/10-hal-unik-tentang-perpustakaanmedayu-agung-surabaya-607645.html. “Dari Terompet Masyara­kat ke Medayu Agung”, Kompas: http:// tekno.kompas.com/re­ad/2008/10/15/21012298/dari.terompet.masyarakat.ke.medayu.agung. “Keeping a Collection of Rare and Banned Books”, The Jakarta Post: http://www.thejakartapost.com/news/2005/09/17/ keeping-collection-rare-and-banned-books.html P engarsipan dan S ejarah P ers o nal : M edayu A gung dan Oei H iem H wei lam maupun luar negeri telah berkunjung ke sini, antara lain Claudine Salmon, Charles Coppel, Daniel S. Lev, Benedict Anderson, Roger Tol, Rie Poo Tian, John Sidel, He Geng Xin, Tan Ta Sen, Mona Lohanda, Mira Sidharta, dan Pramoedya Ananta Toer sendiri. 110 K athleen A zali arsipelag o ! Kotak kaca berisi kenang-kenangan dari almarhum Bung Karno dan Haji Masagung untuk Oei Hiem Hwie. Foto: Erlin Goentoro dalam pengarsipan, serta hu­bung­an­nya dengan persoalan di sekitarnya—kon­teks dan individuindividu yang turut berperan mem­ban­gun­nya. Kondisi (sejarah) apa yang membentuk dan mendukung seorang Oei Hiem Hwie dan Perpus­ta­kaan Medayu Agung? Harapannya, tulisan ini da­pat mendorong lebih banyak pertanyaan dan pem­ba­has­an mengenai langkah-langkah yang dapat kita la­kukan untuk menjaga keberlanjutan perpustakaan ini. Sebelumnya, perlu saya jelaskan dengan singkat pe­nger­tian arsip dan perpustakaan yang saya gu­ nakan. Koleksi arsip biasanya lebih ditujukan untuk di­simpan sebagai dokumentasi sejarah, dan banyak me­muat karya yang tidak dipublikasikan (seperti surat, brosur, dan sebagainya) atau sumber primer yang tidak dapat digantikan. Sementara koleksi per­ pustakaan lebih ditujukan untuk memfasilitasi penye­ bar­luasan dan penggunaan koleksinya, dengan asum­si koleksi tersebut dapat diganti ( jika rusak, dan 111 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia sebagainya). Tentu, pada praktiknya, batasan an­ tara perpustakaan dan arsip tidaklah sejelas ini, dan ada banyak tumpang tindih fungsi, apalagi ke­tika sumber daya dan ruang terbatas, atau dengan ma­ kin berkembangnya internet. Beberapa arsip me­na­ ma­kan tempatnya sebagai perpustakaan, begitu pula beberapa perpustakaan menyebut diri sebagai arsip, dan seterusnya. Keinginan untuk membuat suatu tulisan, video, cerita mengenai Om Hwie—begitu saya memanggil Oei di dalam Medayu Agung. Foto: Erlin Goentoro P engarsipan dan S ejarah P ers o nal : M edayu A gung dan Oei H iem H wei Kemudian, mengenai batasan dan metode. Per­ta­ma, saya tidak pernah menempuh pendidikan pengar­sip­ an ataupun perpustakaan secara formal. Kedua, saya lahir di awal 1980-an, periode di mana larangan untuk meng­gunakan bahasa ataupun atribut Tionghoa ma­ sih berlaku. Dalam membuat tulisan ini, saya menjadi ma­kin menyadari betapa terputusnya dan tidak me­ ngertinya saya akan sejarah, budaya, dan bahasa Tionghoa. Oei Hiem Hwie arsipelag o ! K athleen A zali 112 Hiem Hwie—dan Medayu Agung sudah lama muncul, sejak saya dan Erlin, rekan saya, mengenalnya sekitar empat tahun yang lalu. Entah berapa kali kami dolan mampir ke perpustakaannya, terkadang mengajaknya mampir ke tempat kami di C2O, atau cangkruk makan. Om Hwie selalu dengan ramah meladeni kami. Bahan tulisan kami perkaya dengan obrolan-obrolan dan wawancara melalui surat elektronik dengan Dédé Oetomo sebagai salah satu anggota Badan Pembina yayasan. Data saya lengkapi dengan penelusuran berbagai buku dan artikel. Toh, tetap saja, dalam membuat tulisan ini, saya sadar sekali, ada banyak keraguraguan dan kerapuhan ingatan. Satu tenggat waktu undangan menulis mengenai pengarsipan untuk kumpulan tulisan ini memaksa saya memulai dulu merangkai yang ada, tapi yang saya jabarkan di sini barulah lapisan permukaan dari tumpukan keping sejarah yang terserak, yang dapat terus digali, diurai, disusun, dibongkar kembali. Atau, seperti kata Oei, “diwulak-walik.” K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 113 Oei Hiem Hwie: dari Tiong Hoa Hwee Koan, Trompet Masjarakat, hingga Medayu Agung Buku-buku peringatan THHK dari berbagai kota. Foto: Erlin Goentoro Pendidikan SD sampai SMA ditempuhnya di Tiong Hoa Hwee Koan3 di Malang. Perlu diketahui, Tiong Hoa Hwee Koan (中华会馆, Zhong Hua Hui Guan, atau Rumah Perkumpulan Orang Tionghoa, disingkat THHK) adalah perkumpulan Tionghoa yang bergerak un­tuk memajukan pendidikan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda. Pertama kali berdiri pada 17 Maret 1900 di Batavia, berbagai cabangnya kemudian ber­ diri di pelosok Hindia Belanda (lihat Lan, 1940). Se­ kolah THHK didirikan dengan dukungan iuran ta­hun­ an sebesar 3,000 guilder dari Dewan, dengan tujuan me­nyediakan pendidikan gratis bagi semua anak ke­turunan Tionghoa dari berbagai lapisan sosial eko­ nomi4. THHK juga menunjukkan perhatian khusus pa­ da pendirian bibliotheek atau perpustakaan, dan pe­ nye­barluasan pengetahuan. Menurut Oiyan Liu (2010), THHK dan gerakan pen­ di­­­dikan Tionghoa dapat dikatakan sebagai reaksi 3) Menurut Oei, nama sekolah THHK yang ia tempuh kemudian diubah menjadi Taman Harapan. 4) “Our Batavia Letter”, The Straits Chinese Magazine, Vol. 6, No. 22, June 1902, p.88; “THHK School”, The Straits Chinese Magazine, Vol. 6, No. 24, December 1902, p. 168, dikutip dari Liu (2010). P engarsipan dan S ejarah P ers o nal : M edayu A gung dan Oei H iem H wei Oei Hiem Hwie lahir di Malang pada 24 November 1935. Ayah Oei Hiem Hwie adalah seorang totok dari Hokkian. “Kawin mbek ibu saya, orang Jawa Tengah. Ibu saya itu orang qiao shen, Tionghoa sini, peranakan, terus pindah Malang, aku lahir,” jelasnya. Sebelum Oei menjadi wartawan, dari kecil ia sudah hobi mengoleksi buku dan mengkliping. Selain itu, rupanya dia mewarisi banyak buku kuno dari keluarganya. “Ada banyak, tinggalane engkong. Engkongku itu yo, engkong dari Papa, dari ibu, itu…. konco Belanda-ne banyak. Pas Belanda jatuh, Belanda pulang, buku-bukune dikekno.” 114 arsipelag o ! K athleen A zali pub­­lik Tionghoa lokal pada kebijakan diskri­minatif pe­­merintah kolonial Belanda saat itu, yang menye­ diakan pendidikan dan subsidi hanya kepada bu­mi­ putra, sementara komunitas Tionghoa tidak di­be­ri akses pendidikan (kecuali untuk beberapa Tionghoa peranakan). Dengan mengumpulkan dana sendiri, me­reka membangun gerakan pendidikan un­tuk me­ nun­jukkan perlawanan politis mereka, dan mem­ bangun jaringan tidak hanya ke Tiongkok daratan, ta­pi juga Singapura. Hubungan dengan Singapura ini dikatakan cukup membuat pemerintah kolonial Belanda mengkhawatirkan persaingan pengaruh de­­­ngan pe­merintahan kolonial Inggris. Pemerintah Belanda ak­hirnya pada 1908 mendirikan Hollandsche Chineesche School (HCS, Sekolah Tionghoa Belanda) yang kemudian bersaing dengan THHK dalam me­ nye­diakan pendidikan bagi masyarakat Tionghoa di Hindia5. Tamat SMA, Oei melanjutkan mengikuti kursus jurna­ lis­­tik, profesi yang saat itu disebut sebagai “ratu du­­nia”6. Sebagai catatan, partisipasi masyarakat “...partisipasi masyarakat Tionghoa dalam dunia pers Hindia Belanda dia­ wa­li sebagai kontributor atau editor koran yang ke­ pe­milikannya dipegang oleh pihak Belanda atau Eurasia.” 5) Dokumen 1929, dua dasawarsa setelah HCS berdiri, mencatat Pemerintah Belanda menangkap dan menghukum 33 pengajar THHK. 6) Meski sekarang sudah jarang kita dengar, istilah “ratu dunia” di awal abad ke-20 banyak digunakan untuk menyebut pers (lihat Negoro, 1949; Mawardi, 2012) Koleksi pers Tionghoa Foto: Erlin Goentoro 115 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia Karena waktu itu di Malang tidak ada sekolah war­ta­ wan, Oei mengatakan mengikuti pelatihan jur­nalistik di Universitas Res Publica di Yogyakarta, yang dulu di­dirikan oleh Baperki. (Selain Res Publica, ada satu lagi ijazah pendidikan jurnalistik di dinding, dari Pro Patria, dengan tahun kelulusan 1962.) Baperki, Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia, adalah organisasi massa yang didirikan di tahun 1954, diketuai oleh Siauw Giok Tjhan, editor radikal dari koran Matahari di Surabaya, yang juga menjadi representasi Baperki di parlemen dan konstituante Indonesia (Winarta, 2008, p. 60–61). Keberadaan Siauw Giok Tjhan dan adiknya, Siauw Giok Bie, dikatakan memberi dampak besar dalam politisasi intelektual kota Malang (Budianta, 2012). Oei menyaksikan bagaimana aktivis Tionghoa senior di Malang berdebat keras mengenai isu pembauran (asimilasi) dan integrasi, tapi di saat yang sama juga hidup berdekatan, melakukan gaya hidup yang serupa, dan bermain tenis bersama. “Aku anak buahe Siauw Giok Tjhan. Jadi, saya wartawan, aku juga orang Baperki. Lha, aku sekretaris Baperki Malang, gitu lho,” jelas Oei. Ijazah pendidikan jurnalistik Oei Hiem Hwie Foto: Erlin Goentoro P engarsipan dan S ejarah P ers o nal : M edayu A gung dan Oei H iem H wei Tionghoa dalam dunia pers Hindia Belanda dia­wa­ li sebagai kontributor atau editor koran yang ke­ pe­milikannya dipegang oleh pihak Belanda atau Eurasia. Tapi, pada 1884, seiring dengan ja­tuh­ nya harga gula, berbagai pers di Hindia Belanda mengalami kesulitan finansial. Pada 1886, penerbit Bintang Timor, salah satu koran terbesar di Hindia saat itu, beserta hak terbitnya, di­beli oleh Tjoa Tjoan Lok, seorang peranakan Tionghoa Surabaya; secara simbolis menandai hi­lang­nya monopoli Belanda dalam pers Hindia Belanda. Era ini kemudian me­ li­hat makin banyaknya ber­munculan penerbitan dan jurnalisme vernacular Tionghoa. Masyarakat Tionghoa menjadi menyadari tidak saja potensi bisnis ko­­ran, tapi juga peran pers da­lam pembentukan opini publik. Ketidakpuasan pa­da perilaku pemerintah ko­ lo­nial diutarakan melalui pers, dan pada akhirnya tu­ rut berperan besar dalam pem­bentukan pikiran dan ju­ga gerakan THHK (lihat Adam, 1995). 116 arsipelag o ! Kotak memuat berbagai dokumen Baperki K athleen A zali Foto: Erlin Goentoro “Oei dibebaskan pada 1978, Pram menitipkan nas­ kah-naskah tu­ lisan tangan dan ketikannya ke Oei Hiem Hwie untuk di­ba­wa keluar. Un­ tungnya lagi, Oei tidak di­geledah, sehingga nas­kahnaskah tersebut selamat.” Lulus pendidikan jurnalistik, Oei mencari kerja di Trompet Masjarakat yang berlokasi di Surabaya, di seberang Tugu Pahlawan. “Dulu di situ. Bawah itu percetakan. Atas, kantor. Jadi saya ngantor ndek nggone atas.” Awalnya hanya sebagai kontributor, Oei kemudian menjadi pekerja tetap yang ditugaskan di bidang sosial politik; dengan trem listrik ia kerap datang meliput ke pengadilan-pengadilan. Moto Trompet Masjarakat adalah, “Membawa suara kaum ketjil bebas dari segala pengaruh.” Trompet Masjarakat didirikan oleh seorang Tionghoa, Goei Poo An, yang sudah sejak 1925 aktif di berbagai koran peranakan. Pertama dengan Perniagaan, kemudian Sin Jit Po, Sin Tit Po, dan Mata Hari, sebelum akhirnya mendirikan Trompet Masjarakat, di mana ia menjabat sebagai dirjen dari tahun 1947 (Suryadinata 1995, p. 25). Dalam tim redaksi ada juga Mana Adinda dan Amak Yunus. Pelaksana sehari-hari Trompet Masjarakat adalah Saleh Said, seorang muslim dari Ampel. “Jadi [isinya] bukan hanya orang-orang Tionghoa. Macem-macem. Karena itu, saya pengen kerja di sana.” Kemudian peristiwa 30 September 1965 terjadi. Trompet Masjarakat ditutup, Oei ditangkap. Foto-foto, koran, majalah, buku, dan berbagai dokumen diram­ K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 117 pas dan dibakar. Beberapa dokumen dapat diamankan adik Oei di atas plafon rumah mereka di Malang. Karena tidak ada data sebagai bukti yang menunjukkan keterlibatan Oei dalam PKI, Oei masuk dalam kategori B. Ditahan tanpa sidang. Kategori A, disidang. Kategori C, bebas. “Katanyaa (bebas)…,” ujar Oei tertawa. Oei menganggap penjara sebagai akademi, tempat dia belajar. Di dalam penjara, ia dan teman-teman tahanan membuat kelompok belajar, untuk belajar bahasa, dan juga untuk mengarahkan pikiran. Oei tinggal di Pulau Buru antara 1970 dan 1978, di mana dia bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer. Kebetulan, tempat Pram ditahan berada di dekat ladang tempat Oei mencangkul. “Jadi kalau saya liat ndak ada seng jaga, saya mbrosot masuk.” Karena tidak ada kertas, Oei membantu Pram memotong kertas untuk menulis dari karung pembungkus semen. Hingga akhirnya, ketika Oei dibebaskan pada 1978, Pram menitipkan naskahnas­­kah tulisan tangan dan ketikannya ke Oei Hiem Hwie untuk dibawa keluar. Untungnya lagi, Oei tidak digeledah, sehingga naskah-naskah tersebut selamat. Se­telah Pramoedya dibebaskan setahun berikutnya pada 1979, Oei menemuinya un­tuk mengembalikan naskah-naskah tersebut. Pram menolak, meminta Oei untuk menyimpankan naskah aslinya. Pram akan menyimpan fotokopinya saja. Oei tiba dengan selamat di Surabaya. Dia, bersama lebih dari 4.000 eks-ta­pol (to­tal 4.288, menurut surat), diberi surat pembebasan “pengembalian ke masya­ ra­­kat”, dan mendapatkan KTP dengan tanda ET. Singkatan dari Eks Tapol, atau ple­setannya, “Elek Terus.” Dengan KTP tersebut, Oei kesulitan mencari pekerjaan. “Ndak iso kerjo. Cari kerjaan ya mbek orang ditolak. Pigi bank mau pinjem uang ‘aja, mau bikin modal, dibilang ndak ada. Yak opo. Karena tapol, ya, eks-tapol,” je­ las­nya tertawa. “Wong orang ngasi kue lho, ditaruh di luar. Mlayu wedi.” Status ET di KTP Oei baru dihapus setelah KTP-nya diganti menjadi KTP Seumur Hidup (kare­ na waktu itu Oei sudah berumur lebih dari 60 tahun), setelah Asmara Nababan men­jadi sekretaris Komnas HAM. Oei kemudian dihubungi oleh Haji Masagung (Tjio Wie Tay), seorang Tionghoa muslim yang dikenal sebagai pendiri Toko Buku Gunung Agung. Selain TB Gunung Agung, Haji Masagung juga mendirikan Yayasan Idayu di Jakarta, yang juga P engarsipan dan S ejarah P ers o nal : M edayu A gung dan Oei H iem H wei Awalnya Oei ditahan di Batu, kemudian dipindah ke Lowokwaru di Malang. Ka­ dang-kadang, Oei dipindah ke Surabaya, di Kalisosok. Atau terkadang di Koblen, di Rumah Tahanan Militer yang sekarang sudah dihancurkan. Oei dipindah-pin­ dah­kan antara Malang dan Surabaya selama lima tahun, sebagai tahanan politik. Ke­mu­dian, tahun 1970, “dinaikkan sepur, pagi-pagi, berangkat ke Cilacap. Sebelum ke Pulau Buru, semua ke Nusa Kambangan, masuk Karang Tengah. Cuma 2-3 bulan, baru ke Pulau Buru.” 118 K athleen A zali arsipelag o ! Kotak memuat naskahnaskah Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru, dan surat-surat Pram kepada Oei. Foto: Erlin Goentoro mengelola dokumentasi dan perpustakaan7. Haji Masagung mengusulkan Oei pindah tempat tinggal dari Malang, agar tidak terus-menerus dipantau, karena ada banyak tangan militer hingga tingkat RT/ RW. Meskipun KTP Oei tetap beralamat Malang, Oei lalu pindah ke Surabaya, bekerja di Toko Buku dan Perpustakaan Sari Agung, yang juga didirikan oleh Masagung, di Jalan Tunjungan. Dari pekerjaannya dengan Masagung inilah, Oei me­ nge­­nal dan mempelajari pengelolaan perpus­ta­kaan. 7) Nama Idayu merujuk pada Ida Ayu Nyoman Rai, ibunda Bung Karno. Nama ini digunakan atas izin Bung Karno. Yayasan Idayu yang mem­bawahi perpustakaan Idayu diresmikan pada 28 Oktober 1966, dan mengambil tempat di Kwitang no. 13. Perpustakaan ini sempat di­pindahkan ke Gedung Kebangkitan Nasional pada tahun 1974 atas dukungan Ali Sadikin, tapi harus pindah di tahun 1992 ke gudang Rajawali milik Gunung Agung. Sempat pula ditempatkan di rumah Ali Sadikin di Cempaka Putih, dan mengalami kebanjiran dan dimakan ra­yap. Koleksinya dipindah lagi ke sebuah rumah di Sentul, yang dibeli Masagung sebagai gudang (lihat Masagung, 2003). K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia Oei Hiem Hwie Surat “pengembalian 4.288 orang tahanan G-30-S/PKI Gol. ‘B’ ke masyarakat” yang membebaskan Oei pada 1978. Foto: Erlin Goentoro Toko Buku dan Perpustakaan Sari Agung, mes­ ki kini su­dah tidak ada lagi, tampaknya banyak me­­ning­galkan ingatan yang membekas bagi masya­­rakat Surabaya. Banyak orang yang sa­­ya kenal di Surabaya senang bercerita me­ nge­­­­nai ke­beradaannya dan ko­lek­sinya yang cu­­kup lengkap8. Selain itu, Oei juga men­jadi se­­kre­taris pri­badi Masagung untuk wilayah Jawa Timur, meng­antar Masagung ke berbagai pe­­­san­tren dan mas­jid di Jawa Timur untuk dakwah. Ketika Masagung almarhum pada 1992, Oei pen­­siun. Ber­modal pengalamannya mengelola per­­pus­takaan Sari Agung, ia dengan hati-hati me­mindahkan buku-buku dan dokumen-doku­­ mennya dari Malang ke Surabaya. Pada awal­ nya, Oey bercerita saat itu belum berani me­­ nu­runkan dokumen-dokumen ter­sebut dari atas plafon, apalagi karena Orde Baru masih ber­kuasa dan larangan masih ada. Se­telah Re­­formasi, baru pelan-pelan Oei berani me­ nu­­run­kannya. Kondisinya cukup rapuh karena di­­simpan di atas plafon selama 13 tahun lebih. “Buku-buku ini bolong semua. Dimakan renget. Tapi untung bo­long­nya ndak ke tulisan. Ada yang bolong bisa tembus ‘gitu. Coba’o rayap, habis, dibakar.” Oei sempat didatangi dua orang asing da­ri Australia, yang ingin membeli seluruh kolek­ si­nya untuk dibawa ke Australia dengan har­ ga satu miliar rupiah. Oei ke­sulitan mengon­ fir­masi nama peneliti tersebut, tapi ada yang me­nyebutkan bahwa salah satu peneliti ter­ se­but adalah Charles Coppel9, yang menulis 8) Saya mendapati banyak orang yang berkunjung ke C2O menye­but­kan dan menanyakan koleksi Toko Buku dan Per­ pus­takaan Sari Agung. Dédé Oetomo bercerita sering ber­ kun­jung ke Sari Agung, ke­tika awalnya masih di Jalan Tun­ jungan, hingga kemudian pindah ke Kendangsari. Setahu sa­­ya, mayoritas koleksi Perpustakaan Sari Agung saat ini da­pat ditemukan di Medayu Agung atau di Per­pus­takaan Kota Surabaya, di Jalan Rungkut Asri Tengah 5-7. 9) Menurut http://duniaperpustakaan.com/blog/2013/10/02/ P engarsipan dan S ejarah P ers o nal : M edayu A gung dan Oei H iem H wei “Buku-buku ini bo­ long semua. Dima­ kan renget. Tapi un­tung bo­long­nya ndak ke tulisan. Ada yang bolong bi­­sa tembus ‘gitu. Coba’o rayap, habis, dibakar.” 119 120 arsipelag o ! Indonesian Chinese in Crisis (1983), disertasi yang ke­mudian menjadi salah satu bu­ku rujukan utama da­lam kajian Tionghoa Indonesia. Oei kemudian bertemu dengan Ongko Tikdoyo, seorang pengusaha yang juga ak­tif dalam kegiatan sosial dan pendidikan di Buddhist Education Center (BEC) Surabaya. Oei bercerita sebenarnya sudah mengenal Ongko ketika ia masih kecil, karena ayah Ongko dulu adalah bendahara Baperki Kepanjen, sementara Oei adalah sekretaris Baperki Malang. Ongko mendorong Oei untuk membentuk perpustakaan. Hanya, sempitnya rumah Oei saat itu, dengan usaha penjualan air minum isi ulang dan elpiji, tidak memungkinkan untuk membuka perpustakaan. Ongko berjanji akan membantu pendanaan sewa tempat. K athleen A zali Pada 2001, Perpustakaan Medayu Agung dibuka di rumah sewa kontrak di Jalan Medayu Selatan VII/22. Sebentar saja, rumah kontrakan itu pun penuh dengan koleksi buku-buku, arsip majalah, dan kliping yang terus bertambah. Ongko kembali menemui Oei Hiem Hwie dengan mengajak Sindunata Sambudhi, pemilik Hakiki Donarta, dan Ir. Juliastono. Menyadari bahwa rumah kontrakan itu tidak lagi cukup, mereka mengusulkan mencari tanah dan membangun rumah baru. Yayasan Medayu Agung disahkan oleh Notaris Johanes Limardi Soenarjo, S.H., M.H., pada 1 Desember 2001. Susunan organisasi Yayasan Medayu Agung adalah se­bagai berikut: Badan P e n gawas B adan P e l a k sa n a Ketua: Sindunata Sambudhi Ketua: Gatot Seger Santoso Wakil Ketua: Ongko Tikdoyo Sekretaris: Drs. Agustinus Dasmargya Mangunhardjana Anggota: Dr. Kresnayana Yahya, M.Sc. Bendahara: RR. Saptuty Aprianti, S.E. Dr. Dédé Oetomo Pengawas: Tan Swie Ling Ir. Budhi Soesanto Ir. Juliastono Oei Hiem Hwie Pada praktiknya, Sindunata Sambudhi dan Ongko Tikdoyo banyak mendukung dana, baik dari uang mereka sendiri maupun mencarikan dari donatur lain. Sementara Juliastono, dalam kapasitasnya sebagai insinyur, banyak membantu pro bono dalam pembangunan gedung perpustakaan, yang sekarang sudah berpindah di atas tanah sendiri, di Jl. Medayu Selatan IV/42-44. kisah-perpustakaan-medayu-agung-yang-menolak-koleksinya-di-beli-1-miliar/ K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 121 Perpustakaan Medayu Agung, Sekarang Beberapa bendel kliping Oei. Foto: Erlin Goentoro Saat ini, ada enam pekerja di Medayu Agung, selain Oei sebagai pengelola utama yang bekerja tanpa gaji. Di lantai dasar, ada dua ruangan tertutup, satu me­muat koleksi langka, satunya koleksi khusus. Ruang koleksi langka adalah satu-satunya ruang de­ ngan pendingin ruangan, memuat banyak buku ku­­no P engarsipan dan S ejarah P ers o nal : M edayu A gung dan Oei H iem H wei Menurut Oei, untuk memenuhi persyaratan izin mem­ buka perpustakaan dari pemerintah kota, diper­lukan adanya pustakawan resmi dengan pen­didikan ilmu per­pustakaan. Oei, dengan du­kung­an dana dari ya­ yasan, membiayai kuliah S1 Ilmu Perpustakaan un­tuk pekerja pertamanya, Harun. Selain itu, untuk men­da­ patkan izin, diperlukan adanya pos satpam di depan ge­dung perpustakaan, untuk penjagaan. Untunglah, ke­betulan lokasi Perpustakaan Medayu Agung se­karang berada tepat di depan pos penjagaan kompleks perumahan. 122 arsipelag o ! K athleen A zali Oei menunjukkan satu bendel klipingnya. Foto: Erlin Goentoro K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 123 dan buku sejarah yang sudah rapuh dan perlu di­jaga suhu dan kelembapannya. Di da­lam ruangan ini, dapat ditemukan Oud Batavia, Soerabaja Oud and Nieuw, The History of Java karya Raffles, berjilid-jilid ka­talog koleksi seni rupa Bung Karno, hing­ga cetakan awal Mein Kampf. Oei bercerita bahwa kebanyakan ko­lek­si ini ia dapatkan dari engkongnya. Ruang ko­leksi khusus memuat buku-buku de­ngan subjek Pramoedya Ananta Toer, Bung Karno, dan masalah pem­bauran dan in­te­ grasi etnis Tionghoa di Indonesia. Sedikit tersembunyi di sudut ruangan, di dekat mesin fotokopi, beberapa rak me­ mu­at buku-buku yang ditu­lis dalam bahasa Tionghoa. Di dekatnya lagi, ada rak yang memuat berbagai kliping koran yang Oei kum­pul­kan dan bendel dalam map yang dibuat sendiri dari kardus. Subjeknya mungkin cukup acak, tapi jelas me­­nunjukkan minat pribadi dan konteks zaman Oei, an­tara lain: Masagung, Pers Indonesia, Resensi dan Pe­ninjauan Buku, KGB, India, SARA, Vietnam, Timor-Timur, Ma­hasiswa, Kasus Tanah, Cersam Sie Djin Koei, ASEAN, Polandia Bergolak, Seja­ rah Surabaya. Topik Bung Karno dan G30S, ditempatkan dalam kardus buatan sen­diri ka­rena banyaknya. Di lantai atas, ada lebih banyak lagi buku dan berbendel-bendel koran, dibungkus rapat dalam plastik. Beberapa butir kapur barus diselipkan di dalamnya. Ada satu komputer di pojok ruangan untuk digitalisasi katalog. Printer di sebelahnya tampak berdebu. Subjek di lantai dua lebih beragam, meski tetap mencerminkan minat sosial politik Oei, antara lain: Agama, Wayang, Militer dan Politik, Pancasila, Soeharto, Pers dan Jurnalistik, Perang dan Kemerdekaan, Sosial Budaya, Ekonomi, Filsafat. Di awal proses katalogisasi, Oei membuat sistem kategori sendiri. Misalnya, MPI ada­lah kode untuk Masalah Pembauran dan Integrasi. SHT adalah Masalah Soeharto. PJ, Pers dan Jurnalistik. Tiap buku yang datang dikategorikan dalam ka­­tegori-kategori tersebut, kemudian diberi nomor, seiring dengan bertambahnya ko­leksi. Sekarang, beberapa koleksinya mulai diberi Kode Desimal Dewey (Dewey Decimal Code, DDC), ditempelkan di bawah kode lama yang Oei buat. Namun P engarsipan dan S ejarah P ers o nal : M edayu A gung dan Oei H iem H wei Di tengah-tengah lantai dasar, rak-rak berisi bendel-ben­del majalah berjejer ber­ de­ret-deret. Ada beberapa kotak kaca di sela-selanya. Salah satu kotak berisi nas­ kah-naskah tulisan tangan dan ketikan Pramoedya Ananta Toer, berdampingan dengan surat-surat Pram kepada Oei. Satu kotak lain, yang telah saya sebutkan di awal tulisan, memuat koleksi kenangan dari Bung Karno dan Haji Masagung, berisi nas­kah Sosialisme Utopia yang ditandatangani oleh Bung Karno, beserta piringan hitam pidato dan foto-foto Bung Karno dan Haji Masagung. Kotak kaca yang lain lagi memuat buku-buku lama, antara lain Max Havelaar. Ada pula kotak kaca yang khu­sus memuat dokumen-dokumen Baperki, seperti koran Berita Baperki dan buku Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar oleh Siauw Giok Tjhan. Pada tiap-tiap kotak kaca, terpasang pigura alu­minium menjelaskan isi kotak kaca. 124 arsipelag o ! mungkin DDC pun tidak akan terlalu membantu, melihat begitu spesifiknya koleksi Medayu Agung. Dan Kemudian…? K athleen A zali Setiap hari, Oei menandai koran yang akan dia kli­ ping. Selain koran-koran berbahasa Indonesia, Oei ju­ga berlangganan koran berbahasa Mandarin dan ma­jalah berbahasa Jawa. Karena penglihatan yang ma­kin kabur, Oei bercerita dalam sehari rata-rata meng­gunting empat kliping. Sementara, persediaan bu­ku dan koran yang perlu disortir dan dikliping da­ tang berkardus-kardus. Dari pengamatan saya sejauh ini, ada beberapa hal yang bisa kita garis bawahi dari Oei Hiem Hwie dan Medayu Agung. Oei Hiem Hwie memiliki ketekunan dan integritas dalam mengarsip, terutama karena hu­ bung­an yang erat antara sejarah perpustakaan ini de­ngan sejarah pribadinya. Keluarga, pendidikan, dan individu-individu di sekitarnya berperan besar da­lam pembentukan sejarahnya, pribadinya, dan per­­temanannya, yang kemudian juga terbangun dan ter­tanam dalam gagasan arsip Medayu Agung. Ko­ lek­si buku dari keluarganya (dan teman-teman ke­ lu­ar­­ganya) mengisi koleksi buku langka. Pendidikan Tiong Hoa Hwee Koan, Universitas Res Publica, pe­ ker­jaannya sebagai wartawan, dan aktivitasnya di Baperki berperan besar dalam pembentukan pri­ ba­­di, pertemanannya, dan koleksi khususnya. Be­ gitu pula perjumpaannya dengan Pram di Pulau Buru. Tidak hanya mereka membentuk koleksi arsip Medayu Agung, tapi juga membangun reputasi dan spe­sialisasinya. Dengan mengembangkan gagasan arsip yang erat berhubungan dengannya, Oei tidak mem­o­sisikan dirinya sekadar sebagai arsiparis atau pus­­takawan pasif, tapi dengan aktif berpartisipasi mem­bentuk pemahaman mengenai berbagai subjek yang ia rangkai dalam koleksinya. Yang kemudian menjadi pikiran kita semua, tapi sa­ yang­nya masih belum ditemukan langkahnya, ada­lah Buku-buku, arsip di Lantai 2 Medayu Agung serta bertumpuk-tumpuk koran dalam bungkusan plastik dengan kapur barus di dalamnya. Foto: Erlin Goentoro “... sayangnya ma­sih belum di­te­mukan lang­kahnya, adalah regenerasi dan ke­ berlanjutan Medayu Agung ke depan.” K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 125 Hingga saat ini, Medayu Agung tidak pernah mendapatkan dana sepeser pun da­ri Pemerintah. Hanya pengakuan sebagai perpustakaan yang sah pada 23 Mei 2005, dan penghargaan Board Preference dalam Surabaya Academy Award 2004. Sudah terlalu banyak perpustakaan dengan koleksi legendaris di Indonesia yang hilang dan tersebar koleksinya, ketika sang pendiri tidak dapat lagi mengelolanya—perpustakaan H.B Jassin dan perpustakaan Bung Hatta bia­ sa­nya langsung meloncat ke pikiran. Tapi, sejujurnya, menulis ini, saya menjadi se­dikit teringat pada nasib “mentor” Oei, Haji Masagung, dan perpustakaannya, Per­pustakaan Yayasan Idayu. Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya terpaku pa­da jerih payah dan ketekunan mereka, tapi mulai memikirkan bagaimana kita da­pat men­ciptakan lingkungan dan kondisi yang berkelanjutan, agar kerja keras mereka dapat dinikmati dan diolah oleh generasi selanjutnya.  P engarsipan dan S ejarah P ers o nal : M edayu A gung dan Oei H iem H wei regenerasi dan keberlanjutan Medayu Agung ke depan. Sejauh ini, pengorbanan, ketekunan, dan kerja keras Oei didukung oleh berbagai inisiatif pribadi temantemannya. Biaya operasional perpustakaan ini sekitar 10 juta per bulan, untuk membayar gaji enam pegawai, listrik, dan air. Semua dana didapatkan dari yayasan. Selain di ruang koleksi langka, pendingin ruangan tidak dinyalakan untuk menghemat listrik. Meskipun Dewan Pembina berulang kali membahas keinginan untuk membuat acara dan digitalisasi koleksi, ada langkah-langkah dan komitmen yang tidak sedikit. 126 arsipelag o ! Referensi Perpustakaan Medayu Agung Jl. Medayu Selatan IV/42-44, Perumahan MDR (Medayu Dian Regency) Masuk Perum KOSAGRA Medokan Ayu, Rungkut, Surabaya 60295 Kotak Pos 4047 Sbs Budianta, Melani. 2012. “Cultural Expressions of the Chinese, 1940-1960.” In Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965, edited by Jennifer Lindsay and Maya Liem, 255– 281. Leiden: KITLV Press. http://www.kitlv.nl/book/show/1307. Coppel, Charles A. 1983. Indonesian Chinese in Crisis. Oxford: Oxford University Press.

+62 31 870 3505 [email protected]

Hui, Yew-Foong. 2011. Strangers at Home: History and Subjectivity among the Chinese Communities of West Kalimantan, Indonesia. Boston and Leiden: Brill. Jam buka Lan, Nio Joe. 1940. “Riwajat 40 Taon Dari Tiong Hoa Hwee Koan - Batavia (1900-1939)”. Batavia: Tiong Hoa Hwee Koan. https://archive.org/details/Riwajat40TaonTHHKBatavia. hari kerja: 09.00 - 16.00 Sabtu: 09.00 - 13.00 K athleen A zali Adam, Ahmat B. 1995. The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness (1855-1913). Ithaca, N.Y.: Cornell University Press. Minggu dan hari besar tutup, kecuali ada perjanjian sebelumnya Rekening bank BCA Indrapura 4683814078 A/N Yayasan Medayu Agung Surabaya BCA Indrapura 4681192322 A/N Oei Hiem Hwie Terima kasih kepada Om Hwie, yang te­ lah dengan sangat sabar dan tekun meng­ ha­biskan banyak waktunya untuk berbagi cerita pada dua qiao shen shen ini. Erlin Goentoro menolak namanya disebutkan se­­bagai penulis, tapi “penelitian” ini kami la­kukan ber­sama, dan Erlin membantu sa­ya menyelesaikan tulisan ini hingga akhir. Pak Dédé Oetomo, yang se­la­lu de­ ngan ringan tangan memberi masukan dan du­kungan berharga dalam aktivisme saya dan C2O. Pak Leo Suryadinata, atas masukan, saran, dan re­komendasi ba­ca­ an­nya. Ari Kurniawan, Andriew Budiman, dan teman-teman redaksi ayorek.org un­ tuk bantuan penyuntingan dan sarannya. Se­mua ke­salahan dan kekurangan ada pa­da saya sebagai penulis. Liu, Oiyan. 2010. “The Educational Movement in Early 20th Century Batavia and Its Connections with Singapore and China.” BiblioAsia 6 (3): 22–28. www.microsite.nl.sg/PDFs/ BiblioAsia/BIBA_0603Oct10.pdf. Masagung, Ketut. 2003. Bapak Saya Pejuang Buku. Edited by Rita Sri Hastuti. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, Tbk. Mawardi, Bandung. 2012. “Rubrik Bahasa: Nostalgia ‘Ratu Dunia.’” TEMPO, January 9. Negoro, Djamaluddin Adi. 1949. Falsafah Ratu Dunia. Jakarta: Balai Pustaka. Suryadinata, Leo. 1995. Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Winarta, Frans H. 2008. “No More Discrimination Against the Chinese.” In Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia, edited by Leo Suryadinata. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Website “Hidden Treasures: Preserving the Literary Past”, Inside Indonesia http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/hiddentreasures “10 Hal Unik Tentang Perpustakaan Medayu Agung Surabaya”, Kompasiana: http://edukasi.kompasiana.com/2013/11/04/10h a l - u n i k- t e n t a n g - p e r p u s t a k a a n - m e d a y u - a g u n g surabaya-607645.html “Dari Terompet Masyarakat ke Medayu Agung”, Kompas: http://tekno.kompas.com/read/2008/10/15/21012298/dari. terompet.masyarakat.ke.medayu.agung “Keeping a Collection of Rare and Banned Books”, The Jakarta Post: http://www.thejakartapost.com/news/2005/09/17/ keeping-collection-rare-and-banned-books.html Kamar Kerja IiI Praktik Pembacaan J o ned S uryatm o k o 128 arsipelag o ! 129 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia - 08 - ARSIP BERGERAK Joned Suryatmoko Pengantar Kira-kira, beginilah teater masa purba digam­ bar­kan: Orang pada jaman itu hidup berkelompok. Mereka berpindah tempat tinggal dan terus mencari tempat yang mereka anggap menyediakan makanan, yak­ni binatang buruan. Siang hari mereka berburu. Ma­ lam­nya, mereka berkumpul di sekeliling api unggun dan berpesta. Sambil membakar hasil buruannya, me­reka bercerita tentang pengalamannya berburu. Sa­tu orang bercerita, kemudian disambung dengan ce­rita yang lain. Begitu seterusnya, hingga semua da­pat menceritakan pengalamannya. Pada saat ber­ cerita, mereka memeragakan caranya berburu, cara mengejar binatang buruannya, atau kesulitan-ke­su­ lit­an membawa mereka kembali pulang. Karena ia sen­diri memeragakan gerakan berburu, ia meminta ka­wan yang lain memeragakan hewan buruannya. Koleksi kaset video Puskat: seni tradisi Dade Ndate, Palu foto: dokumentasi ivaa A R S I P B E R G E R A K : M engarsipkan S eni T radisi , M eng o lah I nteraksi Mengarsipkan Seni Tradisi, Mengolah Interaksi J o ned S uryatm o k o 130 arsipelag o ! Se­cara bergantian, mereka saling bercerita dan memeragakan kisahnya. Di selasela cerita itu, mereka sedih atau mungkin jengkel karena gagal mendapat hewan bu­ruan, atau tertawa senang karena kelucuan-kelucuan dalam kisah temannya. Sering kali seseorang dari antara mereka mulai bernyanyi dan disusul oleh yang lain, sehingga mereka pun bernyanyi bersama. Inilah puncak pesta. Mereka menari dan menyanyi. Mereka menggunakan peralatan yang ada untuk mengiringinya. Kita mengenalnya sekarang sebagai instrumen atau alat musik. Dalam pesta rakyat itu, mereka mengung­kap­kan perasaan melalui cerita, nyanyian, tarian, dan di­iringi musik. Semua yang hadir bisa menciptakan se­sua­tu secara kreatif. Pesta rakyat ini menjadi embrio la­hir­nya teater, di mana semua bisa berperan dan ti­dak ada pemain yang melulu pemain dan penonton yang melulu sebagai penonton.1 Saya mendengar cerita ini sejak 1995, di mana saya mulai bergabung dengan Institut Teater Rakyat Yogyakarta (ITRY), sebuah kelompok mahasiswa yang aktif melakukan advokasi masyarakat kecil dengan metode teater rakyat. Cerita bersumber dari materi pelatihan di Studio Audio Visual (SAV) PUSKAT, sebuah lembaga yang didirikan oleh para imam Jesuit pada 1969 dan menjadi pusat 1) Bersumber dari Teater Rakyat Orientasi, materi cetak stensilan, diolah ulang dari Materi Pelatihan Teater Rakyat Studio Audio Visual PUSKAT. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia Koleksi arsip foto Studio Audio Visual Puskat (SAV Puskat) SUMBER: dokumentasi ivaa 131 pelatihan dan produksi audio visual di Yogyakarta.2 Bagi saya, cerita itu lebih banyak memberi impresi pada wacana teater rakyat ketimbang wacana lain, semisal kesenian secara umum ataupun pengarsipan, hal yang sedang menjadi topik utama buku ini. Sambil mencoba menemukan jawaban itu, saya akan ajak Anda sekaligus me­nengok ulang praktik pe­ nyusunan dan pengolahan arsip yang dila­ku­kan SAV PUSKAT terkait dengan seni tradisi. Ji­ka ke­ingin­ta­hu­ an iseng saya tidak terlalu re­le­van buat Anda, saya ber­harap kilas balik cerita peng­ar­sipan mereka akan mem­­ba­wa kita pada usaha pengem­bang­an arsip yang lebih jauh. Seni Tradisional dan Perekaman Jika melihat seni secara umum akan terlalu luas, saya me­milih untuk mengerucut dengan membicarakan se­ ni pertunjukannya saja, sesuai bidang yang saya ge­ luti. Pengerucutan ini sekaligus mempermudah pem­­ ba­tasan kita pada pengertian seni tradisional. Pertunjukan tradisional umumnya digambarkan se­ ba­­gai pertunjukan yang tipenya tidak bernaskah, di­ pen­taskan dengan bahasa lokal, terkait dengan ritual desa atau keluarga, upacara atau acara tertentu, de­ ngan musik, drama, dan tari dalam kesatuan (teater 2) http://www.savpuskat.or.id/profil/, diakses 6 April 2014. A R S I P B E R G E R A K : M engarsipkan S eni T radisi , M eng o lah I nteraksi Beberapa waktu lalu, saya (kembali) disadarkan bah­ wa SAV PUSKAT juga pernah melakukan program pere­kam­an (pengarsipan?) seni tradisi Indonesia. Sa­ ya ja­di pu­nya per­tanyaan lanjutan. Gambaran tea­ ter pur­ba itu lekat dengan seni tradisi kita, di mana ber­kum­pul dan bertutur adalah bagian pentingnya. Apakah ini ke­se­nga­jaan? Apakah kurikulum teater rak­yat yang dikembangkan SAV PUSKAT sejak 1980an terinspirasi dari seni tradisi kita? Ataukah program peng­arsipan seni tradisi yang dilakukan PUSKAT jus­ tru terdorong oleh usaha pengayaan kurikulum teater rak­yat? Bagaimana hubungan keduanya? 132 arsipelag o ! J o ned S uryatm o k o se­cara total), berdasar tema yang berasal dari mitos lokal, legenda, sejarah, atau dari epik Ramayana/Mahabharata (Asmara, 1995). Seiring dengan ancaman ke­ pu­nahan tradisi, banyak bahasan berlangsung tentangnya. Gerakan yang lebih pro­gresif tidak melihat tradisi sebagai sesuatu yang harus dikeluarkan setiap periode tertentu, hanya untuk diusap-usap dan dikenang. Tradisi harus bergerak. Ia harus tumbuh dan dinamis, karena begitu pulalah jaman yang melingkupinya. Rendra (1971) melihat tradisi sebagai kebiasaan yang turun-menurun dalam se­bu­ ah masyarakat. Tradisi yang tidak mampu berkembang, baginya, adalah tradisi yang menyalahi fitrah hidup. Pekerjaan-pekerjaan kebudayaan di Indonesia akan me­nemui kesulitan, apalagi masyarakatnya tidak bersikap kreatif terhadap tradisi. Jika Rendra mengeluarkan gagasannya dengan tajuk Mempertimbangkan Tradisi, sekitar lima belas tahun kemudian, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menerbitkan buku Menengok Tradisi, Sebuah Alternatif Bagi Teater Modern (1986). Buku yang disusun atas Pertemuan Teater 1985 ini merespon gejala-gejala teater yang melibatkan tradisi dalam estetika mereka, semisal dengan yang dijalankan Rendra, Arifin C. Noer, Teguh Karya, Putu Wijaya, dan kawan-kawan. Dari pilihan kata “alternatif” di sana, kita bisa melihat sikap pertemuan teater itu pada tradisi. Sama seperti yang digagas Rendra, mereka menempatkannya sebagai sesuatu yang dinamis, yang bisa diolah dan dirujuk oleh bentuk-bentuk kesenian yang datang setelahnya. Demikian, tradisi sudah ditempatkan sebagai satu alternatif yang ditengok, diper­ tim­bangkan, dan kemudian dikembangkan. Dengan keputusan ini, bagaimana ke­ se­nian yang lebih baru bisa bertemu dengan yang tradisi? Dari mana seniman se­karang dapat mengakses tradisi, dalam bentuk-bentuknya yang terdahulu? Pertanyaan di atas dijawab oleh sebuah proyek perekaman seni tradisi (termasuk musik) yang dilakukan sejak 1990 sampai dengan 1999, oleh kerja sama banyak lembaga yang didanai oleh The Ford Foundation. SAV Puskat adalah salah satu lembaganya. Dengan mengerucutkan bahasannya pada perekaman musik, Philip Yampolsky (2001), salah satu pelaku proyek itu, membedakan kata memelihara/ melestarikan (preserve) seni tradisi dengan memperkuatnya (strengthen). Ia sen­diri tidak percaya ada orang yang bisa memelihara/melestarikan musik atau kebu­ da­yaan untuk orang lain. Yang bisa melakukan itu adalah penampilnya sendiri (performers) dan penontonnya (audience). Jika mereka tidak menginginkan itu, ya sudah, maka seni tradisi akan mati. Dalam perjalanan perekaman itu, Yampolsky menyimpulkan bahwa di era Soeharto (dan mungkin juga hingga sekarang?), suara sejumlah orang yang berkuasa menga­jar­kan pada orang-orang desa untuk tidak menginginkan lagi musik tradisional mereka. Program kebudayaan Pemerintah sering kali menimbulkan efek bahwa seni tradisi mereka tidak memuaskan, mereka perlu dibina, dikembangkan, se­belum akhirnya mereka dapat diterima oleh masyarakat 133 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia atau orang luar. Juga meng­gejala pesan di koran, majalah, iklan, radio, dan televisi, yang mengatakan bahwa cara hidup mereka ketinggalan, primitif, dan ja­di bahan tertawaan. Tak heran, kaum muda menjadi enggan untuk mencurahkan energi dan emosinya ke musik dari masyarakatnya yang “terbelakang dan konyol”. Salah satu pemrakarsa proyek itu, Fred Wibowo, se­ca­ra tegas menekankan ancaman yang dialami oleh seni tradisi. Pada masa itu, selalu dilihat SUMBER: dokumentasi ivaa A R S I P B E R G E R A K : M engarsipkan S eni T radisi , M eng o lah I nteraksi Dengan mengambil contoh kasus musik tradisi, dalam catatannya, Yampolsky sampai pada pertanyaan me­­ nga­pa seni tradisi perlu diperkuat dan dibantu ke­ber­ langsungannya. Musik, menurutnya, menjadi sim­­bol identitas. Jika musik menjadi simbol identitas etnik, keberadaan dalam masyarakat musik dari ba­nyak kelompok etnis menjadi simbol keberagaman masya­ r­a­katnya. Selain itu, material yang menyusun musik se­cara berbeda menyimbolkan nalar hidup yang ber­ be­da-beda pula. Koleksi kaset video puskat 134 arsipelag o ! J o ned S uryatm o k o bahwa seni tradisi rakyat akan dihancurkan, dipojokkan, sehingga akan hilang. “Hilangnya seni tradisi ini akan disusul de­ngan hilangnya nilai kebersamaan, nilai persatuan, dan nilai gotong royong masyarakat, termasuk nilai cross-culture, yakni keterbukaan untuk saling menukar nilai-nilai seni yang ada,” tegasnya. Ketika sudah ada keterbukaan, ketika nilai-nilai itu ditemukan, ia menambahkan, ternyata kehancuran mereka bukannya tidak disengaja, namun ada kekuatan yang mau berkuasa sendiri dan mengumpulkan sendiri kekayaan, menindas mereka (Fred Wibowo, wawancara, 26/3/2014). Pemilihan seni tradisi yang hendak direkam pada waktu itu adalah yang sangat dipojokkan dan sangat mau hilang, untuk itulah harus ditemukan nilai-nilainya. Sepanjang periode produksi itu, terkumpullah beberapa hasil dalam bentuk audio visual, seperti: • Beliant Sentiyu, Ritual Pengobatan Suku Dayak Benuaq; • Upacara Macerra Arajang; • Upacara Rebba Suku Ngada; • Pesta Reba, Tradisi Tahun Baru di Bajawa; • Ho Ho Nias; • Tanatoa (Sekelumit Tentang Masyarakat Kajang); • Pakarena; • Karapan Sapi; • Gendang Beleg; • Yospan; • Dede Ndate; • Hudoq, Seni Tradisi Kaltim; • Hudoq, Pelindung Padi Suku Dayak Modang. Penyiaran Seni Tradisi dan Arsipnya Proyek perekaman seni tradisi yang sudah dipaparkan di atas ditutup dengan se­buah proyek produksi siaran seni tradisi di tahun 1998 s.d 1999. Selain SAV PUSKAT, sejumlah lembaga lain juga terlibat, seperti Radio Suara Surabaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Eksponen, Komseni, Radio Geronimo Yogyakarta, RFI Prancis, dan Smithsonian Institute. Sejumlah program yang pada saat itu dirancang adalah sebagai berikut: 1. Pelatihan Dasar Programming Siaran Musik Tradisi di Radio (Radio Suara Surabaya) 2. Pelatihan Lanjut Programming Siaran Musik Tradisi di Radio (Radio Suara Surabaya) 3. Workshop Teknik Rekaman Khusus (Smithsonian Institute) 4. Lokakarya Berkelanjutan Menemukan Format Program Seni Tradisi untuk K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 135 TV (SAV PUSKAT) 5. Pengadaan Bahan-Bahan Siaran Musik Tradisi untuk Radio Siaran di Seluruh Indonesia (Eksponen) 6. Program Perluasan Jaringan di Dalam Proyek Produksi Siaran Seni Tradisi (KOMSENI) Memang, jika menengok dasar pemikiran proyek ini, kita akan menemukan hal yang berlawanan. Di sana tertulis bahwa: perkembangan teknologi, khususnya televisi, membawa kesenian dalam konteks budaya global yang sangat mendesak kesenian tradisional (lokal). Juga, tidak ada kesempatan bagi seni tradisi (lokal) untuk tampil dan memperoleh eksistensinya di televisi, sehingga masyarakat terutama generasi muda tidak lagi mengenal dan karenanya tidak apresiatif. Kekurangan dari pihak televisi mereka sebut dengan menuliskan: kurang pahamnya stasiun TV pada potensi kesenian tradisi, bahwa dengan format yang pas akan menjadi program yang layak tayang dan layak jual.3 Kerenggangan tradisi dan siaran komersial seperti di atas dapat dipahami dengan melihatnya dari bingkai, yang oleh Phillip Auslander (2008) disebut sebagai “eko­ no­mi kultural”. Auslander menjelaskan itu tidak hanya terkait dengan seni tradisi, tapi seni pertunjukan secara umum. Pertanyaan yang diusungnya: teater dan me­ dia, rival atau mitra? Jawab Auslander: rival secara ekonomi kultural, pun bukan ri­val yang setara. Istilah ekonomi kultural digunakannya untuk menggambarkan jagat dari kedua sisi, yakni baik hubungan ekonomi yang riil antar-bentuk-bentuk budaya, dan juga derajat relatif dari gengsi kultural dan kekuasaan yang dinikmati dalam beragam bentuk. Mengelaborasi pertanyaan yang diajukannya sendiri, Auslander juga mengutip Cecilia Tichi (Tichi, 1991 dalam Auslander, 2008), yang mengusulkan bahwa televisi tidak lagi bisa hanya dilihat sebagai satu elemen dalam lingkungan kultural, satu wacana di antara banyak wacana, namun juga ha­rus dilihat sebagai lingkungan itu sendiri. Televisi te­lah mentransendenkan identitasnya sebagai me­ 3) Proposal Proyek Lokakarya Berkelanjutan Menemukan Format Program Seni Tradisi untuk TV, ditulis oleh Fred Wibowo, SAV PUSKAT. Di bagian akhir dasar pemikiran juga tertulis celah masuk proyek tersebut, yakni: Undang-Undang Penyiaran dan himbauan Menteri Penerangan agar televisi memiliki perbandingan siaran produksi lokal dan asing 80% : 20% (80% acara lokal). Ini merupakan peluang bagi kesenian tradisi. Pada saat diwawancara, Fred Wibowo juga menyebut Kethoprak Humor, yang disiarkan RCTI pada masa itu, merupakan contoh bagaimana seni tradisi mendapat tempat di siaran televisi (swasta). A R S I P B E R G E R A K : M engarsipkan S eni T radisi , M eng o lah I nteraksi Rangkaian proyek di atas mengisyaratkan bahwa setelah proses perekaman seni tradisi, proses penyiaran menjadi ujung tombak penguatannya. Seperti kita tahu, penyiaran mempertemukan semua material yang sudah disiapkan, baik rekaman maupun langsung (live), dengan publik barunya. Media audio (radio), audio visual (televisi), dan cetak (tabloid) memberikan kemungkinan seni tradisi didengarkan atau dilihat oleh khalayak lebih luas dari sekitar daerah asal seni itu sendiri. 136 arsipelag o ! J o ned S uryatm o k o dia yang particular dan menyebar melalui budaya “te­le­visual”. Ketegangan-ketegangan seperti inilah yang membayangi proyek tersebut. Kalaupun televisi juga menjadi lingkungan itu sendiri, seperti yang disinggung Tichi, dan seni tradisi penting disiarkan dalam lingkungan televisual itu, apakah perkaranya akan selesai? Boro-boro sampai ke kesimpulan sele­ sai atau tidak; permasalahan yang menghadang nam­­paknya juga cukup pelik. Sebagaimana tertulis da­lam proposal proyek itu, mereka mengakui bah­wa pro­duser yang memahami daya tarik dari ke­se­ni­an tradisi dan nilai-nilainya sangat kurang. Juga bu­da­ya­ wan, seniman, atau ahli seni tradisi yang paham akan ka­rakteristik media televisi. Lebih parah lagi, dan ini yang ingin mereka pecahkan: belum ditemukannya for­mat yang tepat untuk mengolah sajian seni tradisi ke dalam media televisi. Alih-alih berpikir terlalu pesimis, proyek itu mengambil langkah: yang penting dijalankan dulu. Keputusan itulah yang pada akhirnya menjadikan perekaman se­ni tradisi Indonesia menjadi arsip yang dikelola oleh SAV PUSKAT, terutama untuk yang berformat audio visual. Pada masa itu, menurut Fred Wibowo, output proyek dapat digunakan untuk bahan diskusi ke­ti­ka kita mencari nilai-nilai yang dibangun dan di­ kem­­­bangkan lewat media. Bagaimana ia diberi roh kem­bali dengan bentuk-ben­tuk baru. “Kurikulum pen­ di­dikan mengakses nilai-nilai ini. Bagaimana cara “...SAV PUSKAT harus lebih mempromosikan koleksi arsip ini. Langkah pembuatan arsip itu sendiri sebenarnya sudah cukup progresif, karena ia menjadi si­tus kolaborasi antara pengarsip, praktisi, dan akademisi.” Kamera foto dan video milik Puskat. SUMBER: dokumentasi ivaa K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 137 ber­interaksi berdasar diskusi, bukan berdasar perintah,” jelasnya (Fred Wibowo, wawancara, 26/03/2014). Dalam perkara aksesibilitas arsip mereka, SAV PUSKAT mengakui kurang men­ da­patkan respon publik. “Salah satu sebabnya, ya, masyarakat sekarang ta­hu kami sekarang bukan satu-satunya penyedia informasi tentang seni tradisi. Se­ makin banyak yang memberikan seni tradisi lewat program budaya televisi swas­ ta,” jelas Elis Fadjaringsih, Program Officer untuk Proyek Produksi Siaran Tradisi (wawancara, 26/03/2014). Jika perkaranya tidak hanya sekadar digunakan, namun juga digunakan oleh kha­ la­yak lebih luas, SAV PUSKAT harus lebih mempromosikan koleksi arsip ini. Langkah pembuatan arsip itu sendiri sebenarnya sudah cukup progresif, karena ia menjadi si­tus kolaborasi antara pengarsip, praktisi, dan akademisi. Lihatlah begitu banyak lembaga yang terlibat dalam proyek itu! Dalam kajian pengarsipan sendiri, proyek penciptaan dan pengolahan arsip yang difungsikan sebagai situs kolaborasi yang mempertemukan pengarsip secara lintas disiplin sangat direkomendasikan, karena menegosiasikan perubahan-perubahan peran pengarsip dan pengelolaannya di masa depan (Clement, Hagenmaier, Knies; 2013). Seni Tradisi dan Teater Rakyat Di luar semua produk audio visual yang biasanya dijual dalam bentuk DVD, SAV PUSKAT memiliki capaian lain dalam perumusan kurikulum teater rakyat. Metode ini bisa dikatakan hampir mirip dengan metode teater pemberdayaan di seluruh penjuru dunia, terutama yang berasal dari Augusto Boal. Hanya saja, teater rakyat sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Pada awal berkembangnya, banyak 4) http://www.savpuskat.or.id/visi-misi/, diakses 6 April 2014 A R S I P B E R G E R A K : M engarsipkan S eni T radisi , M eng o lah I nteraksi Jika yang penting arsip digunakan, saya merasa SAV PUSKAT tidak perlu terlalu me­risaukan kurangnya perhatian masyarakat pada arsip mereka. Penyebabnya tak lain karena SAV PUSKAT sendiri masih menggunakan arsip-arsip suara dan juga footage untuk kepentingan produksi mereka sendiri. Artinya, arsip ini tetap saja mereka jadikan rujukan dan bahan produksi, bahkan hingga sekarang. Da­ lam profilnya, SAV PUSKAT jelas menyebutkan bahwa mereka bervisi untuk meng­­gali inspirasi dari tradisi-tradisi kebudayaan dan spiritual demi kebahagiaan se­­mua manusia jaman sekarang. Hal ini mewujud dalam produksi-produksinya, yang pada akhirnya tidak diperuntukkan semata-mata untuk Gereja Katolik se­ba­ gai­mana pada mulanya. Produksi audio visual mereka proyeksikan untuk diakses oleh khalayak lebih luas, seperti universitas, Pemerintah, LSM, dan juga televisi swasta.4 J o ned S uryatm o k o 138 arsipelag o ! pekerja teater rakyat yang berhubungan langsung dengan PETA (The Philippines Educational Theater Association) di Filipina. Akhir ‘70-an, beberapa se­ ni­man Indonesia (di antaranya Emha Ainun Nadjib dan Fred Wibowo) dikirim mengikuti lokakarya teater di PETA, Manila, sebagai bagian dari Asia Theatre Forum Partnership Program. Sepulang dari lokakarya ini, Fred Wibowo—yang pada waktu itu bekerja di SAV PUSKAT—mencoba mengadaptasi metode lokakarya de­ngan gagasan Boal itu ke dalam kurikulum teater rakyat (Bodden, 2010).5 Di sinilah jawaban pertanyaan saya akan ditemukan. Apakah kurikulum teater rakyat yang dikembangkan SAV PUSKAT sejak 1980-an terinspirasi dari seni tradisi kita? Mungkinkah keduanya dirancang ber­sa­ ma? “Itu adalah dua item, dua pokok yang ke­mu­di­an dilihat ternyata ini yang satu dengan yang lain saling berkaitan, dan me­nu­rut sejarahnya dulunya satu motif. Ketika main teater, mereka berekspresi dan ber­cerita, seluruh komunitas saling membuat pertunjukan yang dimainkan sendiri, dilihat sendiri. Dulunya, kethoprak juga seperti itu. Drama di Yunani juga seperti itu. Ada partisipasi awalnya,” jelas Fred Wibowo, yang pada 5) Bodden menyebut “teater rakyat” dengan istilah “grassroot theatre” K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 139 saat itu ikut aktif me­ru­mus­kan dan membagikan gagasan teater rakyat. Dalam kasus hubungan kedua proyek tersebut, lebih lanjut Wibowo juga memberi penjelasan lewat cross-culture yang tersimpan dalam seni tradisi. “Cross-culture mem­­perbandingkan pandangan nilai-nilai, melihat persamaan-perbedaan, lalu terjadi pengayaan. Setelah itu, terjadi sistematisasi; kita bisa menahapkan bagai­ ma­­na membangun dunia ini menjadi lebih baik lagi,” jelasnya. Lalu, di manakah per­­samaannya dengan teater rakyat? “Dalam interaksi,” katanya tegas. Interaksi adalah: murid bertanya, tidak ada murid yang melulu murid, tidak ada guru yang me­­lulu guru. Ada dialog. Unsur penting teater rakyat ada di sini, yakni komunikasi ho­rizontal6. Jika Anda perhatikan, perkara “melulu” ini juga disinggung dalam cerita tea­ter purba yang dikutip di awal tulisan ini. Tidak ada yang melulu penonton, tidak ada yang melulu murid. JIka dirunut lebih lanjut lagi, Teater Rakyat, Orientasi yang tersebar dalam bentuk sten­silan itu juga membandingkan persamaan seni teater tradisi dengan teater rak­­yat. Persamaannya terletak pada pelaku dan tempat pementasan. Dalam hal pe­­laku, keduanya memiliki penonton (pendengar) dan pemain yang berasal dari ka­langan rakyat kebanyakan (bukan bangsawan, orang terkemuka, atau aktor ter­kenal). Sementara dalam hal tempat pementasan, keduanya tidak terbatas di ge­dung, tapi bisa juga di lapangan, halaman rumah, dan balai desa. Kedua hal itu sarat mengindikasikan adanya interaksi yang setara (karena pelakunya samasama rakyat kecil) dan bebas (karena tidak tergantung oleh satu fasilitas tertentu). Dalam hal agendalah kedua bentuk kesenian ini berbeda. Ketika pada jaman itu seni tradisi sering kali dijadikan alat pengumpul massa dan media ampuh propaganda, teater rakyat justru berusaha mengembalikan kedaulatan rakyat pada penggunaan teater itu sendiri. 6) Komunikasi horizontal adalah pemahaman komunikasi yang diterapkan dalam teater rakyat. Jika komunikasi konvensional menerapkan “komunikator - pesan - komunikan”, maka komunikasi horizontal mengajukan gagasan “partisipan - tema - partisipan”. Artinya, ada kesetaraan dalam model komunikasi ini. A R S I P B E R G E R A K : M engarsipkan S eni T radisi , M eng o lah I nteraksi Jadi, tidak ada kesengajaan awal di mana proyek ini dirancang bersama-sama. Kata “kemudian” yang disebutkan oleh Fred Wibowo, yang notabene berada di ke­dua proyek itu, mengindikasikan bahwa pemahaman adanya kaitan di an­ta­ ra keduanya muncul setelah kedua proyek itu berjalan. Benarkah begitu? Ada beberapa penjelasan yang bisa menggenapi, supaya kita tidak buru-buru mengi­ yakan bahwa semua itu sepenuhnya tidak terencana. Pertama, visi SAV PUSKAT sudah sejak awal mengindikasikan keberpihakan pada tradisi, jadi se­mua program di dalamnya tentulah berada dalam bingkai itu. Kedua, jika teater rak­yat juga terpengaruh oleh Boal, bukankah teater kaum tertindas-nya Boal juga mem­per­ hitungkan tradisi (Boal, 2002). Ketiga, dalam pengantar orientasinya, materi pe­ la­tihan SAV PUSKAT sudah menghubungkan teater rakyat dengan teater tradisi. Me­lihat ketiga penjelasan ini, apa yang disampaikan Wibowo semata-mata perlu di­lihat hanya untuk logika proyek, bukan untuk logika keduanya sebagai gerakan. 140 arsipelag o ! Penutup Sebagai penutup, kita bayangkan tiga situasi sebagaimana biasa dilakukan me­ to­de teater rakyat untuk mewujudkan perubahan7. Tiga situasi tersebut adalah situ­asi riil di mana kita bisa melihat ada masalah, situasi ideal di mana masalah ter­selesaikan, dan situasi transisi di mana kita sebagai pelaku dapat berkontribusi me­wujudkannya. Situasi riil: Arsip yang tersimpan tidak cukup diketahui dan diakses oleh khalayak umum. Hal ini jugalah yang saya kira melatarbelakangi Jaringan Arsip Budaya Nusantara (JABN) membuat program hibah pengembangan arsip budaya nusantara. J o ned S uryatm o k o Situasi ideal: Arsip yang tersimpan dapat diketahui dan diakses oleh khalayak. Dengan begitu, arsip menjadi bermakna karena ia dibaca dan dijadikan rujukan menyusun ke­bu­ da­yaan dan cara hidup yang baru, untuk menjadi yang lebih baik. Situasi transisi: Adalah pengembangan dari semua yang baru saja Anda baca dalam tulisan ini. Pengalaman SAV PUSKAT merekam dan mengarsipkan seni tradisi boleh jadi bu­ kan dalam intensi yang sama terkait dengan nalar pengelolaan proyek. Namun, pa­da akhirnya, perekaman dan pengarsipan ini terkait erat dengan perumusan dan pengembangan kurikulum teater rakyat yang juga bertahun-tahun mereka te­ ku­ni. Tak lupa, ada produksi-produksi di masa sesudahnya, yang menggunakan arsip tersebut. Jika kedua hubungan itu terjadi tanpa kesengajaan, bukankah sebenarnya usa­ha SAV PUSKAT dengan mengembangkan teater rakyat adalah contoh ideal bagai­ ma­na seni tradisi diolah dan diberi ruang bergerak dalam bentuk lain? Dan usaha peng­arsipan seni tradisi adalah penghubung keduanya. Melengkapi nilai-nilai seni tra­disi yang sudah ada, ia dipertemukan dan digabungkan dengan isu pembebasan dan pemberdayaan. Singkatnya, kita perlu belajar dari ketidaksengajaan itu, untuk men­jadikannya sebuah kesengajaan yang terencana. Lembaga-lembaga arsip seyogyanya tidak hanya membiarkan arsipnya telan­jang begitu saja dan berharap khalayak mengaksesnya. Tapi mereka perlu membu­at­ kan program di mana bentuk olahan arsip itu juga bisa diakses dalam bentuk atau cara lain. Dengan begitu, masyarakat kita punya lebih banyak pilihan dalam meng­ ak­ses tawaran lembaga arsip. Pun, arsip kita akan menjadi arsip yang bergerak, se­ba­gaimana seni tradisi atau hal lain yang diarsipkannya.  7) Tiga situasi ini biasa digunakan saat produksi teater patung, di mana akan ada tiga diorama patung dengan urutan gambaran riil, ideal, dan transisi yang diusulkan oleh pelaku teater patung tersebut. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 141 REFERENSI Buku & Jurnal Asmara, Cobina Gillit. 1995. “Tradisi Baru: A ‘New Tradition’ of Indonesian Theatre” dalam Asian Theatre Journal, Vol. 12 No. 1 (Spring, 1995), pp. 164-174. University of Hawaii Press Auslander, Philip. 2008. Liveness, Performance in a Mediatized Culture. New York: Routledge Boal, Augusto. 1979. Theatre of the Oppressed. New York: Theatre Communication Group Boal, Augusto. 2002. Games for Actors and Non-Actors. New York: Routledge. Clement, Tanya; Hagenmaier, Wendy; Knies, Jannie Levine. 2013. “Toward a Notion of the Archive of the Future: Impressions of Practice by Librarians, Archivists, and Digital Humanities Scholars” dalam The Library Quarterly, Vol. 83, No. 2 (April 2013), pp.112-130 Malaon, Tuti Indra; Malna, Afrizal; Dwi Bambang (ed). 1986. Menengok Tradisi, Sebuah Alternatif Bagi Teater Modern. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta Rendra. 1983. Mempertimbangkan Tradisi, Kumpulan Karangan. Jakarta: PT Gramedia Yampolsky, Philip. 2001. “Can the Traditional Arts Survive, and Should They?” dalam Indonesia, No. 71 (Apr. 2001), pp. 175-185. Southeast Asia Program Publications at Cornell University Dokumen Proposal Proyek Produksi Siaran Tradisi, kerja sama: The Ford Foundation, SAV PUSKAT, Radio Siaran Surabaya, MSPI, Eksponen, Komseni, Radio Geronimo Yogyakarta, RFI Prancis, Smithsonian Institute. Tahun 1998-1999. Teater Rakyat, Orientasi, materi cetak stensilan, diolah ulang dari Materi Pelatihan Teater Rakyat Studio Audio Visual PUSKAT. Wawancara Elis Fadjaringsih (SAV PUSKAT), 26 Maret 2014 Fred Wibowo (pernah bekerja di SAV PUSKAT), 26 Maret 2014 Website http://www.savpuskat.or.id/profil/, diakses 6 April 2014 http://www.savpuskat.or.id/visi-misi/, diakses 6 April 2014 A R S I P B E R G E R A K : M engarsipkan S eni T radisi , M eng o lah I nteraksi Bodden, Michael. 2012. Resistance on National Stage Modern Theatre and Politics in Late New Order Indonesia. Athens: Ohio University Press “Lembagalembaga arsip seyogyanya ti­ dak hanya mem­ biarkan ar­sipnya telan­jang begitu saja dan berharap khalayak meng­ akses­nya. Tapi mereka perlu membu­at­kan program di mana bentuk olah­an arsip itu juga bisa diakses dalam bentuk atau cara lain.” G alatia P uspa S ani N ugr o h o 142 arsipelag o ! K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 143 - 09 - Galatia Puspa Sani Nugroho Katalog Biennale Seni Lukis Yogyakarta I 1988 K atalog adalah salah satu (mungkin satu-satunya) artefak yang tersisa dari sebuah pameran seni rupa. Hal ini sesuai dengan pengertian “katalog” yang tercantum di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (ka·ta·log: carik kartu, daftar, atau buku yang memuat nama benda atau informasi tertentu yang ingin disampaikan, disusun secara berurutan, teratur, dan alfabetis: kartu -- membantu memudahkan orang mencari buku di perpustakaan). Masih menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, katalog dalam ruang lingkup manajemen diartikan sebagai daftar barang yang dilengkapi dengan nama, harga, mutu, dan cara pemesanannya. Dalam katalog seni rupa yang kebanyakan ber­ben­ tuk buku, lazimnya tertulis pengantar galeri atau pa­ nitia pameran, teks kuratorial, atau esai mengenai se­ ni yang dipamerkan. Selain itu, katalog juga memu­at M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi Membuka Katalog, Mengungkap Ideologi 144 arsipelag o ! dokumentasi karya yang dipamerkan. Keberadaan hal-hal tersebut yang mem­ berikan konteks lampau kepada katalog, ketika sebuah pameran telah selesai dilaksanakan. Katalog adalah arsip pameran. Mengenai perannya sebagai arsip, ada baiknya kita melihat katalog dari beberapa sudut pandang. Sudut pandang pertama, secara fisik tujuan dan fungsinya selesai ketika pameran berakhir. Kedua, “katalog”1 sebagai arsip yang menyimpan ide, ga­ gas­an, wacana, maupun inovasi, dalam bentuk tulisan maupun dokumentasi visual kar­ya, dapat dijadikan sebagai diskursus atas perkembangan di dalam dunia seni ru­pa. Misalnya saja, melalui katalog-katalog Biennale Jogja, dapat diketahui di­ na­mika yang menyertai penyelenggaraannya. Seperti apa yang akan dilakukan pa­da esai ini nantinya. G alatia P uspa S ani N ugr o h o Mengapa Katalog? Setidaknya terdapat dua alasan yang mendasari penggunaan “katalog” sebagai data: 1) Kecenderungan akan terbatasnya memori manusia pada sebuah peristiwa; 2) Merupakan sumber literatur primer dalam sebuah pameran. Sejalan dengan itu, esai ini akan dibagi dalam 3 bahasan yang mengacu pada batasan peristiwa. Batasan peristiwa pertama mengkhususkan diri membahas Biennale Jogja kurun waktu 1988 - 1992. Batasan peristiwa kedua melihat dinamika yang terjadi antara 1994 - 1999. Batasan terakhir yang akan dibahas, diambil dari katalog Biennale 2003 - 2007. Perhelatan selanjutnya, BJ X 2009 dan BJ XI 2011, tidak diikutsertakan dalam bahasan dikarenakan: 1) BJ X 2009 yang dianggap paling semarak karena diikuti oleh banyak seniman dan menempatkan karya-karyanya di ruang publik selain di galeri tidak mengeluarkan/mencetak katalog. Hal ini sangat disayangkan, mengingat banyaknya karya2 yang diikutsertakan dalam pameran. Sampai sekarang, hal ini masih menjadi misteri bagi publik, mengapa event sebesar (dan semeriah) itu sampai lupa untuk mencetak katalog; 2) BJ XI 2011 hadir di kala Yayasan Biennale Yogyakarta resmi terbentuk pada 23 Agustus 2010. Kondisi ini berpengaruh pada kemapanan BJ sebagai sebuah organisasi. Salah satu bentuk kemapanan tersebut adalah dengan dibakukannya gagasan mengenai khatulistiwa sebagai perspektif geo-politik dalam tema yang akan digunakan dalam lima penyelenggaraan Biennale selanjutnya (dimulai dari BJ XI). 1) Pemakaian tanda petik digunakan untuk menerangkan katalog sebagai arsip. 2) Tercatat sebanyak 323 seniman (termasuk 82 kelompok) yang turut serta. (Sumber: www.biennalejogja. org) 145 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia Katalog Biennale Seni Lukis Yogyakarta II 1990 Biennale Seni Lukis pertama kali diselenggarakan pa­da 1988 dan merupakan alih wujud dari Pameran Seni Lukis Yogyakarta3, yang me­mi­liki regulasi ber­ be­da. Alasan-alasan perubahan ter­sebut tertuang dalam teks sambutan oleh Kepala Taman Budaya waktu itu, Rob M. Mudjiono. Salah satu alas­an yang paling mendasar adalah menyediakan sarana pertu­ kar­an komunikasi dan informasi bagi pa­ra seniman, se­lain itu adanya penghargaan bagi kar­ya terbaik di­ ha­rapkan mampu memicu kreativitas se­ni­man dalam berkarya. Sampai pada penyelenggaraan yang ketiga pada 1992, Biennale Seni Lukis Yogyakarta (selanjutnya ditulis BSLY) masih memiliki format kompetisi dengan pe­menang yang ditentukan oleh dewan juri. Selain bertugas untuk mengundang peserta, dewan juri juga diperbolehkan untuk memamerkan karyanya, seperti 3) M. Mudjiono, Rob. 1988. “Sambutan Pengantar Kepala Taman Budaya Yogyakarta”, Katalog Biennale Seni Lukis Yogyakarta. M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi Batasan Peristiwa 1: Biennale dan Binal (1988-1992) 146 arsipelag o ! G alatia P uspa S ani N ugr o h o yang terjadi pada penyelenggaraan pertama. Selain Soedarso Sp.4, anggota dewan juri lainnya: Fajar Sidik, Dullah, Aming Prayitno, dan Amri Yahya, juga tu­rut memamerkan karyanya. Untuk kali kedua, Fajar Sidik5 dan Soedarso Sp. ditunjuk kembali sebagai anggota dewan juri bersama-sama dengan nama-nama seperti Bagong Kussudiardja, Widayat, dan Agus Dermawan T. Pada BSLY kedua tahun 1990 ini, pelukis Sudarisman kembali meraih penghargaan karya terbaik. Walaupun menghasilkan juara bertahan, ada dua perubahan yang setidaknya dapat dilihat melalui katalog: 1. Proses seleksi peserta pameran tidak lagi dila­ ku­kan oleh tim yuri6, akan tetapi digantikan oleh tim penyeleksi yang terdiri dari Aming Prayitno, Subroto Sm., H. Amri Yahya, seperti yang tertulis di dalam susunan panitia. 2. Tulisan Soedarso Sp. dengan judul “Boom Seni Lukis Indonesia” di dalam katalog memungkinkan di­baca sebagai tulisan pengantar dewan juri. Wa­ lau­pun tidak dijelaskan di dalam tulisan, namun keanggotaan penulis dalam dewan juri sudah cukup untuk memberikan predikat. Di luar kedua hal di atas, BSLY kedua tahun 1990 tam­ pak­nya tidak banyak mengalami perubahan. Mi­sal­ nya saja, dewan juri masih diperbolehkan untuk ikut ber­­pa­meran (hanya Fajar Sidik, Bagong Kussudiardja, dan Widayat yang ikut berpameran). Tim seleksi yang ber­tugas untuk menyeleksi/mengundang peserta ju­ ga diberikan akses untuk memamerkan karya (ke­se­ lu­ruh­an anggota tim seleksi mengikuti pameran). Fa­jar Sidik menutup tulisan pengantarnya di katalog BSLY ketiga tahun 1992 dengan satu kalimat yang romantis: “Kemungkinan nanti ada suatu masa di mana seniman bermitra dengan filsuf, pemikir budaya, dan ilmuwan Katalog Binal Experimental Art 4) Dalam katalog Biennale Seni Lukis 1988 tidak disebutkan Ketua Dewan Juri. 1992 5) Nama Fajar Sidik ditulis tebal, sesuai dengan katalog BSLY 1990. 6) Kata “tim yuri” mengacu pada ejaan di katalog. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 147 lainnya, bergandengan tangan bahu membahu dalam mencari keindahan, kebenaran, dan menguak kenyataan untuk mengungkap misteri kehidupan.” Kalimat itu seakan menjadi utopia bagi kegelisahan-kegelisahannya mengenai peran seniman bagi bangsa ini. Baginya, pendidikan sebagai dasar pembentukan watak seorang seniman telah berhasil mencatatkan keikutsertaannya dalam sejarah kemerdekaan. Sayangnya, hal tersebut kemudian tidak dijadikan sebagai tren dalam berkarya oleh generasi seniman pada waktu itu. Dengan halus, Fajar Sidik melontarkan kritik-kritiknya terhadap kondisi saat itu melalui tulisannya: Kritik Fajar Sidik tersebut seakan-akan mendapatkan hantaman yang keras keti­ka satu hari menjelang BSLY III diselenggarakan, muncul pameran tandingan7 ber­na­ ma Binal Experimental Art (Dalam logat bahasa Indonesia, Biennale dibaca: “binal”, dan “binal” sebagai sebuah kata juga berarti nakal). Kelompok kerja Binal yang dikomando oleh Dadang Christanto (koordinator), Eddie Hara, Heri Dono, dan Ong Harry Wahyu mempermasalahkan syarat-syarat kei­­kutsertaan sebagai peserta Biennale yang dianggap membatasi ekspresi dan krea­­tivitas (Dua syarat yang paling menjadi kontroversi pada saat itu adalah: “Pe­ serta adalah pelukis profesional berumur minimal genap 35 th. pada 1 Juli 1992 […] Peserta menyerahkan karya lukisan (dua dimensional) dan bukan media batik”8). 7) Dalam proposal kegiatan Binal Experimental Art, secara terang-terangan disebutkan tujuan event tersebut digelar, seperti yang tertulis dalam kalimat: “Binal akan dibuka pada 27 Juli 1992, sehari menjelang Biennale III diresmikan. Demikian juga Binal akan ditutup pada tanggal 4 Agustus 1992, sehari sebelum Biennale III ditutup. Hal ini sesuai dengan tujuan kami, yaitu membuat pameran tandingan sekaligus ikut memeriahkan pameran Biennale III tahun 1992 Seni Lukis Yogyakarta.” 8) Proposal Binal Experimental Art 1992 M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi [1] “Berbahagialah bagi orang-orang yang gemar melukis karena kesempatan untuk mengembangkan bakatnya dan berpeluang untuk menjadi orang yang terkenal, kaya, dan terhormat.” “Dari kondisi yang cukup baik ini apa imbalan yang bisa diharapkan mengenai mutunya? Kalau sekadar mengenai indah jeleknya bisa diserahkan kepada penggemar lukisan.” [2] “Dengan banyak dibangunnya gedung-gedung apa itu perkantoran, hotel, perumahan mewah serta lahirnya hartawan baru hasil pembangunan, maka bisa diperkirakan kebutuhan akan karya seni untuk menghias pembangunan melonjak dan kesempatan yang baik ini bagi sementara pelukis dimanfaatkan untuk memasok selera pasar. Ada kecenderungan kesuksesan seorang pelukis diukur dari kelarisannya dan harganya yang melambung tinggi. Hubungan antara pelukis dan penggemarnya adalah hubungan penjual dan pembeli dan karena pembeli adalah raja maka bisa diperkirakan mutu seni waktu ini akan tergantung seberapa jauh pelukis dan kritisinya dalam membina selera mereka.” “Jadi seni pada masa pembangunan ekonomi ini kemungkinan arahnya bisa berkembang menjadi seni pengiasan untuk memanjakan kehidupan.” 148 arsipelag o ! Dukungan yang diperoleh Binal tidak hanya berasal dari kalangan seniman muda9 saja. Di dalam katalog yang terkesan lebih sederhana dibandingkan katalog BSLY III, setidaknya terdapat dua sambutan yang justru berasal dari luar dunia seni rupa. Pertama, oleh Pembantu Rektor III UGM, dan yang kedua oleh Direktur Pusat Kebudayaan, Ikon Nishida. Seorang Bakdi Sumanto juga menyatakan du­ kungan­nya terhadap Binal melalui sebuah tulisan di katalog yang diberi judul “Pem­berontakan Kreatip”. Dengan gayanya yang khas, pada paragraf awal, Bakdi Sumanto mendefinisikan Binal sebagai sebuah gerakan: “Wujud “pemberontakan” kreatip juga bisa bermacam-macam. Bisa dalam wujud karya-karya krea­tip, bisa pula dalam wujud yang lebih fisik: menyelenggarakan pameran, pentas, penerbitan, di luar kebiasaan seniman melakukannya. Tampaknya pameran BINAL menunjukkan gejala ke­dua: “pemberontakan” kreatip yang lebih fisik. Dan jika dugaan ini benar, itu pun adalah kegiatan krea­tip yang sangat sehat.” G alatia P uspa S ani N ugr o h o Kemunculan Binal, oleh Bakdi Sumanto, diharapkan sebagai titik tolak bagi Biennale untuk bersiap menghadapi pembaruan-pembaruan di dalam seni rupa, se­perti yang tertulis pada paragraf akhir: “Yang sangat diharapkan sekarang, mereka yang merasa “diberontaki” oleh pameran BINAL ini menerima sebagai suatu yang wajar-wajar saja. Mengapa? Usaha pembaharuan dan “pem­be­ ron­takan” kreatip yang dilakukan oleh sekelompok rupawan yang tergabung dalam pameran ini, ke­lak, akan menguntungkan yang sekarang merasa “diberontaki”. Mereka akan melihat wilayah ba­ru yang dicoba dibuka, dan mungkin belum sempurna. Ini artinya, penyempurnaannya adalah pem­baharuan berikutnya. Siapa tahu, pembaharu-pembaharu yang datang justru muncul dari mereka yang sekarang “diberontaki” oleh pameran ini.” Pada akhir katalog Binal Experimental 1992, makalah yang ditulis oleh Aris Mundayat untuk seminar yang diselenggarakan dalam rangka Binal Experimental Art di Gedung Tempo seperti sedang menyatakan posisi Binal terhadap narasi be­ sar yang menghegemoni dunia seni rupa di Indonesia. Meskipun begitu, ma­kalah tersebut tidak secara langsung menyebut Binal sebagai salah satu agen per­u­ bahan, akan tetapi memberikan gambaran mengenai kondisi politis seniman, se­ suai dengan judulnya: “Seniman dan Negara: Konfigurasi Politik Seni di Indonesia”. Aris Mundayat memberikan pernyataan mengenai bagaimana seorang seniman bereproduksi dan apa saja faktor yang mendasarinya. Kedua hal tersebut yang menjadi perbedaan mendasar dalam pemilihan sikap seniman terhadap negara, seperti yang dikutip pada epilog makalah tersebut di bawah ini: “Seniman seperti Djoko Pekik dan Semsar Siahaan merupakan orang yang mampu mereproduksi ke­sa­daran opo­sisional. Mereka mampu menemukan ruang yang tidak didominasi oleh the grammar of ritual action melalui cara yang berbeda-beda. Perbedaan mereka dalam mere­ produksi ke­­sadaran oposisional banyak dipengaruhi oleh pengalaman sejarah yang mela­ 9) Dadang Christanto dan Eddie Hara, yang pada saat itu berusia 35 tahun, adalah anggota tertua di dalam kelompok kerja Binal. Sedangkan anggota termuda adalah Djaelani yang saat itu genap berusia 28 tahun (Sumber: Proposal Binal Experimental Art 1992). K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 149 Katalog Biennale Seni Lukis Yogyakarta III 1992 “Sementara itu Semsar Siahaan yang tidak mengalami penga­laman sepahit Djoko Pekik jauh lebih mampu me­ ne­mukan ruang-ruang untuk mereproduksi perlawanan. Ke­­­mampuan dia dalam menemukan ruang untuk bersikap, opo­sisional secara radikal telah mengantarkan dia pada ke­sa­daran bahwa kehirarkhisan telah membelenggu rakyat Indonesia”. “Sikap praxis Djoko Pekik dan Semsar dalam mereproduksi ke­sadaran oposisional dapat dipastikan banyak menemui ham­batan, karena seniman­-seniman seperti Bagong Kussudiardjo, dan seniman Baliho, jauh lebih banyak jum­ lahnya. Mereka jauh lebih memiliki kemampuan me­ma­ni­ pu­lasi simbol-simbol negara untuk kepentingan mereka sen­diri. Hal ini disebabkan oleh kedekatan dia dengan ne­ gara, sehingga legitimasi (yang merupakan energi dari sis­ tem Simbol) untuk memanipulasi simbol dengan mudah dia dapatkan”. M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi tari­nya. Djoko Pekik sebagai orang Jawa yang kuat yang per­nah mengalami penjara selama 5 tahun. Dan ke­mudian diteruskan dengan tahanan rumah selama 6 tahun telah membentuk karakter yang khas. Dia masih tetap konsisten dengan perjuangan membela rakyat kecil yang menjadi bagian dari dirinya.” 150 arsipelag o ! Makalah Aris Mundayat tersebut semakin mengo­koh­kan posisi Binal terhadap BSLY. Ditambah lagi dengan adanya dukungan yang berasal dari media; tercatat Majalah Humor, SWA, Forum, dan Matra serta Tempo Grup adalah media cetak yang tercantum namanya pada katalog. Artinya Binal mempunyai kesempatan untuk diakses publik melalui pemberitaan oleh media-media tersebut. G alatia P uspa S ani N ugr o h o Kesempatan untuk bertemu dengan publik sebenarnya terbuka cukup luas ketika Binal Experimental Art memamerkan karya-karyanya pada beberapa ruang publik seperti Alun-Alun Utara, Gedung Seni Sono, Stasiun Tugu, Kampus Asri Gampingan, dan Boulevard UGM. Dengan mempresentasikan karyanya di ruang publik, Binal sebenarnya sedang berusaha untuk mengkritisi sikap pengutamaan seni lukis di da­lam seni rupa. Dalam kaitannya dengan BSLY, bentuk-bentuk ekspresi seni rupa selain seni lukis memang belum (atau mungkin tidak) mendapatkan akomodasi. Jika disambungkan dengan narasi yang lebih luas lagi, isu ini mungkin bisa dihubungkan dengan perkembangan zaman postmodern yang membangkitkan semangat kontemporer di dunia seni rupa Barat. Mengenai fenomena tersebut, Jim Supangkat men­jelas­kan ramainya istilah kon­ tem­porer di dunia seni ru­pa Indonesia tidak bisa lepas dari perkembangan ke­ikut­ sertaan perupa-perupa Indonesia di dalam kan­cah pameran internasional. Me­la­lui hubungan ini, pemikiran-pemikiran seni rupa di Indonesia mulai menyerap wa­ cana-wacana yang sebelumnya tidak dikenal. Pemikiran-pemikiran postmodern yang banyak memengaruhi isu seni rupa kontemporer rupanya mampu mengubah platform seni rupa, terutama dalam bentuk media-media ungkapan baru. Se­men­ jak saat itu, kondisi “kontemporer” tersebut memengaruhi perubahan dalam me­ man­dang pengutamaan seni lukis di dunia seni rupa. Menurut penuturan Suwarno Wisetrotomo (Politik Estetika Seni Rupa Yogyakarta 1990-2010; Sekitar Friksi, Ideologi, dan Kontestasi10), dunia seni rupa Yogyakarta pada kurun waktu 1990-2010 disebut sebagai era pergulatan mencari format or­ ga­­nisasi yang ideal dan pergulatan pengokohan identitas (baik identitas peristiwa mau­pun identitas seniman). Riak-riak yang terjadi di kurun waktu itu dianggap se­­ bagai salah satu bagian gelombang besar dinamika seni rupa di Yogyakarta. Se­ ba­gai salah satu pergulatan pengokohan identitas, Biennale versus Binal ru­panya me­miliki rentetan implikasi yang ternyata tidak hanya berhenti pada sebuah pe­ rayaan semata. Pergantian nama Biennale Seni Lukis Yogyakarta menjadi Pa­ meran Rupa-Rupa Seni Rupa Yogyakarta (dan kemudian berganti lagi menjadi Biennale Jogja11) merupakan salah satu contohnya. Selain itu, yang patut dicatat dari peristiwa itu adalah bagaimana pengaruhnya terhadap pengorganisasian dan 10) Tulisan tersebut digunakan sebagai bahan ajar Workshop Penulisan Sejarah Kritis Seni Rupa Jogja: Membaca Friksi, Ideologi, dan Kontestasi di Ranah Seni Rupa Jogja. Agustus-November 2013. 11) Biennale Jogja sebagai sebuah brand pertama kali digunakan pada penyelenggaraannya yang ke-7 tahun 2003, dengan tema Countrybution dan dikuratori oleh Hendro Wiyanto (Sumber: www.biennalejogja. org). K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 151 peran kuratorial di dalam penyelenggaraan Biennale. Semenjak itu, rupanya ben­ tuk organisasi penyelenggaraan Biennale Jogja terus mencari-cari format yang ma­pan; sejalan dengan itu, booming seni rupa yang menyergap dunia seni rupa di Indonesia ikut membawa pengaruh dalam proses pembentukan kosakata kurator. Di­mulai dengan adanya tim kurasi pada Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa 1994, proses identifikasi terhadap kurator, kurasi, dan kerja-kerja kuratorial juga menjadi isu yang terus bergulir. Batasan Peristiwa 2: Membakalkan Biennale, dari Tim Kurasi Menuju Kurator (1994-1997) Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa 1994 sebenarnya memayungi tiga pameran yang berbeda: Pameran Biennale IV Seni Lukis, Pameran Patung Outdoor, dan Pameran Seni Rupa Kontemporer. Ketiga pameran tersebut memiliki kriteria ‘profesional’ bagi pesertanya, yang berarti sudah tidak berstatus mahasiswa/siswa, walaupun tidak ada batasan usia. Sedangkan cakupan pesertanya diperlebar dengan me­ ma­merkan karya-karya perupa dari seluruh Indonesia (kecuali Biennale Seni Lukis yang hanya menambahkan peserta yang berasal dari Surakarta)12. Selain be­berapa perubahan di atas, dewan juri yang pada penyelenggaraan Biennale Seni Lukis sebelum-sebelumnya mempunyai tugas untuk menyeleksi peserta dan menentukan pemenang digantikan oleh tim kurasi yang terdiri dari Fajar Sidik, Jim Supangkat, Soedarso Sp., Sudarmadji. Sedangkan sistem kompetisi sudah tidak digunakan kembali pada tahun itu. Kata “tim kurasi” muncul pertama kali pada pengantar yang ditulis oleh Ketua Taman Budaya Yogyakarta, Drs. Suprapto. Tim kurasi ditempatkan sebagai kebutuhan baru, seiring munculnya format yang berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya. Hal ini terdapat pada tulisan pengantar yang dikutip di bawah ini: [1]“...namun kriteria “Profesional” dalam pengertian bukan berstatus siswa atau mahasiswa “Undergraduate” tetap sebagai salah satu persyaratan. Adanya perluasan ini untuk memilih pesertanya panitia memilih bantuan Tim Kurasi.”13 [2] ”Peserta pameran Seni Rupa Kontemporer diundang juga berdasarkan usulan Tim Kurasi.” 12) Walaupun tidak secara detail dijelaskan, akan tetapi kata pengantar pada katalog Pameran RupaRupa Seni Rupa sebenarnya sudah mencakup garis besar penyelenggaraan pameran. 13) Tanda baca, huruf kapital, dan susunan kalimat disesuaikan dengan teks aslinya di katalog. M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi Selain berada pada cover depan katalog, Rupa-Rupa Seni Rupa yang dipilih sebagai tajuk pameran sama sekali tidak disinggung dalam sambutan pengantar yang ditulis oleh Ketua Taman Budaya Yogyakarta, Drs. Suprapto. Bahkan kata itu sama sekali tidak muncul dalam sambutan yang terletak di halaman pertama katalog pameran. 152 arsipelag o ! KANAN Katalog Biennale Seni Rupa Yogyakarta V 1997 BAWAH G alatia P uspa S ani N ugr o h o Katalog Pa­meran Rupa-Rupa Seni Rupa Yogyakarta 1994 Kedua kalimat yang diambil dari kata pengantar di atas menjelaskan bahwa keberadaan tim kurasi dilihat sebagai salah satu perubahan akibat munculnya regulasi dan peristiwa pameran yang pada penye­ leng­garaan sebelumnya tidak ada. Misalnya, sya­rat peserta pameran yang tidak lagi dibatasi usia, dan terselenggaranya Pameran Seni Rupa Kon­tem­po­rer di bawah payung Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa14. Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa tercatat sebagai pameran yang pertama kali menggunakan istilah “kurasi” dalam sejarah penyelenggaraan Biennale Jogja. Proses pengakraban kata “kurasi” sebagai kata kerja, selanjutnya terjadi lebih dinamis dalam usaha menemukan definisi yang tepat. Sedikit melebar, istilah kurator, kurasi, dan kuratorial sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang di da­lam dunia seni rupa di negara kita15. Yuswantoro Adi da­ 14) Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa merupakan nama yang digunakan untuk memayungi tiga pameran berbeda yang diselenggarakan di tempat dan waktu yang bersamaan, yaitu: Biennale Seni Lukis, Pameran Seni Patung Outdoor, dan Pameran Seni Kontemporer. 15) Dua sumber yang dikutip ditulis pada 2011, sekitar 17 tahun setelah Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa diselenggarakan. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 153 lam sebuah artikelnya di harian Kompas pernah me­nge­mukakan bahwa penye­ but­an kata “kurator” pertama kali dikemukakan oleh Jim Supangkat akhir dekade ’80-an16. Perkembangan kata kurator tidak lepas dari terminologi aslinya dalam bahasa Inggris. Mikke Susanto dalam bukunya me­nye­but­kan kata kurasi berasal dari kata “curation”, yang lalu berkembang menjadi curate, curation, dan curatorial, dan dalam bahasa Indonesia kemudian diartikan dengan kurasi, kurator, dan ku­ra­ torial17. Masih di dalam artikelnya, Yuswantoro Adi (yang juga adalah seorang pe­ rupa) menuliskan kerja-kerja kuratorial sebagai hal yang tidak mudah dan cukup kompleks: Jasa perencanaan dan pelaksanaan yang dikerjakan kurator merupakan sebuah ker­ja elaborasi antara wacana dan praktik estetika. Jika yang dikerjakan hanya se­ ba­­­gian, maka bagian lainnya akan muncul sebagai ruang-ruang yang berpotensi me­­­nimbulkan kebingungan. Implikasinya muncul di ruang pamer. Penikmat sebagai kon­­sumen akan mengalami kendala dalam mencerap pesan yang sedang ber­usa­ ha disampaikan (baik secara wacana maupun estetik). Kebingungan itu muncul di kala Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa tidak menyertakan (atau memang tidak ada) teks pengantar kuratorial pameran di dalam katalog. Profil anggota tim ku­ ra­si18 yang ditulis cukup jelas, sayangnya, tidak cukup membantu. Malahan, tulis­ an Budihardjo Wirjodirjo yang muncul sebagai pengantar Pameran Seni Patung Outdoor. Dalam penyelenggaraan Biennale Seni Rupa Yogyakarta19 (selanjutnya disingkat BSRY) V 1997, kata “tim kurasi” digantikan dengan “tim kurator” yang dalam praktik kerjanya terasa tumpang tindih dengan keberadaan tim narasumber. Beberapa hal menarik perlu dicatat dalam format penulisan tim narasumber dan tim kurator. Pertama, pada susunan panitia hanya disebutkan tim narasumber saja (Soedarso Sp., Anusapati, M. Dwi Marianto, Alex Luthfi, Suwarno Wisetrotomo, Dadang Christanto, Sudarisman). Kedua, istilah tim kurator muncul pada teks ter­ 16) Adi, Yuswantoro. “Salah Kaprah Jadi Salah Parah”, Kompas, Minggu, 18 September 2011, hal. 20. 17) Susanto, Mikke. 2011. “Kritik Seni”, Diksi Rupa: Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa. Yogyakarta: DictiArt Lab & Djagad Art House Bali. 18) Tugas tim kurasi yang tertulis pada tulisan pengantar, yaitu: 1) Memilih peserta Biennale Seni Lukis IV, 2) Mengusulkan seniman yang akan diundang untuk mengikuti Pameran Seni Rupa Kontemporer. 19) Nama Biennale Seni Rupa Yogyakarta yang dipilih otomatis menggugurkan eksistensi nama Biennale Seni Lukis Yogyakarta. M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi “Persoalan kurasi ini memiliki berbagai aspek yang tidak mudah. Kerja kurasi memerlukan pengetahuan kuratorial (curatorial knowledge) berupa pengetahuan dan pemahaman bendabenda (artefak) yang dipamerkan. Sementara secara menyeluruh tugas kurator adalah memberi jasa perencanaan dan pelaksanaan suatu pameran seni rupa, yang di dalamnya selain praktik pameran, juga dapat membangun wacana representasi seni yang dibuat. Dasar-dasar kurasi inilah yang dapat mencerminkan kondisi visual, visi, dan misi serta citra yang akan dibangun dalam pameran. Orang yang bekerja mengerjakan kurasi disebut kurator.” 154 arsipelag o ! G alatia P uspa S ani N ugr o h o sen­diri yang isinya memuat pokok acuan gagasan pameran di dalam katalog pameran BSRY: [1] “Bertolak dari mukadimah di atas, tulisan ini berupaya untuk menjelaskan dasar pemikiran Tim Kurator dalam membingkai keputusan yang diambil untuk Pameran Biennale Seni Rupa Yogyakarta 1997 ini. Pada hakikatnya dasar pemikiran ini merupakan usaha untuk menjawab dan memperjelas pertanyaan-pertanyaan awal dari tim kurator20 sendiri, antara lain: Mengapa Seni Rupa? Apa yang ingin dicapai (dengan bingkai seni rupa itu)? Bagaimana metode kerjanya? Dan apa dan bagaimana pertimbangan untuk menentukan peserta yang diundang?” [2] “Metode kerja dan pertimbangan yang digunakan, dua hal ini baik bagi Tim Kurator dan Panitia Penyelenggara maupun bagi publik seni rupa merupakan suatu masalah yang sangat sensitif, dan bukan tak mungkin bakal memunculkan persoalan ikutan yang kontroversial. Atas kesadaran itu Tim Kurator berupaya terbuka dan demokratis dalam menentukan pertimbangan dalam mengambil keputusan.” [3] “...maka dengan segala keterbatasannya Tim Kurator mendiskusikan cara pandangnya masing-masing anggota tim terhadap berbagai masalah dan perkembangan seni rupa Yogyakarta dalam dua tahun terakhir.” [4] “Wewenang Tim Kurator dengan segala keterbatasannya, hanya melihat, katakanlah prestasi seorang perupa dalam batas temporal dua tahun terakhir. Itu pun masih dengan pertimbangan akan adanya keterbatasan tersebut di atas.” [5] “Proses kurasi seperti ini juga diyakini oleh Tim Kurator akan dapat menumbuhkan sikap terbuka dan dialog antarprofesi seni rupa kita yang sehat di masa datang.” Pada bagian akhir teks tersebut, dibubuhkan nama Tim Kurator yang terdiri dari: Soedarso Sp., Tulus Warsito, Anusapati, M. Dwi Marianto, Suwarno Wisetrotomo. Sedangkan keberadaan tim narasumber beserta fungsinya sama sekali tidak disebutkan di dalamnya. Ketiga, apabila dilihat secara seksama, anggota tim kurator juga merupakan anggota dari tim narasumber. Soedarso Sp., Anusapati, M. Dwi Marianto, Suwarno Wisetrotomo juga merupakan anggota tim narasumber (minus Tulus Warsito yang hanya menjadi anggota tim kurator). Sedangkan Alex Luthfi, Dadang Christanto, dan Sudarisman tidak ikut dalam keanggotaan tim kurator meskipun terdaftar sebagai anggota tim narasumber. Hal-hal tersebut yang akhirnya menimbulkan kerancuan dalam memandang fungsi tim narasumber dan tim kurator. Anggapan bahwa tim kurator memiliki wewenang ideologi yang lebih besar dibanding tim narasumber bisa saja muncul apabila membaca teks kuratorial, yang dengan sangat jelas memaparkan wacana dan tujuan pameran, beserta metode seleksi peserta yang diundang. Sedangkan posisi tim narasumber (yang sebagian besar diisi oleh anggota tim kurator) yang jelasjelas tertulis di dalam susunan kepanitiaan seakan-akan berada pada singgungan dua kepentingan. Mungkin saja ini dapat memengaruhi independensi kerja-kerja kuratorial. Kenapa muncul anggapan seperti itu? Di satu sisi, kerja-kerja kuratorial dalam menentukan arah, tema, dan peserta membutuhkan “ruang yang higienis”. 20) Maksud dari penebalan kata tim kurator semata-mata hanya untuk menegaskan posisinya di dalam paragraf tersebut. Sedangkan perbedaan penggunaan huruf kapital berdasarkan pada teks aslinya. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 155 Kepentingan yang mempunyai unsur-unsur pertemanan ataupun suka tidak suka dan hal-hal yang bersifat tidak objektif (tidak sesuai dengan apa yang digariskan oleh kerja-kerja kuratorial) haruslah disingkirkan. Namun di sisi lain, ternyata tim kurator memiliki anggota yang sebagian besar masuk dalam kepanitiaan melalui tim narasumber. Sedangkan tim narasumber sendiri di dalam katalog BSRY tidak disebutkan posisi dan fungsinya, dan tidak diberi ruang untuk menjelaskan posisi dan fungsi mereka di dalam sebuah teks. Kelompok orang yang mengerjakan kurasi dengan kelompok kurator dibedakan oleh predikat pada tiap anggotanya. Tim kurasi terdiri dari individu yang bukan berprofesi sebagai kurator, akan tetapi memiliki pengetahuan tentang seni atau kuratorial yang cukup. Dilihat dari praktik kerjanya di Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa21, tim kurasi tidak diberi tugas untuk memberikan gagasan pameran. Berbeda dengan tim kurator di BSRY, meskipun tidak disebutkan dalam susunan panitia, akan tetapi memiliki legitimasi terhadap ideologi pameran, dilihat dari teks kuratorial yang cukup jelas menuturkan gagasan dan praktik pameran. Terakhir, dalam perhelatan BSRY VI 1999, tampaknya penyelenggara mulai men­ co­ba untuk menegasikan antara tim narasumber dan kurator, dengan tidak lagi meng­gunakan kurator keroyokan (format tim) dan hanya memakai kurator tunggal. Alasannya tertuang dalam teks yang ditulis oleh tim narasumber (di dalam akhir teks tersebut dibubuhkan istilah Sidang Narasumber yang beranggotakan Anusapati, Nindityo Adipurnomo, dan Suwarno Wisetrotomo): “Untuk melihat dan membaca peta seni rupa di Yogyakarta dari “sisi yang lain”, dianggap per­lu dalam penyelenggaraan Biennale kali ini untuk mengundang seorang kurator dari luar Yogyakarta. Ia diharapkan dapat “merancang” sebuah “frame teoritik” yang berkaitan dengan seni rupa kontemporer Yogyakarta, dan merepresentasikannya ke dalam sebuah pameran.” (Sidang Narasumber, Katalog Biennale Seni Rupa Yogyakarta 1999) Asmudjo Jono Irianto yang dipilih sebagai kurator Biennale Seni Rupa Yogyakarta VI 1999 merupakan seorang kurator seni rupa dan dosen Fakultas Seni Rupa dan 21) Di dalam pengantar pameran tidak disebutkan secara rinci tugas tim kurasi, selain untuk “membantu” pe­nyelenggara dalam memilih peserta Biennale Seni Lukis dan Pameran Seni Kontemporer (Instalasi). M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi Mengenai perubahan kata “tim kurasi” menjadi “tim kurator” pada BSRY 1997 dapat dibaca sebagai penambahan ruang kerja yang dibebankan. “Kurasi” digunakan untuk menjelaskan kerja-kerja yang melingkupi perencanaan dan pelaksanaan pameran. Selain praktik pameran, wacana representasi seni yang dipamerkan juga termasuk di dalam lingkup kerjanya. Sedangkan “kurator” mengacu pada profesi, orang yang bekerja melaksanakan kurasi. Dengan pengertian itu, “tim kurasi” merupakan kelompok yang bertugas untuk melaksanakan perencanaan dan pelaksanaan pameran, sedangkan “tim kurator” adalah sekelompok/kumpulan kurator. 156 arsipelag o ! Katalog Biennale Jogja VII 2003 G alatia P uspa S ani N ugr o h o countrybution Desain Institut Teknologi Bandung. Profil ter­sebut yang membuat Asmudjo cocok menggenapi tulisan tim narasumber: “...Untuk melihat dan mem­ba­ca peta se­ni rupa di Yogyakarta dari “sisi yang lain ... di­anggap perlu ... untuk mengundang seo­rang kurator dari luar Yogyakarta.” Bentuk negasi yang lain adalah dengan memperjelas posisi kurator dan tim narasumber di dalam susunan ke­panitiaan. Seperti tertulis pada susunan kepa­ni­tia­ an di katalog pameran, posisi kurator persis di antara pe­nanggung jawab dan tim narasumber. Sejalan de­ ngan itu, tim narasumber diberi ruang di dalam ka­ talog un­tuk menuangkan “hasil sidang” mereka ke dalam sebuah teks yang berada per­sis sebelum ha­ lam­an teks kuratorial. Jika mengacu pada teks sambutan pengantar, ke­ber­ adaan kurator dan tim na­ra­sumber disebabkan oleh hal yang sama. Sayangnya, penjelasan tersebut tidak di­sertai dengan gugus kerja masing-masing, menye­ bab­kan posisi kurator dan tim na­rasumber (masih) terasa tumpang tindih. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 157 “....Pameran ini juga diharapkan untuk mempresentasikan kecenderungan seni rupa kontemporer di Yogyakarta serta menunjukkan dinamika perkembangan sesuai dengan pergeseran wacana yang terjadi di dua tahun terakhir, di mana seni rupa kontemporer Yogyakarta tidak lagi mengenal batas medium secara tegas serta sangat terkait dengan situasi sosial-politik dan budaya. Untuk melaksanakan misi tersebut atas berbagai masukan dan pandangan, Taman Budaya menunjuk22 Sdr. Asmudjo sebagai kurator dan narasumber Sdr. Nindityo Adipurnomo, Sdr. Drs. Anusapati. MFA, dan Sdr. Drs. Suwarno Wisetrotomo.” (Katalog Biennale Seni Rupa 1999) Kenapa persoalan tumpang tindih ini begitu penting? Anggap saja bahwa dalam se­buah tradisi event (apa pun) yang digelar secara kontinu, proses evaluasi me­ rupakan hal yang digunakan sebagai tolok ukur internal. Kekurangan dari pe­nye­ leng­garaan terdahulu dijadikan catatan, sehingga berguna bagi kelan­jut­annya. Biennale sebagai sebuah event pastinya juga melakukan kerja-kerja eva­lua­si ini, mengingat posisinya sangat penting dalam dunia seni rupa di Yogyakarta khu­­ sus­­nya, dan Indonesia umumnya. Persoalan krusial yang tercatat di dalam esai ini, seperti yang sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, adalah mengenai hal-hal yang menyangkut kerja-kerja kuratorial. Semenjak kata “kurasi” pertama kali muncul pada Rupa-Rupa Seni Rupa 1994, dinamika persoalan yang berada da­lam wilayah itu menjadi hal yang menarik untuk disoroti. Itu tidak lepas da­ri pen­ ting­nya kerja-kerja kuratorial dalam se­buah pameran. Dalam kaitannya de­ngan hal tersebut, esai yang ditulis oleh Mari Carmen Ramírez mengatakan pen­ting­nya posisi kurator di dalam artworld: “Curators are, above all, the institutionally recognized experts of the artworld establishment, whether they operate inside an institution or independently. More than art critics or gallery dealers, they establish the meaning and status of contemporary art through its acquisition, exhibition and interpretation.”24 22) Penebalan bertujuan untuk menunjukkan letak. 23) Lihat kutipan sidang narasumber pada halaman sebelumnya. 24) Ramírez, Mari Carmen. 1994. “An Essay: Brokering Identities, Art Curators and the Politics of Cultural M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi Selain terkesan tumpang tindih, ketidakjelasan gugus kerja antara kurator dan tim narasumber menimbulkan asumsi bahwa posisi mereka sejajar. Ditambah lagi de­ ngan adanya paragraf di dalam tulisan “sidang narasumber” yang menerangkan alasan kenapa Asmudjo dipilih sebagai kurator23. Pernyataan di dalam paragraf ter­sebut dapat bermakna ganda: 1) Panitia bersama tim narasumber yang dibentuk ter­lebih dahulu menentukan tema besar pameran dan kriteria bagi calon kurator; 2) Penunjukan kurator dilakukan oleh tim narasumber yang sebelumnya telah diberi wewenang oleh panitia. Kedua hal ini berdasarkan pada: 1) Teks sidang narasumber di­tempatkan pada halaman sebelum teks kuratorial; 2) Tim narasumber secara eksplisit menjelaskan alasan kenapa Asmudjo dipilih; 3) Adanya kesamaan tema dalam tulisan pengantar dan tulisan hasil sidang narasumber, yaitu tentang gejala dan kecenderungan seni kontemporer di Yogyakarta; 4) Tim narasumber terdiri atas seniman dan penulis seni rupa yang berdomisili di Yogyakarta, sehingga me­ mu­dahkan komunikasi dengan panitia. 158 arsipelag o ! Kurator25 dipandang sebagai “sosok” dalam menjaga kesinambungan dunia seni rupa. Bahkan dalam menjalankan tanggung jawabnya, Mari Carmen menganggap kerja-kerja kurator melampaui kritisi seni rupa dan galeri seni. Sebagai infra­struk­ tur yang penting dalam sebuah pameran, wajar saja apabila kerja-kerja kura­torial sering memperoleh sorotan yang tajam. G alatia P uspa S ani N ugr o h o “Tim kurasi” pada 1994, “tim kurator” pada 1997, dan terakhir, “kurator” pada 1999. Dilihat dari perubahan nama dan predikat, dapat dikatakan bahwa pokok masalah sudah semakin mengerucut. Walaupun begitu, Biennale 1997 dan Biennal 1999 masih saja berkutat pada wilayah yang sama: keberadaan tim narasumber yang tidak jelas posisinya terhadap (tim) kurator. Mungkin cara ini agak serampangan, yaitu memetakan posisi antara tim nara­sum­ ber dan kurator dengan cara membaca teks pengantar, teks “sidang narasumber”, dan teks kuratorial secara berurutan. Secara garis besar, ketiga teks tersebut me­ mi­liki kedalaman isi yang berbeda. Teks pengantar menyampaikan pandanganpan­dangan secara umum mengenai dunia seni rupa di Yogyakarta dan kenapa Biennale harus terselenggara. “Sidang narasumber” berisi pokok-pokok tantangan yang dihadapi dunia seni rupa di Yogyakarta. Wacana seni rupa yang sedang menjadi diskursus ditulis dengan singkat dan sederhana. Poin menariknya adalah meng­gunakan kata “yang lain”, untuk menunjukkan kurator yang berasal dari luar Yogyakarta. Mungkin tim narasumber sedang berusaha menegasikan diri mereka dengan sang kurator, atau memosisikan diri mereka sebagai “orang dalam”, yang mempunyai ideologi “Jogja”. Penjelasannya terdapat pada kalimat setelahnya: “Ia diharapkan dapat ‘merancang’ sebuah ‘frame teoritik’”. Kalimat tersebut dapat dibaca sebagai alasan penegasian; karena “orang dalam” tidak bisa merancang sebuah frame teoritik, maka diperlukan kurator “yang lain” yang dianggap mampu. Asmudjo menuliskan kerja-kerja kuratorial yang dijalankannya dengan runtut dan sangat jelas. “Membaca Seni Rupa Kontemporer di Yogyakarta Era ‘90-an” dibuka dengan kondisi dunia seni rupa kontemporer di Barat. Selanjutnya, secara diakronis, bagian berikutnya memaparkan pembagian wacana beserta para leading artistnya di Indonesia pada awal dan akhir ‘90-an. Selain itu, juga diselipkan faktorfaktor yang memengaruhi wcana-wacana tersebut, seperti permintaan pasar dan kondisi sosial politik. Asmudjo menitikberatkan tema kuratorialnya kepada dua hal: 1) Munculnya kesadaran kritis seniman di era post-modernisme; 2) Respon seniman terhadap persoalan sosial ekonomi politik yang menjadi representasi dari karya. Hal pertama dilihat sebagai efek dari diskursus post-modernisme yang— meskipun sering dipandang njelimet—justru memberikan titik berangkat baru bagi Representation”. Esai tersebut telah dibacakan dalam seminar yang diselenggarakan oleh the Center for Curatorial Studies, Bard College, 15–17 April 1994. 25) Kurator lebih dikenal sebagai profesi di dunia seni rupa setelah memasuki era post-modernisme, meskipun bidang lain juga memiliki istilah yang sama dengan wilayah kerja yang serupa. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 159 seniman Indonesia. Hal kedua mengenai kesinambungan praktik estetika dan isu yang diangkat, seperti yang tertulis pada: “Apa yang sebetulnya hendak dilihat adalah bagaimana seniman ‘melihat’, ‘menanggapi’, dan ‘terpengaruh’ dunia sekitarnya dan dunianya sendiri, dunia seni rupa. Penting juga dilihat, bagaimana hal tersebut dimanifestasikan ke dalam karya.” Secara struktural, posisi tim narasumber berada di atas kurator. Bahkan juga (mung­kin) memilih kurator berdasarkan kriteria yang mereka buat. Akan tetapi, se­ ca­ra politis sebenarnya kurator memiliki wewenang yang lebih luas dan strategis. Wa­laupun begitu, masih perlu diingat bahwa posisi kurator sangat rentan dengan in­ter­vensi, terutama oleh tim narasumber. Batas Peristiwa 3: Kontribusi dan Pembentukan Identitas (2003-2007) BJ VII merupakan kelangsungan dari BSRY VI yang sempat vakum dua tahun aki­bat gonjang-ganjingnya kebijakan Otonomi Daerah yang berkembang pasca­ re­formasi26. Setelah BSRY VI 1999, BJ VII baru bisa dilaksanakan empat tahun ke­mudian, pada 2003. Selain nama Biennale Jogja mulai digunakan sebagai brand untuk pertama kalinya, pada penyelenggaraannya tahun 2003, tajuk Countrybution juga menandai adanya tema kuratorial yang secara khusus dipilih. Tema-tema kuratorial yang secara khusus dipilih untuk menjaga langgam Biennale se­benarnya tidak lepas dari peran kurator, yang tampaknya mulai mendapatkan 26) Sumber: www.biennalejogja.com M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi Dari hasil pembacaan mengenai ketiga teks di atas, terbentuk sebuah piramida bertingkat yang muncul sebagai sebuah analogi. Piramida produksi yang tercipta menempatkan posisi teks pengantar pada posisi teratas, yang dilanjutkan dengan teks “sidang narasumber” dan teks kuratorial. Pembagian ini mengacu pada logika struk­tural susunan kepanitiaan. Teks pengantar menempati posisi sebagai pe­ nang­­­gung jawab sekaligus pengambil keputusan. Posisi ini menjelaskan bahwa Taman Budaya Yogyakarta, sebagai institusi penyelenggara, adalah pihak yang menginisiasi. Teks “sidang narasumber” yang berada di bawahnya secara otomatis me­miliki posisi cukup strategis di dalam menentukan wacana yang akan menjadi arah pameran. Hal ini harus dibedakan dengan posisi ketua panitia. Karena da­ lam praktik kerjanya, ketua panitia bertanggung jawab langsung kepada pihak pe­nye­leng­gara, pada wilayah eksekusi pameran. Dengan begitu, akan tampak bah­wa pe­milihan kurator menjadi salah satu bagian wilayah kerja tim narasumber. Me­nge­nai metode praktik yang digunakan tidak dapat diketahui secara rinci. Pada po­sisi paling bawah, teks kuratorial merepresentasikan wilayah kerja kurator da­ lam membingkai pameran dari segi wacana sekaligus praktik estetikanya. 160 arsipelag o ! por­si di dalam BJ VII - BJ VIII. Ini terbukti dengan adanya tajuk Di Sini dan Kini dan Neo Nation yang dipilih dalam penyelenggaraan selanjutnya, BJ VIII dan BJ IX. G alatia P uspa S ani N ugr o h o Tajuk-tajuk yang dipilih dalam penyelenggaraan Biennale pascareformasi (BJ VII - IX) sudah mulai beranjak kepada isu-isu sosial di sekeliling dunia seni rupa da­­ripada penyelenggaraan-penyelenggaraan sebelumnya, yang cenderung me­res­­pon perkembangan di dunia seni rupa. Countrybution yang membungkus prak­­tik-praktik seni yang terjadi di BJ VII, mengangkat permasalahan kontribusi se­­­­ni­man terhadap negara dan masyarakat. Di Sini dan Kini pada BJ VIII dalam prak­tiknya menggelar karya seni di berbagai tempat heritage27 di Yogyakarta. Ini ber­kaitan dengan tema kuratorial yang mengangkat persoalan kelokalan yang di­­per­­mainkan melalui representasi seni. Kepusakaan dan seni kontemporer di­ ha­­rapkan bersinergi sehingga membentuk identitas baru yang berbeda dari seni ru­­pa Barat28. Terakhir, BJ IX mengangkat identitas dalam skala negara-bangsa Indonesia. Neo Nation menunjuk kepada pengalaman meraih keindonesiaan da­ lam bentuk yang baru. Pergeseran tema atau bahkan munculnya tema-tema tersebut dapat dilihat sebagai bentuk penyikapan atas kondisi sosial yang terjadi di kurun waktu itu. Se­ perti yang sudah pernah dijelaskan oleh Howard Becker mengenai bagaimana art world itu bekerja, kondisi sosial erat kaitannya dalam memengaruhi diskursus seni rupa itu sendiri. Selain itu, kelenturan dalam praktik-praktik estetika dituntut untuk mam­pu meneruskan gagasan-gagasan yang dibawa kepada publik umum; de­ ngan begitu, karya-karya seni yang dihasilkan tidak berhenti pada fungsi de­koratif, tetapi diharapkan berlanjut sebagai guliran-guliran gagasan baru. Kea­daan ini tentu sangat berbeda dengan BSLY dan BSRY, yang mempunyai ke­cenderungan lebih leluasa dalam penyikapannya terhadap tema kuratorial. Ter­catat hanya BSRY 1999 yang mengucapkan selamat datang kepada praktik-praktik seni kontemporer lewat tema kuratorialnya. Dalam teks kuratorial, Asmudjo Jono Irianto (kurator) menuliskan dengan baik bagaimana pembacaan seni rupa kon­ temporer di Yogyakarta digunakan sebagai frame pameran, walaupun tanpa me­ nyer­takan sebuah tajuk dalam Biennale tahun itu. Bila dilihat secara garis besar, tema-tema tersebut merujuk pada proyek-proyek re-identitas seniman itu sendiri. Dimulai dari Countrybution yang (seakan-akan) mengajak seniman untuk mengkritisi entitas mereka di dalam masyarakat melalui per­masalahan kontribusi seniman terhadap masyarakat. Di Sini dan Kini mem­per­ mainkan isu kelokalan dan kontemporer melalui galeri-galeri dadakan yang juga 27) Istilah “heritage” yang digunakan mengacu kepada Katalog BJ VII. Samboh, G. (2013, January 15). Retrieved October 20, 2013, from www.biennalejogja.com: http://biennalejogja.org/yayasan-biennale/ biennale-jogja-dari-masa-ke-masa/ 28) Kalimat tersebut terdapat pada teks pengantar di dalam katalog yang ditulis oleh Ketua Taman Budaya Yogyakarta. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia Katalog Biennale Jogja IX 2007 Neo Nation 161 Mengenai tema kuratorial yang diuraikan pada beberapa paragraf sebelumnya, peran kurator sa­ ngat besar dalam proses kelahirannya. Jika melihat komposisi kurator sepanjang BJ VII-BJ IX, ada bebe­ ra­pa hal yang akan diuraikan lebih lanjut. Pertama, pa­da BJ VII, Hendro Wiyanto di dalam kata­log ditulis sebagai anggota tim seleksi, walaupun di belakang na­manya dibubuhkan predikat kurator. Pro­ses pe­ nyun­tingan karya juga tidak dilakukan oleh ku­ra­tor seorang diri, akan tetapi dibantu oleh anggota tim seleksi. Penyuntingan karya tersebut dapat dilihat dari teks yang berada di bawah dokumentasi karya di dalam katalog. Selain Samuel Indratma, semua ang­gota tim seleksi terlibat dalam proses itu sebagai pe­nulis. Sedangkan Ade Tanesia, yang namanya ti­ dak tertulis sebagai anggota tim seleksi, muncul di be­­berapa teks sebagai penulis. Hendro Wiyanto dalam teks kuratorial BJ VII me­nya­ ta­kan keterkaitan kerja kurator dengan tim seleksi da­lam perannya menggodok tajuk Countrybution. Na­mun, detail-detail mengenai kerja tim seleksi masih belum terjelaskan. “Untuk pertama kalinya pula, Biennale Yogyakarta yang diadakan pada tahun ini merujuk kepada sebuah tema dan M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi merupakan gedung-gedung heritage di Yogyakarta. Di sini posisi seniman (dibayangkan) sudah beranjak menuju entitas tersendiri, entitas yang berada di antara, yang selalu berusaha untuk mengupayakan refleksi ruang hidup ke dalam medium seni. Terakhir, Neo Nation dengan cerdik menempatkan dirinya sebagai pem­bentukan/pencarian identitas baru dalam skala yang lebih besar (bangsa dan negara) melalui tajuk yang dipilih. Agaknya, BJ IX ini menjadi epilog atas dua penyelenggaraan sebelumnya. Jika ditempatkan ke dalam satu garis waktu, maka dapat dilihat bagaimana penyelenggaraan dari BJ VII sampai BJ IX memiliki ke­cen­derungan gerak tema kuratorial yang melebar. Mulai dari mempertanyakan entitas seniman di dalam masyarakat, kemudian beranjak kepada seniman seba­gai entitas tersendiri di antara masyarakat. 162 arsipelag o ! tajuk tertentu: “Countrybution”. Tajuk dan sekaligus tema ini dimaksudkan tidak sebagai suatu pesan yang dicanangkan oleh kurator yang didistribusikan dan kemudian perlu diterjemahkan secara wigati oleh para seniman yang diundang. “Countrybution” adalah sebuah framework yang disepakati antara kurator dan anggota tim seleksi biennale yang digunakan untuk memberikan konteks sosial mutakhir dalam membaca beragam praktik seni rupa dan peran-peran seniman yang majemuk di Yogyakarta di masa belakangan ini.” (Teks Kuratorial di Katalog BJ VII 2003) Tim seleksi yang masuk dalam susunan panitia terdiri dari Hendro Wiyanto, M. Dwi Marianto, Rain Rosidi, Samuel Indratma, dan Suwarno Wisetrotomo. Dalam pe­­nu­ lisannya, Hendro Wiyanto diberi predikat sebagai kurator, berbeda dengan ang­ go­ta lainnya. G alatia P uspa S ani N ugr o h o Kondisi seperti ini sebenarnya mirip dengan Asmudjo Jono Irianto pada 1999. Asmudjo dan Hendro sama-sama berasal dari luar Yogyakarta, sedangkan tim se­­leksi beranggotakan pelaku seni yang berasal dari Yogyakarta. Bahkan Rain Rosidi, M. Dwi Marianto, dan Suwarno Wisetrotomo berprofesi sebagai kurator yang juga tercatat sebagai staf pengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Kedua, pada penyelenggaraan BJ VIII-BJ IX, nama Eko Prawoto secara berturutturut ditulis menjadi salah satu anggota kurator. Pada 2005 bersama M. Dwi Marianto dan Mikke Susanto, dan tahun 2007 bersama Suwarno Wisetrotomo, Kuss Indarto, dan Sujud Dartanto. Kemunculan Eko Prawoto menjadi menarik ke­tika melihat latar belakangnya sebagai seorang arsitek dan staf pengajar di Universitas Kristen Duta Wacana. Artinya, dia tidak berasal dari dunia seni rupa atau pernah mendapatkan pendidikan formal seni rupa, karena pada biodata di ka­talog ditulis sebagai Sarjana Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan memperoleh gelar master di Berlage Institute Amsterdam. Ketiga, format keanggotaan kurator yang masih berubah-ubah. Sempat memakai kurator tunggal dan tim seleksi (BSRY VI dan BJ VII), BJ VIII memilih untuk menghi­ lang­kan tim seleksi dan menggunakan kurator ( jamak) dan kurator tamu (Peter O’Neill - Australia), dan berubah lagi dengan hanya memakai tim kurator pada BJ IX. Pe­­namaan kurator di BJ VIII dan tim kurator pada BJ IX mengundang pertanyaan me­­ngenai bagaimana sistem kerja yang diberlakukan, karena kurator dan tim ku­ rator sama-sama beranggotakan lebih dari satu orang. Pertanyaannya, apakah ku­rator dan tim kurator memiliki sistem kerja yang sama? Jika memang demikian, pe­­namaan tersebut tidak memiliki tafsir tertentu di belakangnya, artinya hanya per­­kara redaksional. Berbeda apabila tim kurator dan kurator digunakan untuk men­jelaskan sistem kerja yang berbeda satu sama lain. Kata “tim” di depan kurator meng­asumsikan sekumpulan orang yang mengerjakan kerja-kerja kuratorial, se­ dang­kan “kurator” menjelaskan profesi yang melaksanakan kerja kuratorial. Jika ke­duanya sama-sama terdiri dari sekumpulan orang, maka akan menimbulkan asum­si yang bermacam-macam. Seperti pada BJ VIII, kerja-kerja kuratorial dilak­ sa­­nakan oleh empat orang yang ditulis “kurator”. Bagaimana Eko Prawoto, M. Dwi Marianto, dan Mikke Susanto mendistribusikan kerja-kerja kuratorial mereka? K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 163 Sa­­­makah dengan Eko Prawoto, Suwarno Wisetrotomo, Kuss Indarto, dan Sujud Dartanto yang disebut “tim kurator” dalam BJ IX? Epilog Pertama; Negosiasi Utopia Secara kebetulan, BJ yang menjadi pesta masyarakat seni rupa di Yogyakarta, bahkan mungkin di Indonesia, berkembang di dalam iklim yang subur akan ideide kreatif. Siapa yang akan mengira pemberontakan kreatip (meminjam istilah Bakdi Soemanto dalam kata pengantarnya pada katalog Binal Experimental Art 1992) Binal 1992 muncul sebagai kritik atas BSLY. Ungkapan kritik, yang biasanya muncul dalam bentuk lisan dan tulisan, dikemas dengan peristiwa menyerupai format penyelenggaraan BSLY, akan tetapi dengan cakupan ruang pamer dan karya yang lebih luas. Da­lam cakupannya sebagai sebuah kritik, yang menarik untuk ditandai dari Binal Experimental Art adalah bagaimana perwujudan utopia29 yang muncul sebagai prak­tik seni. Utopia ala Giddens sebenarnya datang dari sudut pandang orang keti­ga, seperti yang dilakukannya dalam melihat celah antara sosialisme dan ka­­ pi­­talisme (Giddens, 2013). Namun, dalam konteks ini, celah tersebut hadir akibat res­pon dan apresiasi dari pihak ketiga, yang diwakili oleh media, akademisi, dan penga­mat kesenian. Keterlibatan pihak ketiga terhadap Binal Experimental Art me­ ru­pakan pintu masuk bagi publik secara umum untuk melihat dan mengapresiasi ge­jala-gejala lain di dalam seni rupa selain seni lukis. De­ngan dibukanya keran akses informasi terhadap Binal, ke­sempatan untuk memengaruhi opini publik me­ 29) Dengan tidak menghiraukan Thomas More, pendakuan arti utopia lebih merujuk kepada pendapat Anthony Giddens yang disebut utopia realism, sebagai salah satu cara untuk mendefinisikan pemikirannya mengenai konsep Jalan Tengah/Third Way. M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi Kritik yang merupakan suatu bentuk pengandaian akan selalu diikuti dengan utopia kondisi tanpa cela, pengandaian akan kondisi yang lebih baik. Dalam konteks ma­sya­rakat sosial, Thomas More (seorang biarawan Katolik) menggunakan isti­ lah “utopia” untuk menggambarkan sebuah masyarakat imajiner yang berada di se­­buah tempat yang jauh, sebagai model kehidupan masyarakat masa depan yang demokratis dan tanpa kelas, dengan orang-orang yang bijak (More, 2009) (Giddens, 2013). Dalam kondisi yang lain, kritik juga bisa dalam wujud yang ber­ be­­da. Kritik Binal dalam perwujudannya juga dapat dikatakan sebagai utopia atas Biennale, yang menurut Jürgen Habermas disebut sebagai salah satu cara untuk me­­lawan bentuk-bentuk komunikasi yang represif (Hardiman, 2009). Artinya, he­ ge­­moni BSLY dalam penyelenggaraan event tersebut tidak mampu memberikan ruang-ruang dialog yang dapat diapresiasi bersama. Akibatnya, ruang-ruang ter­ sebut hanya dapat diakses oleh seniman-seniman yang memiliki syarat atau kon­ disi tertentu. 164 arsipelag o ! G alatia P uspa S ani N ugr o h o n­jadi lebih besar. Singkat kata, opini-opini publik diharapkan tampil sebagai sim­bol ke­berpihakan terhadap Binal Experimental Art dan semakin memperlebar celah yang sudah ada. Kerja-kerja yang secara simultan terus dila­ku­kan dalam mem­ perlebar celah tersebut, pada akhirnya men­dorong dibukanya ruang negosiasi. Jika melihat format dan materi Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa 1994 lalu mem­ ban­­dingkannya dengan BSLY 1992, sudah tentu akan mengira bahwa pa­meran ter­­­sebut merupakan hasil dari negosiasi atas peristiwa dua tahun se­­be­lum­­nya. Pe­­­ngaruh Binal Experimental Art dalam men­­­dorong terjadinya ruang nego­siasi ter­ se­but sangat te­ra­sa dengan diselenggarakannya tiga pameran yang ber­beda di ba­­wah payung Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa, yaitu: Biennale Seni Lukis IV, Pa­ me­ran Seni Patung Outdoor, dan Pameran Seni Kontemporer (Instalasi). Ca­tatan pen­­ting mengenai pameran ini adalah dibukanya ak­ses terhadap praktik-praktik se­ni rupa selain seni lukis. Ge­jala seperti ini yang pernah coba ditampilkan oleh Binal Experimental, dua tahun sebelumnya. Selain itu, ke­beradaan tim kurasi dan tim seleksi yang bertanggung jawab mengundang/menyeleksi peserta pa­meran ju­­ga menjadikan Rupa-Rupa Seni Rupa seperti sedang ber­usa­ha untuk ber­sikap ber­beda dari penyelenggaraan-penyelenggaraan sebelumnya. Bahkan, kriteria me­nge­nai batasan umur peserta, yang menjadi polemik pada dua tahun se­be­lum­ nya, sengaja dihilangkan dan digan­ti­kan dengan batasan profesional atau ti­dak ber­­status siswa/mahasiswa. Perubahan-perubahan itu semakin me­negaskan bah­ wa Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa me­ru­­pakan ruang negosiasi. Epilog Kedua; Kasak-Kusuk Kurator Kata “kurator” sebagai kata kerja maupun kata benda paling banyak muncul da­ lam ketiga batasan peristiwa yang dibahas sebelumnya. Tentu saja ini tidak meng­ he­rankan, mengingat perannya yang sentral dalam penyelenggaraan sebu­ah pa­ mer­an. Dalam dinamika pelaksanaan BSLY, BSRY, sampai BJ, ada beberapa hal meng­gelitik seputaran “kurator”. Menggelitik, karena dalam katalog, kurator me­ mi­liki frasa yang berbeda di tiap tahun penyelenggaraan. Tentu saja, frasa-fra­sa ini muncul akibat pengaruh gaya penulisan yang berada dalam katalog, yang bi­sa saja disengaja atau kesalahan redaksional. Dalam batasan peristiwa kedua, kurator muncul sebagai asosiasi atas kata “tim kurasi” pada katalog Rupa-Rupa Seni Rupa. Sedangkan “tim penyeleksi”, yang dise­but juga dalam kata pengantar, ditempatkan pada wilayah kerja yang sama de­ngan tim kurasi. “Adanya perluasan ini untuk memilih para pesertanya panitia meminta bantuan Tim Kurasi. Peserta Pameran Seni Rupa Kontemporer diundang juga berdasarkan usulan Tim Kurasi. Sementara itu, untuk karya-karya Seni Patung Outdoor dilakukan seleksi oleh Tim Penyeleksi.” K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 165 Dalam kutipan kata pengantar katalog Pameran Rupa-Rupa Seni Rupa di atas, jelas sekali Tim Kurasi dan Tim Penyeleksi mempunyai tugas yang hampir sama: meng­usulkan dan menyeleksi. Sayangnya, paragraf sebelum atau setelahnya ti­dak menjelaskan bagaimana proses usulan dan seleksi itu terjadi. Bahkan tim ku­­ra­si dan tim penyeleksi tidak menuangkan gagasannya di dalam tulisan pada ka­talog. Tidak kalah serunya, “kurator” hadir dalam kosakata lain di dalam katalog BSRY 1997. Tim kurator muncul sebagai konsensus tersendiri ketika disebutkan sebagai “tim kurasi” pada tulisan pengantar dan tidak disebutkan di dalam susunan panitia, akan tetapi hadir di akhir tulisan (kuratorial) yang berisikan tentang perspektif pa­ mer­an sebagai predikat penulis ( jamak). Dinamika “kurator” di dalam katalog kembali bergulir pada penyelenggaraan BJ VII-VIII. Masih menggunakan sistem yang sama seperti penyelenggaraan sebe­ lum­­nya, BJ VII juga memilih Hendro Wiyanto sebagai kurator tunggal beserta tim seleksi. Bedanya, tim seleksi ikut menyunting karya dalam bentuk tulisan di dalam ka­talog, bahkan Ade Tanesia yang namanya tidak tercantum sebagai tim seleksi ju­ga turut serta menyumbangkan tulisannya. Melihat kuantitas karya yang tidak be­gitu banyak (sekitar 23 seniman dan komunitas seniman yang berpameran), pro­ses penyuntingan karya yang dikerjakan kurator bersama tim seleksi menjadi ter­kesan rancu. Pasalnya, jika melihat teks kuratorial yang ditulis dengan runtut dan panjang lebar yang memakan 11 halaman di katalog, rasanya mustahil Hendro Wiyanto mengalami kesulitan dalam proses penyuntingan karya. Janganja­­­ngan proses penyuntingan itu hanya sebuah cara untuk mengintervensi kerja ku­­rator? Jika benar, bagaimana dengan pemilihan seniman yang diundang untuk ber­­­­pameran? Apakah mereka yang diundang mempunyai kedekatan dengan tim se­leksi? Dari pertama kali “kurator” hadir di dalam katalog, tercatat hanya Eko Prawoto yang memiliki latar belakang non-seni rupa, yang pernah tertulis menjadi kurator. Ini terjadi pada penyelenggaraan BJ VIII dan BJ IX. Dilihat dari profesinya sebagai ar­sitek dan staf pengajar di Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana, Yog­yakarta, cukup wajar apabila Eko Prawoto dijadikan sebagai kurator. Karena da­lam dua penyelenggaraan BJ yang mencantumkan namanya sebagai M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi Pada 1999, penunjukan Asmudjo Jono Irianto menjadi kurator tunggal seakanakan terjadi atas wewenang tim narasumber, yang pada katalog tidak dijelaskan po­­­sisinya. Berdasarkan katalog, tulisan yang dikeluarkan tim narasumber dengan je­­las menyebutkan alasan perlunya “orang luar Yogyakarta” dipilih sebagai ku­ ra­tor. Kata “orang luar” seperti sedang membuat jarak dan struktur hierarkis an­ ta­ra tim narasumber dan kurator. Ditambah lagi, anggota tim narasumber yang ke­­se­muanya merupakan seniman dan kurator yang berdomisili di Yogyakarta menguat­kan asumsi tersebut. G alatia P uspa S ani N ugr o h o 166 arsipelag o ! kurator, te­ma yang dipilih berkisar seputar ruang, identitas, dan perkotaan. Di luar itu, banyak nama yang kerap berada pada lingkaran kurator, tim narasumber, atau tim seleksi atau dewan juri. Pada periode BSLY, nama-nama seperti Fajar Sidik, Soedarso Sp., Amri Yahya, Aming Prayitno, Widayat, berulang kali menjadi de­wan juri maupun tim seleksi, diselingi nama-nama lain seperti Dullah, Bagong Kussudiardja, Handrio yang memiliki persentase lebih kecil. Seperti yang sudah di­­ke­tahui, nama-nama di atas merupakan nama-nama senior yang sudah lama bergerak di dunia seni rupa. Periode selanjutnya, setelah Binal Experimental Art mun­cul, ada nama-nama baru yang muncul dan akhirnya juga menjadi langganan. Sebut saja Suwarno Wisetrotomo, yang pernah menjadi anggota tim narasumber (1997 dan 1999), tim seleksi (2003), dan anggota tim kurator (1997 dan 2007). Selain itu ada juga Anusapati (narasumber 1997 dan 1999), M. Dwi Marianto (narasumber 1997, tim seleksi 2003, dan kurator 2005), dan beberapa nama yang lain: Nindityo Adipurnomo, Alex Luthfi, Rain Rosidi, Dadang Christanto, Mikke Susanto, Kuss Indarto, Samuel Indratma, dan Sujud Dartanto, yang bergantian masuk ke dalam ling­­karan tersebut. Dari beberapa nama tersebut, masih terselip nama Asmudjo Jono Irianto (kurator 1999), Hendro Wiyanto (kurator 2003), dan Peter O’Neill (ku­ra­tor tamu 2003), yang berasal dari luar Yogyakarta. Nama-nama yang mengisi tim seleksi, tim kurasi, hingga kurator (selepas 1992) mayoritas adalah seorang kurator dan staf pengajar di ISI Yogyakarta: Suwarno Wisetrotomo, M. Dwi Marianto, Rain Rosidi, Mikke Susanto, Sujud Dartanto. Ada juga yang merupakan seniman dan staf pengajar di ISI Yogyakarta, seperti Anusapati dan Alex Luthfi, ataupun seniman atau perupa tanpa predikat staf pengajar, seperti Nindityo Adipurnomo dan Samuel Indratma. Mengingat dari sekian banyak nama tersebut yang berprofesi sebagai kurator in­de­penden hanyalah Kuss Indarto, wajar apabila persoalan kemajemukan dunia se­­ni rupa Yogyakarta dipertanyakan. Misalnya saja, pada sambutannya untuk BJ VII, Galeri Canna mempertanyakan keberadaan seniman Yogyakarta yang lainnya, karena pada tahun itu, populasi seniman di Yogyakarta konon mencapai angka 1.00030. Dari sekian banyak seniman tersebut, yang populasinya terus bertambah, apa­kah 30) Sumber: Teks pengantar oleh Galeri Canna pada katalog Countrybution BJ VII 2003. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 167 tidak ada satu pun yang mempunyai kompetensi menjadi seorang kurator atau tim seleksi ataupun narasumber, sehingga yang berada di pusaran hanya namanama itu saja? Atau memang pusaran dikondisikan untuk tetap ber­ada ling­kar­an ISI? Bagaimana jika di luar lingkaran ISI ada yang mempunyai kom­pe­tensi se­bagai kurator (seperti Asmudjo dan Hendro)? Bagaimana dengan peru­bahan for­mat “kurator” pada katalog? Apakah memang itu salah satu usaha agar na­ma-nama yang sering muncul tetap terakomodasi? Jika memang benar, maka di­sa­yangkan bahwa semangat yang diwarisi oleh Binal Experimental Art sudah ber­ang­sur hilang.  Daftar Pustaka Adi, Y. (2011, 9 18). “Salah Kaprah Jadi Salah Parah”. Harian Kompas. Carmen, M. (1994, 4). “An Essay: BROKERING IDENTITIES, Art Curators and the Politics of Cultural Representation”. Danto, A. (1964). “The Artworld”. The Journal Philosophy, 61 (19), 571-584. Giddens, A. (2013). The Consequences of Modernity. John Wiley and Sons. Hardiman, F. B. (2009). Kritik Ideologi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Kipfer, B. A. (2000). Encyclopedic Dictionary of Archaeology. New York: Springer Science and Media Bussines. More, T. (2009). Utopia. (C. J. Lupton, Ed., & G. Burnet, Trans.) Prohyptikon Publishing. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1993). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Samboh, G. (2013, January 15). Retrieved October 20, 2013, from www.biennalejogja.com: http:// biennalejogja.org/yayasan-biennale/biennale-jogja-dari-masa-ke-masa/ Supangkat, J. (1997). Indonesian Modern Art and Beyond. Yayasan Seni Rupa Indonesia. Susanto, M. (2011). “Kritik Seni”, Diksi Rupa: Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa. Yogyakarta: DictiArt Lab & Djagad Art House Bali. Thornton, S. (2008). Seven Days In The Art World. New York: W.W Norton. Wisetrotomo, S. (2013). “Politik Estetika Seni Rupa Yogyakarta 1990-2010: Sekitar Friksi, Ideologi, dan Kontestasi”. Yogyakarta, Indonesia. Kertas kerja yang dijadikan bahan diskusi untuk workshop ini. M embuka K atal o g , M engungkap I de o l o gi Becker, H. S. (1982). Art Worlds. California: University of California Press. 168 arsipelag o ! - 10 - tim ivaa m e m b a c a k ota: Reportase Singkat Kerja A rsip dan Pengarsipan Seni Budaya tim ivaa K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 169 T Infrastruktur kota di dalam mengelola masa lalu setidaknya hadir melalui tiga bentuk, yaitu: museum, badan arsip, dan tatakota. Hampir setiap kota besar di Indonesia mempunyai museum, juga mempunyai semacam pusat arsip dan perpustakaan daerah. Namun, kelihatannya belum jelas benar keberadaan museum dan pusat arsip daerah tersebut apakah mempunyai keterkaitan kuat dengan soal perkembangan dan perubahan kota setempat. Sering kali museum didirikan di sebuah kota untuk mengenang peristiwa, tempat bersejarah maupun tokoh pahlawan nasional yang terkait dengan konteks sejarah nasional. Demikian juga keberadaan badan arsip daerah mempunyai banyak sekali problem yang kompleks—tidak sekadar dalam hal teknis-birokrasi-alokasi pendanaan, tetapi juga dalam hal tema pengarsipan, perspektif dalam melihat arsip, cara mengarsip, serta bagaimana arsip dipergunakan. Keberadaan museum dan badan arsip terasa jauh dan tidak menarik dengan persoalan perkembangan kontemporer kota setempat. Selain museum dan arsip daerah, masa lalu sebuah kota dikelola melalui pera­ tur­an kota dan kebijakan-kebijakan yang terimplementasi melalui tatakota. Di dalam logika tatakota, masa lalu kota dipahami melalui konsep urban heritage. Urban heritage (warisan perkotaan) ditetapkan secara internasional, diper­bin­ cangkan konsepnya, dan dipraktikkan keberadaannya sebagai bentuk kebijak­an pelestarian warisan perkotaan. Namun, di dalam praktiknya, urban heritage mem­ punyai kompleksitas yang rumit diimplementasikan di dalam konteks kota-kota yang beragam. Persoalan ekonomi politik, komodifikasi dalam segala hal, do­ mi­nasi pasar global, posisi negara yang oportunis, lemahnya hukum, privatisasi ta­nah, kemiskinan, kesenjangan yang sangat tinggi, dan lain sebagainya, men­ jadi konteks yang kompleks dalam mengimplementasikan gagasan maupun R ep o rtase S ingkat K erja A rsip dan P engarsipan S eni B udaya ulisan ini merupakan usaha membaca kota melalui kerja arsip dan pengarsipan seni budaya. Kota menjadi lokasi dari ingatan warga kota, ruang yang hidup, sekaligus memberi banyak jendela pemahaman terhadap sejarah dan kekinian. Kota-kota (besar) di Indonesia tumbuh dan berkembang hingga sekarang sebagai representasi modernitas, globalisasi, dan cermin dari imajinasi poskolonialitas yang terus bergerak. Materialisasi gagasan kota modern hadir dalam berbagai bentuk, misalnya: jalan transportasi, kawasan permukiman, penjara, gedung-gedung, infrastruktur fisik, serta dalam bentuk gaya hidup, aspirasi politik, birokrasi, profesi, pendidikan, dan lain sebagainya. Pergerakan, per­tukaran, dan perubahan lansekap kota terjadi sangat cepat sebagai bagian dari proses menjadi negara bangsa dalam konteks globalisasi. Kota-kota tersebut ber­gerak dan berkembang dalam konteks yang beragam, meninggalkan jejak, pe­ninggalan, ingatan, nilai, imajinasi, konflik, dan berbagai kompleks persoalan urban. Bagaimana masa lalu, ruang, dan gagasan kota dikelola, hidup, dan dihidupi oleh warga dan pemangku kota di dalam konteks pergerakan dan perubahan kota masa kini? tim ivaa 170 “Warisan per­ kotaan sendiri le­bih sering di­ pahami pada ranah material (artefak, ben­ da pening­ gal­an, gaya, dll.) daripada ranah nonmaterial, yaitu: pada proses, pada aspek pe­nempatan penga­ku­an (non-material) keberadaan manusia, dan kema­nu­sia­ an pada posisi esensial.” arsipelag o ! praktik urban heritage. Tatakota di kota-kota besar di Indonesia dalam praktiknya lebih di­gerakkan oleh nalar pertarungan, perebutan, ne­go­siasi, dan resis­ten­si atas kuasa modal dan pa­sar, daripada seba­gai sebuah warisan perkotaan yang tecermin dari abstraksi kebutuhan dasar dan per­soalan yang kompleks, yang dihadapi warga kota da­lam real­itas kekinian. Warisan perkotaan sendiri lebih sering di­ pahami pada ranah material (artefak, ben­da pening­ gal­an, gaya, dll.) daripada ranah non-material, yaitu: pada proses, pada aspek penempatan penga­ku­an (non-material) keberadaan manusia, dan kema­nu­sia­ an pada posisi esensial. Museum, badan arsip, dan tatakota merupakan infra­ struk­tur formal (dan warisan kolonial) pengelolaan masa lalu di dalam konteks kota. Ketiganya tidak mampu untuk menyesuaikan dengan gerak kehi­dup­ an kota dan persoalan mendasar masyarakat urban. Diperlukan identifikasi dari pengalaman serta realitas warga kota masing-masing. Setidaknya, hal tersebut bisa ditelusuri melalui pertanyaan pengujian berikut ini: Apakah hal-hal yang ditetapkan sebagai koleksi mu­seum, arsip daerah, dan diberi sebutan seba­gai wa­risan perkotaan bisa dirasakan dan diper­la­ku­kan oleh warga kota sebagai salah satu pe­nanda iden­ ti­tas masa kini? Apakah semua hal tersebut (koleksi mu­seum, arsip, urban heritage) mam­pu menjadi sema­ cam media bagi warga kota untuk ber­hu­bungan de­ ngan masa lalu kota? Reportase singkat berikut ini mencoba melakukan pe­ ne­lusuran awal untuk mempertanyakan tentang ba­ gai­mana masa lalu kota dikelola, dimanfaatkan, dan di­te­mu-kenali oleh beragam fenomena dalam masya­ rakat kota masa kini. Reportase ini dilakukan di tiga kota, yaitu: Padang, Makasar, dan Malang, yang di­ tuliskan dalam boks-boks tulisan secara singkat. Pe­ milihan tiga kota bersifat acak, tetapi dibayangkan bi­ sa merepresentasikan persoalannya masing-masing. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 171 Kota Padang Minangkabau Hari Ini dan Cara Memandang yang Lampau M Selayang pandang saya di Padang menunjukkan bahwa kota itu berada di an­ ta­­ra yang lampau dan masa kini. Sebagai ilustrasi, masa lampau bisa dikaitkan de­ngan keberadaan rumah-rumah gadang, masa kini dihubungkan dengan pusat perbelanjaan modern. Ketika pergi ke Padang Panjang dan Bukittinggi, saya tidak melihat perbedaan yang cukup signifikan antara kedua kota tersebut dengan Padang (kecuali rumah gadang yang lebih sering terlihat di kedua kota itu dibanding di Padang). Dari melihat bentang-darat ketiga kota di tanah Minang itu (saya sadar betul bahwa ketiga kota tersebut tidak bisa dijadikan wakil dari seluruh wilayah di sana), saya bisa katakan bahwa ada bagian dari masa lampau yang masih terus hidup di tengah perubahan tanah Minang hari ini. Terkait bentang-darat Minangkabau dan hubungannya dengan kebudayaan, Musra Dahrizal (budayawan dan pengajar) memberi batasan yang jelas antara kota dan desa. Di kota, menurutnya, strukturstruktur dari Minangkabau yang ada sejak dulu condong tidak lagi dijalankan. Sedangkan di desa, masih banyak yang menjalankan struktur-struktur tersebut. Sebagai contoh, orang-orang di kota cenderung tidak lagi pa­ham tentang adat Minangkabau ketimbang orang-orang di desa. Dengan latar seperti itu, tampaknya penting untuk mengetahui bagaimana bagian-bagian dari masa lampau dipandang dalam konteks Minangkabau hari ini. 1) Personifikasi suku bangsa Minangkabau sekaligus julukan yang diberikan kepada perempuan yang memimpin suatu keluarga dalam Minangkabau, baik sebagai ratu maupun sebagai ibu suri. R ep o rtase S ingkat K erja A rsip dan P engarsipan S eni B udaya endarat di Padang berarti melihat tulisan “Minangkabau” da­lam ukuran besar dan atap ber­mo­del rumah gadang sejak di ban­dar udaranya. Per­ja­lanan me­ning­gal­kan bandara adalah per­temuan dengan truktruk lintas Sumatera, iklan-iklan, ba­liho Caleg, dan bendera Parpol— sesuatu yang bisa di­temui di kota-kota lain di Indonesia di masa jelang Pemilu; begitu banyak rumah makan Padang—aneh, terasa familier sekaligus asing melihat rumah makan Padang di “kampung halaman”-nya; pusat perbelanjaan modern dengan bera­gam waralaba; bangunan-bangunan—be­berapa adalah hotel, bank, dan instansi-instansi Pemerintah—beratap seperti ru­mah gadang; dan be­be­rapa rumah gadang diimpit rumah-rumah beton pada umum­nya. Lalu, se­buah pesan balasan dari kenalan asli Minang masuk ke ponsel saya: “Selamat datang di Minangkabau. Tanah asal Tan Malaka, legenda-legenda masyhur, dan Bundo Kanduang”.1 172 arsipelag o ! Salah satu rumah gadang di Padang Panjang yang masih didiami hingga saat ini. tim ivaa Seperti banyak bahasan tentang masa lampau, ro­man­­tisisme hadir saat membahas tentang masa la­lu Minangkabau. Kelompok-kelompok tertentu cen­­de­rung ingin merekonstruksi kehidupan Minang­ka­bau ke da­lam alam pikiran “sejarah lisan” Minangkabau.2 Ada yang menyambut semangat tersebut dengan positif, ada juga yang dengan kritis mempertanyakannya. Bagi yang menyambut dengan positif, semangat seperti itu dipercaya bisa memperkuat persaudaraan di antara sesama orang Minang. Pun ada yang me­man­ dang romantisisme seperti itu sebagai motivasi untuk masa depan Minangkabau. Di sisi lain, ada yang kritis mempertanyakan cara pandang seperti itu. Romantisisme keja­yaan Minangkabau dipandang bisa menimbulkan sauvinisme (chauvinism) bagi orang Minang. Ada juga yang memandang bahwa sis­tem tradisional Minang sudah tidak kontekstual lagi bagi kondisi hari ini. Misalnya, jadi sulit untuk men­ jalankan sistem tradisional Minang di beberapa daerah di mana lebih banyak orang Jawa atau Batak dibanding orang Minang.3 Bicara soal budaya Minangkabau dan laku kekinian, mendengar pendapat dari anak-anak muda pegiat komunitas-komunitas sosial dan budaya sepertinya adalah sesuatu yang wajib dilakukan. Dengan pertimbangan itu, kami juga menyambangi Komunitas Ruang Kerja Budaya untuk mengadakan tukar pikiran dengan beberapa komunitas di Padang. Dalam tukar pikiran dengan mereka, tampak bahwa mereka memahami budaya sebagai sesuatu yang dinamis, yang terus berubah. Dalam kerangka berpikir seperti itu, euforia untuk kembali ke kejayaan Minangkabau di masa lampau dan merekonstruksinya dalam kehidupan hari ini dipandang sebagai sesuatu yang berlebihan.4 2) Pernyataan Gusti Asnan dalam wawancara pada 27 Maret 2014. 3) Idem. 4) Disarikan dari notulensi diskusi di RKB, pada 27 Maret 2014. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 173 Tentang Menemu-Kenali Kembali Tradisi dan Sejarah Masa Lalu Pihak swasta juga memiliki caranya sendiri untuk menemu-kenali masa lampau Minangkabau. Rumah Buda­ya Fadli Zon merupakan salah satu pihak swasta yang mela­ku­kan praktik menemu-kenali kembali arsip bu­daya Minangkabau. Rumah budaya yang berada satu kompleks dengan Aie Angek Cottage dan Rumah Puisi Taufiq Ismail ini menampilkan koleksi-koleksi pri­ badi berupa benda-benda pusaka Minangkabau, se­perti keris, songket, suntiang, dan masih banyak lagi. Di rumah budaya tersebut juga ada sekitar 800 ko­leksi buku yang bertemakan Minangkabau. Ditam­bah lagi, ada banyak lukisan tokoh yang berasal da­­ri Minangkabau dan sukses dalam bidangnya di ska­la nasional. Rumah Budaya Fadli Zon berangkat da­ri keinginan untuk memaksa orang belajar. Rumah bu­­da­ya yang menyatu dengan cottage, lounge, dan res­to­ran memang membuat orang-orang yang mung­kin sekadar hendak menginap, mendengarkan musik, dan makan, mau tidak mau akan melihat dan men­ da­pat­­kan informasi tentang benda-benda pusaka dan se­ ja­rah Minangkabau. 5) Pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Dalam riset singkat kami, kami hanya bertemu dengan perwakilan dari LKAN Aie Angek, Padang Panjang. R ep o rtase S ingkat K erja A rsip dan P engarsipan S eni B udaya Lumbung padi di rumah gadang yang telah jadi Museum Adityawarman, Padang. Tiap-tiap rumah gadang memiliki lumbung padi untuk menyimpan beras kebutuhan harian dan tahunan (acara-acara besar). Selain ada beragam cara pandang terhadap masa lam­­ pau, juga ada beragam upaya menemu-kenali kem­­bali masa lalu Minangkabau. Dari sisi Pemerintah, sa­­­lah satu upaya untuk menemu-kenali kembali ter­se­but adalah dengan membentuk lembaga ke­ra­pat­­an adat, baik itu Lembaga Kerapatan Adat Alam Minang­kabau (LKAAM) yang ada mulai dari tingkat ke­­ca­matan hingga provinsi, maupun Lembaga Kera­pat­an Adat Nagari (LKAN) yang ada di tiap-tiap nagari. Lembaga kerapatan adat ini bertugas sebagai penjaga dan pelestari budaya Minangkabau. LKAN ha­dir di tiap nagari sebab adanya adat selingkar naga­ri (adat seluas nagari), yang menunjukkan bah­wa adat yang berlaku di tiap-tiap nagari5 itu ber­be­da, mes­ ki memiliki tujuan yang sama: mengatur kehi­dup­an di dalam nagari. 174 arsipelag o ! Arsip foto pementasan Nan Jombang Dance Company tim ivaa Nan Jombang Dance Company telah terbentuk sejak 1983, dengan Ery Mefri sebagai pimpinannya. Selama ini, Nan Jombang Dance Company banyak menampilkan tarian kontemporer yang menjadikan tradisi Minangkabau sebagai sumber proses penciptaannya. Membahas soal menemu-kenali kembali kebudayaan Minangkabau, rasanya perlu untuk melihat bagaimana pekerja dan komunitas seni budaya di sana mela­ku­ kan hal tersebut. Ada dua kecenderungan di antara me­re­ka, dalam upaya menemu-kenali kembali kebu­ da­yaan Minangkabau. Pertama, upaya menemu-ke­ nali kembali yang dilakukan oleh pekerja dan komu­ nitas seni budaya tradisi. Upaya yang mereka lakukan antara lain dengan membuat pertunjukan-pertunjukan seni tradisi, misalnya pertunjukan musik tradisi de­ ngan mempertahankan alat musik, bunyi, dan cara ber­main tradisional. Ada juga kelompok seperti yang di­gerakkan oleh Musra Dahrizal. Kelompok ini fokus pa­da memberi wejangan-wejangan adat ke berbagai tempat. Kedua, model yang menemu-kenali kembali da­lam laku mentransformasikan tradisi dan sejarah Minangkabau ke dalam beragam medium semacam film, cerpen dan puisi, serta tari dan pertunjukan kon­ tem­porer. Terlepas dari ragam laku menemu-kenali kembali tradisi dan sejarah Minangkabau dari masing-masing pi­hak, ada satu hal yang tampaknya mengancam pro­ses menemu-kenali kembali tersebut. Ancaman ter­se­but adalah kecenderungan untuk sekadar mere­ pro­duksi tradisi dan sejarah Minangkabau dari se­gi bentuk, tanpa mentransformasi dan menjaga ke­ber­ lan­jutan nilai-nilai yang terkandung di dalam­nya.  K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 175 K o t a M A K ASSAR Metropolitan dan Tradisi Tulisan S Barangkali, yang disebut sebagai “kota dunia” yang dituju sebagai arah masa de­pan Kota Makassar saat ini dibayangkan secara seragam oleh otoritas kota, se­bagai kota yang memiliki infrastruktur fisik berstandar “internasional”: bandara inter­nasional, hotel internasional, kantor dan permukiman internasional, jalan tol, dan lain sebagainya. Maka, efek dari pembayangan ini: perubahan lansekap Kota Makassar secara fisik berlangsung sangat cepat dan semakin berskala luas bentang kotanya. Privatisasi dan komodifikasi lahan tidak terkendali. Industrialisasi dan eksploitasi sumber daya alam terkesan tanpa aturan main. Konsumsi dan gaya hidup silih berganti, datang dan pergi dengan cepat. Sekarang, ia menghadapi ma­ salah-masalah kota besar, seperti yang terjadi di Kota Jakarta pada umumnya, yaitu: polusi dan perusakan lingkungan, macet, kesemrawutan, konflik ruang kota yang tinggi, kesenjangan sosial yang tinggi, merebaknya kriminalitas, dan lain sebagainya. Perubahan lansekap fisik kota yang pesat di Kota Makassar seakan tidak menyi­ sa­­kan gambaran visual bahwa, sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar dihuni oleh beragam etnis. Kota Makassar dalam sejarah meru­pa­kan ko­ta pelabuhan dari Kerajaan Gowa Tallo, negeri orang yang disebut dengan et­ nis Makassar. Sebagai kota pelabuhan, Kota Makassar tidak hanya dihuni oleh etnis Makassar saja, tetapi dibangun dari penduduk yang berasal dari beragam etnis, misalnya dari suku Bugis, Toraja, dan juga dari etnis Cina, Mandar, serta su­ ku-suku lain yang kemudian menghuni Kota Makassar. Kekayaan etnik dan seni bu­­daya yang terlahir dari keragaman kota tersebut, sayangnya, sangat susah dite­­mukan dalam manifestasi perubahan dan pembangunan fisik Kota Makasar yang cepat seperti sekarang ini. Bentang darat Kota Makassar benar-benar diba­ ngun dengan nalar kota global. Selain karena keberadaan pasar rakyat, kaki li­ 6) Pada masa Orde Baru (1971), sebutan kota Makassar diganti dengan nama Ujung Pandang sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Tapi, setelah rezim Orde Baru Suharto tumbang, di tahun 1999 nama Makassar dikembalikan lagi. R ep o rtase S ingkat K erja A rsip dan P engarsipan S eni B udaya ekitar empat abad yang lalu, Makassar6 telah menjadi kota yang dising­ gahi orang-orang yang berasal dari negeri-negeri di seluruh penjuru nu­ san­tara dan Asia lainnya. Ia telah menjadi semacam “pusat” pertemuan, per­­niagaan rempah-rempah, dan telah terjadi pertukaran budaya secara “global”. Namun, sekarang, di banyak sudut Kota Makassar, kita melihat slogan yang aneh dan cukup ironis, bertuliskan: “Makassar Menuju Kota Dunia”. Bukankah empat abad yang lalu Makassar telah mendunia? 176 arsipelag o ! Slogan “Makassar Menuju Kota Dunia” di antara hiruk-pikuk pasar tradisional yang marginal Foto diambil dari Majalahversi.com, Feature, 9 November 2011 tim ivaa ma, dan warung-warung kuliner, bentang Kota Makasar saat ini sudah dipenuhi dengan menjamurnya ruko, gerai-gerai korporasi internasional, kawasan bisnis, mal, hotel, real estate, gedung perkantoran, superblok, dan lain sebagainya. Gaya dan suasana kota global menciptakan atmosfer keseragaman di seluruh penjuru kota, meskipun seolah-olah berbeda di tampilan. Nalar kota global merupakan se­buah bentuk reproduksi keseragaman dalam hal selera, gaya hidup, dan sistem produksi kapitalis, yang bisa ditemui juga di kota-kota besar lainnya. Tradisi Tulisan Percepatan pembangunan fisik dan tumbuhnya gaya hidup Kota Makassar yang metro­politan, ternyata tidak mampu menghilangkan bentuk-bentuk relasi sosial, komunikasi, negosiasi, konflik, dan kebiasaan sehari-hari warga dalam menafsir dan mem­pergunakan masa lalunya untuk praktik hidup masa kini. Di dalam lansekap fisik Makassar yang metropolis, yang menarik yaitu melihat Kota Makassar dari pro­duk tulisan yang ditulis oleh berbagai macam orang. Berbeda dengan wilayah lain di nusantara, Sulawesi Selatan memiliki peninggalan manuskrip lokal yang luar biasa. Manuskrip tersebut ditulis di atas daun lontar dan menghasilkan naskah yang disebut lontara’. Tradisi menuliskan kejadian dan fenomena sesungguhnya telah menjadi kebiasaan masyarakat Sulawesi Selatan. Tradisi tersebut berawal dari kerajaan abad tujuhbelas (bahkan pada masa sebelum gelombang Islam mau­pun Eropa), lalu direproduksi dan diteruskan kebiasaan menulis lontara’ ter­se­ but oleh keluarga-keluarga di Sulawesi Selatan7. Produk tulisan menjadi jen­de­la me­narik untuk melihat perkembangan Kota Makassar dan Sulawesi Selatan, ke­ ti­ka Kota Makassar semakin kehilangan relasi-relasi sosialnya dan semakin ada ja­rak dengan peninggalan masa lalunya. 7) Wawancara dengan Anwar Jimpe Rahman (18 Maret 2014). Menurut Jimpe, tradisi menulis atau mencatat kejadian-kejadian yang dianggap penting masih dilakukan oleh ayahnya, meskipun tidak lagi ditulis di atas daun lontar. 177 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia “... bagi banyak orang naskah [lontara’] adalah benda keramat, di­simpan karena kekuatannya, bukan isinya (lihat Errington, 1989). Naskah-naskah ini biasanya dibungkus kain dan disimpan di langit-langit rumah, difungsikan seba­gai semacam jimat untuk mem­­bawa rezeki bagi rumah dan penghuninya. Dalam kasuska­sus seperti ini, upacara sesem­bahan harus diberikan dan man­tra harus dibacakan sebe­lum naskah boleh dibuka. Se­ba­ gian dari naskah ini lebih menarik karena sifat keramatnya da­ ri­pada isinya”.9 Berkebalikan dengan masyarakat kebanyakan, kaum aka­­­demisi berkutat dengan informasi yang dibawa oleh lontara’. Kekayaan informasi dan konteks dari lontara’ me­­mungkinkan kaum akademisi (sejarawan, antro­­po­log, so­siolog, dll.) untuk terus-menerus menin­jau ulang ba­ nyak aspek dari konstruksi sejarah dan bu­daya masya­ rakat Makassar dan Sulawesi Selatan. 8) Kathryn Robinson dan Mukhlis PaEni, Tapak-Tapak Waktu, Ininnawa, Makassar, 2005, hal. 7. 9) Kathryn Robinson dan Mukhlis PaEni, Tapak-Tapak Waktu, Ininnawa, Makassar, 2005, hal. 9. Assikalaibineng: Kitab Perse­tubuhan Bugis (Muhlis Hadrawi, Penerbit Ininnawa, Makassar, 2010). Buku ini salah satu hasil kajian tesis akademis me­ngenai lontara’ Assikalaibineng. Lontara’ Assikalaibineng ini me­ru­pakan sebuah teks yang menyajikan pengetahuan masya­rakat mengenai hu­ bungan seks dengan se­gala aspeknya, termasuk filosofinya. Lontara’ Assikalaibineng selama ini memberi sumbangan ter­hadap pembentukan bu­ daya dan perilaku seksu­ali­tas masyarakat Bugis, ter­masuk bagi kalangan bang­sawan. Memberi war­na pada sistem penge­ta­huan masyarakat yang lebih etis. R ep o rtase S ingkat K erja A rsip dan P engarsipan S eni B udaya Terkait dengan produk tulisan, sejak 1992, telah dikum­ pul­kan sekitar 4000 naskah lontara’ ke dalam format mi­­kro­­filem, yang manuskrip aslinya tersebar di rumahrumah keluarga orang Sulawesi Selatan8. Pro­yek pem­ buatan mikrofilem dikerjakan oleh Arsip Na­sional Re­pub­ lik Indonesia cabang Sulawesi Se­la­tan, dan didu­kung oleh Ford Foundation. Bebe­ra­pa pi­hak telah meman­ fa­atkan lontara’ dalam ke­hi­dup­an masa kini. Mes­ki­­pun ke­­­sulitan birokratis masih me­war­nai akses umum untuk mem­­­pelajari mikrofilem lontara’ yang disim­pan di pusat ar­sip daerah, di da­lam kehidupan sehari-hari, ba­nyak orang Sulawesi Se­la­tan secara turun-te­mu­run telah “me­­manfaatkan” lontara’ dalam kehidupan ma­­sa kini le­­­bih sebagai “me­­dium” pewarisan (akar) ke­k­erabatan. Lontara’ tidak hanya dipahami sebagai pro­duk tulisan, te­­ta­­pi berfungsi secara sosial. Meskipun de­mikian, me­ ma­­­ha­­mi lontara’ di alam pikiran Makassar yang metro­po­ lis dan berjarak seperti sekarang lebih ba­nyak ter­­kesan se­perti “menghidup-hidupkan sesuatu yang se­sung­guh­ nya telah pecah”, yang tersisa hanya cara pandang fung­ sio­­­nalnya saja. Kathryn Robinson me­nye­­­­butnya dengan sebutan “benda keramat”, se­per­ti digam­barkan dalam tu­lisannya: 178 arsipelag o ! Suara-Suara dari Nol Kilometer tim ivaa Akhir 1970-an dan awal 1980-an sebenarnya juga ada­­ lah saat-saat pertama tumbuhnya perhatian aka­demis atas Sulawesi Selatan.10 Saat itulah pene­li­tian-pe­ne­ li­tian mengenai sejarah lokal Sulawesi Se­latan mu­ lai dipresentasikan dan diterbitkan. Se­ba­gai ibukota Sulawesi Selatan, Makassar (Ujung Pan­dang) menjadi pu­ sat per­temuan dan kepakaran keti­ka presentasi mau­pun penelitian dikerjakan. Pa­da momen yang ham­pir sa­ma, Ujung Pandang dite­tapkan sebagai pusat per­tum­buh­an Indonesia Timur (da­lam Repelita 1974), pe­me­rintah pusat secara kons­tan telah menuangkan sejum­lah dana sejak akhir 1970-an untuk pelbagai proyek pem­ba­ngun­an fisik di kota ini.11 Dengan demikian, sedikit banyak terbentuk asumsi yang cukup masuk akal, bahwa pertumbuhan dan pembangunan Makassar sebagai pondasi pembangunan wilayah Indonesia Timur mempunyai relasi timbalbalik dengan maraknya kerja historiografi lokal yang menekankan diri pada peranan Sulawesi Selatan— termasuk di dalamnya Makassar—misalnya: penulisan sejarah etnis, posisi kawasan, kepahlawanan nasional, perdagangan regional, dan lain sebagainya. Presentasi, 10) Dias Pradadimara, dalam tulisan pengantar buku Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah karya Mattulada, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2011, hal. xvii. 11) Dias Pradadimara, “Dari Makassar ke Makassar: Proses ‘Etnisisasi’ Sebuah Kota”, dalam buku kumpulan tulisan Kontinuitas dan Peru­bah­ an dalam Sejarah Sulawesi Selatan (Dias Pradadimara & Muslimin A.R Effendy, penyunting), Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2004, hal. 204. foto BUKU-BUKU HASIL PENELITIAN AKADEMIS MENGENAI SULAWESI SELATAN Membawa dan membaca buku-buku ini, tentang masa lalu dan semacam profil etnik di Sulawesi Selatan di tengah Kota Makassar yang metropolis, terasa kontras. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 179 Buku-buku tentang Kota Makassar dan Sulawesi Selatan yang ditulis dengan cara pandang berbeda, berasal dari komunitas-komunitas anak muda Makassar. Sebuah usaha merekonstruksi kota dari realitas, akar, dan persoalan sehari-hari yang kongkrit. penelitian, dan penerbitan-penerbitan yang dikerjakan para pakar lokal maupun internasional, di satu sisi memang memberi pemahaman yang semakin kaya mengenai (masa lalu) Sulawesi Selatan, tetapi berjalan berlawanan arah dengan pembangunan fisik Kota Makassar yang cepat. Makassar Nol Kilometer merupakan kerja bersama dari banyak komunitas generasi anak muda Makassar dan berkembang terus dalam perjalanannya. Didukung sebuah penerbitan yang tetap, yaitu Penerbit Ininnawa: media online sebagai ben­ tuk corong keluar dan sebuah ruang bersama yang bertransformasi terus (dari kafe, perpustakaan, ruang kerja, dll.), komunitas-komunitas anak muda Makassar se­sungguhnya sedang mengerjakan “Makassar yang lain”. Buku penting lain yang lahir dari atmosfer ini adalah: Makassar di Panyingkul (2007), dan buku terbaru ber­judul Pasar Terong Makassar: Dunia Dalam Kota (2013). Keduanya dikerjakan oleh komunitas yang berbeda, tetapi saling bersilangan dan bekerja sama satu dengan yang lain. Makassar di Panyingkul menggunakan model jurnalisme orang biasa, yang merekam sekaligus menyuarakan perkembangan Kota Makassar dari kacamata dan praktik sosial pinggiran. Buku kedua, Pasar Terong Makassar: Dunia dalam Kota bergerak lebih jauh lagi, yaitu dengan melakukan keterlibatan langsung dalam dinamika Pasar Terong, sebagai bentuk aksi-refleksi-partisipasi. Bo­lehlah disebut, buku ini merupakan kerja arsip dan pengarsipan “seni budaya” Pasar Terong untuk merekonstruksi ingatan dan imajinasi warga Kota Makassar yang berangkat dari realitas, akar, dan persoalannya yang kompleks.  R ep o rtase S ingkat K erja A rsip dan P engarsipan S eni B udaya Di dalam kurun waktu yang cukup panjang kemudian (tahun 2000-an), dan di tengah hiruk-pikuk pertumbuhan kota Makassar, hadir suara-suara sayup dari generasi anak muda Makassar yang bereksperimen untuk mentransformasikan tradisi lontara’ di alam metropolitan Makassar. Salah satu usaha yang mereka lakukan adalah mengaitkan perkembangan metode-metode terbaru di dalam wacana ilmu sosial dengan realitas konkret perkembangan kota. Salah satu eksperimen awal mereka tecermin dalam buku Makassar Nol Kilometer (Ininnawa, 2005). Bu­ku ini dipengaruhi oleh metode cultural study, tetapi sesungguhnya dilandasi se­mangat untuk mencatat, merekam, dan mengumpulkan secepat mungkin apa yang menurut mereka “masih tertinggal” dari gerusan perkembangan kota. Berisi catatan-catatan tulisan, buku ini merekam sekaligus memotret gerak hidup warga Kota Makassar. Ini merupakan buku arsip sekaligus buku yang menawarkan al­ter­ na­tif cara membaca Kota Makassar sebagai arsip yang terus bergerak. 180 arsipelag o ! Kota MAlang Nostalgia Heritage dan Komunitas M tim ivaa alang adalah kota di Provinsi Jawa Timur, yang dikenal dengan uda­ ra­nya yang sejuk karena dikelilingi pegunungan dan arsitektur serta tata­kotanya yang apik, peninggalan Pemerintahan Belanda sejak 1882. Kabupaten Malang juga dikenal dengan Kota Batu, yang berada di dataran tinggi dan menjadi penghasil apel dan hasil perkebunan lainnya. Selain itu, Malang juga dikenal sebagai kota pelajar, karena menjadi tuan rumah dari se­­jumlah universitas terpandang di Indonesia, salah satunya Universitas Negeri Brawijaya. Kota Malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah kolo­ nial Belanda, terutama ketika mulai dioperasikannya jalur kereta api pada 1879. Berbagai kebutuhan masyarakat pun semakin meningkat, terutama akan ruang ge­rak untuk melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya, terjadilah perubahan tata­ gu­na tanah dan bangunan bermunculan tanpa kendali. Fungsi lahan berubah de­ngan segera, dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri. Dengan cepat, Malang berubah menjadi sebuah kota modern dengan sejumlah fasilitas umum yang diberadakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kawasan Ijen Boulevard adalah jejak pertumbuhan Kota Malang yang masih bisa dilihat sekarang ini. Selain itu, wilayah yang memiliki sejarah panjang dari zaman prasejarah hingga kera­jaan-kerajaan besar seperti Mataram Hindu, Kanjuruhan, Singasari, dan Majapahit ini juga meninggalkan banyak situs purbakala. Saat ini, Pemerintah Kota Malang, bekerja sama dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan, telah mendata dan melindungi situs purbakala dan cagar budaya tersebut. Tercatat terdapat 28 situs purbakala dan cagar budaya. Jumlah ini tentu masih mungkin bertambah lagi. Kesenian tradisional yang masih hidup hingga saat ini di Malang adalah pertemuan dari tiga sub-kultur, yaitu sub-kultur budaya Jawa Tengah-an yang hidup di le­ reng Gunung Kawi, sub-kultur Madura di lereng Gunung Arjuna, dan sub-kultur Tengger sisa budaya Majapahit di lereng Gunung Bromo-Semeru. Pertemuan itu menghasilkan bentuk kesenian semacam Wayang Topeng Malangan,  yang sa­ yang­nya saat ini sudah mulai ditinggalkan. Dengan kekayaan warisan sejarah serta tatakota yang apik, belum lagi dinamika kehidupan akademis yang marak, agak mengherankan bahwa perkembangan K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 181 komunitas-komunitas seni dan budaya yang progresif di Malang tidak pernah sangat marak, setidaknya dibandingkan Yogyakarta, Semarang, Jakarta, atau Bandung—walau bukan berarti tidak ada. Perspektif akan seni dan budaya sepertinya masih cenderung bersifat nos­talgia dan heritage, dan jarang bersangkutan dengan pem­berdayaan masyarakat. Museum Malang Tempo Doeloe Museum ini lahir dari tangan Dwi Cahyono, pendiri dan penggiat Yayasan Inggil yang berupaya mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya mempelajari sejarah. Pria 46 tahun itu jugalah yang melahirkan acara tahunan Festival Malang Tempo Doeloe (MTD). Peristiwa setiap bu­lan Mei di sepanjang Jalan Ijen, di jantung Kota Malang ter­sebut selalu menyedot perhatian warga. Sampai ak­ hir­­nya, Dwi memutuskan untuk membangun Museum Malang Tempo Doeloe dengan biaya dari koceknya sen­­diri, tahun 2012, dengan payung lembaga bernama Yayasan Inggil. Museum seluas 900 meter persegi tersebut berusaha me­rangkum sejarah Kota Malang dari zaman prasejarah, ci­kal bakal lahirnya Kerajaan Kanjuruhan, Singasari, ma­­ sa penjajahan Belanda, Jepang, masa perjuangan me­re­ but kemer­de­kaan Republik Indonesia, hingga ber­ba­gai peristiwa pascakemerdekaan. Setiap fase se­jarah ter­ se­but disusun dan digambarkan dalam ruang ter­sen­diri. Seperti misalnya ruang yang menggambarkan seja­rah Kerajaan Singasari, yang berdiri pada 1222 Masehi. Se­ jarah lahirnya Kabupaten dan Kota Malang juga di­gam­­­ barkan dengan jelas dalam ruang-ruang yang ber­beda. Se­muanya coba digambarkan melalui benda-ben­da pe­ ning­galan dan film dokumenter karya Dwi Cah­yono sen­ diri—yang diputar di setiap ruang. R ep o rtase S ingkat K erja A rsip dan P engarsipan S eni B udaya Tim editor pergi ke Malang untuk mengunjungi sejum­lah ini­siasi independen yang membuka ruang atau berke­ giat­­an dengan mengoleksi arsip seni, serta membuka ak­ sesi­bilitas publik terhadap arsip tersebut. Berikut ini profil mereka. 182 arsipelag o ! Dwi Cahyono membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan jejak-jejak bersejarah itu, seperti bu­­ku in­duk rencana pembentukan Kota Malang. Upaya Dwi dan rekan-rekannya di Yayasan Inggil dalam peles­ta­ rian arsip dan benda sejarah ini adalah juga yang ber­ kon­tribusi dalam membuat Kota Malang, pada 2013, men­­­dapat penghargaan sebagai Kota Pusaka Indonesia dari Indonesia Heritage Trust, perwakilan International National Trusts Organisation (INTO) yang berpusat di London. Penghargaan tersebut diberikan kepada walikota atau pihak swasta yang berjasa mengembangkan dan me­­les­tarikan situs sejarah dan budaya bangsa, setidak­ nya dalam 10 tahun terakhir. tim ivaa Galeri Malang Bernyanyi Di tengah-tengah sebuah kompleks perumahan di pinggir Kota Malang, terdapat sebuah ruang komunitas yang me­ nyim­pan koleksi ribuan kaset dan piringan hitam album musik, yang pastinya akan membuat para pencinta mu­ sik Indonesia gembira melihatnya. Ruang ini bernama Ga­leri Malang Bernyanyi, sebuah perpustakaan musik yang didirikan secara independen dan swadaya oleh pa­­ra anggotanya. Ke­be­­radaan Galeri Malang Bernyanyi (GMB) tidak bisa dipisahkan dari Komunitas Pecinta Kajoetangan (Kapeka), yang didirikan oleh Hengki Herwanto bersama Pongki Pamungkas, Agus Saksono, Lutfi Wibisono, Retno Mastuti, dan Rudi Widiastuti. Tiga seniman musik asal Malang, yakni Donny-Prass, Sylvia Saartje, dan Sigit Hadinoto juga tercatat sebagai pendiri. GMB didirikan oleh Kapeka bersamaan dengan lahirnya komunitas tersebut, pada 8 Agustus 2009. Sejak dires­ mi­kan oleh Walikota Malang, Peni Suparto, GMB me­mu­­ sat­kan kegiatannya di rumah kuno peninggalan orangtua Hengki, di Jalan Citarum 17, Malang. Di rumah ini dulu perwakilan majalah musik Aktuil pernah ber­kan­tor. GMB menempati bekas garasi berukuran 24 meter persegi. Melalui GMB, para pendiri Kapeka mempunyai visi ingin melestarikan sejarah musik Indonesia. Kapeka mengu­ sung misi mengumpulkan rekaman musik Indonesia dan K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 183 barang-barang lain yang terkait dengan musik, yang ber­ asal dari masyarakat. Di awal berdiri, GMB baru memiliki sekitar 100 album. Tapi, kini, koleksi itu telah ber­kem­bang menjadi 6.301 album. Koleksi itu adalah sumbangan dari banyak pihak. Tercatat 261 nama penyumbang, terdiri dari masyarakat umum, musisi, dan institusi. Perpustakaan Ratna Indraswari Ibrahim Perpustakaan yang terletak di Jalan Diponegoro 3, Kota Malang, ini diberi nama Warung Baca Rumah Budaya Ratna Indraswari Ibrahim. Perpustakaan ini memang ditata se­perti sebuah warung yang akan membuat interaksi an­ tar­pengunjung menjadi intim dan luwes, sebagaimana di sebuah warung. Perpustakaan ini juga diharapkan menjadi suatu media untuk kembali menghidupkan spirit Ratna Indraswari Ibrahim, penulis kebanggaan Kota Ma­ lang, yang dikenal tak mudah menyerah dengan difa­bil­ itas yang ditanggungnya. Semasa hidupnya, Ratna me­ mang menginginkan koleksi bukunya yang berjumlah ri­bu­an itu bisa dimanfaatkan oleh banyak orang. Perpustakaan ini dikelola oleh Slamet Yudianto, sahabat Ratna. Dengan didukung oleh pihak keluarga, yakni Benny Ibrahim dan Syaiful Bahri Ibrahim, perpustakaan di­buka untuk umum pada 31 Mei 2012, setahun lebih se­ te­lah meninggalnya Ratna Indraswari Ibrahim pada 28 Maret 2011. Sebagai sebuah ruang pertemuan, perpustakaan ini tidak hanya berisi kegiatan ber­kumpul dan membaca buku R ep o rtase S ingkat K erja A rsip dan P engarsipan S eni B udaya Sekitar 80 persen dari seluruh koleksi album berupa kaset. Album dalam bentuk piringan hitam dan cakram padat ma­sing-masing sebanyak 5 persen. Sisanya campuran poster, buku, majalah, dan foto-foto. Kesibukan para pen­ di­ri membuat GMB hanya buka di tiap akhir pekan, saat sang pengelola ada di Kota Malang. Bagaimanapun, se­ jak 2009, mereka tetap bisa terus aktif dengan ruang ko­ mu­nitasnya, dan juga banyak terlibat dalam acara-acara lokal; jumlah penyumbang album juga semakin banyak. 184 arsipelag o ! saja. Di setiap akhir pekan, pengelola menginisiasi se­jumlah kegiatan, seperti bedah buku, merajut, dan menggambar untuk anak-anak. tim ivaa Insomnium Insomnium merupakan forum independen dalam wilayah khusus riset & konservasi, serta workshop pengembangan fotografi untuk pelajar/mahasiswa yang sekaligus da­pat berafiliasi pada wilayah seni visual secara umum. Diskusi-diskusi dan pre­ sentasi hasil riset menjadi arah baru untuk melihat fotografi yang lebih dina­mis dalam menyikapi percepatan teknologi. Di masa mendatang, Insomnium diper­siap­ kan sebagai lembaga fotografi yang konsen terhadap perkembangan fotografi di wila­yah Malang dan sekitarnya. Forum yang beralamat di Perumahan Graha Sengkaling Kav. 29 Dau, Malang, 65151 ini didirikan di Malang pada 13 Maret 2003 oleh beberapa mahasiswa fotografi, yang ketika itu meyakini fotografi sebagai pilihan bentuk ekspresi dan media dalam menyampaikan kritik sosial. Sharing dan diskusi yang intensif antarmereka meng­ ha­silkan kesepakatan untuk menyikapi perkembangan fotografi secara edukatif. Insomnium juga menjalin hubungan yang erat dengan sejumlah komunitas se­ni­ man, terutama yang berada di Batu; kebanyakan pelukis dan pematung—seperti yang sering berkumpul dan berkegiatan di Galeri Raos Batu. Menurut Decky Yulian, penggerak Insomnium, mereka juga membantu para seniman ini untuk men­ dokumentasikan karya serta kegiatan mereka. Bagaimanapun, ujar Decky, kesa­ dar­an pengarsipan dan dokumentasi seniman di Malang dan Batu masih sangat kurang, sehingga banyak arsip ini berceceran dan hilang; akibatnya, sulit untuk membangun kontinuitas sejarah seni rupa di Malang. Hal ini merupakan suatu hal yang ingin dikembangkan Insomnium ke depan.  epilog 186 arsipelag o ! - 11 - Meneorikan Arsip Karya Tubuh, Dekolonisasi Berpikir, Taktik, dan R achmi D iyah L arasati Pemberdayaan Ingatan Rachmi D iyah Larasati M enguak pemahaman tentang arsip yang termuat di jajaran tu­lis­an da­ lam kumpulan esai ini, tam­paknya arsip banyak dipahami, dime­nger­ ti, dan dikaji dari sisi ruang ma­te­ ri­al­nya: bentuk/bahan dan/atau ke­­­gu­­naannya. Ar­sip meng­gam­barkan re­kaman teng­­­gang wak­tu yang dicitrakan, ruang bentuk ak­ ses­­­­­­nya se­bagai karakterisasi komunal atau pri­ba­di, dan juga ke­mungkinan lahirnya berbagai pe­­­ngerti­ an atau in­terpretasi. Arsip, dalam hal ini, men­ja­di sebuah fragmentasi dari ingatan-ingatan atau pi­ lihan-pilihan yang melahirkan kesejarahan dan mak­­ na baru, berdasarkan representasi dan inter­pre­ta­ si penikmatnya. Sehingga arsip, secara kegu­na­an, mewakili pilihan-pilihan pembuatnya, termasuk ca­­ ra-cara merespon dan menikmati sebuah arsip. Pe­ nger­­tian arsip, secara formal, selalu termaktub dalam ja­­jaran kebendaan. Di mana pun letaknya, apa pun K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 187 ben­­tuk kebendaannya, selalu tujuan presentasinya terkomunikasikan secara je­ las, jika ranahnya museum atau kantor arsip atau pusat-pusat studi. Terlebih ketika kita mengamati arsip dari sisi materialisme atau kebendaan yang di­distribusikan dalam sistem kapital, kemudian kita terpaksa menerima pola peng­­gunaan fragmentasi ingatan yang memunculkan pula metode baru—upaya “meng­hadirkan” kembali melalui alam maya (digital), yang dianggap mampu mera­nahkan pola rekaman-rekaman materialismenya, ruang, dan bahkan waktu seperti tersebut di atas—dari apa yang tergambarkan secara peran sosial dan interak­sinya; maka arsip (seolah) telah memunculkan pola kebutuhan baru, yaitu tek­nologi, untuk berfungsi secara lebih jauh. Dan bukan itu saja; pola kemampuan monetary exchange sebagai bahasa legitimasi akses menjadi kendala. Di samping itu, ingatan dan pola pilihan representasi yang menjadi titik dasar/pijakan sebuah arsip tetaplah merujuk pada si pembuat dan mungkin juga lingkungan terdekatnya, baik yang bersifat personal atau komunal. 1) Amkpa, Awam. “A State of Perpetual Becoming: African Bodies as Texts, Methods, and Archives”. Dance Research Journal, 42/1, Summer 2010. M ene o rikan A rsip : K arya T ubuh , D ek o l o nisasi B erpikir , T aktik , dan P emberdayaan I ngatan Untuk tujuan penulisan ini, saya—dengan mengutip Awam Amkpa—mencoba ju­ ga melihat elemen ba­gaimana tubuh dipakai untuk metode berpikir. Termasuk ba­gaimana mendekonstruksi arsip yang juga sering menjadi acuan sumber pe­ la­­hiran estetika. Namun, karena sifatnya yang kebendaan, sehingga “berjarak” da­­ri tubuh-tubuh yang dicitrakan (direpresentasikan), justru terjadi pemisahan en­­titas antara manusia—yang seharusnya sebagai sumber—dengan arsip, yang secara formal terlembagakan. Sifatnya yang kebendaan seharusnya me­ mung­­kinkan peran aktif para pelahir estetikanya, sehingga (arsip) bisa ber­ko­ mu­­­nikasi langsung dengan masyarakat sekitarnya, secara relasional. Tetapi ka­ re­na informasi perekaman pada konteks mulanya, yang didapat dari arsip (ke­ se­­jarahan kolonial), dicantumkan sebagai rekaman yang bersifat kebendaan, ma­ka ketubuhan menjadi terdogma secara bias. Untuk itu, saya hendak merujuk se­buah konsep yang dalam bahasa Inggris disebut contrapuntally.1 Dalam ar­ti­ an, jika dimungkinkan, dalam proses mengarsip setiap citra/objek, setiap teks yang terlahirkan (diproyeksikan untuk) menjadi alat dekonstruksi daripada se­ bu­ah kanon. Secara pribadi, saya tertarik untuk menggunakan cara ini; dengan menga­itkan pada penghormatan atas kedaulatan manusia sebagai sumber ilmu, alih-alih memandang arsip dengan mendedikasikan pada sisi materialnya sa­ja. Metodologi ini: keberangkatan tubuh, ketubuhan, dan penubuhan sebagai tak­ tik arsip, membutuhkan kehadiran manusia-manusianya. Dari sinilah, saya me­ lihat sebuah ruang harapan, sebuah politik “bicara” lewat ide the presence (ke­ be­radaan, keberhadiran). Bukan tubuh sebagai “bahan baku” yang hanya akan di­campur dengan elemen lain untuk merekam sejarah, tetapi secara lebih dalam: men­dekonstruksi metodenya. Menjadikan tubuh sebagai pengingat. Hal ini pen­ ting supaya perlindungan hak akan kehadiran manusia menjadi pertimbangan ke­ se­harian secara relasional. 188 arsipelag o ! R achmi D iyah L arasati Kecanggihan teknik penggunaan teknologi: menyaring apa yang dilihat dan di­ ingat dalam merekam, apa pula yang direpresentasikan secara sensorial, akan me­­lahirkan hasil yang berbeda dengan jika kita berada dalam alam waktu yang bi­sa dirasakan secara ketubuhan langsung. Dalam dunia sosiologi pertunjukan, is­tilah ini secara luas digolongkan dalam genre eksistensialisme, yang telah men­ con­tohkan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan kajian media: sebagai ranah membaca dari sisi konsep “penghadiran” ketubuhan.2 Di dalam bidang antropologi, arsip dan perubahan kedudukannya, bagaimana men­ du­dukkannya di tengah masyarakat yang direpresentasikan atau penikmatnya, bah­kan siapa yang memproduksi, baik dari sisi fungsi dan makna, menjadi sebuah sub­kajian baru. Pemahaman bentuk dan kegunaannya secara epistemologis juga me­nyebar sebagai sumber baru dalam kajian. Salah satu contohnya adalah ba­­ gai­mana terjadi proses transisi dari arsip kolonial menjadi museum dan galeri kon­­ temporer. Dari pemahaman akan kontinuitas ini, sisi kajian arsip mampu me­nun­juk­ kan sebuah sistem connoisseurship: refleksi akan otoritas seseorang/se­ke­lom­pok to­koh terhadap karya-karya orang lain.3 Terjadilah pergeseran dari para ilmu­wan da­lam bidang ilmu itu, ketika memakai arsip sebagai pijakan analisis lalu me­la­hir­ kan teori-teori baru dalam menggolongkan orang-orang yang diteliti. Maka, pada gen­re baru tersebut, banyak dari ilmuwan dalam bidang ilmu antropologi itu justru me­neorikan dan melahirkan metode dekonstruksi untuk melihat sisi guna dari peran-peran arsip. Kajian akan peran arsip ini misalnya dalam hal cara pandang terhadap keha­di­ ran­nya, dalam kegu­na­an kesejarahan kolonial, seperti bagaimana me­re­pre­sen­ ta­­si­kan dan merekam kehidupan orang-orang yang diko­lonisasi. Dalam bukunya yang berjudul Along the Archival Grain: Epistemic Anxieties and Colonial Common Sense, Ann Stoler menjelaskan bagaimana peme­rin­tahan kolonial beruntung dengan tidak saja mengikuti konten arsip zaman itu (untuk mengetahui siapa dan apa), tetapi juga prinsip bentuk-bentuknya dan praktik dalam pengaturan sebuah sistem dari penggolongan yang termasuk dalam arsip itu sendiri (h.20).4 Juga Edward Said, dalam menggarisbawahi pemikirannya terhadap seorang kritikus, Raymond Williams, yang telah dikupas dalam bukunya Culture & Imperialism, menyebutkan bahwa pada akhirnya arsip, tak lain dan tak bukan, adalah proyek imperial (dalam Power, Politics and Culture, 151).5 2) Kotarba, Joseph A., John M. Johnson, Stanford M. Lyman and David L. Altheide (Ed.). Postmodern Existential Sociology. Altamitra, 2002. 3) Price, Sally. Primitive Arts in Civilized Places. Chicago Press, 2001, h. 1. 4) Stoler, Ann. Along the Archival Grain: Epistemic Anxieties and Colonial Common Sense. New Jersey: Princeton University Press, 2009. 5) Said, Edward. Power, Politics and Culture. New York: Vintage Book, 2001 K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 189 Secara panjang lebar, kajian ini telah saya tawarkan di buku saya, The Dance That Makes You Vanish, yang menyatakan bahwa konsep arsip dalam konteks konflik ju­ga sangat bergantung pada model-model kolonial: terkontestasi dan dinarasikan berdasarkan kekuatan hegemonik (nasional). Maka, dalam hal ini saya hanya ingin mengupas agenda penemuan bentuk baru; sebuah klaim penempatan bahwa arsip dan kehadirannya bisa dipakai sebagai metodologi, taktik, dan strategi da­ lam meranahkan tubuh-tubuh yang tergantikan. Arsip ketubuhan, di sini, justru me­ nye­but life hood sebagai kunci utama. 6) Rachmi Diyah Larasati, The Dance That Makes You Vanish. Minnesota: Minnesota University Press, 2013. 7) Diana Taylor, The Archive and the Repertoire: Performing Cultural Memory in the Americas. North Carolina: Duke University Press, 2003. h. 19 M ene o rikan A rsip : K arya T ubuh , D ek o l o nisasi B erpikir , T aktik , dan P emberdayaan I ngatan Pada tulisan ini, secara khusus saya akan mende­di­ka­sikan pada arsip yang se­ ca­ra jelas mementingkan ketubuhan, tubuh sebagai taktik. Pada contoh seni per­ tunjukan khususnya tari, dalam konteks ketubuhan, ta­ri adalah sebuah cara pan­ dang dan juga taktik da­lam pelahiran ruang ingatan.6 Tentunya dengan mengi­ngat beberapa peneorian yang sudah saya gam­barkan di atas, yang menyumbangkan pola dasar pe­mahaman bahwa arsip adalah sebuah olahan dari fragmentasi ingatan, baik berupa kebendaan, waktu, ataupun tema terpilih. Seperti juga Diana Taylor, seorang teoris dalam bidang arsip di Amerika Selatan dan pertunjukan, meng­­ajukan gagasan tentang pe­mi­sahan antara arsip dan repertoar, yang mana arsip dikategorikan secara bentuk representasinya, seperti tulisan-tulisan atau do­ku­men.7 Sedangkan repertoar mengingatkan saya pada bagaimana UNESCO meng­golongkan intangible arts seperti lagu, tari, ingatan-ingatan mantra, dan lainlain. Di sinilah perbedaan yang akan saya kaji; dalam artian arsip, dalam pan­ dang­­­an saya, adalah metodologinya, bukan ben­tuk­nya. Karena sungguhpun Taylor me­ngajukan gagasan ten­tang embodied culture (kebudayaan yang terjel­ ma­kan) se­bagai metode, ia hanya berfungsi untuk menggolongkan arsip dari sisi ma­­te­ri­alnya. Di sinilah yang hendak saya pakai untuk pijakan keberbedaan antara ar­sip sebagai penggolongan dan arsip seba­gai metode, taktik dekolonisasi dalam pe­nger­­tian peng­hadirannya. Adalah arsip juga menjadi alat bi­cara, untuk merujuk ke­­­khususan sebuah ingatan, ti­dak tergantikan oleh medium apa pun. Sehingga em­bodied di sini bukanlah penubuhan wacana es­te­tika, tetapi pengejawantahan ko­­mitmen politis da­lam meranahkan ke-berbeda-an. Di mana arsip men­dudukkan manusia dalam satu ranah, tidak saja ber­peran sebagai penyaksi atau penonton, te­­tapi ber­par­tisipasi secara relasional; ketubuhan itu sendiri. 190 arsipelag o ! R achmi D iyah L arasati Arsip, Historiografi, dan Tubuh sebagai Wacana Representasi dan Politik Mengingat Edward Said, dalam salah satu tulisannya tentang arsip dan akses8, menceritakan bahwa arsip kadang memberi janji, seperti sesuatu yang ada, “berada di sana”, tetapi ternyata ketika didekati, dikunjungi, diteliti, dan dicari menjadi “tidak ada”. Pernyataan ini terilhami pengalaman Edward Said sendiri, seperti ketika secara khusus ia mencoba mencari dokumen berupa film, foto, dan rekaman-rekaman seorang penari besar dari Kairo (Mesir) bernama Tahia. Sebagai seorang penari besar yang menjadi narasumber berbagai karya seni yang lain, diharapkan ada semacam arsip akan ketubuhan dan kehadirannya. Karena suatu alasan (pere­ bu­tan hak kepemilikan atas benda-benda dalam koleksi yang akan diteliti, an­ta­ ra pihak seniman dan pihak yang lain), Edward Said mengalami kesulitan un­tuk mengakses ataupun secara lebih jauh mempelajari bentuk material yang me­ ru­pakan bukti sejarah kebesaran sang seniman tari. Maka, segala upaya yang mengarah pada mengoleksi, meng-kopi, dan mencari jejak kepenarian Tahia sang seniman tersebut pun mesti dilakukan secara perorangan, karena sum­ber digital telah menjadi alat kontestasi. Ironisnya, pada saat penelusuran atas arsip itu dilakukan, Tahia masih hidup dan bisa berbicara langsung dengan Edward Said. Sang seniman, dalam sebuah pertemuan informal, dengan jelas menu­tur­ kan bahwa arsip tentang dirinya telah didigitalkan, dibendakan, dan dalam mak­na ke­pemilikannya telah bermain secara khusus. Karena Tahia sendiri tidak mem­pu­ nyai akses terhadap benda-benda tersebut, maka dalam konteks ini lantas tim­bul per­tanyaan atas tercerabutnya makna rekaman. Narasi Edward Said ini­lah yang ju­ga membuat saya berpikir dalam konteks yang lain: masalah hak cip­ta, arsip, dan permainan kepemilikan. Cerita ini juga mengilhami saya untuk me­metakan, apa sebenarnya yang bisa didekonstruksi dalam konsep arsip, sehing­ga pema­ ha­mannya juga bukan (semata) sebuah kanon; dalam artian arsip me­mang harus men­­jadi proses, tetapi (tercakup pula di dalamnya) dekolonisasi se­bu­ah proses ber­pikir dan klaim. Dari narasi Edward Said, misalnya, kita belajar ba­gai­mana kon­ sep kepemilikan bermain sebagai bahasa akses yang juga kadang ber­kait dengan apa yang disebut akumulasi, reproduksi, dan distribusi. Maka, dalam tulisan ini, saya memilih ethno-narrative archive (arsip etnonaratif), se­­buah metode partisipasi aktif dalam menganalisis, membaca, melihat, dan me­­ la­hirkan karya yang pola pendekatannya—ketubuhan (misalnya tari)—di­pan­dang se­cara historiografis dengan memerhatikan politik ingatan. Perhatian ini ju­­ga men­dasari bagaimana (mestinya) keberpihakan dalam memahami bentuk-ben­tuk yang termarginalkan, mengingat pelegitimasian ketubuhan yang diar­sip­kan seo­ lah hanya berdasar pada perekaman dokumen-dokumen itu dalam bentuk di­gital, atau dalam jajaran koleksi yang kita tahu banyak kemungkinan distorsi pilihan-pi­ lihan­nya. Juga untuk mendobrak asumsi-asumsi bahwa digital, media/alat yang 8) Ibid. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 191 Ethno-Narrative: Tubuh Yang Berpikir Setiap sore belajar menari di halaman rumah, nenek dan tetangga mulai berdatangan, mem­ be­­nahi semua kursi dan tikar seperti sebuah lingkaran. Anak-anak yang lain berjajar duduk di ka­nan-kiri, melihat langkah dan gerakan tangan; mereka mengikutinya dengan seksama, seperti ber­gerak tetapi di tempat, perubahan pandangan mata yang tertata: kanan, kiri … dan majumundur. Ketika saya menuliskan pengalaman di atas, membayangkannya kembali, atau meng­ajarkannya sebagai proses transmisi, komposisi keruangan dalam me­me­ta­ kan pola bentuk komposisi tari kerakyatan, pola-pola di mana tubuh saya dan tu­ buh yang lain berlintas, silang-menyilang dalam komposisi ruang relasional, ma­ka transmisi keilmuan tubuhnya meranah juga pada ingatan akan kehadiran orangorang lain. Di sini, arsip ketubuhan adalah sebuah filosofi relasional yang mem­ ben­tuk ingatan dan kesejarahan baru secara nontradisional, yang ternyata mem­ be­ri ruang hidup representasi yang tidak mampu dihidupkan dan/atau diingat. Ter­ da­pat wacana baru yang tidak berupa “arsip” (bendawi; kebendaan) atau benda sa­ja, seperti warisan metode kolektif pilihan kolonial dalam museum-museum atau buku tradisi yang terkurung dalam citarasa patronasi, tetapi materialisasi yang me­ranah pada pelaku itu sendiri, pada rasa atau estetika yang berkaitan dengan apa yang ia rasakan. Secara lebih jauh, Marta Savigliano juga mengingatkan; me­ngatakan bahwa ada semacam “sistematika logika sebuah representasi”, dan karena secara kesejarahan bentuk-bentuk rasa yang terekspresikan telah teriso­ la­sikan, terkategorisasi, dan ditransformasikan ke dalam corak perilaku secara bu­daya10, maka untuk mendekonstruksikannya kita juga harus merombak esensi ben­tuk dan filosofi kehadirannya. Untuk itu, dalam konteks tulisan ini, ranah peneorian didedikasikan terhadap tubuh tari, ingatan tari, dan teknik tari sebagai satu bentuk contoh dekolonisasi arsip; tidak hanya berupa paparan atas apa yang bisa direkam, tetapi juga tubuh, pelaku sebagai metode archival itu sendiri mampu berbicara. Jadi, kata “tubuh tari”, “teknik tari”, dan “menari”, di dalam proses mengarsip menjadi tidak saja 9) Marta Savigliano. Tango and the Political Economy of Passion, Westview, 2005, 1. 10) Marta Savigliano, h. 2. M ene o rikan A rsip : K arya T ubuh , D ek o l o nisasi B erpikir , T aktik , dan P emberdayaan I ngatan di­­pa­kai, yang juga melahirkan ranah baru seperti hologram, akan lebih berguna; le­bih solid daripada berbicara dan berkomunikasi dengan pe­narinya yang masih bisa melenggang, bergerak, dan berbicara. Secara ma­nu­siawi, (pola ini) justru meng­­ajak kita untuk berpaling pada yang nonmanusia se­ba­gai fokus perhatian. Di si­nilah pola pengaruh sistem distribusi dan akumulasi ka­pital—pembentukan nilai— yang menurut Marta Savigliano mencirikan sebuah po­la baru dalam mengambil ha­nya artefak material dan karya kerja tubuh (labor form)9, tanpa mendasarkan pa­­da konsep kemanusiaannya. 192 arsipelag o ! R achmi D iyah L arasati sebu­ah metode untuk mengingat, tetapi juga taktik untuk mendekolonisasi proses mengi­ngat itu sendiri dalam kerangka yang meninggalkan “rasa” kolonial, baik secara bentuk, makna, dan tatanan relasionalnya. Di sini, ketubuhan (corporeality) dan menubuhkan (embodiment) menjadi sebuah taktik menghindari sebuah rasa “tidak berdaya melawan”; menghindari “kepungan” aturan-aturan berteori yang nyata-nyata agenda keberpihakannya sangat bias. Ketertarikan saya untuk mendasarkan bentuk pelahiran, proses, dan presentasi arsip dalam hal yang meranah secara ketubuhan berangkat dari ingatan bahwa politik ekologi, sebagai bagian dari budaya tradisi, banyak tercerabut dalam ranah modernisasi kapital, dengan cara mengalihkan sumber metaproduksi. Dengan memahami ihwal kesejarahan dan bagaimana tubuh-tubuh saling membangun relasi sosial, terutama melihat dan menyaksikan bagaimana arsip bisa berpihak dan/atau mengkhianati masyarakat yang melahirkannya, maka ketubuhan (corporeality) menjadi analogi untuk menjelaskan strategi dekolonisasi. Terutama bagaimana ketubuhan perempuan, dalam pelahiran upaya untuk mengingat apa yang telah diambil dari kefamilieran ruang-ruang ekspresi keseharian mereka, representasi ingatan, adalah dengan menghormati pelahirnya, yaitu tubuh yang berpikir, karya kerjanya (labor), dan memanusiakan manusia (humanity) itu sendiri. Hal ini mendudukkan tubuh dan pelaku sebagai yang sangat mendasar dan penting, dalam memikirkan apa itu arsip sebagai sumber ilmu dan informasi. Dalam pemikiran ini, misalnya, saya ingin menggunakan contoh tubuh tari, politik ekologi, dan bagaimana ketubuhan perempuan menjembatani proses perekaman sejarah dan bagaimana kesejarahan baru dimunculkan: narasi dan pengaruhpengaruhnya. Arsip yang didedikasikan pada bagaimana tubuh berperan sebagai pengingat menjadi sangat penting ketika kita didudukkan pada banyaknya permasalahan kesengsaraan para pelaku seni yang estetika atau karya seninya banyak diresepsi dan diproduksi, bahkan tersebar luas. Apalagi ketika wacana baru tidak mampu menjembatani keterhubungan antara tubuh dan sumber-sumber keseharian seperti air, tanah, dan bahkan ritual pengaturan itu secara budaya dan norma. Jadi, bahasa dan wacana “modern” dalam menggolongkan keperempuanan, penggunaan tubuh tari dan masyarakat komunal sebagai metode mengarsip, banyak muncul dalam bahasa yang bersifat romantis, di mana pendiskriminasian peran perempuan itu sendiri lebih tersamarkan atau tidak muncul. Jadi, wacana di sini lebih menjadi penanda pengaruh luar daripada menandakan bagaimana keaslian sebuah komitmen dalam meranahkan keaslian sebuah eksistensi, baik kebendaan ataupun makna seni sebagai tujuan. Mendudukkan arsip dari sudut pandang ini juga merupakan sebuah upaya mendekonstruksi konsep patriarki, yang mana tanda mengingat ternyata banyak dikooptasi kepentingan “komunal”, tapi tak berpihak pada ketubuhan itu sendiri, karena komunal yang patriarkal. Dalam hal ini, kita mengapropriasi konsep feminisme universal untuk membantu merumahkan arsip akan politik gender, tetapi mendasari pandangan dengan K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 193 secara khusus meranah pada kesadaran lokal: bagaimanakah sebuah arsip dimaknakan dalam keseharian. Secara lebih jauh, kita juga bisa mengharapkan sebuah transmisi nilai, misalnya per­tunjukan di atas (“Tupac Shakur’s Coachella Hologram”) dalam mengingat po­ li­tik estetika seniman kulit hitam di Amerika. Contoh lebih khususnya, dalam se­ bu­ah pertunjukan, analisis replika adalah tubuh menjadi sebuah translasi, ter­je­ mah­­an yang terimplikasi melalui sensor visual dan digital. Seperti sebuah translasi dalam karya literatur, saya memandang, dalam konteks ini atau rekaman biasa, ada batasan yang meng-objek-kan tari dan tubuh tari, di mana ia termediasi oleh subjek baru, yaitu media, dan secara filosofis menjauhkan sebuah kebutuhan re­la­ sio­nal antarmanusia karena tergantikan secara media dan dianggap dalam kasuskasus rasial politik akan lebih aman. Dari arsip yang semacam ini, Walter Benjamin dalam bukunya yang sangat dike­ nal, The Work of Arts in the Age of Mechanical Production, saya terjemahkan se­ 11) Steve Dixon, 123. 12) Gayatri Spivak, “The Politics of Translation”, dalam Shaden M. Tageldin, Disarming Words: Empire and the Seduction of Translation in Egypt. California: University Minnesota Press, 2011, h. 1. M ene o rikan A rsip : K arya T ubuh , D ek o l o nisasi B erpikir , T aktik , dan P emberdayaan I ngatan Dalam konteks ini, saya mengajak untuk menengok keberangkatan narasi dan nilai dalam tubuh tari: kebanyakan arsip secara konvensional merekam tanpa peduli apa pun bentuk representasinya; bahwa tari adalah ritual, tari adalah tradisi dari masyarakat tertentu, dan tari yang dalam tautan bentuk-bentuk arsip itu dinarasikan kembali menjadi seperti tautan kesejarahan. Kemudian muncul digitalisasi, video atau apa pun bentuknya secara teknologi, di mana secara hegemonik tubuh hanya diambil sebagai “bahan mentah” dan didudukkan secara sama dengan alat teknologinya.11 Dalam rekaman/arsip bentuk kedua ini, saya berargumen bahwa estetika ketubuhan menjadi bahan yang dijadikan objek saja: tercampurkan dengan elemen lain tapi bukan sebuah metodologi berpikir. Argumen saya ini juga menyangkut sebuah contoh, misalnya kehadiran “Coachella Tupac Shakur Hologram” (2012), yang tampil setelah hampir lebih dari 15 tahun sang seniman meninggal. Hologram, dalam melahirkan tubuh yang sudah tiada (meninggal), menjadi satu metode mengingat kembali, tetapi secara estetik, ketubuhan yang hadir di sana juga tampak statis/teranimasi, sementara kebesaran nilai-nilai yang ditawarkan terkooptasi secara imaji oleh Digital Domain Media Group, yang notabene adalah perusahaan besar dalam bidang media. Pa­ rah­nya lagi, kebesaran karya ini membuka akses terhadap Tupak Shakur, tetapi yang sudah ditranslasikan (diterjemahkan) secara performa statis dalam teknologi. Ber­bicara soal translasi, kita ingat pendapat Gayatri Spivak, bahwa translasi adalah membaca secara yang paling intim/lekat.12 Di sini, kita melihat “keintiman” hanya pada nuansa yang “dangkal”; sebuah kehadiran yang tidak saja bukan tubuh sebenarnya, tetapi unsur estetiknya pun sudah tergantikan oleh mesin. 194 arsipelag o ! R achmi D iyah L arasati ca­­ra bebas, banyak mengatakan bahwa, “dalam sebuah reproduksi yang tam­pak sem­purna sekalipun, ada elemen yang hilang: keruangan dan waktu yang ter­ ha­­dirkan, sebuah eksistensi yang khas di tempat dan keruangan yang tercip­ta­ kan, inilah sebuah konsep otentisitas (214)13. Hal ini juga dibahas secara detail oleh Steve Dixon dalam Digital Performance: A History of New Media in Theater, Dance, Performance Art, and Installation (123)14. Dalam pengamatan ini, Benjamin me­na­ warkan sebuah konsep ”presence”; keberhadiran, yang mana sangat penting un­ tuk mendekonstruksi hegemoni kapital dalam pelahiran representasi. Tetapi, jika kita mengamati secara detail isu tubuh—sebuah pemikiran panjang—terutama kon­­teksnya dalam kesejarahan: bagaimana tubuh terkooptasi, ditranslasikan, dan di-arsip-kan di Indonesia ini, pemikiran Benjamin ini tidaklah cukup. Keaslian tubuh dari esensialisme harus dilengkapi dengan konteks makna tubuh yang hadir itu sen­­diri, untuk sebuah dedikasi terhadap penolakan replikasi tubuh yang ternyata ma­­sih bias dilakukan dengan tubuh baru yang ter-estetika-kan. Pengembalian de­ dikasi ini, untuk konteks Indonesia dan juga bangsa lain yang mengalami masa ge­ lap penghapusan tubuh dan estetikanya15, menjadi penting dan merupakan projek dekolonisasi secara nasional dan internasional dalam mendudukkan pemahaman arsip dalam konteks yang berpihak. Arsip yang Bicara: Sebuah Dekonstruksi dari Representasi yang Stagnan dan Gagal Anila Daulatzai, seorang Amerika berdarah Pakistan, dalam terbitan War and What Remains: Everyday Life in Contemporary Kabul, Afghanistan, merasa bahwa arsip tentang Afghanistan tidak mampu memberinya kepuasan untuk meng­gam­ barkan ruang-ruang ekspresi penduduk Afghanistan yang tidak monolitik keter­hu­ bung­annya dengan perang; tentang negara dan penduduknya, tentang aga­ma dan penganutnya, dan juga tentang sebuah tempat budaya dari mana ke­lompok aga­ma tertentu yang tinggal berasal. Arsip yang menurut dia kosong ke­ba­nyakan beru­pa berita perang, yang justru mematikan analisis relasional antara perang dan humanitarianisme, saksi hidup, dan strategi untuk kehidupan sehari-hari. Untuk mendekonstruksinya, pengalaman ketubuhan penting dan berguna un­tuk mengurangi tekanan-tekanan yang muncul dari ketidakfamilieran ataupun ke­ti­ dak­nyamanan atas terwakilkannya, dalam sebuah representasi, sebuah ko­mu­ nitas.16 Pemahaman dekolonisasi, dalam hal ini, dipakai untuk melihat arsip (fotofoto perang, humanitarianisme) sebagai bentuk yang mendekati kesejarahan re­lasi 13) Merujuk pada Walter, Benjamin. The Work of Art in the Age of Mechanical Production. 14) Dixon, Steve. Digital Performance: A History of New Media. Boston: MIT Press, 2007. 15) Larasati, Rachmi Diyah. “Desiring The Stage”, dalam Neoliberalism and Global Theatres: Performance Permutations. Ed. Patricia Ybarra & Lara Nielsen, 253-265. 2012. 16) Meena Menon, The Hindu, January 2014. K erja A rsip & P engarsipan S eni B udaya di I nd o nesia 195 manusia, keterlibatan politik gender, dan kolonial (perang) sebagai bentuk pengujud-annya, yang ternyata secara sosial tidak pernah terlepas dari paham imperial (imperial knowledge), dan dalam bahasa produksi kapitalisme membentuk nilai baru akan esensi pelaku seni, atau melahirkan pola relasional baru, yang ba­ha­ya­ nya, menjauhkan makna relasi itu sendiri. Untuk itu, saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah pemosisian diri dalam kajian arsip; atau meminjam bahasa Marta Savigliano: kesatuan pandangan. Da­lam hal ini, pengikut poskolonialisme dalam kajian arsip mendudukkan kese­ ja­rahan se­bagai fenomena yang embodied (“menubuh”), tidak terpisahkan dalam ranah estetika penggolongan saja, melainkan sebuah bahasa pengingat, metode melihat dan merasakan sebuah relasi sosial. Arsip yang secara filosofis mengedepankan “the presence” (“keberhadiran”) sebagai metodologi untuk meng-klaim, sebagai pengingat, diharapkan menjaganya tidak sekadar sebagai sebuah romantisme keberadaan, kehadiran, tetapi juga menjadi sebuah teori yang berangkat dari keseharian yang berpihak.  M ene o rikan A rsip : K arya T ubuh , D ek o l o nisasi B erpikir , T aktik , dan P emberdayaan I ngatan Dalam mengamati kesejarahan seperti ini, kita bertemu dengan studi antropologi yang, untungnya, pada perkembangan terakhir keilmuannya, mendekonstruksi pa­ra leluhurnya yang merupakan salah satu pokok kesejarahan arsip. Sejak mu­ la, studi seperti ini mendudukkan arsip dari sudut pandang yang romantis; seo­ lah mentranslasikan (menerjemahkan) waktu, ruang, manusia, dan pikiran dalam pilihan-pilihan fragmen. Seperti yang sudah saya bahas di awal tulisan ini, mi­ salnya, beberapa pandangan tradisi dalam sistem pengarsipan dari cerminan bu­­daya masyarakat agraris memiliki perbedaan kemasyarakatan dan apa yang disebut alam sakral (sumber kehidupan mereka). Alam sakral inilah yang, ketika menjadi arsip, telah tereduksi secara nilai, di mana kebendaan (materialisme) tidak mampu mengawal sebuah transmisi nilai kepada siapa saja yang mempelajarinya, pun tak mampu mengawal sistem regenerasinya. Bahkan para pemerhati arsip dari golongan awal menyatakan sebuah nilai “peradaban” untuk ukuran keterbatasan arsip, yaitu bahwa tradisi masyarakat agraris tidak tergolong “modern”. Inilah yang saya maksud dengan arsip dan keterbatasan sebuah translasi (terjemahan). Me­kanisme keperempuanan yang terarsipkan, misalnya, kebanyakan menjadi romantisme tradisi tanpa mendasarkan pada project resistance atau project resilient. Inilah yang disebut Edward Said dan Marta Savigliano dengan nilai bias pe­ngetahuan. Untuk merespon hal ini, kita harus bisa menemukan sebuah meto­ do­logi bagi orang-orang yang terpinggirkan dalam meranahkan keilmuan atau tra­ disi mereka. Bahkan bagi beberapa ilmuwan, inovasi dalam mendudukkan arsip sa­ngatlah penting untuk mendekonstruksi perpanjangan dari ketidakberpihakan. 196 profil penulis pr o fil penulis

Anna Mariana, peneliti dan pengelola jurnal online ETNOHISTORI, se­buah komunitas epistemik antropologi-sejarah yang berbasis website, serta menjadi fellow researcher di Sajogyo Institute, Bogor. Meng­geluti kajian sejarah, budaya, perempuan, dan etnografi. Menye­nangi film dan sastra. Beberapa tulisan yang sudah dipubli­ka­ si­kan bertemakan budaya kekerasan, kota, jender, dan politik perem­ pu­an, di antaranya: a) “Negeri Bahagia di (Kota) Kamp Konsentrasi Sukabumi”, dalam Budi Susanto S.J. (ed.), Ge(mer)lap Nasionalitas Poskolonial, Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 2008; b) “Tak Ada Rotan Akar pun Jadi (Kisah Gedung Inspektorat Sukabumi)” da­lam portal: http://etnohistori.org/tak-ada-rotan-akar-pun-jadikisah-gedung-inspektorat-sukabumi.html,2011; c) “Kamu India Asli apa Palsu? Potret Tiga Perempuan dalam Keluarga Etnis India di Yogyakarta”, Kertas Kerja Penelitian Des Indes Orientales: Sejarah Ko­munitas India di Yogyakarta: 2012, Kunci Cultural Studies Centre dan Etnohistori; d) “Kamp Tefaat Plantungan: Kamp ‘Pemanfaatan’ (Seksual) Perempuan”, Jurnal Diakronik, Jurnal Sejarah Universitas Negeri Surakarta, Vol. 2, No. 2 Juli, 2012. Bisa dihubungi via email: [email protected], website: www.etnohistori.org. Erie Setiawan menamatkan studi Musikologi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2008), dengan penelitian tentang “Peran Intuisi dalam Proses Penciptaan Musik”. Mendirikan Forum Studi Musik Turanggalila (2007); Menerbitkan bundel “Jurasik Today”: Kumpulan Esai Mahasiswa Jurusan Musik ISI Yogyakarta (2007); Buku Short Music Service: Refleksi Ekstramusikal Dunia Musik Indonesia (Propethic Freedom, 2008). Wartawan majalah seni-budaya GONG (2008-2010). Editor untuk berbagai buku musik, beberapa yang terakhir: Musik: Pendidikan Budaya Tradisi (Prof. Triyono Bramantyo, Ph.D: 2011); Virus Setan: Risalah Pemikiran Musik (Slamet A. Sjukur: 2012); Dangdut Unlimited (Purnawan Setyo Adi: 2013); Imagi-Nation: Membuat Musik Biasa Jadi Luar Biasa (Vincent McDermott: 2013). Saat ini mengurusi Pusat Informasi Musik “Art Music Today” Yogyakarta, bagian Riset dan Pengembangan di Sekolah Musik Indonesia (SMI), menulis, mengajar, meneliti, mengarang lagu dan musik, serta bermain musik keroncong dan pop. Galatia Puspa Sani Nugroho, atau sering disapa Galih, adalah lulusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Semenjak SMA tertarik dengan dunia fotografi. Sempat menjadi fotografer bagi Sa’Unine String Orchestra, pementasan Gundala Gawat oleh Teater Gandrik, dan mengerjakan beberapa proyek komersial. Sempat aktif di Unit Fotografi UGM, Festival Film Dokumenter, dan kelompok Kandang Jaran (sampai sekarang). Pernah meraih penyelenggara program terbaik dalam Parallel Event Biennale Jogja XI 2011, bersama kelompok Kandang Jaran. Selain itu juga mengerjakan beberapa aktivitas kesenian berbasis riset bersama Kandang Jaran dan Ruang Seni Rupa Padepokan Bagong Kussudiardja. Setelah mengerjakan tugas akhir kuliah dengan metode Sosiologi Visual, sekarang tertarik untuk mengerjakan riset-riset berbasis visual dan memulai kegiatan tulis-menulis. Galih dapat dihubungi via: [email protected] com atau www. flickr.com/galatiapuspa.

197 Gde Putra aktif di komunitas Taman 65, sebuah komunitas di Denpasar yang memfokuskan pada isu melawan “lupa sejarah”, “acuh sejarah”, dan “pembungkaman sejarah” mengenai Tragedi ‘65 beserta dampaknya. Pernah kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, jurusan Sosiologi. Sekarang penulis, juga aktif di ForBALI. Hafiz Rancajale, seniman/kurator/pembuat film dokumenter. Salah satu pendiri Forum Lenteng dan Ruangrupa. Di Forum Lenteng, ia menjadi chief editor jurnal film dan video www.jurnalfootage.net. Saat ini menjadi Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta. Tinggal dan bekerja di Jakarta.

Joned Suryatmoko praktisi media berbasis komunitas, khususnya media teater. Ia pernah menjabat Koordinator Umum Institut Teater Rakyat Yogyakarta (ITRY, 1997 s.d 1999). Kini ia juga bekerja sebagai pem­buat teater bersama Teater Gardanalla (berbasis di Yogyakarta) dan direktur untuk Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF), festi­ val yang mempromosikan naskah-naskah lakon baru Indonesia. E-mail: [email protected]

arsipelag o ! Helly Minarti lulus program S3 dari Jurusan Tari, University of Roehampton (2014), dan kini menjadi salah satu kurator Indonesian Dance Festival (edisi 2014) dan produser bagi koreografer Fitri Setyaningsih, sambil melanjutkan meneliti tentang tari, terutama isuisu seputar sejarah modernisme tari dan modernitas. Pernah bekerja seba­gai manajer program arsip di Akram Khan Company (www. akramkhancompany.net) dari Juli 2009 - April 2011, yang bertujuan untuk merancang sistem kearsipan yang dapat mentransformasi prak­tik koreografi Akram Khan menjadi bahan pembelajaran bagi bera­gam konteks, bekerja sama dengan De Montfort University serta Victoria and Albert Museum: Performing Arts Collection. 198 profil penulis pr o fil penulis

Kathleen Azali bekerja di Perpustakaan & Kolabtiv C2O, Surabaya, dan Institute of Southeast Asian Studies, Singapura. Sedang bereks­ pe­rimen dengan berbagai teman, mengembangkan projek Ayorek! un­tuk “merekam, menghubungkan warga & kota Surabaya”. Website: kathleenazali.c2o-library.net | E-mail: [email protected]

MUHIDIN M. DAHLAN, pendiri dan pengelola Radio Buku dan Warung Arsip yang bernaung di bawah Yayasan Indonesia Buku. Meriset beragam hal, mulai dari sejarah Indonesia hari demi hari, sejarah pers Indonesia, sejarah kebudayaan di periode 1950-an dan 1960-an, hingga sepak bola, seni rupa dan sejarah buku. Bukunya yang sudah diterbitkan, antara lain Seabad Pers Kebangsaan (19072007): Bahasa Bangsa, Tanah Air Bahasa (2007), Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007), Trilogi Lekra Tak Membakar Buku (2008), Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo (2008), Seri Kronik Kebangkitan Indonesia (2008), Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009 (2009), dan Timnas Indonesia Juara 1991 , 2013 (2013). Bisa dihubungi via twitter @radiobuku dan @warungarsip. Rachmi Diyah Larasati adalah Associate Professor bidang Teori Kajian Budaya dan Historiografi di jurusan Theatre Arts & Dance, University of Minnesota di Minneapolis, juga profesor di kajian feminisme (Gender, Women, and Sexuality Studies). Ia juga pernah mengajar di Brown University untuk program Critical Global Humanities Research Institute (BIARI, 2011), sebagai dosen tamu di IRB Universitas Sanata Dharma 2012, 2014, di UGM 2014, universitas di Addis Ababa, Ethiopia 2011, dan di Universitas Granada, Spanyol pada 2011. Buku dan tulisan-tulisan yang sudah dihasilkannya: The Dance that Makes You Vanish (University of Minnesota Press, Maret 2013); “Crossing the Seas of Southeast Asia: Indigenous, Islam, Diasporic and Performances of Women’s Igal” (Oxford, 2014); “Indonesian Dancing Bodies: Massacres and Restrategizing the Postcolonial State” dalam Asian Studies: Culture and Society in Asia, 2013, 45: 1-2, “Desiring the Stage: The Interplay of Mobility and Resistance” dalam Neoliberalism and Global Theatres, Palgrave Macmillan, 2012, 256-265; “Eat, Pray, Love Mimic: Female Citizenship and Otherness” dalam South Asian Popular Culture Vol. 8. Is 1, 2010, dimuat ulang dalam Transnational Feminism and Global Advocacy in South Asia (Routledge 2012, 97-104); “Lingkaran Tubuh, Tari, dan Kekuasaan” dalam Jurnal Perempuan edisi spesial 62. Saat ini, Larasati sedang menulis buku kedua, The Abandon, Land and Politics of Aesthetic. 199 Indeks Symbols 6,5 Composers Collective 52 8mm 30, 69, 70 16mm 63, 68 35mm 63 A B Bach 48 Baker, Josephiné 39 Bali xx, 28, 35, 92, 94, 95, 96, 97, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 153, 167 Ballets Russes 27, 37 banalitas 77 Bandung 5, 23, 27, 51, 56, 82, 126, 156 Bangkok 52 Baperki 115, 116, 120, 123, 124 batik 147 Bayu 52, 53 Beethoven 48 Beliant Sentiyu 134 Benesh, Rudolf 27 Benjamin, Walter 193 Berita Republik Indonesia 6 Berlage Institute Amsterdam 162 Berlin International Film Festival 71 bibliotheek 113 Biennale Jogja 144, 150, 151, 152, 156, 159, 161, 196 Biennale Seni Lukis Yogyakarta 143, 145, 149, 150 BIN 15 Binal 145, 146, 147, 148, 150, 163, 164, 166, 167 Binal Experimental Art 146, 147, 148, 150, 163, 164, 166, 167 Bintang Timor 115 Biran, H. Misbach Yusa 60, 63, 64, 67 Boal, Augusto 137 Booker Prize 15 Boone, Mathius Shan 52, 57 Bourchier, David 11, 14 Bowo 51 Brahms 48 Brown University 198 Brutu, Perjaga 52 Buddhist Education Center 120 Budiman, Andriew 126 Bugis 175, 177 buruh migran 80, 82 BWJ Youth 53 C C2O 112, 119, 126, 198 Caesar, Daniel 51 Cahyono, Dwi iv, 181, 182 Cahyo, Septian Dwi 52, 53 Candra, Eros 53 Capita Selecta 9, 10, 11, 12, 13, 23 chauvinism 172 Chennai 36 Christanto, Dadang 147, 148, 153, 154, 166 Christian, Hery 52 Cina 47, 108 commision work 49 conceptual music 56 connoisseurship 188 contrapuntally 187 Coppel, Charles 109, 119 corporeality 192 Countrybution 150, 159, 160, 161, 162, 166 Covarrubias, José Miguel 27 CPI 83 cross-culture 134, 139 cultural studies 51 Cunningham, Merce 29 D Dagh-register 78 Dahlan, Muhidin M. xix, 1 Dahrizal, Musra iv, 171, 174 Dartanto, Sujud 162, 163, 166 Daulatzai, Anila 194 Debussy 47, 49 Dede Ndate 134 Dédé Oetomo 112, 119, 120, 126 Dekker, Douwes 9 Dekolonisasi xx, 186 dekonstruksi 85, 187, 188 Demokrasi Terpimpin 81 De Montfort University 197 Denpasar 51, 56, 94, 98, 197 Dermawan, Agus 146 Dewan Kesenian Jakarta 12, 23, 34, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 55, 58, 59, 63, 72, 132, 141, 197 Dewantara, Ki Hadjar 43 arsipelag o ! ABRI Pujaan Hati 66, 69 Aceh 6, 7, 89 Adam, Hoerijah 30, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 39 adiluhung 48 Adinda, Mana 116 Adipurnomo, Nindityo 155, 157, 166 Adi, Yuswantoro 152, 153 Afrika 47 Afrisando, Gian 52 Agraria 75, 79, 85, 86, 87, 88, 89, 91 Ajidarma, Seno Gumira 64, 67 Akram Khan Company 197 Alfajar, Gigih 52 algemene 78 Algemene Gemeente 78 algorhitmic composition 56 Alhamd, Ramasona 56 Alun-Alun Utara 150 Ambara, Alit 86 Amerika 15, 21, 29, 30, 31, 37, 39, 47, 55, 57, 189, 193, 194 Amerikanisasi 29, 30 AMI 45, 46 Amkpa, Awam 187 Anak Sabiran xix, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71 Anderson, Ben 2 Anderson, Benedict 109 Andiga, Zaki 54 Andika, Raden 54 Andriyanto, R.M Aditya 52 Angkatan Darat 15, 16, 66, 85 Angraeni, Elok 77 antologi 12 Anusapati 153, 154, 155, 157, 166 Aprianti, Saptuty 120 Apsari, Anastasia 52 archival 191 Arham, Muhammad 54 Arifin, Muh. Nur 52 Arita 52 Arsip xix, xx, 28, 41, 42, 45, 56, 63, 66, 69, 70, 74, 76, 77, 78, 79, 85, 90, 91, 103, 140, 186, 189, 190, 192, 194, 195, 198 arsiparis 14, 15, 124 Art Music Today 43, 47, 54, 55, 59, 196 artworld 157 ASEAN 123 Asia 20, 29, 39, 47, 52, 69, 138, 141, 198 Asia Raja 20 Asia Tenggara 52, 69 Asia Theatre Forum Partnership Program 138 Asia Timur 29 asketisme 21 Asmara, Michael 52 Asmus, Bernd 54 Asrama Putri Ratnaningsih 76 Assange, Julian 14 audience 132 audio visual 131, 134, 135, 136, 137 Auslander, Phillip 135 Australia 35, 119, 162 Avi, Felix 52 Azali, Kathleen xx, 107, 198 200 Dewa, Seta 52, 55 Dharma, Agam, Kidjing 53 Diaghilev, Sergei 27 diary data 51 Di Balik Tjahaja Gemerlapan 64 Dixon, Steve 193, 194 Diya, I Wayan 35, 36 Djajadiningrat, Husein 21 Djajakusuma, D. 42, 60 Djaja, Sjuman 60, 62 DKJ 34, 35, 55, 132 Doang, Davit 39 Documenta Historica I 6, 23 dokumentasi 2, 4, 8, 18, 19, 20, 21, 22, 30, 37, 38, 39, 48, 52, 63, 69, 70, 71, 78, 84, 110, 118, 144, 161 dokumentator 2 Domei 19 Donny-Prass 182 Dono, Heri 147 Duncan, Isadora 27 indeks E Edwin 71 Efendi, Nike 52 Egleton 50 Eisenhower Emergency Fund 29 eksistensialisme 188 embodied culture 189 Embut, Mochtar 44 empirical musicology 50 epistemologis 188 Eropa 27, 47, 48 esensialisme 194 estetika 44, 57, 59, 83, 90, 132, 153, 159, 160, 187, 189, 191, 192, 193, 194, 195 ethno-narrative 190 Etnohistori 77, 82, 83, 85, 91, 196 Etnomusikologi 42, 48 Eurasia 114, 115 F facebook 50 Fadjaringsih, Elis 137 Faizal 52 Fakhrur, Said 52 Fauzi, M. 86 Febrianto, Christian 54, 57 feminisme 192, 198 Ferianto, Djaduk 53 Festival Malang Tempo Doeloe 181 Fikiran Ra’jat 5 filem 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72 Filipina 47, 138 Fillamenta, Doly 51 First hand knowledge 78 footage 27, 137 ForBALI 95, 96, 97, 100, 101, 102, 103, 104, 197 Ford Foundation iv, 8, 23, 132, 141, 177, 204 fortified piano 56 Forum Lenteng 60, 62, 63, 64, 67, 68, 69, 71, 72, 197 Forum Musik Tembi 52 fotografi 27, 28, 62, 69, 70, 71, 196 founding people 85, 86 G G-30S 16 Galeri Cana 166 Galeri Malang Bernyanyi 182 Galeri Raos Batu iv, 184 gamelan 29, 47 Gedung Seni Sono 150 Gendang Beleg 134 gender 192, 195 genre 41, 49, 188 Gerakan Sosial xix, 74 Gereja Katolik 137 Gesang 53 Giddens, Anthony 163 Ginanjar, Gigin 52 Giovani, Iswara 54 Goentoro, Erlin 107, 108, 110, 111, 113, 114, 115, 116, 118, 119, 121, 122, 124, 126 Golkar 11 Gugur Merah 17, 23 Gumarang Sakti 39 Gunawan, Asril 51 Gunawan, Patrick 52, 56 H Habermas, Jürgen 163 Hadijaya, Christanto 52, 53 Hadinoto, Sigit 182 Hadiz, Vedi R. 11, 14, 23 Haji Masagung 23, 107, 110, 117, 118, 123, 125 Hakim, Arif Rahman 53 Hara, Eddie 147, 148 Hardjana, Suka 42, 44, 45, 55, 59 Harian Rakjat 17, 23 Hariprawiro, Nikanor R. 54 Hatta, Mohammad 9 HCS 114 hegemonik 77, 189, 193 He Geng Xin 109 Henakin, Julius Catra 52, 57 heritage 160, 161 Herwanto, Hengki 182 Hexentanz 38, 39 Hidayat, Pandu 51 Hindia Belanda 27, 29, 36, 81, 113, 114, 115 historiografi 78, 81, 82, 84 History Week 88 Ho Ho Nias 134 Hollandsche Chineesche School 114 Holt, Claire 30 Honey Money dan Djakarta Fair 64 Hongaria 47 hoofdrecateur 3 Hotel Savoy Homan 27 Hudoq 134 humanitarianisme 194 humanity 192 I Ibrahim, Benny 183 Ibrahim, Ratna Indraswari 183 Ibrahim, Syaiful Bahri 183 Ibu Jari 53 Ideologi xix, xx, 41, 50, 83, 91, 143, 150, 167 Ikatan Pemusik Indonesia 43 IKJ 45, 64 ikonografi 28 imperial knowledge 195 Indarto, Kuss 162, 163, 166 India 2, 35, 36, 38, 123, 196 Indonesia Dramatic Reading Festival 197 Indonesian Dance Festival 197 Indraningsri, Dwiani 54 Indrapraja, Diecky 52 Indratma, Samuel 161, 162, 166 Inggris 15, 27, 38, 39, 82, 108, 114, 153, 187 Insomnium iv, 184, 200 Institut Teater Rakyat Yogyakarta 130, 197 intangible arts 189 International National Trusts Organisation 182 IPB 75, 88 Irfan dan Margi 53 Irianto, Asmudjo Jono 155, 160, 162, 165, 166 Irvano, Rocky 52 ISI Surakarta 44 ISI Yogyakarta 45, 54, 166, 196 Ismail, Usmar 72 ITRY 130, 197 IVAA 12, 59 J Jakarta 1, 3, 8, 12, 14, 20, 21, 23, 29, 30, 34, 35, 36, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 51, 54, 55, 56, 58, 59, 201 63, 64, 68, 72, 78, 79, 80, 82, 84, 89, 91, 96, 109, 117, 126, 132, 141, 167, 197 Jalan Tunjungan 118, 119 Jamin, Moh. 9 Janardhana, Yan Priya Kumara 56 Jaringan Arsip Budaya Nusantara 140 Jassin, Hans Bague 18 Jassin, H.B 20, 21, 23, 125 JATAM 89, 91 Jatmiko, Ovan Bagus 52 Jawa Barat 89 Jawa Baru 20 Jawa Pos 17 Jawa Tengah 85, 89, 113 Jawa Timur 89, 119 jender 80, 82, 83, 85, 196 Jepang 5, 19, 29, 47, 81, 82, 108 Jerman 27, 39, 47, 108 Jeyasingh, Sobhana 38 Joffrey Ballet 27 Jonathan, Stevie 54 Juliastono 120 Jurnalis 2, 12 jurnalistik 2, 12, 114, 115, 116 Jurnal Perempuan 198 Kadek 52 Kailola, Setiati 24, 35 Kairo 190 Kalisosok 117 KAMPR 76, 77 Kampus Asri Gampingan 150 Karapan Sapi 134 Kartika, Rininta Yulia 52 Kartodikromo, Mas Marco 3 Karya, Teguh 132 Kasido, Mugiyono 28 Kawi 99, 100 Kazavi 53 keberhadiran 187, 194, 195 kebudayaan 3, 16, 17, 29, 30, 31, 47, 50, 63, 64, 66, 67, 69, 70, 71, 132, 137, 140, 189, 198 Kebumen 85 Kedaulatan Rakyat 77 Ketuk Tilu 27 KGB 123 KGPAA Mangkunegara IV 27 Khan, Akram 38, 197 Kharisma 52 Kineforum 72 klangfarbenmelodien 56 kliping 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 42, 62, 77, 108, 109, 120, 121, 123, 124 kliping ide 10, 11, 12 L Laban, Rudolf van 27 labor form 191 Lampung 89 Landraad 5 land reform 85, 86 Laporan dari Bawah 17, 23 Larasati, Rachmi Diyah xx, 186, 189, 198 LEKRA 16, 66 Lembaga Kerapatan Adat Nagari iv, 173, 201 Leo 52, 126 Lesbumi 66 Lev, Daniel S. 109 Lewat Djam Malam 63, 72 Liar, Akar 53 life hood 189 Liga Komponis 43 Limón, José 29 Lindsay, Jennifer 29, 126 Lingkaran Seni Djakarta 60 Ling, Tan Swie 120 Liunardus, Eric 54 Liu, Oiyan 113 Lohanda, Mona 78, 91, 109 London 15, 39, 182 lontara’ 176, 177, 179 Lopez, Angela 53 LSM 12, 95, 137 Luthfi, Ahmad Nashih 75, 85, 86, 88, 89, 91 Luthfi, Alex 153, 154, 166 M M15 15 Mack, Dieter 43, 46 Madiun 15 Madura 180 Mahabharata 132 Mahendra, Yusril Ihza 102 Mahidol University’s College of Music 52 Majalah Humor 150 majalah Tempo 60 Majapahit 180 Makassar 51 Malang 113, 115, 117, 118, 119, 120 Malin Kundang 31, 33 Malna, Afrizal 28 Manaloe, Tanaka 52 Mangkoepradja, Gatot 9 Mangunhardjana, Agustinus Dasmargya 120 Manifes Kebudayaan 66 Manikebu 66 Manik, Liberty 44 Mariana, Anna xix, 74, 196 Marianto, M. Dwi 153, 154, 162, 166 Martha Graham School 24 Maruti, Retno 34 arsipelag o ! K Koapaha, Verita Shalavita 52 Kode Desimal Dewey 123 kolonial 79, 108, 114, 115, 187, 188, 189, 191, 192, 195 Komang 52 Komnas HAM 117 Kompas 5, 45, 46, 77, 109, 126, 153 komponis 41, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59 Komseni 134, 141 KOMSENI 135 Komunitas Pecinta Kajoetangan 182 Komunitas Ruang Kerja Budaya iv, 172 Konfiden 72 Konservatori Karawitan 30 konstituante 115 koran 1, 2, 3, 4, 6, 8, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 62, 77, 108, 109, 114, 115, 116, 123, 124, 133 koran Matahari 115 KOWANI 80 KPA 89 Krisnawardi, Benny 39 Krisnerwinto, Oni 53 Kristanda, Budi 54 Kristanto, J.B 63 kritisisme 97 Kronik 5, 7, 8, 11, 23, 75, 79, 85, 86, 87, 88, 89, 91, 198 Kronik Kebangkitan Indonesia 8, 11, 23, 198 Kronik Revolusi Indonesia 7, 8, 23 Kronik Agraria 75, 86, 87, 88, 89, 91 kultural 2, 3, 10, 22, 26, 27, 28, 29, 31, 35, 36, 47, 49, 60, 76, 135 kurasi 151, 152, 153, 154, 155, 157, 158, 164, 165, 166 kurator 95, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 197 kuratorial 34, 38, 51, 143, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 165 Kurawa 97 Kurniawan, Ari 126 Kussudiardja, Bagong 24, 29, 146, 166, 196 Kusuma, Denny Yuda 51 Kusuma, Yashinta Anggar 52 Kusumo, Sardono W. 36 Sardono 30, 31, 35, 36, 37 Kuta 92, 98 Kutaraja 6 indeks 202 Maryana, Tony 51 Marzuki, Ismail 34, 53 Mastuti, Retno 182 materialisme 45, 46, 187, 195 Matra 150 Maulana, Aldy 52 Max Havelaar 123 Mazasupa, Bagus 51 McDermott, Vincent 41, 47, 196 MD, Mahfud 18 Mebebasan 99 Medan 17, 51, 82 Medokan Ayu 108, 126 Mein Kampf 123 Melayu 8, 35, 37, 108 melting pot 54 memoar 77 Memorie van Overgave 78 Mendut, Sutanto 42 Mesir 86, 190 Minangkabau 30, 35, 36, 37, 39 Minarti, Helly 197 Mizan 16, 23 MK 18 modernisme 27, 28, 29, 34, 36, 158, 197 Moeis, Abdoel 9 Moeljanto, D.S 16, 23 Moema, A’an 53 Moertopo, Ali 9, 11 monetary exchange 187 Mooi Indie 12 More, Thomas 163 Moris, Uyau 52 Moskow 35, 36 Mourinho, Relin 52 MP3EI 99, 100 MSPI 43, 134, 141 Mukti, Chozin 52 multimedia 56, 82, 83 Mundayat, Aris 148, 150 Murgiyanto, Sal 34 Murti, Yoshi Fajar Kresno vi Museum Malang Tempo Doeloe 181 Museum Vredeburg 79, 80, 82, 83, 84, 85 musicianship 49 musikologis 41, 55 musik seni 41, 42, 44, 46, 48, 49, 51, 52, 54, 56, 57, 59 Musik Tradisi Baru 52, 53, 54 musique concrete 56 N Nababan, Asmara 117 Nadidada 53 nasionalisme 9, 10, 78, 108 Neo Nation 160, 161 New York 27, 35, 36, 39, 141, 167, 188 Nijinsky, Vaslav 27, 37 Ningtyas, Windi Wahyu 77 Nishida, Ikon 148 Noer, Arifin C. 132 NU 66 Nugroho, Galatia Puspa Sani xx, 143, 196 Nusa Kambangan 117 nusantara 53, 102, 103, 140 O Oei Hiem Hwie 107, 109, 110, 111, 113, 115, 116, 117, 119, 120, 124, 126 Oetoyo, Farida 35, 36 O’Neill, Peter 162, 166 Onghokham 8 Operasi X 64 Orde Baru 10, 11, 66, 68, 81, 83, 85, 95, 102, 119 Orde Lama 81 Osaka 37 Oud Batavia 123 P Padang xvii, 56, 170, 171, 172, 173 Padangpanjang 51 Pakarena 134 Pakistan 86, 194 Pamungkas, Pongki 182 Pancasila 10, 123 Pandawa 97 Pane, Yefta Frigid 51 Panji Pustaka 20 Parani, Julianti 31, 33, 35, 36 Paris 27, 39 pariwisata 94, 95, 97, 100 partitur 51 Pasaribu, Amir 42, 43, 44, 47 Pasaribu, Ben 42, 56 Pecalang 94 Pekanbaru 51 Pekan Komponis Muda 42, 43, 44 Pekik, Djoko 148, 149 Pemangku, Gregorius Heriyanto 52 penari 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 34, 35, 36, 37, 39, 190 pengrawit 52 Penyiaran 134, 135 Perancis 47, 49 Perang Dunia II 29 Perekaman 131 performance art 86 performers 132 Perpres 98, 99, 102 Perpustakaan Medayu Agung 107, 108, 109, 110, 120, 121, 126 Perpustakaan Nasional 63 Perpustakaan Sari Agung 118, 119 pers 2, 18, 108, 114, 115, 198 Persatuan Indonesia 5, 23 Pertemuan Musik Jakarta 46 Pertemuan Musik Surabaya 46 Pesta Reba 134 PETA 138 Pietrosanti, Luca 53 Pilongo, Nugra P. 52 PKI 15, 16, 17, 23, 66, 117, 119 pointilisme 56 Postcard from the Zoo 71 poster 69, 70, 96, 97, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105 postmodern 150 Prabowo, Tony 47 Pradipta, Gardika Gigih 52 pragmatisme 59 Prahara Budaya 16, 17, 18, 23 Prakarsa, Yohanes Bintang 43, 44 Prambanan 28 Pramono, Budi 51 Pramuditya, Puput 52 Pranowo, Ganjar 85 Prawoto, Eko 162, 163, 165 praxis 149 Prayitno, Agustinus Joko 52 Prayitno, Aming 146, 166 prepared piano 56 presence 187, 194, 195 print revolution 2 Priyambodo, Yosep Suryo 51 Prokofiev, Sergei 55 pseudo 47, 48 PSI 11 Psycoetnyc 53 Pujangga Baru 20, 23 Pulau Buru 19, 117, 118, 124 Purwanto 53, 79, 91 Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin 20, 23 Pusat Musik Liturgi Yogyakarta 48 Puspa, Titiek 66 Putra, Rio Eka 56 R Raden, Franki 42, 43 Radio Buku 198 Radio Geronimo 134, 141 Raffles 123 Rahardjo, Sapto 47, 53 Raharja, Bayu Citra 53 Rahwana 97 Raliby, Osman 6 Ramayana 35, 132 Rambah, Armand 52 Ramírez, Mari Carmen 157 Rancajale, Hafiz xix, 60, 197 Rantak 39 Ravel 47, 49 203 S Saartje, Sylvia 182 Sadikin, Ali 34, 68, 118 Sadra, I Wayan 44 Sahabat Sinematek 63, 72 Said, Edward 188, 190, 195 Said, Fahmy Arsyad 53 Said, Saleh 116 Saksono, Agus 182 Salim, Agoes 9, 21 Salmon, Claudine 109 Samad, Hamrin 56 Sambudhi, Sindunata 120 Samgita Pancasona 30, 31 Sandyo 51 Sani, Asrul 60 Santosa, Joko 51 Santoso, Gatot Seger 120 Sanur 92, 98 Saragih, Tappin P. 53 Sartono, Frans 53 Saryanto 53 Satie 47, 49 Satiman 9 Satyagraha, Vishnu 52 Savigliano, Marta 191, 195 SAV Puskat 131, 132 SBY 47, 102 Schoenberg 48 score data 51 SDM 49, 89 Sedyawati, Edi 31 Sejarah xx, 9, 22, 60, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 86, 88, 91, 107, 123, 150, 196 sejarawan 4, 8, 27, 77, 78, 79, 83 Sekolah Musik Indonesia 43, 196 Semangat Merdeka 6 seni rupa 12, 28, 41, 92, 95, 96, 123, 143, 144, 148, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 162, 163, 164, 165, 166, 198 Seni Tradisi xx, 129, 134, 135, 137 Setiawan, Erie xix, 41, 196 Setiyawan, Clemens Felix 51 Setyadi, Armada 52 Seurat, George 57 Shostakovich 55 Siagian, Rizaldi 53 Siahaan, Semsar 148, 149 Siauw Giok Bie 115 Siauw Giok Tjhan 115, 123 Sidel, John 109 Sidharta, Mira 109 Sidharta, Otto 54 Sidik, Fajar 146, 147, 151, 166 Sie Djin Koei 123 Si Hitam 66, 69, 71 Sihite, Parlin 51 Simanjuntak, Cornel 44 Simatupang, Lono 48 Sinaga, Firnando 52 Sinematek Indonesia 60, 62, 63, 68, 69, 71, 72 Singapura 35, 114, 198 Sin Jit Po 116 Sin Tit Po 116 Sitompul, Binsar 44 Sitorus, Erita 44 Sjukur, Slamet A. 41, 42, 46, 47, 59, 196 skenario 64, 66 Slamet, Bing 71 Smithsonian Institute 134, 141 Sobaya 53 Soedarso Sp. 146, 151, 153, 154, 166 Soedjasmin, RAJ 44 Soeharto 9, 12, 13, 15, 23, 47, 95, 123, 132 Soeharto, Pitut 9, 12, 13 Soekarno 5, 47, 52, 76, 86 Bung Karno 1, 3, 4, 23, 107, 108, 110, 118, 123 Soekiman 9 Soemantri, Iwa K. 9 Soemarto 9 Soemitro 11 Soenarjo, Johanes Limardi 120 Soerabaja Oud and Nieuw 123 Soerjaningrat, Soewardi 9 Soerjo, Tirto Adhi 15, 198 Soeroso, RP 9 Soesanto, Budhi 120 Soetansyah, Remy 53 Soetomo 9 Sofia WD 71 sosiologi pertunjukan 188 soundcloud 50 Sound of Hanamangke 53 Spivak, Gayatri 193 Stalin 55 Stasiun Gambir 3 Stasiun Tugu 150 Stefanus, Fero Aldiansya 54 Stereotip 92 Stoler, Ann 188 STPN 85, 86, 88, 89, 91 Stravinsky 48, 55 Stravinsky, Igor 55 STSI Surakarta 44 Subroto 146 Sudarmadji 151 Sudaryanto 52 Sudiharto 34, 37 Suid, Gusmiati 39 Sukarlan, Ananda 43 Sulawesi Selatan 87, 89 Sulawesi Tengah 89 Sulistiyanto, Gatot D. 49, 51 Suluh Indonesia Muda 5 Sumanto, Bakdi 148 Sumatera Selatan 89 Sumatera Utara 42, 89 Sumatra Barat 35, 39 Suneko, Anon 51 Supanggah, Rahayu 44, 53, 56 Supangkat, Jim 150, 151, 153 Suparto, Peni 182 Suprapto 151 Supratman, W.R 44 Surabaya 17, 46, 51, 82, 108, 109, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 123, 125, 126, 134, 141, 198 Surakarta 30, 35, 44, 151, 196 Suryadinata, Leo 126 Suryadmaja, Gading 53 Suryatmoko, Joned xx, 129, 197 Susanto, Mikke 153, 162, 166 Sutopo, F.X 44 Sutrianto, Dwi 52 SWA 150 T Tahia 190 Takemitsu, Toru 47 Takwin, Bagus 50 Talsya, T.A 7 Taman Budaya Yogyakarta 145, 151, arsipelag o ! Razif 86 reklamasi 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105 Rendra, W.S 35 Repelita 178 Republika 16, 23 resistensi 92 revitalisasi 83 rezim 4, 11, 55, 79, 91, 95, 102 RFI Prancis 134, 141 Rie Poo Tian 109 Rijksblad 78 Rimington, Dame Stella 14, 15 Rimskii-Korsakov 55 Rinkes, D.A 15 ritual 28, 131, 148, 192, 193 Rizal 51, 52 Rizal, Syamsul 52 Riza, Riri 66, 67 Rizkianti 55 Rockefeller Foundation 29 Rosidi, Rain 162, 166 Ruangrupa 197 Rukaya, Sprite 52 Rumah Budaya Fadli Zon iv, 173, 203 Rumbino, Markus 52 Rungkut 108, 119, 126 Rupa-Rupa Seni Rupa Yogyakarta 150, 152 indeks 204 159, 160 Tambayong, Yapi 47 tanam paksa 87 Tanatoa 134 Tanesia, Ade 161, 165 Tan Ta Sen 109 Tanto 53 tarian 27, 28, 39, 130 Tari Payung 31, 37 Taylor, Diana 189 teater 49, 51, 56, 129, 130, 131, 132, 135, 137, 138, 139, 140, 197 teater purba 131, 139 Teater Rakyat 130, 137, 139, 141, 197 Teater Gandrik 196 Teater Gardanalla 197 televisual 136 Teluk Benoa xx, 92, 95, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104 Tembi Rumah Budaya 52, 59 Tempo 12, 60, 148, 150 Tengger 180 Teteh 52 Thailand 47, 52 The Circle 54 The Ford Foundation 8, 23, 132, 141 The History of Java 123 THHK 113, 114, 115 Tichi, Cecilia 135 Tikar Media Budaya Nusantara 59 Tikdoyo, Ongko 120 TIM 31, 34, 35, 36, 37 Tionghoa 2, 108, 111, 113, 114, 115, 116, 117, 120, 123 Tiong Hoa Hwee Koan 113, 124, 126 Tjio Wie Tay 117 Tjoa Tjoan Lok 115 Tjokrowasito, Ki 47 Toer, Pramoedya Ananta 7, 8, 15, 18, 21, 108, 109, 117, 118, 123 Toko Buku Gunung Agung 108, 117 Tol, Roger 109 Ton De Leeuw 45 Topeng Cirebon 27 Toraja 175 trafficking 31, 35, 80 Trompet Masjarakat 107, 113, 116 Tuwuh 44 TWBI 95, 98, 99 Universitas Granada 198 Universitas Kristen Duta Wacana 162, 165 Universitas Negeri Brawijaya 180 Universitas Pelita Harapan 54 Universitas Res Publica 115, 124 Universitas Sanata Dharma 198 University of Minnesota di Minneapolis 198 University of Roehampton 39, 197 Upacara Macerra Arajang 134 Upacara Rebba Suku Ngada 134 Urban heritage 169 Utami, Christa Ken 52 Utomo, Jusuf Tjahjo Budi 52 UUPA 86, 88 V vernacular 115 Victoria and Albert Museum 197 Vietnam 47, 123 Vimeo 38 virtual reality 56 W Wacana xix, 12, 48, 74, 158, 162, 165, 190 Wahyu, Ong Harry 147 Wardhana, Wisnu 24, 29 Warsana 51 Welly, Agustinus 52 Wibisono, Lutfi 182 Wibowo, Fred 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 141 Widayat 146, 166 Widiastuti, Rudi 182 Widodo, Agus 53 Wigman, Mary 39 Wijaya, Nani 69, 70 Wijaya, Putu 132 Wikileaks 13, 14 Windha, Nyoman 44 Wirjodijo, Budihardjo 153 Wisetrotomo, Suwarno 150, 153, 154, 155, 162, 163, 166 Wiyanto, Hendro 161, 162, 165, 166 WM, Abdul Hadi 21 Worcester 14, 15 U Y Ubud 92 UGM 76, 88, 91, 148, 150, 196, 198 UNESCO 68, 69, 189 Uni Soviet 35, 55 Universitas Atma Jaya Yogyakarta 197 Universitas Gadjah Mada 162 Yahya, Amri 146, 166 Yahya, Kresnayana 120 Yampolsky, Philip 132 Yanuar, Andreas Arianto 54 Yayasan Biennale Yogyakarta 144 Yayasan Idayu 108, 117, 118, 125 Yayasan Indonesia Buku 8, 23, 198 Yayasan Inggil 181, 182 Yayasan Kelola 51 YCMF 52 Yogyakarta 8, 18, 23, 30, 45, 48, 51, 52, 54, 55, 76, 82, 83, 85, 86, 88, 89, 91, 96, 115, 130, 131, 134, 141, 143, 144, 145, 147, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 165, 166, 167, 196, 197 Yospan 134 YouTube 38, 39 Yudha, Bangkit 52 Yulian, Decky 184 Yuliantri, Rhoma Dwi Aria 17, 23 Yunani 138 Yunus, Amak 116 205 arsipelag o ! 206

Jl. Ireda, Gang Hiperkes MG I/ 188 A-B Kampung Dipowinatan, Keparakan Yogyakarta 55152, Indonesia +62 274 375 262 [email protected] www.ivaa-online.org

pengantar

bekerjasama dengan:

  • Year: 2,014

  • Pages In File: 228

  • Language: Indonesian

  • Identifier: 9,786,027,001,336

  • Org File Size: 3,935,490

  • Extension: pdf