Islam menghimbau kepada umatnya agar menghindari orang-orang yang memiliki sifat nifak karena sifat

Pendahuluan

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan, meminta ampunan, dan berlindung kepada-Nya dari berbagai kejahatan diri dan berbagai kejelekan amal perbuatan. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala maka tiada seorangpun yang menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan maka tiada seorangpun yang memberinya petunjuk dan tidak akan mendapatkan penolong dan pembimbing selain Allah.

Shalawat dan salam mudah-mudahan senantiasa dilimpahkan kepada Rasul-Nya, pembawa rahmat dan nikmat bagi kemanusian secara keseluruhan. Mudah-mudahan Allah Ta’la ridha kepada para sahabat Beliau yang wajahnya terang cemerlang, serta orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari Kiamat.

Sesungguhnya melakukan studi terhadap pusaka yang ditinggalkan oleh Imam Hasan Al Banna perlu mendapatkan perhatian, terutama trkait fiqih politik (Fiqih Siyaasi) Beliau. Beliau merupakan seorang pembaru (mujaddid) abad keduapuluh tanpa perlu dipertentangkan. Beliau semasa hidupnya berpikir keras terhadap berbagai permasalahan dunia Islam dan terhadap keadaan ummat Islam, terutama masalah konspirasi terhadap negara Islam.

Beliau telah hidup di zaman kaum salibis yang memerangi dunia Islam, menghapus negara Islam Utsmaniyah, mengeluarkan statemen bahwa Ataturk melakukan skularisasi negara dan menghapus Khilafah, kemudian Perancis dan Inggris Raya membagi daerah itu setelah Perang Dunia Pertama (PD I) sesuai kesepakatan yang dilakukan oleh masing-masing utusan dari Ingris dan Perancis, Saix dan Bico, yang menamakan kesepakatan tersebut dengan kedua nama mreka (Kesepakatan Saix-Bico).

Imam Hasan Al Banna telah menyaksikan perpecahan dunia Islam menjadi negara-negara jajahan yang dijajah oleh negara-negara kafir salibis, yang dibantu oleh negara ex Uni Soviet yang haus darah ummat Islam seperti di negara Chesnya, Kaukas serta kawasan lainnya.

Ustadz Hasan Al Banna berusaha mengumpulkan para ulama dan pemimpin untuk sebuah proyek kerja besar, yakni meneruskan kembali kehidupan Islam dan membebaskan negara-negara umat Islam dari kaum penjajah. Beliau melihat mayoritas kaum Muslimin dalam keadaan kehilangan semangat dan ketakutan yang sangat kentara. Tetapi Beliau tidak pustus asa terhadap berbagai situasi dan kondisi yang menhancurkan tersebut. Bahkan Beliau berinisiatif dimulai dari dirinya sendiri untuk bekerja, mengumpulkan dan menyusun rencana. Dengan beberapa suara Muslimnya, Beliau mendirikan Jama’ah Ikhwanul Muslimin di daerah Isma’iliyah.

Pemikiran Beliaupun diserap oleh banyak orang, sehingga menyebabkan Beliau dicintai sangat luas yang mana hal itu belum pernah terjadi untuk satu orangpun dari para pemimpin di daerahnya, lalu mereka mengikuti jalan dan pemikiran Beliau serta menjadi tentara dan pengikutnya.

Di antara hal yang tidak diragukan lagi ialah da’wah Beliau itu berkomitmen dengan Islam, baik sebagai aqidah, syari’ah dan sistem kehidupan. Beliau menjelaskan da’wah tersebut dalam berbagai sisinya: politis, da’wah, gerakan, penyusunan strategi dan ekonomi. Orang yang mengamati apa yang Beliau tulis dalam risalah-risalah dan diktat-diktat Beliau akan menemukan bahwa Imam Hasan Al Banna adala seorang pemimpin politik yang diikuti masyarakat banyak. Beliau memiliki pemahaman politik Islam (Fiqih Siyasi Islami) yang diambil dari pemahaman kalangan intelektual dan ulama Islam.

Benar, Beliau adalah seorang faqih dengan sebenarnya, politikus ulung, memiliki pengalaman yang luas, kejeniusan dan kedudukan yang disaksikan oleh setiap orang yang mengenalnya baik dari musuh maupun teman dalam kadar yang sama. Robert Jackson telah bertemu dengan Ustadz Hasan Al-Banna pada tahun 1946 mengatakan: “Saya memperkirakan akan datang suatu hari yang mana laki-laki ini mengusai kepemimpinan masyarakat, tidak hanya di Mesir, bahkan di seluruh wilayah Timur. Dr. Kamjian, seorang dosen ilmu politik di Universitas New York mengatakan: “Kemunculan Al-Banna merupakan contoh yang melambangkan kepribadian keluarga yang muncul pada waktu-waktu krisis untuk melakukan tugas kebebasan sosial spiritual.

Thanthawi Jauhari berkata: “Dalam pandangan saya, Hasan Al-Banna lebih besar dari Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Beliau memiliki temperamen yang menakjubkan yang berupa takwa dan kecerdikan politis, Beliau berhati Ali dan berotak Mu’awiyah. Saya melihat padanya sifat-sifat seorang pemimpin yang mana dunia Islam sedang kehilangan tokoh seperti itu.

Robert Jackson mengatakan tentang kepemimpinan Hasan Al-Banna: “Beliau adalah seorang yang paling jenius di antara para politisi, paling kuat di antara para pemimpin, paling berargumen di antara para ulama, paling beriman di antara para sufi, paling semangat di antara para atlit, paling tajam di antara para filsuf, paling diplomatis di antara para orator, dan paling bermisi di antara para penulis. Masing-masing sisi dari sisi-sisi ini muncul dengan istimewa pada waktu yang pas pula.

Dahulu politik penjajahan mengarahkan para pemimpin bangsa dari jihad politik mereka untuk membebaskan negeri menjadikan mereka sebagai agen kolonial dengan jalan menyogok mereka dengan harta, mengiming-iming mereka dengan perempuan dan meletakan mereka dalam jeratan mereka, dan menjatuhkan mereka dengan cara menobatkan mereka sebagai penguasa dan pemimpin Negara agar mereka tidak mampu keluar dari politik kaum kolonialis itu.

Adapun Hasan Al-Banna –semoga Allah merahmatinya– maka Beliau telah selamat dari mala petaka perempuan, harta dan jabatan. Rober Jakcson mengatakan: “Iming-iming melalui tiga hal ini yang dipaksakan oleh penjajah terahadap para Mujahidinin menemui kegagalan dalam berbagai percobaan dan telah diupayakan untuk mengiming-iming Hasan Al-Banna.”

Robert Jackson berkomentar tentang Beliau: “Madzhab politik Hasan Al-Banna adalah mengembalikan materi moral (akhlak) ke dalam relung politik setelah materi tersebut dicabut dari politik dan setelah dikatakan bahwa politik dan akhlak tidak dapat bersatu.

Beberapa sahabat yang saya cintai di mana saya tidak munmgkin menolak permintaan mereka, telah menasehati saya dan mengusulkan pada saya agar menulis Fiqih Politik Hasan Al-Banna – semoga Allah merahmatinya – sebagai bentuk kepedulian terhadap Beliau dan pemikiran Beliau setelah kematian Beliau dan sebagai penyebaran manfaat bagi pengikut dan pecinta Beliau. Saya juga telah menemukan dalam diri saya suatu keinginan yang sama dengan keinginan sahabat-sahabat saya yang harus saya perkenankan dan perhatikan permintaan mereka.

Maka sayapun setia dalam membaca berbagai risalah, diktat Beliau, berbagai tulisan yang diberikan kepada saya dan apa yang ditulis tentang Beliau. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah membantu saya untuk menulis buku yang tipis ini yang saya beri nama: “Fiqih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna” Rahimahullah.

Fikih Siyasi dan Kapasitas Hasan Al-Banna dalam Politik

Pengertian Fikih Siyasi

Fiqih: asal kata (mashdar) dari kata kerja lampau “Faquha” yang berarti “memahami”. Memahami perkara, berarti baik mengerti maksudnya. Fulanun laa yafqahu: Si fulan tidak mengerti dan tidak memahami. Fiqih: berarti faham dan pandai. Fiqih bukan berarti hanya mengerti, tetapi merupakan kefahaman mendalam yang mengharuskan menggunakan pikiran, menajamkan otak dan mencurahkan upaya maksimal dalam hal tersebut.

Fiqih dalam syara’ (Islam) tidak terdapat pada semua orang, tetapi suatu kelompok dari manusia yang memiliki kemampuan intelektual yang istimewa, memiliki tingkat keimanan yang tinggi, dan kebaikan yang istimewa. Allah Ta’ala berfirman:

{قَدْ فَصَّلْنَا اْلآيَاتِ لِقَوْمٍ يَفْقَهُوْنَ } (الأنعام :98)

“Telah Kami jelaskan dengan rinci ayat-ayat itu kepada kaum yang mengerti.” (Al-An’am: 98)
Fiqih juga tidak terjadi pada orang kafir dan orang yang munafik sebagaimana firman Allah Ta’ala:

(بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُوْنَ) (الأنفال :65)

“Bahwa mereka itu adalah kaum yang tidak memahami.” (Al-Anfal: 65)

Dan firman Allah Ta’ala tentang orang-orang munafik:

{ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُوْنَ } (التوبة: 81)

“Katakanlah api neraka Jahannam itu lebih panas jika saja mereka memahami.” (At-Taubah: 81)

{ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَفْقَهُوْنَ } (المنافقون: 7)

“Akan tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.” (Al-Munafiqun:7 )

Fiqih dalam istilah syara`: Pengambilan hukum syara’ yang praktis (amali) dari dalil-dalilnya secara rinci.

Adapun lafal siyaasi diambil dari lafal “Saasa”, dan isim fa`il “Saa`is”, dan mashdar (akar katanya)-nya “siyaasah” yang artinya penjagaan, maka “Saa`is Al-Khail” berarti penjaga kuda, dan “Saasa Al-`Ummah” berarti menjaga urusan ummat.

Politikus (Siyaasi): adalah orang yang mem¬berikan perhatian kepada urusan-urusan ummat dan memahaminya dengan teliti, mengerti dan mencarikan solusinya berdasarkan ide dan pemikirannya yang benar.

Politikus Islami (Siyaasi Islami): Ialah seorang Muslim yang konsisten dengan Islam yang menangani berbagai urusan ummat dari sisi pandangan Islam dan hukum syara’.

Fiqih Siyaasi (Fiqih Politik): Adalah pemahaman yang mendalam terhadap urusan-urusan ummat baik internal maupun eksternal, pengurusan dan penjagaan urusan-urusan ini dalam visi dan petunjuk hukum syara’.

Jadi politik itu terbagi menjadi dua macam: politik syar’i (politik Islam) dan politik non syar’i (politik non Islam). Politik syar’i berarti upaya membawa semua manusia kepada pandangan syar’i dan khilafah (sistem pemerintahan Islam) yang berfungsi untuk menjaga agama (Islam) dan urusan dunia. Adapun politik non syar’i atau politik versi manusia adalah politik yang membawa orang kepada pandangan manusia yang diterjemahkan ke undang-undang ciptaan manusia dan hukum lainnya sebagai pengganti bagi syari’at Islam dan bisa saja bertentangan dengan Islam. Politik seperti ini menolak politik syar’i karena merupakan politik yang tidak memiliki agama. Sedangkan politik yang tidak memiliki agama adalah politik jahiliyah.

Kapasitas Imam Hasan Al-Banna dalam Fiqih dan Politik

Sesungguhnya orang yang membaca apa yang ditulis oleh Imam Hasan Al-Banna –semoga Allah merahmatinya–, apa yang disampaikan dalam berbagai kesempatan ceramah umum maupun khusus, penguasaanya terha-dap berbagai disiplin ilmu dan bahkan menghafalnya, maka akan memahaminya dengan mudah, bahwa Imam Hasan Al-Banna adalah seorang ulam yang mumpuni dalam memahami nash-nash syar’i. Beliau juga mendalami berbagai persoalan zamannya di dunia Arab dan Islam, mengikuti peristiwa-peristiwa dunia, dan memahami hakikat peradaban barat yang merupakan peradaban yang terfokus pada kenikmatan dan nafsu syahwat.

Beliau –Rahimahullah– orang yang berwawasan luas sejak masa kecilnya dan tumbuh dalam lingkungan ilmiah dan pemahaman yang mendalam. Ayahnya salah seorang ulama hadits yang terkenal pada zaman modern, memiliki banyak karangan dalam hadits nabawi dan penjelasannya yang membuat takjub ba¬nyak ulama pada zamannya.

Beliau telah menerbitkan hadits-hadits Musnad dan Sunan Imam Syafi’i menjadi bab-bab fiqih yang Beliau namakan: “Badaa`i’ Al-Munan fi Tartiibi Al-Musnadi Al-Imam Asy-Syafi’i was Sunan.”, juga Musnad “Al-Imam Abi Hanifah”, dan karyanya yang paling penting ialah menerbitkan Hadits-hadits Musnad Imam Ahmad (termasuk tambahan anaknya, Abdullah) yang mencapai 40.000 hadits berdasarkan bab-bab fiqih dan mentakhrij hadist-hadits ini dalam sebuah kitab yang diberi nama: “Al-Fathu Ar-Rabbani Li Tartiibi Musnadi Al-Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani”, dan menjelaskan hadits-hadits Al-Fathu Ar-Rabbani dan menyebutkan hikmah-hikmah dan hukum yang ada di dalamnya, dalam sebuah buku yang dinamakan: “Bulughu Al-Amaani min Asraari Al-Fathi Arr-Rabbaani,” yang terdiri dari 20 jilid besar.

Yang membaca “Mudzakkiraat Imam Ha¬san Al-Banna” (Diktat-diktat Imam Hasan Al-Banna) akan mendapatkan bahwa Beliau adalah sangat pandai. Beliau lulus dari “Daarul Ulum” ketika berumur 21 tahun dan menempati ranking pertama di antara para mahasiswa pada tahun itu. Daarul Ulum adalah cabang Universitas Al-Azhar, yang diajarkan di sana ilmu-ilmu bahasa dan ilmu-ilmu syaria’h. Ini merupakan sanggahan atas tuduhan mereka yang mengatakan bahwa Imam Hasan Al-Banna tidak mempelajari ilmu-ilmu syari’ah. Ini juga bukti luasnya bacaan Beliau dalam buku-buku tafsir, fiqih, hadits dan hukum. Beliau menghafal berbagai buku tentang bahasa, fiqih, tauhid dan mantiq.

Disebutkan dalam diktat Beliau: “Mudzakkiratu Ad-Da’wah wa Ad-Daa’iyah” bahwa Beliau menghafal “Malhat Al-`I’raab” karya Al-Hariri dan “Al-Fiyah Ibnu Malik fi An-Nahwi wa Qawaa’idi Al-Lughah.” Hafal di luar kepala kitab “Al-Yaqutiyyah Fi Al-Hadits An-Nabawi Asy-Syarif”, juga dua kitab berikut: “Al-Jauharah Fi ‘Ilmi At-Tauhid”, dan “Ar-Rahibah Fi ‘Ilmi At-Tauhid.” Menghafal sebagian kitab ilmu mantiq “Assullam”, hafal fiqih Abu Hanifah “Fathu Al-Quduuri”, hafal fiqih Asy-Syafi’i “Matnu Al-Ghayah wa At-Taqrib” ka-rangan Abu Syuja’. Hafal fiqih Imam Malik se¬bagian kitab “Manzhumati Ibni ‘Aamir”. Ayahanda Beliau mendorongnya untuk membaca dan menghafal matan (teksnya) seraya berkata kepadanya: Siapa yang menghafal matan akan memperoleh seni, yang dimaksud dengan seni di sini adalah berbagai bidang ilmu secara dalam.

Dan sebelum semua itu Allah Ta’ala telah memudahkan Imam Hasan Al-Banna dalam menghafal Al-Qur`an Al-Karim dan memahami artinya, seperti yang tercermin dalamberbagai kesempatan ceramah dan tulisan Beliau yang sering sekali berdalilkan ayat-ayat Al-Qur`an, dan menyebutkan sisi pengambilan dalil dari Al-Qur`an. Belaiu juga memperkuat sisi pengambilan dalil dari hadits-hadits Nabi yang mulia. Ini dapat kita jumpai pada risalah Beliau “Al-Jihad” dan semua risalah Beliau yang ditulis untuk kaum Muslimin secara umum dan Ikhwanul Muslimin secara khusus. Juga berbagai artikel Beliau di koran-koran dan majalah-majalah.

Dapat ditambahkan pula pengetahuan hukum Beliau dan wawasan Beliau yang luas mengenai undang-undang dan hukum ciptaan manusia, terutama konstitusi Mesir, hukum Mesir dan apa yang ditulis oleh pakar konstitusi dan hukum. Hal tersebut tampak pada evaluasi Beliau terhadap konstitusi dan hukum sebagai evaluasi yang dihasilkan oleh seorang yang berwawasan luas dan alim yang pandai menulis.

Adapun telaah Beliau yang cukup luas terhadap buku fiqih secara umum dan khususnya buku-buku mengenai fiqih politik maka hasilnya terlihat jelas dalam berbagai risalah, buku dan makalah Beliau.

Dalam kesempatan ini saya ingin menyebutkan peristiwa yang jarang terjadi yang menunjukkan kepada keluasan wawasan Beliau saat masih kecil, yakni bahwa ketika Imam Hasan Al-Banna – Rahimahullah – masih siswa yang umurnya belum melebihi sepuluh tahun, ia sudah membentuk organisasi di sekolah yang ia beri nama “Organisasi Mencegah Hal-hal yang Diharamkan”, ia yang menjadi pemimpinnya. Cara kerja organisasi ini ialah jika ia melihat seseorang dari masyarakat melanggar hukum syara’ maka ia akan diperi-ngatkan secara yang unik, yaitu organisasi itu mengi¬rim sepucuk surat yang menyebutkan hal itu dan memintanya untuk konsisten de¬ngan hu¬kum syara’.

Organisasi ini sangat gencar kerjanya sehingga dalam waktu tidak begitu lama tersebar sampai ke mayoritas penduduk daerahnya. Orang-orang bertanya-tanya tentang pihak yang mengirim surat-surat itu kepada mereka. Masyarakat mengira bahwa syaikh dan guru mereka ialah syaikh Zahran adalah yang berada di belakang mereka. Tapi Beliau menolak tuduhan itu, sampai sepucuk surat mampir kepada Beliau.

Sang Syaikh adalah seorang yang buta. Beliau sholat zuhur di antara tembok masjid dan itu adalah perbuatan yang makruh sedang ia merupakan salah seorang ulama negeri itu. Seharusnya ia harus menjauhi hal-hal yang makruh agar agar orang lain mejauhi hal-hal yang diharamkan. Saat ditanya, syaikh tersebut menyatakan, saya tidak mengerti hukum ini, lalu meminta tolong kepada siswa Hasan Al-Banna yang menemaninya tentang hukumnya. Lalu Hasan menjawab: Ada wahai tuan dalam kitab “Fathul Baari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari”. Hasan berkata: Saya lalu membacakan hukum tersebut seraya saya tertawa sedikit. Lihat “Mudzakkiraati Ad-Da’wah wa Ad-Daa’iyah 14-15.

Coba perhatikan pembicaraan tersebut yang menunjukkan keluasan bacaan pria ini dan pengetahuannya terhadap hadits-hadits dan hukum. Ia mengetahui apa yang tidak diketahui syaikh dan gurunya. Benar firman Allah yang Maha Agung,

) يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْراً كَثِيْراً) [البقرة :169]

(Dia memberikan hikmah kepada orang yang dikehendakinya dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah maka ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak) (Al-Baqarah: 169)

Beliau sangat memahami persoalan-persoalan Islam dan peristiwa-peristiwa politik dunia Islam dan di luar dunia Islam. Ia berbicara kepada kaum Muslimin di antaranya Ikhwanul Muslimin tentang peristiwa dan persolan tersebut, dan memberikan sikap-sikap syar’i terhadapnya. Dalam makalah-makalah Beliau Anda akan menemukan tentang penjajahan Barat, negara-negara penjajah dan negara-negara Islam yang dijajahnya, berbagai pergerakan jihad di negara-negara tersebut, dan menyatakan dengan jelas bahwa solusinya hanyalah jihad.

Menanggapi keluasan wawasan dan pengetahuan Imam Hasan Al-Banna, seorang Robert Jackson pernah mengungkapkan: “Tiada satupun propagAnda, ideologi, doktrin dan aliran pemikiran tertentu yang pernah populer di belahan dunia Timur dan Barat, baik dalam konteks sejarah maupun konteks kekinian yang terlewatkan dari analisa dan pengkajian Imam Hasan Al-Banna.

Pengkajian kehidupan para tokoh dan figur terkenal dunia sekaligus sebab keberhasilan dan kegagalan mereka tidak luput pula dari perhatiannya. Imam Hasan Al-Banna pun mengerti bagaimana menjalin interaksi dan komunikasi yang baik ketika Beliau berhadapan dengan orang-orang Al-Azhar, berhadapan dengan para mahasiswa, para dokter dan ahli kesehatan, para insinyur, orang-orang sufi dan pakar sunnah. Beliau pun mengerti banyak bahasa daerah dan tradisi masyarakat di wilayah Delta, daerah gurun pasir, wilayah Mesir bagian Tengah dan bagian Utara.”

Dr. Ishaq Al-Husaini bercerita tentang Imam Hasan Al-Banna: “Beliau ibarat kamus besar dan ensiklopedi lengkap yang mampu membicarakan tema dan isu apapun secara spontanitas tanpa perlu persiapan. Beliau ter-kenal sangat pintar memilih diksi dan gaya bahasa yang ampuh memukau para audiens¬nya dan sangat jeli memperhatikan kondisi kapan dan di mana Beliau berbicara.”

Beliau merupakan sosok berpengalaman yang telah lama malang-melintang dan memiliki ketertarikan dalam mengamati perkembangan partai-partai politik yang ada di Mesir baik terkait dengan asas partai, ideologi dan program-programnya. Berdasarkan pengalaman tersebut, tidak susah bagi Imam Hasan Al-Banna me¬ngam¬bil sikap yang jelas dan pasti dalam me¬nanggapi keberadaan partai tersebut.

Penulis menambahkan pula bahwa Imam Hasan Al-Banna telah terlibat aktif dalam peristiwa-peristiwa penting dunia perpolitikan semenjak Beliau masih duduk di bangku sekolah dan melanjutkan aktivitasnya ini setelah merampungkan studi. Bahkan sewaktu masih duduk dibangku sekolah, Beliau pernah mengundang para ulama guna menghadiri acara dialog yang amat penting tentang pengabdian demi agama Allah dan perjuangan meretas kembali kehidupan Islami. Sehingga bakat politik yang terpancar dari pemahaman yang mendalam tentang perpolitikan Islam itu telah mengasah kemampuan, membekali diri serta menumbuhkan tekad yang menghunjam kokoh dalam jiwanya akan menekuni bidang tersebut.

Inilah gambaran sosok seorang Imam Hasan Al-Banna kecil ketika berada pada tahun terakhir pendidikannya di sebuah sekolah, saat gurunya meminta Beliau dan rekan-rekan sekelas untuk membuat sebuah karangan yang menceritakan tentang cita-cita mereka kelak setelah menyelesaikan studi serta jelaskan usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka perwujudan cita-cita tersebut. Imam Hasan Al-Banna menulis sebuah karangan yang lumayan panjang.

Di antara petikan karangan tersebut adalah: “Aku meyakini bahwa akibat dari bergulirnya roda perpolitikan Mesir, kondisi-kondisi sosial masyarakat adalah pengaruh peradaban Barat, faktor pemikiran Eropa, efek dari filsafat materialisme serta pengaruh dari sikap yang cenderung kebarat-baratan. Semua itu terbukti telah berhasil menjauhkan bangsa Mesir dari prinsip dan nilai Islam serta tuntunan Al-Qur`an. Tidak hanya itu, kebanggaan terhadap kemuliaan para pendahulu (generasi Islam terdahulu) juga menjadi pudar dan terlupakan dalam benak mereka. Keyakinan itu sangat menghunjam kuat dalam jiwaku ibarat pohon yang akarnya sangat kokoh, cabang-cabangnya yang menjulang, daun-daunnya yang menghijau serta hanya tinggal menunggu berbuah.

Dua impian dan cita-cita besarku setelah merampungkan studi nanti, secara khusus adalah membahagiakan keluarga dan karib kerabatku, sedangkan dalam ruang lingkup yang lebih umum adalah menjadi sang guru dan figur pendidik. Setelah menghabiskan waktu seharian guna mengajar anak-anak dan masyarakat umum, maka malam harinya akan aku manfaatkan untuk mengajar orang dewasa dan kakek-kakek tentang hikmah-hikmah agama serta hakikat kebahagiaan dan kesenangan hidup. Semua itu aku lakukan lewat metode penyampaian ceramah dan dialog terbuka, lewat dunia jurnalistik atau dengan menggunakan metode tamasya dan berwisata.

Ini merupakan janjiku dengan Allah yang terpatri kokoh dalam jiwa serta dengan kesaksian bapak guru yang mengajar. Janji ini aku ikrarkan ditengah kesendirianku saat hati nurani yang berbicara dan dalam suasana keheningan malam yang sepi dalam tatapan yang Maha Lembut dan Maha Mengetahui. Firman

Allah dalam QS. Al-Fath 10:

وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهُ فَسَيُؤْتِيْهِ أَجْراً عَظِيْماً

Artinya: Barangsiapa menepati janji¬nya ke¬pa¬da Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Para Pembaca yang budiman….

Amatilah ungkapan-ungkapan yang Imam Hasan Al-Ban¬na tuliskan dalam karangannya, dentuman suara hati yang jarang kita temukan pada kebanyakan figur-figur politisi, sebuah diagnosa yang amat teliti dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan yang melanda bangsa Mesir kala itu, analisa cermat dalam mengamati situasi-situasi politik yang berkembang, pemahaman yang mendasar tentang substansi peradaban Barat yang berasaskan pada filsafat materealisme yang terbenam dalam gelimang kesenangan-kesenangan hidup duniawi secara ka-sat mata, serta pemahaman mendalam sekitar dimensi pengaruh Barat terhadap umat Islam. Kemudian Beliau mengemukakan solusi efektif dan efisien yaitu kembali pada Islam dan kembali berjuang meretas model kehidupan Islami lewat aktifitas dunia politik serta pengukuhan komitmen dengan Allah sebagaimana tergambar dari janji Imam Hasan Al-Banna pada Allah Ta’ala dan kesaksian gurunya yang membaca karangannya tersebut.

Torehan-torehan hikmah berharga di atas telah mampu dituliskan oleh seorang siswa yang notabene belum banyak berkecimpung dalam realita pahit perjuangan kehidupan. Sungguh, Imam Hasan Al-Banna merupakan seorang politisi Muslim sejati yang sangat peka dan sensitif dengan fakta politik dunia Islam, kemudian Beliau menyikapi fakta tersebut berdasarkan pemahaman yang Beliau eksplorasi dari Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SHAL-LALLAAHU ALAIHI WASALLAM.

Setelah berkecimpung dalam realita kehidupan pasca penyelesaian studinya di sekolah itu, Beliau mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin yang dipimpinnya hingga menemui ajalnya dengan Syahid. Beliau tercatat banyak memiliki andil dalam peristiwa dan kejadian penting perpolitikan Mesir dan perpolitikan dunia Islam secara umum. Beliau berhasil meletakkan manhaj Islam dan fiqih politik yang sangat mengagumkan dalam gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin, suatu posisi dan tahapan yang jarang dicapai oleh sembarangan tokoh, terlebih lagi karena pemahaman fiqih politik Imam Hasan Al-Banna terlahir sebagai fiqih politik yang sedang berjuang menyelamatkan umat Islam dari kondisi yang stagnan dan tidak dinamis.

Di samping itu Beliau pun berhasil merancang tahapan-tahapan, program-program dan metode-metode tertentu yang harus dilakukan demi upaya melakukan perubahan dan reformasi situasi serta kondisi umat Islam yang cukup memprihatinkan. Tahapan ini bukan merupakan tahapan yang bersifat kontradiktif satu sama lain, tapi tersusun dengan sangat rapi dan sistematis, di mana setiap tahapan memiliki kaitan dengan tahapan sebelum dan sesudahnya. Karena tahapan selanjutnya merupakan penyempurnaan dari yang sebelumnya, sehingga harus berlandaskan pada tahapan tersebut. Dan di setiap tahapan, Beliau meletakkan metode-metode yang dinilainya cocok dan relevan dengan tahapan tersebut.

Dengan bekal pemahaman fiqih politiknya, Imam Hasan Al-Banna menenjukan target-target umum dan khusus, misi-misi jangka pendek dan jangka panjang, metode yang bersifat umum dan khusus, menentukan sikap Ikhwanul Muslimin terhadap keberadaan partai-partai lain, pemerintah, hukum ciptaan ma¬nusia serta menetapkan langkah-langkah kerja yang akan menerjemahkan pemahaman fiqih politik tersebut ke dalam realita kehidupan. Natijah (hasil)-nya, perjuangan-perjuangan Beliau tersebut menuai hasil yang memuaskan dengan terwujudnya cita-cita yang Beliau impikan.

Kemudian pemahaman fiqih politik Beliau ini diikuti oleh para sahabat, rekan dan kader-kader Beliau di Ikhwanul Muslimin. Hasilnya, mereka sanggup menciptakan sebuah atmosfer baru dalam perpolitikan dunia Islam, sehingga dampaknya tak hanya bisa dirasakan di Mesir, tapi meluas hingga ke penjuru dunia Islam, bahkan hampir ke seluruh penjuru dunia. Makanya tiada satupun wilayah di dunia yang berbeda suku bangsa, warna kulit dan bahasa, melainkan telah terpengaruh oleh pemahaman fiqih politik Beliau.

Referensi Fikih Politik Imam Hasan Al-Banna

a. Al-Qur`an Al-Karim

Al-Qur`an Al-Karim menghimpun dan berisi persoalan-persoalan seputar hukum, pemerintahan dan para pemegang otoritas atau pimpinan, keadilan hukum, loyalitas rakyat terhadap pemimpin, musyawarah antara pemimpin dengan rakyat dan persoalan-persoalan politik lainnya.

Selain itu, Al-Qur`an juga membahas se-cara panjang lebar permasalahan terkait dengan harta dan keuangan, cara-cara yang dilegitimasi maupun yang diharamkan dalam memperoleh kekayaan, hak mendapatkan pekerjaan, hak kepemilikan, hak warisan, hak fakir miskin terhadap harta orang-orang yang diberikan kelapangan rezeki, harta rampasan perang dan perpajakan serta prinsip ekonomis dan proporsional dalam menginfakkan harta.

b. Hadits

Imam Hasan Al-Banna sangat berpegang teguh pada hadits Rasulullah dalam fiqih politik dan perekonomian yang Beliau anut, karena cakupan hadits yang banyak membahas permasalahan politik dan perekonomian.

c. Buku-buku Fiqih

Buku-buku fiqih merupakan aset berharga umat Islam yang banyak membahas problematika politik seperti persoalan Hakim (penguasa) yang mencakup syarat-syarat, hak-hak, kewajiban-kewajiban, metode pemilihan dan pemecatan seorang penguasa, dan persoalan yang menyangkut kriteria-kriteria ahlul hilli wal ‘aqdi (legislative dan eksekutif) serta persoalan menyangkut kementerian dan kepemimpinan-kepemimpinan yang mengurus masalah publik dan kepentingan rakyat.

Di samping itu, buku-buku fiqih juga membahas masalah peradilan, syarat-syarat pemangku jabatan di pengadilan dan tingkat-an-tingkatan pengadilan seperti: pengadilan tindak pidana, pengadilan perdata dan pengadilan militer. Buku-buku fiqih juga sangat memperhatikan masalah sumber-sumber income negara berupa pajak, harta rampasan perang dan jizyah (pajak). Pembahasan lain dalam buku-buku fiqih seperti sumber mata pencaharian yang halal dan haram dalam pandangan syariat, prinsip ekonomis (berhemat) dalam pengelolaan aset kekayaan, permasalahan hukum zakat dan semua yang terkait dengannya hingga ke masalah-masalah detail seperti jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, syarat-syarat wajib membayarkan zakat dan pola-pola distribusi harta zakat.

Para ulama dan pakar hukum Islam seperti Al-Mawardi Asy-Syafi’i, Abu Ya’la Al-Fara’ Al-Hanbali, Al-Qalqayasyi, Abu Yusuf, Abu Ubaid, Yahya bin Adam dan ulama-ulama fiqih lainnya telah banyak menulis buku-buku yang secara khusus membahas problematika perpolitikan dan perekonomian yang kerap dijadikan bahan pegangan, referensi dan acuan oleh Imam Hasan Al-Banna. Penting pula diuraikan di sini, bahwa Imam Hasan Al-Banna termasuk tokoh yang yang terbilang sering melakukan pengkajian dan analisa terhadap perundangan-undangan dan hukum ciptaan manusia, khususnya perundang-undangan nasional Mesir. Beliau sering pula membahas aturan-aturan politik yang berkembang, baik berhubungan dengan pemerintahan maupun parlemen. Sehingga dengan mudah Beliau dapat memberikan penilaian terhadap aturan-aturan tersebut sesuai dengan dimensi kesesuaian atau pertentangannya dengan prinsip Islam.

Islam dan Politik

Imam Hasan Al-Banna sangat menyadari kondisi keterpengaruhan dan fanatisme yang melanda para penguasa pemerintahan di negara-negara Islam terhadap paham sekuler Eropa yang mendikotomi antara otoritas agama dengan wilayah politik dan pemerintahan. Lantas Beliau berupaya mengingatkan umat akan bahaya pemikiran keliru yang menggerogoti pola pikir banyak pejabat pemerintahan di negeri-negeri Islam, sehingga mereka menyingkirkan dan memarginalkan pemahaman Islam dari wilayah-wilayah perpolitikan dan masalah-masalah kebangsaan yang mengatur kehidupan rakyat banyak.

Beliau dengan lantang mengumandangkan bahwa para pejabat pemerintahan dan para politisi di negeri-negeri Islam telah merusak rasa keislaman dalam kepala umat, merusak pandangan Islam dalam hati umat serta mengotori keindahan Islam dalam realita kehidupan mereka. Hal ini akibat dari keyakinan, propaganda dan perjuangan mereka yang selalu memarginalkan pemahaman agama dari tuntutan-tuntutan politik. Imam Hasan Al-Banna menilai inilah awal dari wahan (cinta dunia dan takut mati) dan kerusakan umat Islam .

Imam Hasan Al-Banna kembali menegaskan bahwa Islam adalah agama yang komprehensif; mencakup semua aspek kehidupan umat manusia. Beliau juga mengkritik paham sekulerisme yang mendikotomi antara otoritas agama dengan otoritas politik dan pemerintahan. Dengan lantang Beliau mengungkapkan bahwa gerakan Islam manapun yang tidak menyertakan permasalahan politik dan pemerintahan dalam program mereka, maka pergerakan tersebut belum pantas dinamakan gerakan Islam dalam konsep pemahaman Islam yang komprehensif.

Dalam konferensi para mahasiswa Ikhwanul Muslimin yang diselenggarakan bulan Muharram tahun 1357H, Imam Hasan Al-Banna menyampaikan: “Dengan lantang saya kumandangkan bahwa keislaman seorang Muslim belum sempurna, hingga ia memahami masalah politik, mendalami persoalan-persoalan aktual yang menimpa umat Islam serta punya perhatian dan kepedulian terhadap masalah keumatan.

Dalam kesempatan ini, dengan lantang saya ungkapkan bahwa pendikotomian agama dengan politik tidak diakui oleh Islam. Karena setiap pergerakan Islam sejak awal harus meletakkan misi dan programnya menyangkut masalah kepedulian terhadap problematika politik umat. Karena bila tidak, berarti pergerakan Islam tersebut mesti mengkaji pemahaman konsep Islam mereka kembali.

Benar… Itulah fakta yang selalu mengaspirasikan bahwa tiada kebaikan dalam agama yang menafikan politik dan sebaliknya politik yang hampa nilai-nilai agama, karena politik semacam ini merupakan politik dalam konsep Barat. Sementara Islam dengan politiknya membawa misi pembahagiaan manusia di dunia maupun akhirat kelak, sebuah politik yang melindungi semua hak mereka, sehingga diharapkan pada suatu masa nanti umat Islam dan non-Islam menggunakan etika politik Islam yang akan melahirkan kebahagiaan bagi mereka. Sehingga mereka bisa hidup tenang, damai dan tenteram serta terlindungnya nyawa, harta dan kehormatan mereka.

Ikhwanul Muslimin dan Politik

Islam Versi Barat Imperalis

Kondisi yang sangat dipahami Imam Hasan Al-Banna sehingga Beliau merasa perlu untuk mengingatkan umat Islam agar selalu berhati-hati terhadap kondisi tersebut ialah invasi dan serangan Barat terhadap Islam dan upaya pendistorsian konsep Islam. Sementara di sisi lain, usaha Barat untuk mendiskreditkan Islam dengan memberikan embel-embel terhadap umat Islam sebagai kaum terjajah dan terhina. Artinya, memvisualisasikan Islam pada dunia Internasional sebagai agama yang identik dengan ibadah ritual semata dan tak terkait sama sekali dengan pemerintahan, kekuasaan, kekuatan militer, politik dan jihad. Sehingga dalam agamanya, umat Islam tidak dituntut melakukan perjuangan bela negara dan usaha memerdekakannya dari cengkeraman tangan-tangan perampas hak mereka.

Namun kondisi yang pantas disayangkan, pemahaman yang sangat getol dikampanyekan oleh Barat dan kaum imperealis ini, akhirnya benar-benar tersebar di kalangan umat Islam dan mereka hanya diam dan tak berbuat apa-apa, seolah mereka terkesan sepakat dengan pemahaman tersebut. Sehingga mereka mengambil sikap menjauh dari hukum dan politik, konsep jihad, persiapan angkatan militer dan perlawanan layaknya orang-orang bodoh dan takut yang berlepas diri dari kewajiban-kewajiban mereka dalam Islam.

Akhirnya, persoalan tersebut sampai ke titik puncak dan klimaksnya, yaitu ketika muncul kecenderungan sebagian orang yang menisbatkan dirinya sebagai ulama serta ke¬munculan para orientalis fanatis yang secara terang-terangan menyatakan perlawanan terhadap Islam. Dua kelompok ini mulai menggembar-gemborkan propaganda busuk ini.

Di antara mereka tercatat nama-nama sekaliber Ali Abd Ar-Raziq yang pernah menulis sebuah buku berjudul “Al-Islam wa Ushul Al-Hukm” setahun pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah yaitu setelah pendeklarasian paham sekularisme dan pemarginalan prinsip Islam dari realita kehidupan secara resmi di negara Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk serta pernyataan perang terhadap semua yang berlabel Islam di Khilafah Utsmaniyyah.

Attaturk telah berkali-kali menegaskan paham sekularismenya serta mengingkari baik dengan tidak sengaja, karena kebodohan atau karena pura-pura tidak tahu, ia berasumsi bahwa tidak ada kaitan antara Islam dengan pemerintahan, sehingga negara Islam tidak perlu ada, bahkan Khilafah Utsmaniyyah hanya meninggalkan efek negatif terhadap umat Islam. Lantas karena kebodohannya ia mengungkapkan bahwa misi pengutusan Nabi Mu-hammad SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM hanyalah menyampaikan dakwah pada umat manusia. Sedangkan pembentukan eksistensi politik umat Islam bukan merupakan misi dakwah Rasulullah.

Attaturk membantah dan mengkritik bila terdapat satu dalil pun, baik dalam Al-Qur`an maupun Sunnah Rasulullah yang mengindikasikan kewajiban kepemimpinan dan pemerintahan Islam. Ia berkata: “Kajian-kajian ulama yang menyatakan berdirinya kepemimpinan Islam dan pengangkatan seorang Imam adalah se¬buah kewajiban Islam, padahal kita tidak me-nemukan satupun di antara mereka yang mengemukakan dalil yang menyatakan kewa¬jiban tersebut dari Al-Qur`an maupun Sunnah.

Alhasil, jika dalam Al-Qur`an benar-benar ada dalil yang menyatakan hal tersebut, maka para ulama tentu tidak ragu-ragu lagi dalam mewajibkannya atau bila ada dalil yang mendekati atau identik dengan pemahaman kewajiban imamah dalam Islam, tentu akan bermunculan para pengusung pemahaman tersebut. Dan faktanya jumlah mereka yang masuk dalam tipikal ini sangat banyak sekali yaitu kelompok yang menganggap dalil yang identik dengan pemahaman tersebut sebagai dalil pokoknya.”

Attaturk telah keliru dengan asumsinya di atas, karena dalam Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM banyak sekali dalil yang memberikan sinyalemen pada kewajiban kepemimpinan Islam. Di antaranya adalah Firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 59:

(يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ) [النساء :59]

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri (pemegang kekuasaaan) di antara kamu.

Dan firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 83:

(وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي اْلأَمْرِ مِنْهُمْ) [النساء: 83]

Artinya: Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka.
Dan sudah dimaklumi bahwa yang dimaksud dari Ulil Amri pada dua ayat di atas adalah para pemimpin dan pemegang kekuasaan sementara pemegang kekuasaaan tertinggi adalah Imam.

Dan perlu diketahui bahwa asumsi Attaturk di atas, ternyata tidak murni keluar dari pemahamannya, tapi diadopsi dari buku karangan seorang orientalis bernama Thomas Arnold, sebagaimana ia katakan: “jika Anda ingin lebih detail memahami persoalan tersebut, silahkan Anda cari dalam buku Sir Thomas Arnold yang berjudul “Kitab Al-Khilafah” yaitu pada bab kedua dan bab ketiga dari buku tersebut, niscaya Anda akan menemukan jawaban yang memuaskan dalam buku itu. Imam Hasan Al-Banna hidup semasa dengan Attaturk, sehingga Beliau tahu persis tentang persoalan ini dan Beliau telah membantah pendapat tersebut tanpa menyebutkan orang yang mengeluar-kanya. Beliau menamakan konsep Barat yang dipopulerkan kaum orientalis ini dengan istilah Negeri Islam Koloni Barat yang Hina.

Imam Hasan Al-Banna berperan mengakrabkan pemahaman Islam kepada umat manusia sebagai agama aqidah, syariah dan way of life. Beliau membantah konsep-konsep bangsa-bangsa terjajah yang ditujukan pada negara-negara Islam, yaitu konsep-konsep yang mempropagandakan umat Islam untuk tunduk, patuh dan loyal terhadap musuh-musuh mereka yang telah merampas negeri pertiwi, mengotori kesucian tempat-tempat ibadah mereka, menggiring mereka ke tempat-tempat pembantaian di medan peperangan melawan musuh. Sedangkan mereka yang patuh dan loyal ter-sebut yang akan menjadi bahan bakarnya.

Setelah Imam Hasan Al-Banna, pemahaman Islam yang berkembang lebih identik dengan makna di atas, konseptor dari penebar paham tersebut adalah Amerika –setan besar-, istilah yang mereka gunakan adalah “Islam Amerika”. Para pimpinan dan pejabat Amerika yang tinggal di negara-negara Islam sering mengeluarkan pandangan bahwa: “Islam adalah agama yang tidak ada intervensi politik di dalamnya, karena haram hukumnya bagi Anda memasukkan politik dalam agama, tidak ada politik dalam agama, begitu pula kewajiban jihad bukan merupakan bagian dari perintah agama, tapi jihad adalah tindakan terorisme, kekerasan dan ekstrimisme. Karena orang yang membunuh Yahudi yang telah menjajah negerinya dan mengusirnya dari kampung halaman tercinta adalah teroris dan perbuatannya dinamakan tindakan terorisme yang tidak ada lan¬dasannya sama sekali dalam Islam?!”

“Islam versi Amerika” adalah sebuah terminologi Islam yang tak mengenal jihad, tak mengenal politik, Islam yang tidak memiliki pemerintahan dan negara berdaulat apalagi khilafah, Islam yang tak mengenal pemberian sanksi terhadap Amerika yang telah merampas kekayaan umat manusia serta tak mengenal istilah pengusiran terhadap para penebar kefa-sikan, kemaksiatan dan kezaliman terhadap umat manusia.

Berkat pemahaman fiqih politik Islam yang dimiliki, Imam Hasan Al-Banna berhasil membuat umat Islam menjadi umat yang sadar kan hak politik mereka, sehingga bermunculan banyak pergerakan jihad yang berjuang menegakkan misi bahwa Islam adalah agama yang komprehensif, agama yang mengatur semua aspek kehidupan, sehingga umat Islam bertanggung jawab untuk mengarahkan dan memimpin semua aspek tersebut sesuai tuntutan Islam. Di samping itu, timbulnya kesadaran untuk mengusir semua kaum penjajah dan seluruh bentuk penjajahan dari bumi pertiwi serta kesadaran untuk memerangi pemahaman Islam Amerika dengan memberikan penyadaran dan pemberian wawasan politik kepada umat Islam.

Ikhwanul Muslimin dan Politik

Setelah mengemukakan hujjah yang menyatakan bahwa Islam pun berpolitik dengan misi membawa kebahagiaan bagi umat manusia, lalu Beliau menegaskan pernyataan tersebut dengan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM. Beliau menjelaskan bahwa dikotomi aga¬ma dan politik merupakan virus-virus yang bersumber dari Barat yang telah menular kepada para pemimpin dan pejabat pemerintahan di negeri-negeri Islam. Imam Hasan Al-Banna mengumAndangkan Ikhwanul Muslimin sebagai gerakan dakwah Islam yang menyerukan pada pemahaman Islam yang komperhensif yaitu Islam yang berlandaskan pada politik yang mengatur semua aspek kehidupan manusia.

Imam Hasan Al-Banna pernah berkata: “Wahai para pemegang kekuasaan, ketahuilah bahwa Allah telah mengetahui bahwa kader-kader Ikhwanul Muslimin adalah para politisi dan kader Ikhwan tidak akan pernah berasal dari non-muslim serta Ikhwanul Muslimin tidak memisahkan poitik dari agama”.

Siapa pun yang mengira bahwa Islam tidak menyentuh wilayah politik atau berprasangka bahwa politik bukan tema pembahasan dalam Islam, maka sesungguhnya ia telah menzhalimi dirinya dan telah menganiaya ilmunya. Saya tidak mengatakan bahwa mereka telah menzhalimi Islam, karena Islam adalah syariat Allah yang tak akan pernah tersentuh oleh kebatilan, baik yang datang dari depan maupun dari belakang.

Betapa indahnya ungkapan Ghazali berikut: “ketahuilah bahwa Islam adalah pokok, sementara pemerintahan adalah penjaganya, sesuatu yang tidak punya pokok akan hancur dan sesuatu yang tak terjaga tentu akan hilang. Sebuah negara Islam tidak akan pernah berada dalam asas dakwah yang kokoh sehingga negara itu memiliki misi risalah Islam, bukan sekedar menyusun formasi administratif dan pemerintahan secara fisik yang tak memiliki ruh. Demikian pula halnya dakwah tak akan berjalan lancar kecuali dengan perlindungan, bantuan dan dukungan dari negara Islam”.

Imam Hasan Al-Banna telah menjelaskan strategi politik Ikhwanul Muslimin dengan sangat gamblang sekali dalam sebuah ceramah Beliau berjudul: “Ikhwanul Muslimin dan Politik” yang termasuk dalam risalah “Ila Ayyi Syai’i Nad’u An-Naasa”.

Dalam ceramah tersebut Beliau berkata: “Wahai umat Islam, kami memanggil kalian semua, Al-Qur`an yang berada di tangan kanan kami, Sunnah berada di kiri kami, tindakan para pendahulu kita (slafus shalih) yang shalih menjadi panutan kami, dari hati yang paling dalam kami mengajak umat Islam untuk kembali pada Islam, hukum Islam dan petunjuk-petunjuknya. Jika semua hal di atas diistilahkan dengan politik, maka itulah politik kami. Jika orang yang memperjuangkan hal-hal tersebut mereka juluki para politisi, maka kamilah yang paling pantas dijuluki para politisi tersebut.

Karakter politik Islam tidak lain adalah politik yang mempunyai misi perwujudan kebahagiaan hidup manusia, baik di dunia maupun akhirat, maka hendaklah Anda memiliki etika politik seperti itu, ajaklah rekan-rekan Anda serta berpegang teguhlah pada etika politik yang memprioritaskan kebanggaan terhadap akhirat .

Dalam kongres VI, Imam Hasan Al-Banna menyampaikan dalam orasinya: “Jika kita dikenal sebagai para politisi, itu artinya karena kita memiliki kepedulian dan perhatian terhadap kondisi umat Islam dan karena kita yakin bahwa pemerintahan merupakan salah satu elemen dari sekian banyak aturan-aturan Islam, bahwasanya kebebasan berpolitik dan rasa patriotisme merupakan salah satu penyangganya. Kita berjuang dengan segala kemampuan demi kebebasan politik dan reformasi para aparat pemerintahan.

Kita sadar bahwa pembahasan ini bukan barang baru, hal ini dipahami oleh semua orang yang mengkaji Islam dengan kacamata yang benar. Sementara keberadaan jamaah Ikhwanul Muslimin dan keberadaan kita adalah semata-mata merealisasikan misi-misi tersebut dan kita tidak akan menyimpang dari jalan dakwa ini meski sehelai rambut sekalipun. Dakwah yang dituntut Islam terhadap Muslim tidak terbatas hanya sebagai ungkapan nasehat dan wejangan semata, tapi Islam selalu memotivasi umatnya untuk berjuang dan berjihad.

Firrnan Allah QS. Al-‘An¬kabut 69:

(وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ) [العنكبوت: 69]

Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.

Agenda Politik dan Pemerintahan Islam

Agenda Politik

Bertolak dari pandangan politik Imam Hasan Al-Banna, seorang politisi yang ingin melangkah ke wilayah-wilayah yang realistis dan nyata, Beliau menuntut pemerintahan-pemerintahan di dunia Arab dan mengajak para raja maupun kepala negara guna mendialogkan implementasi dan langkah praktis dari hukum syari’at, sambil Beliau mengetengahkan tuntutan-tuntutan politik yang terperinci dan detail.

Di antara tuntutan-tuntutan politik tersebut adalah yang tertera dalam risalah “nahw an-nur” yang Beliau tujukan pada para pemimpin dan penguasa dunia Arab. Surat tersebut berisi beberapa tuntutan dan proposal praktis yang diberi judul: “Beberapa langkah Praktis dalam Upaya Reformasi” yang mencakup beberapa bahasan berikut:

  1. Dalam kajian politik, peradilan dan manajemen negara.
  2. Dalam kajian sosial dan budaya, Beliau mengusulkan 30 langkah praktis yang mungkin bisa diimplementasikan bila mendapatkan perhatian serius.
  3. Dalam kajian ekonomi, tak kurang dari 10 usulan praktis guna memperbaiki situasi perekonomian sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dalam aspek politik Beliau menyoroti dan mengusulkan pada para kepala negara Arab beberapa point berikut:

  • Pembasmian hizbiyyah (fanatisme buta terhadap partai-partai politik) yang telah memecah belah persatuan umat Islam dan pengklasifikasian anak-anak bangsa dalam beberapa kelompok yang kesemuanya bisa dibilang tidak memperjuangkan Islam dan bersaing demi kepentingan-kepentingan materi dan finansial serta keinginan-keinginan pribadi tanpa mempedulikan kepentingan rakyat dan tidak berkeinginan menyatukan umat Islam dalam satu barisan dan orientasi.
  • Amandemen konstitusi sehingga sejalan dengan syariat Islam dalam segenap cabang-cabangnya.
  • Memperkuat pasukan militer dan mengobarkan semangat para generasi muda untuk berjihad.
  • Mempererat hubungan diplomasi antar negara-negara Islam, khususnya negara-negara yang berada dalam kawasan semenanjung Arab sebagai langkah awal untuk menunjukkan kesungguhan perjuangan memikirkan solusi dari persoalan Khilafah Islamiyyah yang telah lama hilang.
  • Mengkampanyekan spirit dan semangat Islam di kantor-kantor dan instansi-instansi pemerintahan, sehingga para pegawai, staf dan aparat pemerintahan yang bekerja pada instansi-instansi tersebut merasakan keindahan dan urgensi ajaran-ajaran Islam.
  • Melakukan pengawasan terhadap moralitas para pegawai negeri dan tidak memisahkan perhatian antara aspek pribadi maupun aspek profesi.
  • Mempercepat jadwal kerja aktif di perkantoran pada musim panas dan musim dingin, sehingga memudahkan mereka melakukan shalat wajib dan ibadah fardhu lainnya serta berguna menghilangkan kebiasaan begadang.
  • Memerangi segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme serta berpegang pada profesionalisme dan cara-cara yang telah dilegitimasi oleh perundang-undangan.
  • Seluruh aktifitas dan kebijakan pemerintah harus berlandaskan pada timbangan hukum dan nilai-nilai Islam, sehingga aturan-aturan yang mengatur berbagai acara resepsi (pesta), undangan, pertemuan-pertemuan resmi, penjara-penjara dan rumah sakit-rumah sakit tidak berlawanan dengan niai-nilai Islam. Serta pembagian waktu kerja yang tidak menggangu waktu pelaksanaan ibadah shalat.
  • Pendayagunaan tenaga alumni universitas Al-Azhar dalam tugas-tugas kemiliteran, manajemen dan memberikan pelatihan pada mereka.

Dalam orasi Imam Hasan Al-Banna pada pertemuan para kepala daerah dan pimpinan komando jihad yang diselenggarakan pada 3 Syawal 1364 H atau bertepatan dengan tanggal 8 September 1945 M, Beliau menyampaikan: “Untuk itu kita meminta terutama terhadap pemerintahan Mesir, kemudian pemerintahan negara-negara Arab dan negara-negara Islam secara umum supaya mereka kembali pada perundang-undangan dan peradaban Islam, sebagai langkah nyata perwujudan cita-cita tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Meminta Mesir supaya memproklamirkan diri secara resmi sebagai negara Islam yang merefleksikan prinsip negara Islam.
  2. Mematuhi kewajiban-kewajiban dan lambang-lambang Islam serta mewajibkan para pegawai dan staf pemerintahan untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban Islam tersebut. Dan pada pejabat teras pemerintahan diharapkan dapat memberikan contoh dan tauladan yang baik terhadap para pegawainya.
  3. Meminta pemerintah Mesir membuat perundang-undangan yang melarang secara tegas perkara-perkara yang dilarang oleh agama seperti minuman keras, zina dan hal-hal yang mendorong pada perbuatan zina, riba dengan segala macam jenisnya. Dalam hal ini negara diharapkan dapat memberikan tauladan, artinya tidak memberikan legitimasi terhadap larangan-larangan agama tersebut dan tidak memberikan perlindungan melalui undang-undang terhadap praktek-praktek itu serta menghindari sejauh mungkin interaksi dengan praktek-praktek tersebut.
  4. Mereformasi konsep dan kurikulum pendidikan sehingga benar-benar berlandaskan pada metode pendidikan Islam dan metode pendidikan nasional. Artinya memberikan perhatian ekstra dan prioritas terhadap Bahasa Arab dan Sejarah Kebangsaan. Kondisi ini akan lebih menuntut para kaum pelajar untuk menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter Islami serta memberikan pencerahan wawasan mereka terhadap hukum dan hikmah Islam.
  5. Menjadikan syariat Islam sebagai sumber utama perundang-undangan.
  6. Pemerintah berkewajiban mengarahkan masyarakat supaya selalu menampilkan perilaku Islami dalam setiap tindakan.

Demikianlah beberapa point penting yang dapat kami sampaikan sebagai bentuk pemenuhan kewajiban dakwah Islam. Ya Allah saksikanlah. Itulah yang dapat kami sampaikan, karena menurut hemat kami, ini saat yang tepat guna menyampaikannya .

Pemerintahan Islam

a. Konsep Pemerintahan Islam

Imam Hasan Al-Banna memahami pemerintahan Islam sebagai sebuah pemerintahan yang terdiri dari aparatu-aparatur yang beragama Islam yang mematuhi kewajiban-kewajiban Islam serta tidak secara terang-terangan dan bangga melakukan tindakan-tindakan maksiat serta pemerintahan yang menerapkan hukum dan ajaran Islam. Sebuah pemerintahan yang memiliki aparatur-aparatur yang berpegang teguh pada akhlak-akhlak Islam yang terpuji dan menerapkan hukum Islam dalam kehidupannya. Sehinga menurut Beliau, sebuah pemerintahan yang tidak menerapkan hukum syariat Islam bukanlah pemerintahan Islam.

b. Urgensi Pemerintahan dalam Islam

Imam Hasan Al-Banna mengkategorikan keberadaan pemerintahan dalam Islam ibarat salah satu tiang penyangga dalam bangunan atau merupakan hal yang tak terpisahkan darinya. Namun urgensi keberadaan pemerintahan Islam tidak seperti kewajiban-kewajiban yang lain. Sebagaimana dimaklumi, fungsi tiang dalam sebuah bangunan adalah tempat penyangga sesuatu yang merupakan bagian internal dalam substansi sesuatu bangunan tersebut. Sementara runtuhnya tiang berakibat pada runtuh dan hancurnya bangunan.

Dari analogi di atas dipahami bahwa Islam tidak akan terealisasi sesuai dengan harapan Allah SUBHANAHU WATA’ALA, hingga berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab dalam pengimplementasian hukum Islam dalam segenap aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, peradilan, tata negara dan sebagainya. Imam Hasan Al-Banna menegaskan makna di atas dengan ungkapannya: “Islam yang dipahami oleh Ikhwanul Muslimin menganggap pemerintahan sebagai salah satu tiang penyangga Islam, karena Islam selain bergantung pada dakwah yang berupa nasehat-nase¬hat kebaikan juga bergantung terhadap keberadaan sebuah pemerintahan” .

Imam Hasan Al-Banna pernah menyebutkan dalam “Musykilatuna Ad-Dakhiliyyyah fi Dhou’i An-Nizham Al-Islamy” bahwa: “agama Islam yang lurus ini mewajibkan kaidah pokok sistem kemasyarakatan yang ditawarkan pada umat manusia, yaitu sebuah aturan yang tidak menyukai kekacauan serta tidak meninggalkan umat Islam tanpa ada seorang pemimpin” . Dalam hal ini, Beliau berhujjah dengan hadits yang berbunyi:

إِذَا نَزَلْتَ بِبَلَدٍ وَلَيْسَ فِيْهِ سُلْطَانٌ فَارْحَلْ عَنْهُ (الحديث)

Artinya: Jika kamu singgah di suatu negeri yang disana tidak ada penguasa (pemimpin), maka tinggalkanlah negeri tersebut.

Dan hadits yang berbunyi:

إِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً فَأَمِّرُوْا عَلَيْكُمْ رَجُلاً (الحديث)

Artinya: jika kamu (musafir) berjumlah tiga orang, maka angkatlah salah seorang di antara kamu menjadi amir.

c. Kewajiban-kewajiban Pemerintahan Islam

Imam Hasan Al-Banna telah menentukan beberapa kewajiban pemerintahan Islam sebagai berikut:

  1. Menjaga stabilitas keamanan negara dan menerapkan konstitusi Islam.
  2. Memperhatikan masalah pendidikan bangsa.
  3. Mempersiapkan angkatan militer nasional yang kuat.
  4. Memberikan pelayanan kesehatan yang cukup.
  5. Melindungi kepentingan-kepentingan public secara utuh.
  6. Mengembangkan sumber daya alam dan melindungi aset kekayaan negara.
  7. Mengokohkan moralitas bangsa.
  8. Menebarkan dakwah Islam.

Semua kewajiban ini Beliau simpulkan dari pemahaman terhadap Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah serta dapat ditemukan dalam buku-buku fiqih Islam. Beliau juga menambahkan bahwa pemerintahan Islam berkewajiban pula merasa peduli terhadap kondisi rakyat, mewujudkan rasa keadilan antar sesama manusia, mengambil tindakan preventif dan bertindak ekonomis terhadap aset publik.

d. Hak-Hak Pemerintahan Islam

Setelah menyebutkan kewajiban-kewajiban pemerintahan Islam, Beliau melanjutkan dengan menerangkan tentang hak-hak dari pemerintahan Islam yang baru terlaksana jika kewajibannya telah ditunaikan. Ini merupakan salah satu bukti pemahaman fiqih Imam Hasan Al-Banna yang sangat cermat. Perhatikan perkataan Beliau: “Di antara hak-hak pemerintahan Islam adalah: wala, loyalitas serta sokongan baik dengan harta bahkan nyawa” .

Al-Qur`an juga telah menjelaskan bahwa hak baru diterima setelah kewajiban ditunaikan. Firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 58-59:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيْعاً بَصِيْرًا) (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ [النساء: 58-59]

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri (pemimpin)di antara kamu.

Ayat pertama menjelaskan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan seorang pemimpin terhadap dirinya, yaitu supaya ia berlaku adil dalam penyerahan wewenang dan jabatan tertentu pada orang yang tepat dan memang ahli di bidang tersebut serta kewajiban menegakkan keadilan antara dua pihak yang mengadukan permasalahan mereka kepadanya untuk diselesaikan secara hukum dengan adil. Sedangkan ayat kedua mengindikasikan tentang hak-hak yang bakal diterima seorang pemimpin dari rakyatnya yaitu berupa loyalitas serta kewajiban rakyat untuk selalu menjalankan instruksinya selama instruksi tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Kesimpulannya ialah jika seorang pemimpin telah menegakkan keadilan terhadap diri sendiri dan masyarakatnya yang notabene merupakan kewajiban seorang pemimpin yang paling urgen, maka hak pemimpin tersebut berupa wala’, loyalitas serta ketaatan rakyatnya akan ia dapatkan. Jadi hak berbanding lurus dengan kewajiban.

e. Sikap terhadap Pelanggaran dan Kelalaian Pemerintahan Islam

Ustadz Imam Hasan Al-Banna telah berjasa terhadap ahli sunnah, khususnya terkait dengan pengembangan konsep perpolitikan ketika Beliau memiliki pandangan yang jelas dan gamblang mengenai para pemegang otoritas dalam sistem pemerintahan Islam yang melakukan pelanggaran, kekeliruan serta tidak profesional dalam menjalankan tugas, namun pemerintahan tersebut tidak mau mendengarkan nasehat-nasehat politik dari pihak-pihak berwenang dan para ahli dalam bidangnya dan juga tidak bersedia mengevaluasi kesalahan dan kekeliruan, maka pemerintahan seperti itu berhak dilengserkan dan dikudeta.

Tentunya, proses pelengseran dan kudeta tersebut membutuhkan satu badan atau lembaga khusus yang memiliki kekuatan hukum, wewenang dan otoritas penuh yang mengikat, hingga lembaga itu bisa mnegeluarkan kebijakan yang mampu memberikan tekanan dan paksaan terhadap pemerintahan maupun pejabat yang melanggar tersebut supaya lengser dari jabatannya. Disebutkan dalam Risalat Ta‘alim setelah Imam Hasan Al-Banna menjelaskan kewajiban dan hak pemerintahan Islam, Beliau melanjutkan jika pemerintahan melakukan kekeliruan, kelalaian dan pelanggaran. Langkah awal yang dilakukan adalah memberikan teguran dan nasehat, jika langkah ini tidak mempan maka berujung pada pelengseran dan kudeta terhadap pemerintahan tersebut, karena tidak ada loyalitas terhadap siapapun yang tidak taat terhadap aturan Allah.

f. Sikap terhadap Pemerintahan yang Tidak Menerapkan Hukum Islam

Imam Hasan Al-Banna memandang bahwa pemerintahan-pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Islam, maka kaum Muslimin yang menjalani kehidupan di negara tersebut wajib untuk tidak mengakui perundang-undangan dan hukum ciptaan manusia yang diterapkan di negara itu serta berupaya untuk membersihkan pemerintahan dari perundang-undangan non-Islam itu. Karena Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa penerapan syariat Islam merupakan salah satu kewajiban dalam agama ini (Islam) yang bila tidak diiringi dengan upaya untuk menegakkannya, maka dianggap telah berbuat dosa. Dan dosa ini bisa ditebus dengan cara berjuang melengserkan pemerintahan dan aparat-aparatnya yang tidak menerapkan hukum syariat tersebut.

Di sela-sela muktamar V Imam Hasan Al-Banna menyampaikan bahwa: “Aturan pemerintahan dalam literatur-literatur kita merupakan tema pembahasan aqidah dan masalah ushul (utama), bukan hanya sekedar pembahasan dalam fiqih dan furu’ biasa. Karena Islam adalah pemerintahan, konstitusi, pendidikan, undang-undang dan peradilan. Kesemua itu tidak bisa dipisah satu sama lain”.

Beliau melanjutkan pembicaraannya: “Adapun realita yang ada di hadapan kita sekarang, seolah-olah syariat Islam berada dalam satu lembah sementara perundang-undangan yang berjalan (non-syariat) berada di lembah yang lain. (Hal ini mengindikasikan betapa jauhnya jarak antara fakta di lapangan dengan harapan penerapan syariat Islam. pent). Sesungguhnya kondisi stagnan dan statisnya para kaum reformis Islam dari upaya pengembilan kekuasaan dan pemerintahan merupakan dosa yang hanya ditebus dengan perjuangan untuk bangkit dan membersihkan pemerintahan dari tangan-tangan aparat yang tak tidak loyal dan tidak bersedia menerapkan hukum Islam.

Kembali Imam Hasan Al-Banna menegaskan di penghujung pembicaraannya: “Oleh karena itu, perjuangan Ikhwanul Muslimin untuk merebut tampuk kekuasaan di pemerintahan bukan demi kepentingan Ikhwanul Muslimin. Artinya jika ada di antara umat Islam yang bersedia dan sanggup menjalankan amanah dan sebuah pemerintahan yang berdasarkan pada konsep Islam yang Qurani, maka dengan ini Ikhwanul Muslimin menyatakan kesediaan membantu dan mendukung pemerintahan tersebut. Namun bila tidak ada di antara umat Islam yang mampu dan bersedia, tentunya pemerintahan akan dijalankan oleh para kader Ikhwanul Muslimin yang akan berjuang membebaskan pemerintahan dari cengkeraman aparat-aparat yang tidak bersedia menunaikan perintah-perintah Allah SUBHANAHU WATA’ALA.

Dengan lugas Imam Hasan Al-Banna telah menjelaskan kondisi pemerintahan-pemerintahan ala jahiliyyah yang menolak implementasi syariat Islam. Beliau menegaskan pula bahwa penandatanganan kerjasama (musyarokah) dan kesepakatan administratif dengan pemerintahan semacam itu tidak akan banyak menuai hasil. Akan tetapi, dibutuhkan perjuangan guna mereformasi total pemerintahan dengan cara-cara damai dan metode-metode bijaksana yang merupakan metode yang dilegitimasi Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah.

Di samping itu, Beliau menemukan metode lain hasil tela’ahan terhadap Al-Qur`an dan Hadits yaitu metode yang diterapkan bila terjadi pembatasan ruang gerak dakwah dan para kader dakwah. Caranya ialah dengan menggunakan strategi pembentukan dan pengkaderan individu Muslim, diiringi oleh tahapan terbentuknya keluarga Muslim, lalu fase terbentuknya negara Islam hingga sampai ke penghujung dan puncak perjuangan dengan berdirinya Khilafah Islamiyyah. Pada tahapan awal, metode ini lebih menitikberatkan prioritasnya pada pembentukan aqidah dan nilai-nilai agama yang kokoh, kemudian berangsur pada tahapan pengokohan persatuan dan ikatan umat Islam, setelah itu baru dengan menggunakan kekuatan senjata dan perlengkapan-perlengkapan militer.

Imam Hasan Al-Banna -rahimahullah- pernah berkata: “banyak orang bertanya-tanya, akankah Ikhwanul Muslimin menggunakan kekuatan yang identik dengan kekuatan militer demi merealisasikan target dan misi mereka? Dalam kesempatan ini saya akan mencoba menuntaskan duduk persoalan tersebut agar tidak lagi muncul pertanyaan-pertanyaan serupa mengenai hal tersebut:

“Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin akan mempraktekkan metode itu tatkala tidak ditemukan lagi alternatif lain dan bila kondisi memang telah memungkinkan untuk hal tersebut, serta ketika persatuan dan kesatuan umat Islam telah terbentuk dalam sebuah koalisi yang kokoh dan solid. Itupun berada dalam koridor-koridor yang bijaksana dan arif. Artinya, terlebih dahulu diawali dengan teguran dan peringatan. Bila teguran tidak menampakkan hasil yang memuaskan, barulah dengan menggunakan kekuatan militer. Kemudian Ikhwanul Muslimin telah siap dengan segala konsekwensi tindakan mereka tersebut dengan segala keridhoan hati.

Bertahap dalam Melakukan Perubahan

Imam Hasan Al-Banna telah merumuskan tahapan-tahapan dakwah yang menjadikan capaian puncaknya adalah reformasi kultur kehidupan jahiliyyah yang masih kokoh dalam masyarakat dan menciptakan sebuah atmosfer kehidupan yang Islami yang berjalan secara gradual menurut fase dan tahapan yang telah dirumuskan, dimana setiap fase dan tahapan itu memiliki kaitan erat dengan tahapan berikutnya dan setiap fase secara khusus berlandaskan pada program-program yang pantas dan cocok dengan capaian yang diharapkan pada tahapan tersebut.

  1. Tahapan I
    Yaitu tahapan memperkenalkan (ta’rif), mengakrabkan dan membuat masyarakat men¬jadi familiar dengan visi, misi, metode, pola pikir dan perjuangan Ikhwanul Muslimin.
  2. Tahapan II
    Ialah tahapan pengkaderan (takwin) mereka yang siap berkorban demi perjuangan meretas kembali dari awal nuansa kehidupan Islam dan perjuangan mendirikan negara Islam. Hal ini dilakukan dengan program tarbiyah yang komperhensif yang mencakup tarbiyah ruhiyyah (spiritual), tarbiyah ‘aqliyyah (intelektual) dan tarbiyah jasadiyyah (fisik). Dari tarbiyah yang komperhensif ini diharapkan akan melahirkan output-output yang telah siap berjuang dan berjihad demi cita-cita yang mulia dan luhur yaitu menegakkan panji-panji Islam dan mendirikan negara Islam.
  3. Tahapan III
    Adalah tahapan aplikasi (tanfiz) dalam wujud kerja nyata di tengah realita kehidupan bermasyarakat. Pada tahapan ini baru akan terlihat hasil yang sempurna dari misi dakwah Ikhwanul Muslimin. Tahapan ini tidak akan menampakkan hasil yang memuaskan bila tidak melewati dua tahapan sebelumnya yaitu fase pengenalan (ta’rif) dan fase pengkaderan (takwin).

Pada hakikatnya, semua tahapan dan fase di atas telah ditempuh oleh Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM pada periode dakwah Beliau yang pertama, kemudian tahapan-tahapan ini diwarisi oleh para sahabat Beliau. Fase dan tahapan yang dimaksud adalah fase pengenalan, fase pengkaderan dan fase kerja nyata. Tentunya, semua fase ini terwujud setelah melalui proses panjang dan membutuhkan kesabaran ekstra, karena bahaya terbesar yang akan mengancam kelangsungan perjalanan fase-fase tersebut adalah ketergesa-gesaan dan kecerobohan dalam bertindak. Karena kecenderungan jiwa yang suka menggebu-gebu dan suka berspekulasi tanpa perhitungan dan analisa yang matang dalam menyikapi sebuah kondisi, sehingga ia menjadi tergelincir begitu pula dengan orang-orang yang berjuang bersamanya.

Di tengah barisan para kader Ikhwan, tentu terdapat beberapa orang oknum dari kader yang tidak mampu mengontrol emosinya yang meluap-luap dan membahana serta semangat yang menggebu-gebu, hal ini menyebabkan mereka tidak bijak dan kurang berhati-hati dalam bertindak, akibatnya seringkali mereka bertindak sebelum waktunya.

Imam Hasan Al-Banna sangat serius menyoroti dan memberikan peringatan secara tegas terhadap kader Ikhwan yang terkesan emosional dan menggebu-gebu dalam menanggapi peristiwa apapun: “Wahai para kader Ikhwanul Muslimin, khususnya bagi yang memiliki semangat mengebu-gebu dan tergesa-gesa dalam menyikapi segala peristiwa, kepada antum kutujukan nasehat ini. Sesungguhnya jalan yang antum lewati ini telah diperhitungkan dengan sematang-matangnya dan telah ada batasan-batasannya dan aku tidak akan menyimpang dari jalan yang telah kuyakini sebagai jalan yang akan mengantarkan kita pada tujuan (Insya Allah). Kita mengakui jalan ini memang panjang, namun tidak ada opsi lain, karena kita harus menempuh jalan ini.

Keperkasaan akan tergambar dari kesabaran, ketegaran, kesungguhan dan kerja yang berkesinambungan. Untuk itu siapapun di antara antum yang ingin memetik buah sebelum matang atau memetik bunga sebelum waktunya, maka aku tidak sependapat dengannya dalam hal ini. Dan alangkah lebih baik baginya untuk meninggalkan jamaah ini dan bergabung dengan kelompok-kelompok lain. Sementara siapapun yang mau bersabar dan tegar bersamaku menghadapi semua tantangan hingga bibit-bibit dakwah ini mulai tumbuh, kemudian akhirnya berbuah dan sudah pantas dipetik, maka sesungguhnya Allah pasti akan memberi ganjaran pahalan baginya. Dan niscaya Allah akan memberikan ganjaran-Nya pada mereka yang berbuat baik mungkin lewat pertolongan, kepemimpinan dan kebahagiaan.

Wahai para Ikhwan semuanya… Kendalikanlah luapan emosi yang tak terkendali dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan akal yang sehat dan jadikanlah luapan emosi itu sebagai sinar yang menerangi pola pikir Anda. Janganlah Anda semua membiarkan hawa nafsu menjadi kendali. Janganlah Anda melawan arus sunnatulah yang telah digariskan. Namun berusahalah untuk bersama arusnya dan mengaitkan antara satu dengan yang lainnya. Hendaklah Anda semua selalu optimis, karena kemenangan itu pasti akan datang dan tidak akan lama lagi. Karena betapa banyak mereka -dari dulu hingga sekarang- yang telah membuktikan bahwa jalan yang baik itu berada dalam jalur yang sedang Anda lewati sekarang. Dan tidak ada hasil yang memuaskan melainkan lewat perencanaan-perencanaan matang dalam jamaah Anda ini. Makanya, janganlah kamu semua menyia-nyiakan perjuangan dan janganlah ragu dan pesimis dengan kemenangan yang telah menunggu”.

Sebagai penutup rangkaian nasehatnya, Imam Hasan Al-Banna mengatakan: “Dalam untaian nasehat ini, kembali aku mengingatkan para ikhwah yang punya semangat menggebu-gebu dan membahana agar sedikit sabar dan tegar menghadapi siklus roda zaman yang selalu berputar, sekaligus aku ingin menyam-paikan pada para ikhwah yang masih jalan di tempat, agar mereka bangkit dan bergerak, karena jihad dan perjuangan tak mengenal waktu luang dan santai. Firman Allah dalam Qur’an surah Al-‘Ankabut 69:

(وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ) [العنكبوت: 69]

Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Momentum Perubahan dan Penerapan Hukum Syariah

Imam Hasan Al-Banna menganggap meskipun misi Ikhwanul Muslimin adalah merebut tampuk pemerintahan dari cengkeraman tangan-tangan yang tidak mengimplementasikan syariat Allah, tapi perwujudan dari misi tersebut perlu menimbang dan memperhatikan waktu yang tepat. Dan merupakan sesuatu yang mustahil bila dipaksakan di tengah kondisi masyarakat yang masih berada dalam kekentalan pengaruh peradaban Barat yang materialis, masyarakat yang masih mempraktekkan prinsip-prinsip jahiliyyah serta kebiasaan-kebiasaan yang tidak Islami.

Konsentrasi perjuangan yang perlu dimunculkan Ikhwanul Muslimin terlebih dahulu ialah membentuk sebuah masyarakat bernuansa Islami yang memegang teguh prinsip etika dan moralitas yang luhur serta bertindak berdasarkan nilai-nilai keimanan yang merupakan prinsip-prinsip pokok perjuangan Ikhwanul Muslimin.

Pada acara muktamar V Beliau mengungkapkan: “Atas dasar alasan ini, belum pantas bagi Ikhwanul Muslimin untuk menguasai tampuk pemerintahan saat sekarang ini, sementara keadaan umat masih seperti ini. Karena kita perlu menunggu saat yang tepat di saat konsep-konsep Ikhwan telah menyebar dan berkembang di tengah masyarakat, sehingga mereka bisa belajar bagaimana mereka harus memprioritaskan kepentingan rakyat banyak sebelum kepentingan individu”.

Selain itu, Beliau menambahkan syarat lain berupa kondisi keimanan yang telah matang dan kesatuan umat yang telah kokoh, artinya kekuatan aqidah telah menyusup dan berinfiltrasi ke dalam jiwa para kader dakwah dan kondisi mereka yang telah bersatu dalam satu barisan serta setelah terwujudnya loyalitas penuh terhadap jamaah dan para pimpinan.

Beliau menyebutkan bahwa perubahan dan reformasi berjalan setelah terbentuk dan terkadernya generasi pejuang Islam yang telah teruji keikhlasan perjuangannya, sehingga hati¬nya telah terbebas dari keinginan-keinginan pribadi dan kebiasaan-kebiasaan lama yang kurang pantas. Jumlah generasi mujahid ini harus mencapai 12.000 orang mujahid yang semuanya telah dibekali dengan kematangan iman dan aqidah, keluasan ilmu pengetahuan dan wawasan serta kondisi fisik yang terlatih. Sebuah jumlah yang dijamin oleh Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM dalam hadits Beliau:

لن يغلب اثنا عشر ألفا من قلة

Artinya: Tidak akan pernah dikalahkan (bila) dua belas ribu orang disebabkan jumlah. Imam Hasan Al-Banna berkata: “Saat ju¬malah tersebut sampai, silahkan mereka menantang kita semua untuk menyelami kedalaman samudera dan menembus angkasa luas serta memerangi semua penguasa-penguasa yang lalim. Maka kita akan jawab semua tantangan ini -Insya Allah-.”

esungguhnya dengan taufiq, karunia, kehendak, pertolongan dan izin Allah, dalam perhitungan saya sesungguhnya waktu itu tidak akan lama lagi.

Fikih Al-Banna dan Sikap terhadap Hukum Manusia

Fiqih Al-Banna Dalam Mencegah Kemungkaran Dengan Kekuatan

Beliau menilai bahwa mencegah kemung¬karan dengan tangan (kekuatan), lidah maupun hati merupakan sebuah keniscayaan. Sikap ini tertera dalam sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanad Abi Sa’id Al-Khudry ra. ia berkata, Ra¬sulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

Artinya: siapapun di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangan, jika tidak sanggup merubah dengan tangannya, hendaklah dia rubah dengan lidah dan jika masih tidak sanggup, hendaklah ia rubah dengan hati. Dan itulah iman yang paling lemah. (HR Imam Muslim)

Sebagai wujud nyata dari pengamalan hadits di atas, semenjak kecil Imam Hasan Al-Banna sering terlibat dalam melakukan upaya mengubah kemungkaran maupun kemaksiatan yang terjadi di tengah masyarakat dengan menggunakan media lidah, hingga akhirnya Beliau mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin.

Sementara pandangan Beliau tentang metode mengubah kemungkaran dengan tangan, seperti penghancuran cafe-cafe minuman keras dan pusat-pusat kemaksiatan lain yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum syari’at, maka Beliau berpendapat bahwa pemerintah bertanggung jawab menjaga dan meng-hormati perasaan umat Islam dengan tidak mengeluarkan surat izin pembangunan tempat-tempat maksiat seperti: cafe-cafe minuman keras dan tempat-tempat makisat lainnya. Bila pemerintah sempat mengeluarkan surat izin pembangunan tempat-tempat semacam itu, maka pemerintah sendiri yang akan bertanggung jawab penuh jika di kemudian hari nanti ada penghancuran dan penyerangan dari warga yang bukan dari jamaah Ikhwanul Muslimin. Oleh karenanya, pemerintah mesti mengeluarkan perundang-undangan yang melarang pembangunan tempat-tempat tersebut.

Dan terbukti pada masa Beliau, terjadi penyerangan dan penghancuran tempat-tempat maksiat yang dilakukan oleh salah satu kelompok pemuda Mesir. Menanggapi peristiwa tersebut, Imam Hasan Al-Banna menyatakan posisi Ikhwan sebagai berikut: “Sesungguhnya tak satupun di antara mereka yang memiliki spirit agama yang berkeinginan melihat satupun tempat lokalisasi dibangun di tanah Mesir ini. Sebelum peristiwa ini, Ikhwan sendiri telah melayangkan surat kepada pemerintah yang berisi tentang konsekwensi yang akan ditanggung pemerintah jika tidak memperhatikan tempat-tempat tersebut. Karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap persoalan itu membuat masyarakat menjadi risih dan tidak tenang. Sayangnya, pemerintah tidak mau mendengarkan ungkapan yang bersumber dari jiwa-jiwa yang ingin menegakkan kesucian Islam dan kebanggaan terhadap ajaran-ajaran Islam. Ada pepatah lama yang mengatakan: “Sebelum Anda menyuruh anak kecil supaya berhenti dari tangisannya, selayaknya Anda terlebih dahulu meminta orang yang memukul anak kecil tersebut agar menjatuhkan tongkatnya”.

Ikhwan sendiri meyakini bahwa penentangan kebijakan pemerintah dengan cara-cara kekerasan dan anarkis seperti kejadian di atas, merupakan cara-cara yang tidak tepat waktu, karena kita mesti memilih dan menimbang waktu yang paling tepat atau mungkin dengan cara-cara lain yang lebih bijaksana dan tentu-nya dengan dampak negatif yang dapat diminimalisir serta lebih menggugah perhatian aparat-aparat pemerintahan terhadap kewajiban-kewajiban mereka sebagai Muslim. Dan kenyataannya, pelaku penghancuran yang telah tertangkap tidak pula mau mengakui perbuatannya. Ikhwanul Muslimin telah melayangkan surat kepada menteri kehakiman agar secara serius membahas persoalan itu dan segera mengeluarkan kebijakan dan perundang-undangan yang akan menyelamatkan anak bangsa dari dekadensi moral .

Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa pembangunan pusat-pusat lokalisasi maksiat merupakan kemungkaran dalam pandangan hukum Islam. Oleh karenanya pemerintah telah dianggap berbuat mungkar bila terbukti mengeluarkan surat izin pembangunan lokalisasi tersebut. Sementara itu Imam Hasan Al-Banna juga menilai bahwa para pelaku penghancuran tempat-tempat kemaksiatan tersebut melakukan hal tersebut karena kecemburuan (ghirah) karena nilai-nilai agama dikesampingkan serta dalam rangka merubah kemaksiatan dan kemungkaran. Hanya saja menurut Beliau, waktunya yang tidak tepat bila harus menentang pemerintah dan menghancurkan tempat-tempat tersebut secara frontal dan dengan kekuatan.

Sikap terhadap Hukum Ciptaan Manusia dan Pengadilan Negeri

Mereka yang sering mengamati wacana dan pemikiran Imam Hasan Al-Banna yang tertuang dalam tulisan-tulisannya menyangkut persoalan di atas akan mengerti bahwa Beliau merupakan seorang yang memahami dan sering mengkaji maupun menganalisa substansi dari hukum ciptaan manusia yang berlaku, maa mereka niscaya akan berkesimpulan bahwa wawasan dan pengetahuan Imam Hasan Al-Banna dalam ranah ini sangat luas sekali. Di samping itu, Beliau juga menerangkan bagaimana pandangan Islam terhadap penerapan hukum (undang-undang) ciptaan manusia serta pandangan Islam terhadap pengajuan dan penyelesaian masalah-masalah hukum ke pengadilan-pengadilan negeri yang notabene menerapkan hukum ciptaan manusia tersebut.

Beliau meyakini bahwa hukum ciptaan manusia yang menyalahi aturan-aturan syariah termasuk dalam kategori hukum yang batil, sehingga seorang Muslim dilarang mempraktikkan, menyelesaikan masalah hukum, berpedoman serta loyal terhadap hukum semacam itu. Imam Hasan Al-Banna mengatakan: “Sungguh ironis dan tidak logis sekali bila hukum dan perundang-undangan yang berlaku di tengah-tengah umat Islam sangat bertentangan dan kontradiktif dengan ajaran-ajaran agama Islam, hukum Al-Qur`an dan petunjuk-petunjuk sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM. Padahal Allah Ta’ala telah mengingatkan Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM tentang masalah itu sebelumnya. Allah berfirman dalam Qur’an Surah. Al-Maidah 49-50:

(وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ أَنْ يُصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيْراً مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُوْنَ، أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوْقِنُوْنَ) [المائدة: 49-50]

Artinya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin”.

Ayat ini didahului oleh firman Allah dalam Qur’an surah Al-Maidah 44:

(وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ)

Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Dan setelah ayat ini terdapat pula dua ayat yang menerangkan bahwa siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang zhalim dan orang-orang fasiq.

Lalu bagaimana mungkin seorang Muslim yang benar-benar beriman kepada Allah SUBHANAHU WATA’ALA dan percaya kepada Al-Qur`an bila mereka mendengarkan ayat-ayat yang sudah sangat jelas, hadits-hadits dan semua hukum yang terkait dengan masalah ini, lantas berhukum dengan perundang-undangan yang bertentangan dengannya? Itu artinya, bila Allah SUBHANAHU WATA’ALA telah mengharamkan zina, melarang praktik-prakik ribawi, tidak melegitimasi minuman keras serta memerangi perjudian dengan segala jenisnya, lantas kemudian ada undang-undang yang melindungi para pelaku zina, mengharuskan sistem riba, membolehkan minuman keras serta melegitimasi perjudian. Jadi, bagaimanakah Muslim menyikapi dua fenomena tersebut?!

Ikhwanul Muslimin secara tegas menyatakan penolakan terhadap undang-undang ini dan berjuang dengan segala daya upaya supaya undang-undang tersebut digantikan posisinya oleh hukum syari’at Islam yang berkeadilan. Adapun pengadilan-pengadilan yang mengaplikasikan dan menjalankan hukum tersebut, Imam Hasan Al-Banna telah menyatakan sikap dan kewajiban seorang akh yaitu: “Sudah semestinya seorang akh memutuskan hubungan dengan pengadilan-pengadilan negeri dan selu¬ruh lembaga-lembaga peradilan non-Islam lainnya” .

Kepemimpinan Negara dalam Islam

a. Tanggung Jawab Kepala Negara

Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa kepala negara punya tugas dan wewenang tertentu. Hak rakyat terhadap kepala negaranya adalah mengevaluasi kerja dan tugas kepala Negara. Bila terbukti melakukan kesalahan dan kegagalan dalam kepemimpinannya, karena rakyatlah yang telah mengangkat dan membai’atnya guna menduduki jabatan tersebut. Sebagai konsekwensi dari pengangkatan dan pembai’atan itu, berarti seorang kepala negara diamanahkan tugas-tugas yang harus ditunaikannya. Bila tugas yang diamanahkan tersebut berhasil dijalankan dengan baik, maka selaku rakyatpun dituntut memberikan dukungan, bantuan dan loyalitas penuh terhadap kepala negara tersebut.

Imam Hasan Al-Banna menyatakan dalam salah satu dari sepuluh rukun bai’at yaitu rukun pertama al-fahm, bahwa pendapat dan pandangan imam atau kepala negara maupun wakilnya dalam perkara yang tidak ada nash yang berbicara tentang perkara tersebut, pandangan yang berpeluang memiliki banyak interpretasi dan pemahaman serta permasalahan yang terkait dengan mashlahah mursalah, maka pendapat dan pandangan tersebut wajib ditaati dan dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at.

Mengenai pertanggung jawaban kepala negara terhadap Allah dan terhadap rakyat yang telah membai’atnya, serta kedudukan kepala negara sebagai pelayan yang digaji oleh rakyat, Imam Hasan Al-Banna berdalil pada hadits Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM yang berbunyi:

كُلّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلُوْنَ عَنْ رَعِيَّتِهِ.

Artinya: Masing-masing kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban kepemipinannya tersebut.

Dan ungkapan Abu Bakar yang berbunyi:

أَيُّهَا النَّاسُ كُنْتُ أَحْتَرِفُ لِعِيَالِيْ فَأَكْتَسِبُ قُوَّتَهُمْ، فَأَنَا اْلآنَ أَحْتَرِفُ لَكُمْ، فَافْرِضُوْا لِيْ مِنْ بَيْتِ مَالِكُمْ

Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya dulu aku bekerja sendiri (berusaha) demi menghidupi kebutuhan keluargaku, sedangkan sekarang aku berkerja pada kalian, maka hendaklah kalian ambilkan sedikit (upah) buatku dari baitul mal.

Ini merupakan semacam kesepakatan dan kontrak kerja antara rakyat dengan pemimpinnya agar menjalankan kewajiban dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingan umum, sehingga jika sang pemimpin tersebut mengerja-kan tugasnya secara baik dan profesional, maka dia berhak mendapatkan ganjaran (kompensasi), sementara jika dia melalaikan tugasnya, maka dia pun berhak mendapatkan hukuman .

Menurut hemat penulis, menduduki jabatan kursi kepala negara dilakukan setelah adanya kesepakatan, nota kesepahaman, kontrak maupun aqad antara rakyat dengan pemimpin. Aqad ini tentu berbeda dengan transaksi jual beli maupun bisnis, karena dalam transaksi jual beli maupun bisnis, transaksi antara pembeli dan penjual dinyatakan telah selesai dan sah dengan adanya aqad dan pertukaran barang secara langsung. Tapi aqad dan nota kesepahaman antara pemimpin dengan rakyatnya lebih identik dengan transaksi perwakilan yang terikat oleh beberapa syarat dan ketentuan. Ketentuan tersebut bertujuan supaya kepala negara melaksanakan tugas-tugasnya dengan profesional, baik menyangkut mengatur urusan dalam maupun luar negeri, mewujudkan kepentingan bersama umat Islam serta melindungi aset kekayaan, kehormatan dan nyawa para rakyatnya. Puncak dari tugasnya adalah penerapan hukum syari’at Islam dalam segenap aspek kehidupan. Dan sebagai konsekuensinya, setiap rakyat wajib mentaati, membantu dan menyokong kepemimpinannya.

Untuk itu, rakyat selaku pemberi kewenangan dan kepala negara selaku wakil atau yang ditugaskan menjalankan kewenangan, jika kepala negara mengerjakan tugasnya secara profesional dan seoptimal mungkin, maka jabatannya sebagai kepala negara tentu bisa bertahan lama di atas dukungan, bantuan dan ketaatan rakyatnya. Sementara bila kepala negara tidak menjalankan wewenang yang telah diamanahkan rakyat serta tidak sanggup mewujudkan kepentingan dan kebutuhan rakyat, maka rakyat berhak mencopot dan memberikan wewenang pada orang lain yang berhak dan punya kapabilitas untuk memimpin negara .

b. Pelimpahan Wewenang Kepala Negara kepada Pihak Lain

Di antara pemahaman fiqih politik yang dianut oleh Imam Hasan Al-Banna bahwa seorang kepala negara mempunyai tugas dan wewenang tertentu. Tugas-tugas ini mesti ditunaikan oleh kepala negara yang akan dievaluasi oleh rakyat selaku konstituen yang memberikan amanah kepemimpinan. Bila tugas ditunaikan niscaya sang kepala negara akan menuai dukungan dan sokongan dari rakyatnya. Sebaliknya, jika gagal menjalankan kepemimpinan, rakyat berhak meluruskan bahkan melengserkannya dari jabatan. Sistem ini telah diterapkan semenjak kepemimpinan era Khulafaurrasyidin yakni, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Demikian pula di era pemimpin umat Islam yang terkenal dengan keadilannya seperti Umar bin Abdul Aziz.

Selain itu, Imam Hasan Al-Banna juga membolehkan bagi seorang kepala negara melimpahkan wewenangnya kepada salah seorang yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai kepala negara dan diyakininya mampu menjalankan wewenangnya sebagai kepala negara. Seperti kepemimpinan perdana menteri yang terdapat di berbagai negara sekarang. Pendapat Beliau ini disandarkan pada pandangan tokoh-tokoh politik Islam terkenal sekaliber Al-Mawardi Asy-Syafi’i yang meninggal dunia tahun 450 H, serta pandangan politik Abu Ya’la Al-Farra’ Al-Hanbali yang meninggal dunia tahun 458 H.

Imam Hasan Al-Banna berpedoman pada buku karangan Al-Mawardi Asy-Syafi’i yang berjudul Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayaat Ad-Diniyyah. Beliau mengutip pandangan politik Al-Mawardi yang membolehkan pelimpahan wewenang kepala negara kepada seorang perdana menteri selaku pelaksana tugas sebagai berikut: “Pemerintahan perdana men¬teri yaitu suatu bentuk pelimpahan wewenang seorang kepala negara terhadap seorang perdana menteri yang akan menjalankan urusan pemerintahan di bawah pengawasan dan persetujuan langsung dari kepala negara. Pola pemerintahan seperti ini sah menurut Islam. Sebagaimana firman Allah yang menceritakan permintaan nabi Musa AS dalam Qur’an Su¬rah Thaha ayat 29-32 yang berbunyi:

(وَاجْعَلْ لِي وَزِيْراً مِنْ أَهْلِي. هَارُوْنَ أَخِيْ. اشْدُدْ بِهِ أَزْرِيْ. وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِيْ) [طه: 29-32]

Artinya: Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikankanlah dia teman dalam urusanku.

Jika model dan pola seperti di atas disahkan dalam wilayah kenabian, maka sudah barang tentu lebih dilegitimasi lagi dalam urusan pemerintahan. Ketika seorang kepala negara melimpahkan sebagian urusan kenegaraan kepada perdana menterinya, karena ketidaksanggupan kepala negara menghendel tugas tersebut secara pribadi tanpa bantuan orang lain, maka roda pemerintahan menjadi semakin lancar daripada ia harus berpikir dan bekerja sendiri. Selain itu, keuntungan lain yang diperoleh adalah menutup peluang terjadinya banyak kekeliruan dan kegagalan dalam perjalanan roda pemerintahan” .

Imam Hasan Al-Banna berkata: “Tidak ada larangan dalam Islam bila seorang kepala negara melimpahkan wewenangnya kepada perdana menteri untuk menangani langsung urusan-urusan rakyat, sebagaimana fakta yang banyak disaksikan di beberapa pemerintahan negeri-negeri Islam. Para ulama fiqih juga telah memberikan rukhsah (dispensasi) dan keringanan selama demi mewujudkan kemaslahatan bersama. Dan kaidah yang digunakan dalam situasi dan kondisi semacam ini adalah melindungi kemaslahatan umum” .

Khilafah dan Bentuk Negara dalam Islam

Khilafah merupakan puncak kekuasaan tertinggi pada kepemimpinan publik dalam Islam dan pemangku jabatan tersebut digelari Khalifah yang berperan sebagai kepala tertinggi Daulah Islamiyyah. Khalifah diamanhkan beberapa tugas-tugas dan diberikan wewenang tertentu. Mengenai tugas dan wewenang Khalifah ini, telah dibahas secara detail oleh Al-Mawardi dan beberapa pakar hukum politik Islam lain dalam buku-buku mereka. Khilafah dalam terminologi lain dinamakan juga “Al-Imamah Al-Kubra” (Kepemimpinan Tertinggi) dan pemangku jabatan digelari Al-Imam, yang berperan sebagai pelindung Islam dari serangan dan invasi para musuh dan para pelaku bid’ah serta berfungsi juga sebagai pihak yang memiliki kewenangan menangani urusan-urusan perpolitikan dunia berlandaskan pada aturan-aturan Islam.

Dalam pemahaman Beliau, Khilafah Islamiyyah merupakan syiar dan lambang kebanggaan Islam yang mesti menjadi bahan pemikiran dan perjuangan umat Islam supaya bisa dikembalikan lagi kejayaannya seperti sediakala, namun perjuangan untuk menerapkan kembali sistem pemerintahan seperti itu tentu memerlukan proses yang tidak singkat serta persiapan yang sangat matang.

Kita dapat menyimpulkan dari beberapa pandangan yang tertuang dalam tulisan-tulisan Imam Hasan Al-Banna terkait dengan problematika Khilafah Islamiyyah sebagai berikut: “Bahwa berdirinya Khilafah Islamiyyah mesti didahului oleh perjuangan memformulasikan berdirinya pemerintahan-pemerintahan Islam di negeri-negeri Islam di mana setiap anak bangsa berjuang supaya hukum syariat bisa tegak di negaranya. Kemudian baru setelah itu, masing-masing pemerintahan Islam ini menyatukan visi dan misi mereka guna mendirikan sebuah negara adidaya Islam tingkat dunia”.

Hal ini telah disinggung pula dalam rukun bai’at yang membahas tingkatan-tingkatan proses perubahan dan perbaikan yang dimulai dari individu sebagai satuan terkecil, lalu pembentukan keluarga Muslim, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan bangsa Muslim dan pembebasan negara dari penjajahan asing, kemudian proses perbaikan dunia pemerintahan hingga menjadi pemerintahan yang benar-benar Islami. Baru setelah itu, perjuangan perebutan kembali kepemimpinan dunia di bawah kekuasaan Islam dengan jalan membebaskan semua bangsa-bangsa Islam dari segala tekanan dan penjajahan asing, mengembalikan kejayaan Islam, mengakrabkan kultur budaya bangsa-bangsa dan mengembalikan persatuan dan kesatuan umat yang akan berperan penuh dalam kejayaan kembali Khilafah Islamiyyah yang telah lama hilang .

Dalam kongres V Ikhwanul Muslimin, Imam Hasan Al-Banna menyampaikan ceramah dengan tema “Ikhwanul Muslimin dan Khilafah Islamiyyah”, di antara intisari ceramahnya Beliau mengemukakan: “Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin menyakini bahwa Khilafah Islamiyyah merupakan simbol dari persatuan umat Islam dan visualisasi dari ikatan yang kokoh antar negara-negara Islam sedangkan Khalifah merupakan figur tempat bergantung penerapan hukum Islam”.

Sementara itu, banyaknya jumlah hadits yang menerangkan kewajiban pengangkatan seorang Imam serta penjelasan tentang hukum kepemimpinan tidak memberikan ruang kosong bagi umat Islam untuk meragukan tugas mereka sebagai Muslim agar memikirkan persoalahan Khilafah Islamiyyah yang telah banyak mengalami perubahan dan modifikasi dalam manhaj Khilafah, hingga berakhir tragis dengan penghapusan sistem Khalifah Islamiyyah secara total sampai sekarang.

Ikhwanul Muslimin meletakkan gagasan Khilafah Islamiyyah dan perjuangan mengembalikan kejayaannya sebagai salah satu target puncak manhaj yang dianut oleh jamaah ini. Bersamaan dengan itu, mereka meyakini bahwa proses perjuangan ini tentu membutuhkan persiapan-persiapan yang sangat matang serta setelah melewati tahapan-tahapan yang sangat panjang dan melelahkan. Perjuangan ini mesti diawali dengan kerjasama erat dan hubungan diplomasi antar negara-negara Islam dalam bidang pendidikan, kebudayaan, sosial dan perekonomian, setelah itu diiringi dengan perjanjian-perjanjian kerjasama dan penandatanganan MOU, penyelenggaraan kongres-kongres, muktamar-muktamar dan seminar-seminar Internasional antar negara-negara Islam di dunia. Setelah itu dilanjutkan dengan pembentukan liga bangsa-bangsa Islam tingkat dunia. Pasca terwujudnya semacam persatuan atau liga bangsa-bangsa Islam sedunia tersebut, baru-lah disana ditunjuk seorang Imam.

Pernyataan di atas semakin dikokohkan dengan kesimpulan penulis dari risalah “Al-Ikhwan Al-Muslimun tahta Raayat Al-Qur`an” ketika Imam Hasan Al-Banna mengungkapkan: Sesungguhnya kita sangat mengharapkan kehadiran:

  1. Individu Muslim
  2. Rumah dan keluarga Islami
  3. Bangsa Islam
  4. Pemerintahan Islam
  5. Kepemimpinan Islam tingkat dunia yang mengatur dan mengurus negara-negara Islam, menghimpun umat Islam, berjuang mengembalikan kejayaan Islam, mengembalikan tanah-tanah kaum Muslim yang telah dirampas dan negara-negara mereka yang direbut secara paksa. Kemudian mengibarkan bendera jihad dan panji dakwah Islam sehingga dunia merasakan kebahagiaan dengan ajaran-ajaran Islam.

Penulis berpendapat sesungguhnya Islam mewajibkan kaum Muslimin untuk bersatu di bawah satu naungan kepemimpinan seorang Imam atau Kepala Negara Islam. Sedangkan kondisi terpecahnya umat Islam ke berbagai negara dengan kepala negaranya masing-masing merupakan kondisi yang tidak dibolehkan dalam Islam, karena bisa melahirkan bibit-bibit perpecahan antar berbagai negara Islam. Sedangkan Allah Ta’ala melarang perpecahan yang akan berakibat pada keggagalan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam Qur’an Surah Al-Anfal ayat 46:

(وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ) [الأنفال: 46]

Artinya: Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM bersabda:

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخَرَ مِنْهُمَا

Artinya: jika terdapat dua orang khalifah (yang satu sah dan yang lain tandingan) yang dibai’at (diangkat), maka bunuhlah khalifah yang terakhir dibai’at (khalifah tandingan).

Hadits di atas menetapkan secara tegas pengharaman pengangkatan lebih dari satu orang Imam yang akan memimpin umat Islam dan dalam hadits itu terdapat pula penjelasan kewajiban umat Islam untuk membunuh khalifah yang dibai’at terakhir, bila ia bersikukuh tidak mau turun dari jabatan kekhalifahan sebagai upaya menjaga persatuan umat Islam dan memerangi perpecahan dan perselisihan yang akan mengakibatkan umat Islam menjadi terbelah.

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dengan sanadnya sampai ke Abu Hurairah dari Nabi SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM. Beliau bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيّ بَعْدِيْ، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فوا بِبَيْعَةٍ الأَوَّل فَاْلأَوَّل، وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ

Artinya: dahulu kala Bani Israil dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi wafat, maka digantikan oleh Nabi sesudahnya. Dan sesungguhya tiada Nabi sesudahku (Muhammad), tetapi yang akan ada ialah para khalifah dan mereka banyak melakukan kesalahan. Para sahabat bertanya: “Apa yang Anda perintahkan kepada kami?”. Beliau menjawab: “Lakukanlah bai’at terhadap khalifah yang pertama, kemudian berikutnya (yakni khalifah yang diangkat pertama kali, bukan khalifah yang meraih kedudukan melalui kudeta, makar dan sebagainya) dan berikanlah kepada mereka hak-hak mereka.

Fakta sejarah -masa lalu maupun sekarang- mengungkap bahwa umat Islam telah melewati masa-masa suram yang melebihi kondisi perpecahan yang pernah menimpa dunia Islam ketika terbagi menjadi beberapa negara, begitupula hubungan diplomasi yang kurang harmonis, perasaan dengki, iri, pertikaian dan perpecahan antara Daulah Umaiyyah di Andalusia dengan daulah ‘Abbasiyyah di Timur.

Formasi dan Struktur Negara dalam Islam

Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa Ne¬gara Islam harus berlandaskan pada tiga landasan kaidah pokok yang merupakan Struktur Dasar Sistem Pemerintahan Islam, tiga landasan pokok tersebut adalah:

  1. Pertanggung jawaban pemimpin terhadap Allah SUBHANAHU WATA’ALA dan terha¬dap rakyat.
  2. Kesatuan umat Islam yang berlandaskan pada aqidah Islamiyah.
  3. Menghormati keinginan rakyat dengan melibatkan mereka dalam musyawarah, menerima usulan-usulan dan keputusan-keputusan mereka baik yang bersifat perintah (ma’ruf) maupun larangan (munkar).

Jika semua ketentuan dan syarat di atas telah terpenuhi dalam sebuah negara, di manapun dan apapun bentuk negara itu, maka negara tersebut telah sah dinamakan dengan negara Islam, karena yang jadi pertimbangan bukanlah sebutan (formalitas) dan bentuk negara.

Imam Hasan Al-Banna telah menerangkan secara detail tiga landasan kaidah pokok sistem pemerintahan Islam tersebut yang Beliau simpulkan dari intisari pemahaman Al-Qur`an, Sunnah dan sejarah Khalifahurasyidin dan khalfah-khalifah sesudahnya seperti Umar bin Abdul ‘Aziz dari halaman 360-362 dalam risalah yang sama. Beliau juga menjelaskan bahwa landasan-landasan pokok tersebut telah teraplikasikan di era kepemimpinan Khulafahurrasyidin, Beliau juga mengangkat bukti-bukti yang menguatkan yang akan kita tulis di pem-bahasan tema berikutnya.

Seorang yang meneliti dengan cermat me¬ngenai bentuk, formasi dan struktur negara dalam Islam dengan pendekatan sejarah akan menemukan bahwa terkadang negara diistilahkan dengan Khilafah dan yang menduduki jabatannya dinamakan Khalifah, seperti yang terjadi pada era kepemimpinan Khulafaurrasyidin, adakalanya dinamakan Sulthanah (kesultanan) yang dijabat oleh seorang Sulthan, seperti yang terpakai pada era Daulah Utsmaniyyah, terkadang dengan menggunakan istilah Mamlakah (kerajaan) yang dipimpin oleh seorang Raja, serta adakalanya diberi nama Imarat yang dijabat oleh Amirul Mukminin. Dan yang terpenting adalah substansi dengan terpenuhinya landasan-landasan pokok sistem kepemimpinan Islam dan tidak terlalu penting jikalau kita mempersoalkan penamaan meskipun alangkah lebih baiknya distilahkan dengan Negara Islam daripada dinamakan dengan negara Republik, negara kerajaan dan sebagainya.

Konstitusi Ikhwan dan Ahlul Halli wal ‘Aqdi

Konstitusi Ikhwanul Muslimin

Suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa perundang-undangan dan konstitusi sangat berpengaruh pada struktur negara, sistem pemerintahan, hak-hak warga negara, hubungan antara negara dengan rakyat dan tiga lembaga penting dalam negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif, di samping juga berpengaruh terhadap wewenang kepala negara, bahkan sistem perekonomian yang mengatur urusan ekonomi dan keuangan. Semua itu akan terlaksana sesuai dengan materi-materi perundang-undangan yang bersifat mengikat semua pihak tanpa terkecuali.

Imam Hasan Al-Banna telah menetapkan 20 kaidah pokok yang mengatur sistem pemerintahan, pelengseran kepala Negara dan kepemimpinannya, kebebasan beribadah, kebebasan berpendapat dan berpikir, dasar-dasar aqidah dan asas-asas hukum yang dipakai oleh sebuah jamaah atau negara. Selain itu, terdapat pula pembahasan mengenai konsep kemungkaran dan metode merubahannya, hukum adat yang bisa dijadikan landasan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan hukum syariat dan penjelasan mengenai hukum adat yang tertolak karena bertentangan dengan prinsip hukum syari’at. Serta pembahasan-pembahasan lain hingga mencapai 20 kaidah pokok. Beliau juga mengukuhkan bahwa amal dan kerja nyata merupakan bagian dan refleksi dari iman.

Imam Hasan Al-Banna menganggap bahwa 20 kaidah pokok tersebut merupakan asas-asas konstitusional yang dianut oleh Ikhwanul Muslimin. Semua asas-asas itu diadopsi dan didasari pemahaman terhadap Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM. Makanya kita sering mendengar teriakan, yel-yel dan seruan-seruan yang berbunyi: “Al-Qur`an Dusturuna” atau Al-Qur`an sebagai konstitusi kita, artinya Al-Qur`an lah yang mengatur urusan aqidah, perundang-undangan dan sistem kehidupan kita. Berdasarkan hal tersebut, semua undang-undang dan hukum ciptaan manusia yang menyalahi Al-Qur`an secara parsial maupun keseluruhan bukan merupakan undang-undang yang diakui dalam konsep politik Imam Hasan Al-Banna -rahimahullah-.

Setelah menjelaskan panjang lebar 20 kaidah pokok tersebut, Imam Hasan Al-Banna berujar: “Jika seorang akh Muslim benar-benar memahami agamanya, niscaya dia akan paham implikasi dari seruan dan teriakan yang sering dikumandangkan yaitu Al-Qur`an Dusturuna dan Ar-Rasul Qudwatuna” . Dan perlu diketahui bahwa Beliau tidak mengatakan bahwa hukum ciptaan manusia yang berlaku di Mesir dan di luar Mesir adalah konstitusi Ikhwanul Muslimin. Namun Imam Hasan Al-Banna malah mengkritik hukum ciptaan manusia yang berlaku di Mesir dan di luar Mesir dari segi formulasi, ketidak jelasan serta akibat negatif yang ditimbulkan sebagaimana Beliau juga mengkritik penerapan hukum-hukum positif di Mesir.

Menanggapi persoalan undang-undang pemilu yang berlaku, Beliau sependapat dengan para pakar hukum dan konstitusi lain bahwa sistem pemilihan umum tidak berhasil merealisasikan tujuan awal dari penyelenggaraan pemilu dan perundang-undangan tersebut gagal dalam mewujudkan keterwakilan rakyat dalam proporsi yang sebenarnya, bahkan tidak sanggup melahirkan semacam institusi dan lembaga yang berjuang murni demi kepentingan rakyat tanpa ada intervensi kepentingan pihak lain.

Beliau sependapat dengan analisa Dr. Sayid Shabri dalam bukunya (Mabadi’ Al-Qanun Ad-Dustury) sekaligus menguatkan asumsi Beliau yang mengatakan: “Sesungguhnya kebijakan-kebijakan parlemen Mesir semenjak beberapa waktu lalu tidak mewakili pendapat rakyat, opini publik, pendapat mayoritas bahkan tidak mewakili pendapat minoritas yang berpengaruh”. Kemudian Imam Hasan Al-Banna berkata: “Lantas bagaimana mungkin setelah ini digembar-gemborkan bahwa kebijakan tersebut merupakan refleksi dari pendapat rakyat banyak serta telah berhasil mewujudkan keterwakilan rakyat banyak .

Setelah mengetengahkan kaidah-kaidah dasar sistem Islam dan aturan parlemen secara bersamaan dalam hal tanggung jawab seorang kepala negara, lantas apa yang mesti kita lakukan buat Mesir? Secara teori maupun praktek kita baru sampai di pertengahan jalan, sehingga seolah hukum dan konstitusional kita terkesan masih kurang detail dan terperinci, padahal sebenarnya itu merupakan point terpenting dalam menentukan gambaran kehidupan parlemen dan kehidupan Islam yang kita perjuangkan.

Kemudian Beliau menutup pembicarannya: “Kita jangan sampai terjebak dalam praduga bahwa semua kaidah dasar yang telah dikemukakan, bisa menyelesaikan semua persoalan secara mutlak. Namun yang terpenting adalah itu merupakan gambaran dari inti permasalahan yang masih perlu dikembangkan dan dijelaskan, karena bila tidak demikian persoalan tak akan pernah terselesaikan.”

Ahlul Halli wal ‘Aqdi

Terminologi ini sering digunakan dalam buku-buku fiqih politik dan buku-buku fiqih umum. Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Legislatif) adalah pihak-pihak yang bertindak sebagai penasehat dan konsultan dalam beragam urusan menyangkut kepentingan rakyat banyak, nasehat-nasehat tersebut mereka putuskan secara mufakat ataupun menurut pandangan mayoritas. Mereka tidak dikenal karena nama, tapi karena kriteria-kriteria. Setelah mendalami banyak referensi-referensi fiqih, Imam Hasan Al-Banna berpendapat bahwa secara lahiriyyah bahwa implikasi dari istilah Ahlul Halli wal ‘Aqdi dalam pandangan-pandangan para pakar fiqih itu tertuju pada tiga pihak berikut:

  1. Para pakar fiqih yang berijtihad, di mana pendapat-pendapat mereka dijadikan sebagai sandaran dalam masalah-masalah perfatwaan dan penetapan hukum fiqih.
  2. Para tenaga ahli dan spesialis dalam urusan-urusan publik.
  3. Mereka yang memiliki semacam kepemimpinan di tengah-tengah umat, seperti ketua-ketua RT dan RW, tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan-pimpinan LSM dan organisasi.

Imam Hasan Al-Banna menganggap bahwa orang-orang seperti di atas bisa dipilih lewat sistem pemilu yang matang serta dengan meletakkan kriteria-kriteria yang sangat ketat. Bagi yang memenuhi syarat berhak untuk dicalonkan, sementara yang tidak memenuhi syarat tidak berhak dicalonkan dan dipilih.

Sistem Pemilu dan Minoritas Non Muslim di Negeri Islam

Sistem Pemilihan Umum

Penting disebutkan, bahwa Imam Hasan Al-Banna menggunakan sistem pemilihan umum demi upaya penyaringan para ahlul halli wal ‘aqd (anggota legislative). Sistem ini sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip dan hukum Islam, bahkan sejalan dengan prinsip musyawarah dalam konteks yang lebih luas.

Namun demikian, Imam Hasan Al-Banna mengkritik penyelenggaran pemilu-pemilu di Mesir, karena mereka yang terpilih sebenarnya tidak mewakili kepentingan rakyat banyak. Persoalan ini pada dasarnya, kembali kepada panitia Pemilu (KPU) yang tidak sanggup melahirkan orang-orang kapabel guna mewakili suara rakyat banyak dan juga pada persoalan orang-orang terpilih itu sendiri yang tidak memiliki kapabilitas untuk menduduki jabatan tersebut. Persoalan tersebarnya praktik korupsi, kolusi, suap-menyuap, money politic dan pembelian suara dalam pemilu turut andil dalam kegagalan penyelenggaraan pemilu di Mesir.

Guna menyelesaikan persoalan ini, Imam Hasan Al-Banna mengeluarkan himbauan demi upaya perbaikan undang-undang pemilu yang berlaku, sehingga benar-benar dapat melahirkan para tokoh dan figur yang memiliki kapabilitas serta mewakili pendapat masyarakat umum. Untuk itu Beliau mengusulkan lima langkah sebagai berikut :

  1. Menetapkan kriteria-kriteria para calon, jika mereka berasal dari utusan-utusan lembaga dan organisasi tertentu, maka mesti disertai dengan visi, misi dan program yang jelas dan mendasar yang menjadi sebab mereka dicalonkan.
  2. Menetapkan batasan-batasan kampanye serta penjatuhan sanksi keras terhadap calon yang melanggar batasan-batasan tersebut seperti: usaha pencemaran nama baik lawan politik dan keluarganya yang tidak terkait secara langsung dengan calon. Untuk itu kampanye lebih terkonsentrasi pada pengenalan visi, misi dan program-programnya.

Pola pemilihan umum yang memprioritaskan “nilai-nilai” bukan mementingkan kefiguran, sehingga wakil rakyat dan senator (DPD) bisa terbebas dari tekanan para partisipan (pemilih) serta kepentingan umum lebih mendapat tempat di hati para wakil rakyat dan senator dibandingkan urusan pribadi mereka.

Imam Hasan Al-Banna menghimbau agar memegang teguh prinsip “memprioritaskan nilai-nilai” dalam pemilu. Nilai-nilai itu sendiri berlandaskan pada orientasi, keyakinan, misi dan program tertentu setiap partai dalam upaya melakukan perubahan dan reformasi. Sejatinya, masing-masing partai mengkampanyekan program dan misi mereka di hadapan publik untuk bisa menjadi bahan pertimbangan dan diskusi. Jika publik setuju dengan program yang ditawarkan, hasilnya tentu mereka akan menuai simpati dan dukungan rakyat, sementara jika terjadi sebaliknya, maka jangan harap rakyat akan memberikan dukungan terhadap mereka. Dalam hal ini, partai berhak menyeleksi dan menyaring calon-calon mereka berdasarkan kredibilitas, loyalitas, dedikasi dan pengabdian mereka terhadap kepentingan dan misi partai.

Menurut hemat penulis, berpegang pada prinsip “memprioritaskan nilai-nilai” yang berlandaskan pada program-program politik yang jelas, akan melahirkan figur-figur pemimpin yang kapabel dalam menjalankan roda pemerintahan, karena seharusnya dalam pemerintahan tidak ada ruang bagi mereka yang tidak kapabel meskipun mereka kaya, begitu pula bagi para pelaku korupsi yang merampas harta rakyat serta mempermainkan kepentingan bangsa.

Seruan terbuka yang dilancarkan Imam Hasan Al-Banna yaitu kewajiban untuk turut terlibat dalam pemilihan umum, akan membuat kita merasakan urgensi dari pemilu tersebut, karena pemilu merupakan refleksi dari sebuah kesaksian dan pengakuan. Dan atas dasar kesaksian ini, kebijakan-kebijakan penting yang terkait dengan kepentingan publik akan diputuskan. Karena bila mayoritas orang di suatu bangsa menyatakan diri tidak memilih (golput) dalam pemilihan umum (sebagaimana banyak terjadi pada pemilu-pemilu era Imam Hasan Imam Hasan Al-Banna) itu berarti memberi kesempatan pada kelompok minoritas untuk menentukan arah kebijakan, yang pastinya tidak mewakili pendapat mayoritas serta sering mengabaikan kepentingan-kepentingan orang banyak.

Kondisi ini terjadi bila pemilu terselenggara dengan jujur dan adil, sementara jika terbukti oleh banyak orang bahwa telah terjadi pembohongan publik, tentunya tingkat keinginan untuk tidak memilih (golput) akan semakin tinggi pula. Namun, argumentasi-argumentasi yang dikemukakan Imam Hasan Al-Banna saling melengkapi satu sama lain. Jika semua argumentasi Beliau diterima, sudah barang tentu masyarakat mesti dipaksa untuk ikut pemilu sehingga akan bermunculan figur-figur yang punya kapabilitas sehingga pantas menduduki jabatan yang diamanahkan serta sangat memprioritaskan kepentingan-kepentingan umum.

Cobalah Anda perhatikan usulan yang keempat, yaitu penjatuhan hukuman berat terhadap praktek korupsi, kolusi dan suap-menyuap, sehingga dengan demikian dapat memberikan “efek jera” khususnya terhadap para pelaku dan masyarakat secara umum, karena saking beratnya hukuman yang diberikan. Harapannya, hukuman berat tersebut tidak hanya sebagai undang-undang yang tertulis di atas kertas, seperti kasus yang kerap terjadi di berbagai negara. Bahkan di Aljazair dan beberapa negara lain, para pemegang otoritas pemerintahan di sana sengaja menghapus kepentingan bangsa dan kehendak rakyat banyak.

Minoritas Non-Muslim di Negeri Islam

Imam Hasan Al-Banna telah menjelaskan bahwa Islam memposisikan non-Muslim berdasarkan atas sikap mereka terhadap pemerintahan Islam. Jika mereka bisa diajak kompromi dengan syarat bisa patuh dan loyal terhadap pemerintah Islam yang berdaulat serta tidak membantu musuh-musuh Islam, maka umat Islam pun dituntut memperlakukan mereka dengan baik, berinteraksi secara proporsional, menjaga hak-hak mereka, baik jiwa, harta maupun kehormatan. Tapi, jika kaum minoritas non Muslim tersebut membatalkan perjanjian dan memutuskan hubungan diplomasi dengan pemerintah Islam, memerangi dan membantu pihak musuh yang berencana menghancurkan Islam, serta terlibat dalam pengusiran umat Islam dari negeri mereka sendiri, maka dalam kondisi ini, haram hukumnya bagi umat Islam memberikan loyalitas (berbuat baik) pada mereka. Karena bila umat Islam berbuat seperti itu, sama artinya mereka telah berbuat aniaya terhadap diri sendiri, karena mereka telah berbuat sesuatu yang mendatangkan kemarahan Allah dan kebencian manusia, pada waktu yang sama mereka telah berbuat aniaya terhadap saudara sesama Muslim karena secara tidak sengaja mereka telah membantu musuh dan tidak melakukan pembelaan terhadap saudara-saudara mereka.

Mengenai batasan-batasan hubungan tersebut, Imam Hasan Al-Banna menarik kesimpulan hukum dari intisari pemahaman firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Mumtahanah ayat 8:

(لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتَقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ) [الممتحنة: 8]

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Realita sejarah telah membuktikan bahwa kaum minoritas non-Muslim kerapkali hidup dalam perlindungan pemerintahan Islam selama beberapa abab lamanya. Pemerintahan Islam yang berdaulat memberikan kebebasan penuh pada mereka untuk menganut keyakinan dan menjalankan agama mereka, meskipun dalam pandangan Islam agama yang mereka anut adalah bentuk kekafiran dan kesyirikan. Orang Kristen diberikan kebebasan hidup dan menjalankan ibadah di gereja-gereja serta menganut keyakinan trinitas mereka yang mempertuhankan Isa Alaihissalam, ibunya (Maryam) dan menjadikan Isa sebagai tuhan ketiga.

Sejarah juga telah mencatat, bahwa umat Islam pernah memegang tampuk kekuasaan di India selama beberapa abad, sedangkan waktu itu di India terdapat lebih dari 300 model keyakinan dan aliran agama maupun teologi. Namun, mereka tetap diberikan kesempatan hidup di bawah perlindungan pemerintahan dan syari’at Islam serta diberi kebebasan menjalankan keyakinan masing-masing tanpa ada gangguan.

Wanita dan Aktivitas Politik

Imam Hasan Al-Banna dan para pakar yang mengamati permasalahan secara objektif, menilai bahwa “problematika dan hak-hak wanita” yang sering digembar-gemborkan serta dipropagandakan di negara-negara Islam, khususnya masalah yang terkait dengan keaktifan wanita dalam forum-forum yang diselenggarakan di luar rumah, sehingga terjadi pengabaian tugas utama mereka dalam hal mendidik anak-anak dan generasi penerus estafet perjuangan agama dan bangsa.

Kroronologis permasalahan tersebut bersumber dari problematika yang kerap dihadapi oleh para wanita di Barat, yaitu ketika kaum pria di Barat baik sebagai figur bapak, suami, saudara maupun anak kandung menelantarkan dan memberikan kebebasan ruang gerak yang ekstra bagi kaum wanita. Bahkan perundang-undangan di Barat menginstruksikan para wanita bila mereka telah menginjak masa remaja, maka mereka berkewajiban membiayai kebutuhan hidup dan finansial mereka secara mandiri.

Akibatnya, kaum wanita terpaksa ikut terlibat berkarir sebagai karyawan swasta di gedung-gedung perkantoran dan bekerja sebagai buruh kasar di pabrik-pabrik. Tapi pada saat yang sama hak-hak mereka terabaikan, karena pekerjaan yang mereka lakukan sejatinya merupakan pekerjaan kaum pria, sementara upah yang mereka terima tidak melebihi separuh dari gaji kaum pria yang bekerja pada bidang yang sama. Kondisi ini menuntut kaum wanita Barat berpikir mencari solusi agar terwujudnya kesetaraan hak (sekarang berkembang menjadi kesetaraan gender. Pen) dan kewajiban mereka dengan kaum pria.

Akhirnya kaum wanita Barat berkesimpulan keharusan terlibat dalam pekerjaan di bagian-bagian administrasi perusahaan-perusahaan atau divisi tertentu yang memiliki kewenangan guna mengeluarkan aturan-aturan terkait dengan kebijakan-kebijakan seputar gaji dan hak-hak para pegawai serta karyawan. Setelah kaum wanita Barat tersadar bahwa kebijakan-kebijakan mengenai gaji tersebut tentunya berjalan sesuai dengan kebijakan yang bersumber dari hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Atas dasar ini, mereka mengambil langkah selanjutnya dengan berupaya sekuat tenaga agar ikut terlibat berkecimpung dalam urusan-urusan politik praktis yang akan mengantarkan mereka ke kursi-kursi parlemen, jabatan-jabatan strategis di lembaga eksekutif (pemerintahan) serta posisi-posisi berpengaruh dalam lembaga-lembaga yudikatif dan peradilan, sehingga dengan demikian mereka bisa memperjuangkan kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki dengan keterwakilan mereka dalam lembaga-lembaga tersebut. Namun semua itu hanya teori di atas kertas belaka yang tak terealisasi meskipun telah melewati perdebatan panjang, berat dan melelahkan.

Namun faktanya, kaum pria di Barat tetap mendominasi hampir seluruh lapangan pekerjaan, sementara kaum hawa yang berkesempatan menduduki jabatan-jabatan tertentu di berbagai institusi seperti parlemen, kementerian (departemen-departemen) serta lembaga-lembaga hukum dan peradilan, jumlah mereka sangat terbatas sekali, karena memang kaum pria lebih berkapasitas dalam wilayah-wilayah tersebut dibanding kaum wanita.

Wabah ini menular ke negera-negera berpenduduk mayoritas Muslim, padahal dalam aturan Islam seorang wanita kendati telah memasuki fase aqil baligh, ia tidak dibebankan kewajiban untuk mencari pekerjaan secara mandiri demi memenuhi kebutuhan finansialnya. Tapi dalam hal ini, laki-laki bertanggung jawab penuh terhadap nafkah dan kebutuhan finansialnya semenjak lahir sampai meninggal, baik dalam status menikah maupun telah menjanda. Sebelum seorang wanita menikah, maka tanggung jawab nafkahnya terletak pada wali, seperti bapak, saudara atau karib kerabatnya yang lain jika bapaknya telah meninggal. Adapun setelah menikah, kewajiban nafkah jatuh pada suaminya meskipun wanita tersebut kaya. Dan bila wanita tersebut ditinggal suami, baik karena motif perceraian maupun karena suaminya meninggal dunia, maka kewajiban nafkahnya kembali menjadi tanggung jawab wali seperti bapak, saudara maupun anaknya serta karib kerabat yang lain (atau menjadi kewajiban Negara).

Makanya, Anda bisa buktikan bagaimana Imam Hasan Al-Banna menjelaskan pandangan-pandangan mereka yang terkesima dan terpesona oleh peradaban Barat yang dihiasi oleh kesenangan-kesenangan duniawi yang bersifat temporal. Beliau juga membantah gagasan yang mengusung keterlibatan kaum hawa berkecimpung dan berkarir dalam aktivitas dan forum yang diselenggarakan di luar rumah sehingga berpotensi meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ibu rumah tangga. Beliau juga menentang keras prinsip yang membolehkan “ikhtilath” (campur baur) antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan. Karena Imam Hasan Al-Banna memposisikan wanita separuh dari elemen masyarakat yang sangat mempengaruhi jalannya roda kehidupan dalam bermasyarakat, karena wanita merupakan sosok pendidik dan berperan sebagai “sekolah” yang akan membangun karakter dan menghasilkan lulusan-lulusan terbaik penerus cita-cita.

Tapi Islam -menurut pandangan Imam Hasan Al-Banna- memberikan ruang dan kesempatan bagi kaum hawa untuk terjun dalam dunia perpolitikan, bahkan hingga mengurus urusan peperangan. Kaum hawa berhak menentukan sikap politiknya dan mengajak orang lain terhadap pilihan politik tersebut. Beliau mengambil kesimpulan hukum semacam demikian dari intisari pemahaman Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM. Sebagai bukti, kaum hawa turut berperan dalam Bai’at Aqabah I dan Bai’ah Aqabah II serta bai’at mereka terhadap Rasulullah dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyyah, tatkala Rasulullah memproklamirkan perang terhadap kafir Makkah dan mengeluarkan pernyataan penyerangan terhadap kota Makkah, karena tersebar desas-desus bahwa delegasi umat Islam waktu itu yang diwakili oleh Utsman bin Affan dinyatakan telah dianiaya dan dibunuh oleh kaum musyrik Makkah.

Wanita juga memiliki kebebasan menyebarkan sikap dan aspirasi politiknya kepada sesama mereka serta berhak menyusun strategi dan perencanaan dakwah sebagaimana mereka berhak pula melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar tanpa pandang bulu hingga terhadap kepala negara sekalipun. Kaum hawa juga berhak menuntut keadilan mereka baik lewat lembaga peradilan yang ada maupun lembaga-lembaga non-peradilan lainnya. Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM telah melegitimasi pengaduan istri Abu Sofyan mengenai perangai dan kebiasaannya. Kejadian itu terjadi ketika istri Abu Sofyan mendatangi Rasulullah untuk menanyakan masalah suatu hukum. Peristiwa ini terjadi di sela-sela Fathul Makkah dan saat berbai’ah. Istri Abu Sofyan berkata: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلاَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِيْ وَأَنَا آخُذُ مِنْ مَالِهِ، فَهَلْ عَلَيَّ مِنْ جُنَاحٍ ؟ فَقَالَ الرَّسُوْلُ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : “خُذِيْ مِنْ مَالِهِ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ”

ِ

Artinya: Sesungguhnya Abu Sufyan merupakan sosok suami yang pelit dan tidak memenuhi hak pribadi saya selaku istri dan hak anak saya, oleh karenanya –tanpa sepengetahuan Abu Sufyan- secara diam-diam saya mencuri hartanya. Beliau kemudian bertanya: Wahai Rasulullah, berdosakah saya karena sikap tersebut? Rasul menjawab: Pergunakanlah harta Abu Sofyan itu sekedar mencukupi kebutuhanmu dan anakmu saja .

Imam Hasan Al-Banna sangat mewanti-wanti efek dari perang ideologi dan pemikiran yang sengaja dilancarkan oleh Barat terhadap negara-negara Islam dan etika yang dianut oleh kaum Muslim, khususnya yang terkait dengan masalah perempuan. Beliau juga me”warning” secara tegas para generasi Muslim yang tumbuh dan terdidik dalam asuhan pendidikan Barat, sehingga menjadikan mereka loyal dan terbiasa hidup dalam suasana kebarat-baratan serta ingin menebarkannya ke umat Islam yang menghuni berbagai negara Islam di dunia.

Imam Hasan Al-Banna berkata: “Kecende¬rungan sebagian orang yang tak hanya terjerat dalam perangkap fanatisme Barat, bahkan mereka berusaha menipu diri sendiri dengan cara menyetir hukum Islam agar sejalan dan relevan dengan sistem-sistem yang dianut Barat, sehingga dengan sadar mereka sengaja mengeksploitasi ketoleranan dan kefleksibelan hukum Islam sampai ke taraf mengeluarkannya dari koridor prinsip-prinsip Islam. Alhasil, yang terbentuk adalah hukum lain yang tak terkait sama sekali dengan prinsip hukum Islam serta dengan sengaja mereka telah mengabaikan spirit Islam dan teks-teks agama yang berseberangan dengan hasrat dan keinginan hawa nafsu mereka .
Secara ringkas, kita dapat menyimpulkan pandangan Imam Hasan Al-Banna mengenai perspektif Islam terhadap hak-hak kaum perempuan sebagai berikut:

  • Islam mengangkat derajat kaum perempuan dan menjadikan mereka sebagai partner kaum pria dalam hak dan kewajiban. Islam juga mengakui hak-hak individu, hak-hak sipil dan hak-hak politik mereka.
  • Islam membedakan porsi hak-hak kaum perempuan dengan kaum pria berdasarkan pada perbedaan fitrah (bawaan sejak lahir) antara pria dan wanita, perbedaan peran dan tugasnya masing-masing serta sebagai upaya memberikan jaminan keterjagaan pemenuhan hak masing-masing. Imam Hasan Al-Banna menegaskan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara penciptaan wanita dengan penciptaan pria ditinjau dari aspek fisik dan kejiwaan, sehingga tak seorang pun bisa mengklaim bahwa peran yang diemban wanita dalam kehidupan, sama dengan peran yang diemban pria. Wanita dan pria adalah refleksi dari dua penciptaan yang berbeda sehingga peran dan misi yang diemban juga sebagiannya berbeda.
  • Antara pria dan wanita secara naluri terdapat perasan (insting) saling tertarik antara satu sama lain yang menjadi landasan terciptanya hubungan antara keduanya. Tujuannya adalah sebagai upaya menjaga kelestarian jenis dan spesies manusia di muka bumi.

Lalu Imam Hasan Al-Banna juga membahas mengenai tata hubungan antara kaum pria dan kaum wanita dalam sebuah kehidupan bermasyarakat dalam poin berikut: “Kewajiban pembinaan akhlak dan moralitas kaum wanita dan mengarahkan mereka untuk menjadi pribadi-pribadi terdidik yang dibekali dengan etika-etika mulia dan akhlak-akhlak yang terpuji semenjak lahir. Beliau juga memotivasi para orang tua dan penanggung jawab guna memberikan pendidikan yang baik terhadap kaum wanita. Lantas Beliau mengutarakan berbagai teks agama dari Al-Qur`an dan Sunnah yang mengacu pada isu-isu tersebut. Imam Hasan Al-Banna sengaja menggaungkan kewajiban pendidikan wanita, karena tingkat kebutuhan wanita yang tinggi terhadap pendidikan dan pengajaran serta karena alasan beratnya misi dan peran yang menjadi motif penciptaan wanita yaitu: “mengatur urusan rumah tangga dan mendidik anak”.

Telah terjadi “diskriminasi pria dan wanita dalam Islam”. Ungkapan ini dijawab oleh Imam Hasan Al-Banna lewat ungkapan Beliau: “Islam memang membatasi pergaulan antara pria dan wanita karena mengingat alasan besarnya resiko yang akan menimpa kecuali dengan jalan pernikahan resmi”.

Imam Hasan Al-Banna menjawab para provokator gagasan “ikhtilath” (kebebasan pergaulan antara kaum pria dan kaum wanita) yang mengira bahwa memisahkan antara pria dan wanita menjadi penghalang terjadinya interaksi dan ketenangan perasaan antara dua sosok makhluk tersebut, yang akan melahirkan dampak positif terhadap kemunculan perilaku sosial seperti kelembutan perkataan, pergaulan yang baik dan norma kesopanan tingkah laku. Sedangkan memisahkan antara kedua jenis makhluk tersebut hanya akan menciptakan kerinduan yang abadi di antara mereka. Hubungan langsung antara kedua akan mengurangi masalah ini dan menjadikannya sebagaimasalah yang biasa dalm diri. Karena manusia suka terhadap apa yang dilarang, apa yang digapai tangan dan apa yang diinginkan nafsu (syahwat).

Imam Hasan Al-Banna dengan lantang dan tegas menjawab asumsi di atas bahwa akibat yang ditimbulkan oleh terjalinnya interaksi dan komunikasi antara dua makhluk tersebut berdampak pada terenggutnya kehormatan, ketidakjelasan keturunan, kerusakan jiwa, kehancuran dan konflik dalam kehidupan rumah tangga. Pola pergaulan yang tak membatasi antara pria dan wanita juga akan berdampak pada terkikisnya jiwa-jiwa kelelakian dan kewibawaan pada kaum pria sehingga mereka terhanyut dengan sifat-sifat wanita yang bersifat lembut dan lemah gemulai. Hal ini menyebabkan tumbuh suburnya kecenderungan laki-laki yang bersifat seperti wanita atau dengan ungkapan lain tersebarnya para bencong.

Sementara itu, pernyataan yang pro terhadap “ikhtilath” dengan dalih akan menggembleng naluri dan insting manusia ke orientasi yang lebih positif, sedangkan membatasi pergaulan pria dan wanita hanya akan semakin menjadikan insting manusia tidak terkendali dan liar. Semua ini tidak benar. Faktanya, membiarkan “ikhtilath” dalam pergaulan hanya akan menambah tingkat kecenderungan kedua belah pihak dan mengobarkan nafsu syahwat. Dulu terkenal istilah “makanan itu akan memancing nafsu makan”. Begitupula seorang lelaki yang hidup bersama lawan jenisnya untuk beberapa waktu, maka ia akan dapati kecintaannya terhadap pasangan semakin hari akan semakin erat. Apalagi jika hubungan yang terjadi tidak dibingkai dengan akhlak mulia. Lalu, apa gerangan yang akan terjadi?

Seorang wanita yang hidup di tengah komunitas yang dipenuhi banyak pria, biasanya wanita tersebut bakal cenderung untuk selalu tampil gaya dan modis serta menonjolkan sisi-sisi kecantikannya pada kaum pria, karena ia ingin selalu menjadi pusat perhatian dan mendapatkan tempat di hati para kaum pria itu. Di samping itu, dampak dari pergaulan antara pria dan wanita yang tak terbatas, akan terasa pula pada aspek ekonomi, disebabkan peningkatan alokasi anggaran pengeluaran untuk urusan gaya dan mode.

Untuk itu, Ustadz Imam Hasan Al-Banna mengatakan: “Kembali kami menegaskan bahwa masyarakat Islam merupakan masyarakat yang terbebas dari pergaulan yang tak terbatas antara kaum pria dan kaum wanita, karena dalam masyarakat Islam kaum pria punya komunitas sendiri dengan sesamanya dalam pergaulan, sementara kaum perempuan pun memiliki komunitas tersendiri pula antar sesama mereka. Islam memberikan kebebasan kaum hawa pada kondisi-kondisi tertentu, seperti: menghadiri acara lebaran, shalat jama’ah, bahkan ikut perang dalam kondisi yang sangat kritis dan mendesak sekali. Namun kebebasan tersebut hanya dalam wilayah-wilayah di atas, tentunya dengan memberikan prasyarat yang sangat ketat”.

Semua aturan tersebut diberlakukan supaya pria bisa terbebas dari fitnah wanita, karena wanita merupakan batu ujian yang cukup terjal bagi pria, di samping juga bertujuan menyelamatkan wanita dari fitnah pria. Kemudian Imam Hasan Al-Banna mengutip nash-nash dari Al-Qur`an dan Sunnah yang terkait dengan masalah tersebut. Setelah mengemukakan dalil-dalil, Beliau melanjutkan: “Adapun yang kerap terjadi di tengah-tengah kita sekarang berupa “ikhtilath” antara pria dan wanita di berbagai forum dan tempat seperti di sekolah-sekolah, institusi-institusi dan tempat-tempat pertemuan umum lainnya. Pergi ke tempat-tempat hiburan, restauran, serta taman-taman bukan merupakan budaya Islam sedikitpun, tapi merupakan budaya yang diadopsi dari adat Barat” .

Kemudian Imam Hasan Al-Banna terus melancarkan serangan terhadap orang yang berkeyakinan dan selalu mempropagandakan bahwa Islam tidak melarang wanita untuk ikut aktif dalam kancah pekerjaan-pekerjaan publik, sembari menyangkal keyakinan mereka dengan menyebutkan dalil-dalil yang mengindikasikan kedalaman pemahaman fiqih Beliau. Akhirnya Beliau sampai pada kesimpulan, bahwa wanita tidak berhak memangku jabatan dalam pekerjaan-pekerjaan publik, karena wanita telah diamanahkan tugas dan misi utama guna mengurus urusan rumah tangga dan mendidik anak.

Adapun bila kondisi memang memaksa dan mendesak wanita harus bekerja karena alasan kemiskinan dan kebutuhan, maka sang wanita juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu serta pekerjaan tersebut benar-benar dilakukan karena motif kondisi darurat atau emergensi. Dan menilai sebuah situasi sebagai kondisi darurat harus secara proporsional pula dan tidak sembarangan serta bukan karena alasan adanya perundang-undangan yang melegitimasi wanita bekerja di luar rumah dan meninggalkan peran utamanya sebagai pendidik dan pencetak generasi yang akan berjuang untuk Islam .

Penulis menyimpulkan bahwa berdasarkan prinsip di atas, maka Imam Hasan Al-Banna mengambil sikap membolehkan wanita melakukan aktivitas politik, sebagaimana telah dikukuhkan dari pemahaman Al-Qur`an dan Sunnah. Oleh karenanya, Beliau membentuk sebuah lembaga independen yang khusus mengurus para akhwat Muslimah, di mana para akhwat Muslimah diberikan otoritas mengadakan kegiatan dan menjalankan program khusus untuk kalangan mereka, sementara para Ikhwan juga punya kegiatan tersendiri yang terpisah dari kegiatan para akhwat. Lembaga independen milik akhwat ini aktif menyebarkan dakwah dan melakukan tarbiyah ruhiyyah dan tarbiyyah siyasiyyah (pendidikan politik). Lembaga independen ini diketuai oleh seorang akhwat bernama Labibah Ahmad dengan dukungan dari para pengurus lainnya.

Adapun problematika sekelompok wanita yang memangku jabatan-jabatan strategis dan posisi-posisi penting yang mengurus kepentingan-kepentingan publik seperti lembaga-lembaga peradilan dan kehakiman (yudisial), departemen-departemen tertentu dan lembaga eksekutif atau pemerintah yang menjadi referensi rakyat dalam kondisi damai dan perang. Dalam hal ini Imam Hasan Al-Banna telah menyatakan larangannya terhadap fakta di atas. Larangan ini ditegaskan oleh hadits Rasul yang berbunyi:

لَنْ يَفْلَحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

Artinya: tidak akan selamat suatu kaum atau bangsa yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka pada wanita. (HR. Imam Bu¬khari dalam bab Al-Maghozi)

Termasuk juga dalam kategori cakupan hadits di atas adalah pelarangan wanita menjadi kepala daerah, pemimpin jihad, kepala kepolisian, kepala urusan peradilan dan kehakiman, kepala urusan perpajakan, kepala urusan haji serta institusi-institusi yang mengurus kepentingan-kepentingan publik lainnya.

Metode pengambilan kesimpulan hukum dari hadits yang telah dikemukakan di atas adalah karena Rasulullah SHALLALLAAHU ALAI¬HI WA SALLAM memberikan informasi tentang pengharaman kepemimpinan wanita dalam urusan-urusan yang menyangkut kepentingan umum (publik), karena menurut para pakar ushul fiqih bahwa kata (أمرهم) termasuk dalam lafazh yang berimplikasi umum atau general. Lafazh di atas mencakup kepemimpinan wanita dalam wilayah-wilayah kepemimpinan publik maupun kepemimpinan khusus seperti kepemimpinan wanita terhadap harta, diri, usaha dan sebagainya. Tapi kepemimpinan dan penguasaan wanita yang terkait dengan kepentingan pribadi termasuk dalam konteks pengecualian, karena terdapat dalil lain yang mengecualikannya dari implikasi general (cakupan makna umum) dari lafazh tersebut, yaitu firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 32:

(لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوْا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ) [النساء: 32]

Artinya: (karena) bagi laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan.

Dan firman Allah dalam Qur’an surah Al-Baqarah 237:

(وَإِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلاَّ أَنْ يَعْفُوْنَ أَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ) [البقرة: 237]

Artinya: Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan (wali) nikah.

Kesimpulan hukum di atas ditegaskan juga oleh firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 34:

(الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ) [النساء: 34]

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemim¬pin bagi kaum wanita.

Kepemimpinan dalam keluarga yang notabene merupakan wilayah kepemimpinan bersifat khusus diserahkan seutuhnya pada pria, jika dalam keluarga saja wanita tidak berhak menjadi pemimpin keluarga, lantas atas dasar apa seorang wanita punya otoritas memimpin sebuah negara?
Kaum pria lebih kapabel dibanding wanita bila ditilik dari segi fisik dan intelektual. Pernyataan ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 34:

(الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ) [النساء: 34]

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah (mendapat kewajiban) menafkahkan sebagian dari harta mereka.

Prinsip kepemimpinan berasal dari dua motif yang mendasar yaitu kapabilitas memimpin dan kesanggupan membiayai. Dalam hal ini, penulis menambahkan bahwa kaum pria memang lebih kapabel dibanding wanita dari segi rasio dan kesanggupan, bahkan kaum pria bisa mengungguli wanita dalam keahlian-keahlian yang telah menjadi spesifikasi wanita seperti: memasak, menjahit dan merancang busana. Sudah menjadi rahasia umum bahwa koki dan designer busana wanita kenamaan dunia banyak didominasi oleh kaum pria.

Sementara itu ijma’ (kesepakatan para ulama pada suatu masa tentang suatu perkara dengan suara bulat atau bersama) yang terpraktekkan adalah larangan terhadap kepemimpinan wanita dalam wilayah-wilayah publik. Telah tercatat sepanjang era hukum Islam yaitu semenjak zaman Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM dan era kepemimpinan Khulafaurrasyidin hingga runtuhnya Pemerintahan Islamiyyah Utsmaniyyah bahwa tidak pernah ada kepemimpinan wanita dalam wilayah-wilayah publlik, karena kepemipinan mereka dalam wilayah-wilayah tersebut hanyalah sebuah realitas yang dipaksakan dan penulis sendiri tidak paham dari mana asalnya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, sementara Rasulullah tidak pernah menjelaskan dan tidak pernah mengangkat wanita sebagai pemimpin.

Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM memang telah menunjuk orang-orang tertentu yang diberikan kewenangan mengurus wilayah kepemimpinan tertentu pula. Namun Rasulullah tak pernah sekalipun menunjuk wanita sebagai pemimpin, bahkan dalam Bai’at Aqabah II, yaitu ketika Rasululullah memerintahkan mereka agar memilih 12 orang perwakilan dan dalam jumlah tersebut tidak ada seorang wanita pun meski mereka turut terlibat dalam pembai’atan Rasulullah. Tidak sekedar itu saja, ketika terjadi permasalahan-permasalahan besar yang menyita pikiran, Rasulullah sering mengumpulkan para sahabat dan meminta saran serta pertimbangan mereka guna mencarikan solusi. Namun, dari sekian banyak peristiwa seperti perang Uhud, perang Ahzab, penaklukkan Makkah, perang Hunain dan sebagainya, tidak pernah ada pengalaman kalau Rasululah meminta pertimbangan terhadap kaum hawa sebelum mengeluarkan kebijakan dan memutuskan suatu perkara yang sangat urgen.

Isti’anah (Minta Bantuan) kepada Non Muslim

Imam Hasan Al-Banna membolehkan permohonan bantuan dan kerjasama pemerintahan Islam dengan non-Muslim bila telah memenuhi dua syarat berikut:

  1. Dalam kondisi gawat darurat (emergensi)
  2. Non-Muslim tersebut tidak diizinkan menduduki jabatan-jabatan strategis yang mengurus kepentingan publik.

Imam Hasan Al-Banna menyampaikan di sela-sela dialog seputar pemerintahan Islam, bahwa tiada halangan bagi pemerintahan Islam untuk mengajukan permohonan bantuan dan kerjasama dengan non-Muslim selama berada dalam kondisi emergensi dan non-Muslim tersebut tidak menduduki posisi-posisi strategis yang mengatur masalah publik dan khalayak ramai. Posisi dan jabatan strategis yang mengatur urusan publik dalam Islam banyak sekali. Di antaranya, peradilan dan kehakiman yang mencakup peradilan militer, tindak pidana maupun perdata, lalu jabatan kepala pemerintahan, kepala-kepala daerah, kepala departemen perhajian, kepala departemen perpajakan, kepala departemen jihad, kepala departemen zakat, waqaf, infak dan shadaqah, kepala bagian harta rampasan perang dan sebagainya.

Tanggapan penulis, bahwa Imam Hasan Al-Banna menetapkan dua persyaratan bila sebuah pemerintahan Islam harus meminta bantuan dari non-Muslim dalam suatu perkara tertentu. Dua syarat tersebut adalah kondisi gawat darurat dan tidak terkait dengan departemen-departemen yang mengurus masalah publik. Yang termasuk dalam kategori kondisi gawat darurat adalah kepentingan-kepentingan yang menyangkut kelangsungan hidup manusia, kepentingan-kepentingan yang membantu terealisasinya perlindungan terhadap lima (5) objek kajian pokok syariat Islam yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, aset kekayaan, keturunan dan akal. Karena hilangnya perhatian terhadap kepentingan-kepentingan tersebut akan berakibat pada terhambatnya perjalanan kehidupan ideal sesuai keinginan hukum langit serta akan menimbulkan kondisi yang tidak kondusif, kekacauan, pertumpahan darah, peperangan dan sebagainya.

Bila terjadi kekosongan dalam jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Islam, sementara tidak ada seorangpun dikalangan umat Islam yang bisa mengisi kekosongan posisi tersebut dan kekosongan itu hanya bisa ditempati oleh pakar non-Muslim, maka pada kondisi ini boleh mempekerjakan non-Muslim karena alasan emergensi. Karena ada sebuah kaidah ushul fiqih yang terkenal:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

Artinya: kondisi darurat membolehkan perkara-perkara yang sebelumnya terlarang.

Maksudnya, dalam kondisi normal, kebijakan meminta bantuan dari non-Muslim adalah sebuah keharaman dan merupakan kebijakan yang tidak bisa dilegitimasi. Namun karena kondisi darurat, maka kebijakan tersebut menjadi boleh. Tapi perlu diingat, menilai satu keadaan sebagai kondisi darurat harus secara benar pula. Oleh karena itu, Umar bin Khattab menolak kebijaksanaan seorang gubernur bernama Abu Musa Al-Asy’ary ketika Beliau menunjuk seorang sekretaris yang beragama Kristen dan memerintahkan Abu Musa untuk segera memecatnya. Abu Musa angkat bicara: Wahai Amirul Mukminin, Bashrah membutuhkan keahliannya? Lalu Umar menjawab: Sudahlah, biarkan sajalah dia dan cari gantinya dari kalangan Muslim. Dari peristiwa ini dapat kita lihat bahwa Umar bin Khattab tidak menganggap pengangkatan seorang sekretaris dari kalangan non-Muslim sebagai sebuah keharusan dan kondisi darurat .

Dalam Al-Qur`an dan Sunnah banyak ditemukan teks-teks seirama yang menyatakan secara tegas pelarangan meminta bantuan dari kalangan musyrikin baik orang Kristen, Yahudi maupun Paganis. Allah berfirman dalam Qur‘an surah Ali Imran ayat 118:

(يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِى صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ) [آل عمران: 118]

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.

Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abi Dahqanah ia berkata: Dikatakan pada Umar bin Khattab ra bahwa di sini ada seorang pemuda dari Hirah, ia seorang penghafal dan penulis. Bagaimana kalau kita angkat saja ia sebagai sekretaris? Umar menjawab: Jikalau engkau mengangkatnya jadi sekretaris berarti engkau telah mengangkat orang kepercayaan dari kalangan non-Muslim .

Setelah menyebutkan ayat dan atsar di atas, Ibnu Katsir melanjutkan bahwa dalam atsar dan ayat ini terdapat dalil yang mengindikasikan larangan mempekerjakan seorang ahli dzimmah sebagai sekretaris. Hal ini merupakan kebijakan preventif agar non-Muslim tersebut tidak dijadikan perpanjangan tangan oleh para musuh Islam yang tidak senang terhadap agama ini untuk menggali dan mengorek informasi mengenai masalah-masalah internal dan titik-titik lemah umat Islam. Sebagaimana firman Allah di atas:

(لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً)

Artinya: (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.

Selain itu, Al-Qurthuby juga mengingkari kebijakan para penguasa di zamannya yang mempercayakan non-Muslim dari kalangan Ahli Kitab sebagai sekretaris yang mengurus permasalahan administrasi negara. Sebagai lanjutan dari tafsir ayat di atas dan atsar yang diriwayatkan Ibnu Katsir, Beliau menambahkan: “Sungguh telah terjadi perubahan mendasar dalam tren zaman sekarang, yaitu ketika para Ahli Kitab diangkat menjadi sekretaris negara dan tangan kanan penguasa, dan yang lebih anehnya tindakan ini telah membudaya di kalangan kaum elite dan para penguasa” .

Posisi dan jabatan strategis yang mengatur urusan publik dalam Islam mencakup pemerintahan, peradilan dan kehakiman serta para penguasa, Al-Mawardi menulis dalam bukunya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah wa Al-Wilayaat Ad-Diniyyah bahwa klasifikasi jabatan-jabatan strategis yang mengatur urusan publik itu seperti: Departemen Urusan Jihad, Kepolisian, Departemen Kehakiman, Kepala-Kepala Daerah, Departemen Kependudukan, Perpajakan, Departemen Zakat, Waqaf, Infak dan Shadaqah, Departemen Urusan Harta Rampasan Perang dan sebagainya. Kesemua jenis jabatan tersebut tidak boleh dipangku oleh non-Muslim.

Kesadaran Politik Menunjukkan Fiqih Politik

Ketika Imam Hasan Al-Banna menyampaikan ceramah Beliau dalam muktamar V yang membahas (Karakteristik Dakwah Ikhwanul Muslimin), Beliau menyebutkan rinciannya sebagai berikut:

a. Menjaga jarak dari dominasi para penguasa dan tokoh-tokoh berpengaruh

Imam Hasan Al-Banna sangat menginginkan dakwah Ikhwanul Muslimin yang berjalan di atas rel dakwah para Rasul utusan Allah, yaitu dakwah terhadap para kaum dhuafa dan orang-orang fakir, serta dakwah yang menjaga jarak dari dominasi para pembesar dan tokoh-tokoh berpengaruh, terlebih dalam usia dakwah yang masih belum mencapai 10 tahunan. Alasannya, karena para penguasa dan figur-figur yang berpengaruh tersebut tentu memiliki target, misi dan kepentingan pribadi maupun golongan yang mereka jadikan patokan –terlebih jika mereka adalah kelompok mayoritas dan berkuasa-. Semua itu mereka jadikan sarana guna menggapai capaian duniawi serta keinginan pribadi maupun golongan mereka, sehingga bila dakwah ini berkoalisi dengan orang-orang seperti itu, dikhawatirkan mereka akan mengubah arah, misi utama, program dan metode dakwah ini yang berjuang menciptakan kehidupan Islami dan membentuk pemerintahan Islam.

Penulis mengajak para pembaca mengkaji tulisan Imam Hasan Al-Banna dalam kongres V ini. Di sini Beliau menjelaskan alasan dan motif pengambilan sikap Beliau yang terkesan sengaja menjaga jarak dari para penguasa serta berupaya memfilter jamaah Ikhwan dari orang-orang seperti itu.

Beliau berkata: “Karena kita selaku para pejuang dalam gerbong dakwah Ikhwan sengaja mengambil sikap seperti itu, khususnya di awal kemunculan dakwah, agar keorisinilan dakwah ini tidak terkontaminasi oleh propaganda-propaganda lain yang dilancarkan oleh para penguasa dan figur-figur terkenal itu, dan supaya tidak ada di antara para tokoh tersebut yang sengaja mengeksploitasi dakwah ini sebagai kendaraan politik mereka untuk sampai pada tujuan atau malah ingin menyetir dakwah ini ke orientasi yang bukan merupakan misi utama dakwah. Hal ini disebabkan karena mayoritas para penguasa itu kurang merefleksikan karakter diri sebagai pribadi Muslim, apalagi merefleksikan karakter diri sebagai seorang pribadi Muslim sejati yang berjuang demi agama ini”.

Tipologi orang-orang di atas masih berada jauh dari jamaah Ikhwan, kecuali beberapa orang tokoh yang fikrah, tujuan dan misi mereka jelas dan bisa dipahami sehingga diharapkan keberhasilannya” .

Kemudian Imam Hasan Al-Banna menguraikan karakteristik dakwah Ikhwan lain yaitu:

b. Menjaga jarak dari beragam organisasi dan partai-partai politik

Hal itu dilakukan kurang lebih karena motif yang tak jauh berbeda dari alasan di atas, agar tidak mendatangkan dampak negatif terhadap keutuhan dan kesatuan barisan para pejuang dakwah serta tidak menularkan perpecahan, ketidakakuran dan persaingan antar sesama anggota partai mereka terhadap barisan pejuang dakwah. Dengan demikian, dakwah bisa berjalan mengikuti arah rel yang benar dan tidak digiring ke arah dan orientasi yang keliru menuju perpecahan, permusuhan dan akibat-akibat lain yang tidak relevan dengan semangat persaudaran Islam.

Sikap ini merupakan strategi dakwah yang bersifat temporal, yaitu pada periode permulaan dakwah dan saat jumlah kader dan simpatisan masih terbatas. Adapun jika dalam gerbong dakwah telah bergabung sejumlah besar kader, simpatisan, partisipan dan orang-orang yang siap berjuang lewat dakwah ini, maka kehadiran tokoh-tokoh penting, figur-figur berpengaruh, maupun koalisi partai-partai lain bisa dimaklumi, selama mereka bisa diarahkan dan ditarbiyah.

Imam Hasan Al-Banna pernah menyampaikan nasehatnya: “Sekarang kita merasakan perjalanan dakwah yang sudah semakin kokoh ketika telah banyak orang-orang yang siap bergabung dan berafiliasi dengan dakwah ini, sehingga dakwah telah mampu mewarnai dan tidak diwarnai, dakwah bisa memberikan nuansa baru serta telah mempengaruhi dan tidak dipengaruhi. Untuk itu sekarang kita membuka diri, menyambut dan mengundang para pejabat penting negara, para penguasa, organisasi-organisasi kemasyarakatan serta partai-partai untuk ikut berafiliasi dan berjuang bersama kafilah dakwah Ikhwan serta meninggalkan semua embel-embel yang tak akan pernah habis-habisnya sembari kita menyatukan tekad dan langkah di bawah naungan Al-Qur`an Al-‘Azhim dan di bawah panji yang dikibarkan Rasulullah Al-Karim serta dalam koridor manhaj Islam yang lurus (qawim).

Jika mereka menyambut baik seruan ini, berarti mereka telah menjadi orang-orang terpilih yang semoga akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat sehingga diharapkan dengan keberadaan mereka di tengah-tengah kafilah dakwah akan membuat rintangan semakin mudah dihadapi serta akan mempersingkat waktu dalam mencapai misi dan target yang akan dicapai. Tapi bila mereka masih enggan dan keberatan untuk berjuang bersama, maka kita harus sabar menunggu. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Meguasai segala urusan, namun kebanyakan manusia tidak menyadari”.

Seorang yang memperhatikan dengan seksama wasiat Imam Hasan Al-Banna tersebut akan menemukan banyak pelajaran, ibrah dan fiqih politik yang bisa dipetik. Setiap orang berpeluang dikucilkan dan dijauhi oleh kelompok atau saudara-saudaranya, dan para penguasa bathil tersebut tidak ridho bila Ustadz Imam Hasan Al-Banna dan sahabat-sahabatnya yang berkeinginan kuat menapaki kehidupan Islam dari awal dan mendirikan negara dan khilafah Islamiyyah yang mempersatukan umat Islam sedunia serta memerdekakan semua aspek kehidupan umat Islam baik perpolitikan, perekonomian, sosial, perundang-undangan dan moralitas. Serta membebaskan mereka dari cengkeraman kekuasaaan Barat dan kezhaliman para penguasa bathil yang telah merampas puncak kepemimpinan di saat orang banyak tidak menyadarinya.

Renungkanlah ungkapan Beliau berikut: Dengan wasiat-wasiat singkat ini, saya ingin antum semua benar-benar memahami permasalahan yang terjadi di hadapan mata. Karena kita tidak tahu, bisa jadi satu saat nanti akan datang masa-masa sulit yang akan memisahkan antara saya dengan antum semua, yaitu di kala saya tidak bisa lagi berdialog dan menuliskan pemikiran-pemikian terhadap ikhwah semua. Dalam wasiat ini, Beliau ingin menyampaikan bahwa para penguasa taghut tersebut bakal memisahkan sosok figur pimpinan dakwah (qaid) dengan para pengikutnya baik dengan cara memenjarakan, menyiksa atau mem-bunuh pimpinan dakwah tersebut.

Ikhwanul Muslimin adalah sebuah jamaah (komunitas dakwah) yang muncul guna menumbuhkan kembali spirit keislaman dalam jiwa masing-masing manusia, dalam kehidupan individu maupun interaksi sosial mereka. Jamaah yang mempunyai misi dan target membangkitkan semangat umat Islam yang hampir padam, karena selalu digempur oleh musuh-musuh Islam bahkan hingga ke lorong-lorong pintu rumah mereka. Musuh-musuh yang telah mengenggam hampir segenap potensi umat, dengan memperalat umat Islam serta menganggap enteng umat Islam dalam pandangan mereka. Tidak hanya itu, musuh-musuh Islam juga menjajah negeri-negeri serta merampas kota-kota suci milik umat Islam.

Ikhwanul Muslimin muncul guna mengaspirasikan penerapan dan implementasi seluruh hukum Islam di semua aspek kehidupan. Dalam artian ini, Ikhwanul Muslimin bukanlah semacam LSM, karena peran lembaga tersebut hanya terkonsentrasi mengurus kepentingan-kepentingan sosial dan tidak terlibat dalam aspek-aspek kajian Islam yang lain. Di samping itu, Ikhwanul Muslimin juga bukan partai politik, karena biasanya perjuangan partai politik hanya terkonsentrasi hingga sampai pada level merancang susunana kabinet dalam pemerintahan dan menguasai tampuk kekuasaan guna mencapai kepentingan-kepentingan individu dan partai semata.

Tapi dakwah Ikhwanul Muslimin mengajak kepada Islam dengan pemahamannya yang komperhensif, yaitu Islam sebagai agama yang mengatur hubungan individu dengan Rabbnya, hubungan individu dengan pribadinya, hubungan individu dengan keluarga, hubungan individu dengan sesama dalam interaksi sosial, loyalitas individu terhadap negara yang berkuasa dengan syarat selama aturan yang dipakai dalam negara tersebut juga loyal terhadap aturan-aturan Allah serta mengatur hubungan diplomasi antara umat Islam dengan negara lain dalam konteks kerjasama antar sesama negara di dunia.

Ikhwanul Muslimin menyeru pada Islam dan berupaya mendirikan pemerintahan Islam serta berupaya memenuhi hak-hak publik semua lapisan masyarakat yang hidup di negara dan pemerintahan Islam tersebut. Mungkin terbayang dalam pikiran kebanyakan orang, bahwa implikasi dari politik adalah mewujudkan kepentingan-kepentingan individu dan golongan lewat jalur menguasai pemerintahan, namun hal ini tidak ditemukan dalam jamaah ini. Ikhwanul Muslimin tidak menghalalkan darah para warga sipil yang tak berdosa dalam sebuah pemberontakan buta yang akibatnya dirasakan oleh anak-anak, para wanita dan orang-orang yang tak bersalah.

Dalam ajaran Islam dan politik Ikhwan diajarkan bahwa seorang wajib membela diri ketika ia diperlakukan semena-mena oleh pihak lain, dan seorang ikhwah harus tetap komitmen dalam dakwah serta menentang semua musuh jika harta, kehormatan bahkan nyawanya terancam. Perhatikan perkataan Beliau berikut: “Jika kalian menentang dan menghalang dakwah kami, maka sesungguhnya Allah telah mengizinkan kami guna membela diri dan kalian termasuk orang-orang yang berbuat aniaya . Membela diri dan menangkis serangan musuh merupakan tindakan yang dilegitimasi oleh Islam bahkan sebagian di antara ahli fiqih cenderung menjadikan tindakan tersebut sebagai kewajiban.

Para kader Ikhwanul Muslimin tidak akan meminta bantuan pada organisasi-organisasi yang tidak jelas asal-usulnya, begitu pula terhadap pemerintah dan tokoh-tokoh kenamaan yang menyeleneh. Tapi para kader Ikhwan akan berjuang secara mandiri dan merogoh kantong dan kocek mereka sendiri untuk pengembangan sayap dakwah. Imam Hasan Al-Banna telah menguraikan hal tersebut dalam muktamar V, Beliau mengungkapkan:

Adapun sikap yang selayaknya ditelateni oleh kader Ikhwan dalam menghadapi situasi permusuhan yang genting, tuduhan, isu dan cercaan tak beralasan yang menyerang jamaah Ikhwanul Muslimin adalah tidak ikut tenggelam dan ambil bagian dengan melakukan hal yang sama, agar tidak terjadi saling lempar tuduhan karena hal itu hanya akan menghabiskan waktu saja. Alangkah lebih baiknya jika waktu untuk menjawab tuduhan-tuduhan tersebut dialokasikan dan dimanfaatkan ke hal-hal yang lebih bermanfaat dan bernilai dakwah di tengah masyarakat, dipergunakan guna me-ngajarkan umat mengenai hukum agama, menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar serta upaya mensejahterakan dan membahagiakan kehidupan mereka di dunia dan akhirat kelak. Renungkanlah nasehat Beliau: “Jika mereka tenggelam dalam rasa permusuhan dengan kita, maka katakanlah: Kebahagiaan bagi Anda, karena kami tidak butuh orang-orang yang jahil”.

Taat dalam Fikih Politik Hasan Al-Banna

Ustadz Imam Hasan Al-Banna sangat meyakini bahwa memulai proses untuk menapaki kehidupan Islamy dan terwujudnya eksistensi politik umat Islam tidak akan terealisasi kecuali lewat sarana sebuah organisasi yang terkoordinir dengan visi, misi, metode, konsep dan fase-fase yang gamblang dalam aspek pendidikan, hukum, ekonomi serta aspek-aspek kehidupan lain. Berangkat dari keyakinan tersebut, Beliau dengan segelintir ikhwah lain mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin yang telah tumbuh dan berkembang pesat serta mendapat tempat di hati sanubari umat yang paling dalam.

Alasan yang melatarbelakangi Beliau dan beberapa ikhwah lain dalam mendirikan jamaah Ikhwan teradopsi dari pemahaman Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM. Adapun yang bersumber dari Al-Qur’an ialah firman Allah dalam Qur’an surah Ali Imran 110:

(كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ) [آل عمران: 110]

Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.

Dan QS. Ali Imran 104:

(وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِاْلمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ) [آل عمران: 104]

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.

Imam Hasan Al-Banna menganggap ketaatan dan loyalitas seorang anggota terhadap pimpinannya sebagai salah satu rukun bai’at. (Beliau memaknai taat ibarat pelaksanaan semua perintah dengan sesegera mungkin dalam segala kondisi baik senang, susah, sukarela maupun sedikit terpaksa).

Beliau melanjutkan bahwa taat pun terbagi pada beberapa klasifikasi yang diukur dari sejauhmana tahapan pengkaderan seorang akh. Adapun tahapan-tahapan tersebut terdiri dari: ta’rif (fase pengenalan), takwin (fase pengkaderan), dan tanfidz (fase amal).

Dalam fase ta’rif, yaitu mereka yang telah mengenal, menyatakan dukungan serta telah merasa akrab dengan gerakan Ikhwan, maka dalam fase ini loyalitas yang dituntut bukanlah loyalitas penuh, karena dengan mereka menghormati aturan-aturan pokok keorganisasian Ikhwanul Muslimin bagi mereka itu sudah cukup.

Sedangkan dalam fase takwin, yaitu ketika telah sampai pada tahapan penyempurnaan berbagai unsur terkait dengan keorganisasian dan telah diamanahkan tugas-tugas dakwah. Maka dalam hal ini loyalitas ditunaikan dengan cara menjalankan dan menerapkan semua tugas dakwah tanpa ada keraguan, tanpa perlu peninjauan ulang dan merasa berat dalam menjalankan. Sehingga dalam tahapan ini sangat dituntut loyalitas penuh.

Adapun jika telah sampai pada fase tanfidz, ketika seorang akh telah berkecimpung secara langsung dalam tugas-tugas dakwah ataupun jihad ‘amaly sehingga loyalitas yang dibutuhkan adalah loyalitas total yang menuntut kerja yang berkesinambungan demi menggapai cita-cita .

Bai’at ibarat kontrak politik antara pemimpin dan yang dipimpin berupa sumpah setia untuk loyal terhadap pimpinan dalam segala kondisi senang, susah, sukarela maupun sedikit terpaksa serta menyerahkan seutuhnya urusan kepemimpinan jamaah terhadapnya

Membangun Negara Islam

Studi Politik Menuju Tegaknya Negara Islam dan Sebab-sebab Keruntuhannya dalam Perspektif Politik Imam Hasan Al-Banna

Imam Hasan Al-Banna -semoga Allah merahmati Beliau- semenjak awal telah berupaya memberikan pencerahan wawasan politik pada banyak kalangan dan mencurahkan perhatian khusus terhadap para kader dakwah di sela-sela ceramah-ceramah, untaian-untaian nasehat serta tulisan-tulisannya.

Di antara isyarat ketajaman insting politik Beliau ialah upaya memberikan pencerahan wawasan politik. Ini terefleksi secara gamblang ketika Beliau memproklamirkan keinginan mendirikan sebuah negara yang mirip dengan negara bentukan Rasulullah pada fase dakwah Rasulullah.

Imam Hasan Al-Banna mengambil intisari ajaran Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah dalam menyimpulkan kaidah-kaidah umum yang menjadi sandaran negara Islam tersebut. Beliau menyebutkan sekitar sebelas kaidah umum di antaranya adalah:

  • Memproklamirkan spirit persaudaraan umat manusia,
  • Menjamin keberlangsungan masyarakat dengan menghormati hak hidup, kepemilikan, hak memperoleh pekerjaan, kesehatan, kebebasan, pendidikan dan keamanan bagi setiap individu.
  • Membuka lapangan pekerjaan.
  • Mengontrol dua nsting dasar manusia yakni, insting menjaga diri dan keturunan dan mengatur kebutuhan kemaluan dan mulut (makan dan minum).
  • Mengokohkan persatuan dan kesatuan, memerangi semua bentuk pertikaian dan faktor-faktor yang berpotensi akan menimbulkan persengketaan dan perselisihan.
  • Menjadikan negara sebagai agen, media dan wadah yang merefleksikan ideologi yang dianut, negara yang menjaga keberlangsungan perjalanan dakwah, bertanggung jawab penuh dalam perealisasian misi dan target yang ingin dicapai.

Selanjutnya Beliau menjelaskan implementasi dari kaidah-kaidah umum tersebut dalam pemerintahan Islam, khususnya pemerintahan Islam pada era kepemimpinan Rasulullah, lalu pada fase kepemimpinan para Khulafaurrasyidin. Beliau juga mengkaji metode negara Islam pada zaman tersebut hingga mampu menghapus doktrin-doktrin paganisme yang berkembang pesat di negara-negara Arab dan Persia, serta mengusir kabilah-kabilah Yahudi yang berusaha menandingi ajaran Islam dan berupaya menggalang kerjasama dengan kaum paganis serta mengadakan gerakan bawah tanah yang berjuang untuk menumbangkan pemerintahan Islam.

Di samping itu, negara Islam juga berhasil mengusir sekte-sekte Kristen yang masih bergelimang dengan praktek-praktek kesyirikan serta masih menganut dogma trinitas, sehingga akhirnya sekte-sekte tersebut keluar dari tanah Arab dan mendapatkan hawa kebebasan di negeri asalnya yaitu di kota Kostantinopel. Namun, kondisi tersebut tidak bertahan lama, hingga akhirnya umat Islam berhasil menaklukkan kota Konstantinopel dan menyulapnya menjadi negeri Islam, bahkan pasukan Islam sampai ke jantung Eropa seperti yang diceritakan Andalusia (Spanyol sekarang).

Dalam beberapa abad pemerintahan Islam mampu bertahan menjadi pemerintah terkuat di dunia Internasional dan kekuasaannya menyebar ke berbagai wilayah seantero dunia. Namun pada abad ke 7H, bangsa Tar-tar mengadakan invasi besar-besaran terhadap pusat pemerintahan Islam di Baghdad. Serangan ini mengakibatkan Baghdad runtuh dan jatuh ke tangan bangsa Tar-tar tersebut. Dalam peristiwa ini, di Baghdad saja tercatat sekitar 2 juta korban dari kalangan umat Islam berjatuhan se¬bagaimana dituliskan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah jilid XIII hal 202. Dan pada abad XX, tentara salibis berhasil meruntuhkan dinasti Utsmaniyyah dan Khilafah Islamiyyah secara umum.

Imam Hasan Al-Banna telah melakukan pengkajian dan analisa mendalam mengenai faktor-faktor penyebab keruntuhan Daulat Utsmaniyyah tersebut. Dari hasil analisa Beliau tergambar pemahaman dan insting politik yang lahir dari keluasan wawasan keislaman dan pemahaman fiqih politik Islam yang mendasar, diiringi pula oleh pengetahuan mengenai rentetan peristiwa sejarah serta pemahaman karakteristik dan watak-watak dasar beragam suku bangsa. Karena sesuatu yang tak bisa dipungkiri, bila masing-masing bangsa memiliki karakteristik yang tidak dimiliki bangsa lain, seperti bangsa Turki yang terkenal dengan keahlian mereka dalam strategi peperangan, sehingga mereka kurang tertarik mendalami ilmu-ilmu seperti ilmu syariah, hukum dan perundang-undangan Islam.

Faktor-faktor Utama Penyebab Keruntuhan Daulah Utsmaniyyah dalam Pandangan Imam Hasan Al-Banna adalah sebagai berikut:

a. Pertikaian Politik, Rasis dan Perebutan Kekuasaan.

Pertikaian politik dan perebutan kekuasaan tentu saja akan meluluh lantahkan, memecah belah dan melemahkan persatuan serta kesatuan umat Islam. Al-Qur`an telah memberikan warning terhadap masalah tersebut. Firman Allah dalam Qur’an surah Al-Anfal 46:

(وَلاَ تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ) [الأنفال: 46]

Artinya: janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.

Ketika para pejabat pemerintahan Islam telah dikuasai oleh perasaan gila kekuasaan dan jabatan, sehingga mengakibatkan perseteruan antara sesama kubu Islam demi merebut puncak kekuasan tertinggi. Kondisi ini meninggalkan dampak negatif terhadap masyarakat yang akhirnya ikut terpecah. Akibatnya kekuatan umat melemah dan musuh dengan mudah dapat menyerang sewaktu-waktu.

Maraknya pertikaian dalam keberagamaan, perbedaan partai maupun ideologi serta pendistorsian implikasi Islam sebagai aqidah dan amal hingga berubah menjadi label-label hampa tak bermakna, pengabaian ajaran Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM, kejumudan (statis) serta fanatisme terhadap pandangan dan pendapat tertentu.

Kesemua itu merupakan wa¬bah penyakit berbahaya yang sangat diwan¬ti-wanti oleh Islam agar senantiasa dijauhi oleh kaum Muslimin. Karena Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM telah menginformasikan jaminan keberadaan umat Islam dalam petunjuk kebenaran selama mereka masih berpegang teguh dan konsekuen terhadap ajaran Al-Qur`an dan Sunnah Rasullulah. Rasul bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدِيْ أَبَدًا، كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ.

Artinya: telah kutinggalkan bagi kalian dua perkara -jika kalian berpengang teguh de¬ngan keduanya- niscaya sepeninggalku kalian tidak akan sesat selamanya, dua perkara tersebut adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah.

Menurut hemat penulis, fanatisme umat terhadap mazhab dan aliran pemikiran tertentu terbukti telah menjadikan umat terpecah ke dalam beberapa kelompok, pada hakikatnya perbedaan tersebut malah akan menjadi bumerang terhadap umat Islam sendiri dan tak berpengaruh terhadap musuh Islam, malah akan memudahkan musuh Islam menyerang kita. Fanatisme mazhab di akhir-akhir dinasti Utsmaniyyah sampai pada taraf kebencian antara satu mazhab dengan mazhab lain, kebencian tersebut berbuah permusuhan dan pertikaian. Sehingga kala itu, kerap ditemukan seorang bermazhab Hanafy tidak mau menjadi makmum shalat yang diimami oleh seorang Imam bermazhab Syafiiy, begitupula seorang Hanbaly tidak terima keimaman seorang Syafiiy. La haula wa laa quwwata Illa billah.

b. Larut dalam kemewahan dunia dan syahwat

Wabah penyakit ini tidak hanya melanda kalangan rakyat biasa, tapi termasuk para pejabat pemerintahan selama beberapa kurun waktu menjelang keruntuhan Dinasti Utsmaniyyah, kemudian kondisi semakin parah dan bertambah genting hingga akhirnya kepe¬mimpinan para pemangku kekuasaan dalam pemerintahan semakin melemah dan tak sanggup memperbaiki kondisi negara, agama dan perpolitikan.

Allah Ta’ala telah memberikan “lampu kuning” terkait penyakit yang satu ini dalam firman-Nya QS. Al-Isra 16:

(وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيْراً) [الإسراء: 16]

Artinya: Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

c. Transformasi Kekuasaan terhadap Non-Arab

Seorang yang gemar membaca dan mengamati sejarah Islam akan mengerti bahwa dalam beberapa periode pemerintahan Islam, tampuk kekuasaan sempat dipegang oleh orang-orang yang bukan ahlinya dan tidak pantas menduduki jabatan tersebut, dikarenakan keawaman mereka terhadap agama dan hukumnya.

d. Pengabaian Sains dan Teknologi serta Tenggelam dalam Teori-teori Filsafat

Sebuah negara yang kuat adalah negara yang menerapkan hukum syariat serta pengembangan sains dan teknologi yang akan menopang kemajuan dan peradabannya dari hasil pemanfaatan temuan-temuan baru dalam teknologi itu. Kala itu, umat Islam malah tertipu dan larut dalam perasaan kemapanan dan kekuatan mereka, sehingga terkesan mengabaikan dan meremehkan kekuatan musuh, tanpa pernah merasa peduli guna melakukan upaya-upaya penelitian untuk menjajaki peta kekuatan musuh dari segi materi, teknologi, maupun konspirasi-konspirasi terselubung demi memerangi Islam dan kaum Muslimin. Aki¬batnya, umat Islam tidak mempersiapkan kekuatan militer yang cukup mengantisipasi serangan musuh-musuh Islam dan memaksa mereka bertekuk lutut. Yang terjadi malah sebaliknya, umat kalah total di hadapan para aggressor tersebut.

Hal ini juga didorong oleh bujuk raru dan pererasaan terpana dengan gaya hidup mereka yang hanya memuaskan syahwat. Padahal Islam telah melarang secara jelas perilaku meniru-niru orang-orang kafir. Sebagaimana Firman Allah dalam Qur’an surah Ali-Imran 149:

(يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ تُطِيْعُوا الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَرُدُّوْكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوْا خَاسِرِيْنَ) [آل عمران: 149]

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.

Akibat dari keterpanaan tersebut, orang-orang kafir dengan mudah menguasai negara-negara Islam, bahkan kaum penjajah seperti, Inggris, Perancis, Italy, Belanda, Belgia dan Negara Komunis (Uni Soviet) dengan mudah berhasil mengelompokkan negara-negara Islam -menjadi Negara-negara kecil dan lemah-. Mereka berupaya menjauhkan Islam dari pemerintahan dan menebar propaganda atheisme dan liberalisme di segenap negara Islam serta menebarkan fitnah dan desas-desus dalam pemahaman Islam.

Kemudian Imam Hasan Al-Banna berpendapat bahwa kondisi sulit yang menimpa banyak negara Islam, selayaknya memacu umat Islam berpikir ekstra supaya bisa keluar dari permasalahan-permasalahan yang membelit. Imam Hasan Al-Banna dan beberapa orang kawan karibnya kala itu, termasuk dalam barisan garda terdepan di antara umat Islam yang berpikir mencari solusi dari permasalahan pelik yang melanda. Dalam siatuasi kolonialisme yang melanda banyak negara Islam, Beliau dan beberapa rekannya berjuang mendirikan sebuah jamaah Ikhwanul Muslimin yang berperan membangunkan umat Islam dari tidur panjang, memberikan pencerahan serta membebaskan mereka dari mental-mental terjajah dan terhina.

Untuk mewujudkan misi itu, Ikhwanul Muslimin memasang beberapa target yang bersifat umum dan khusus. Target umum berupa pembebasan dunia Islam dari segala bentuk kekuatan, pengaruh dan otoritas asing serta berupaya mendirikan sebuah negara Islam. Sementara target-target khusus ialah reformasi pendidikan, memerangi kemiskinan dan kebodohan, menanggulangi masalah-masalah kesehatan dan tindak pidana serta menata sebuah masyarakat percontohan yang pantas dinisbatkan pada Islam.

Imam Hasan Al-Banna berusaha memerangi kebodohan dan keterbelakangan dengan memajukan dunia pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lain, Beliau berupaya menanggulangi kemiskinan dengan membuka peluang kerja lewat pendirian perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik. Beliau juga berjuang menanggulangi masalah-masalah kesehatan dengan membangun klinik-klinik pengobatan. Dalam mewujudkan cita-cita mulia tersebut, Beliau menyarankan tiga hal berikut: iman yang kokoh, organisasi yang solid, serta kerja yang berkesinambungan.

Target umum dan khusus dari Ikhwanul Muslimin di atas terbukti memancing kemarahan para penjajah dan kaum kolonialis. Mereka tak menemukan alternatif lain kecuali harus menabuh genderang perang terhadap dakwah dan para kadernya serta menebar rintangan-rintangan dakwah yang diharapkan dapat menghalangi para kader dakwah dalam merealisasikan target umum dan khusus tersebut. Namun Imam Hasan Al-Banna telah lebih dahulu mengisyaratkan rintangan-rintangan yang bakal menghalangi para kader dalam jalan dakwah yanag mereka tempuh. Beliau te¬lah menggambarkan resiko-resiko yang harus dilalui dengan sabar dan tetap komitmen da¬lam medan perjuangan menghadapi tantangan para kaum kolonialis tersebut.

Beliau mengakhiri ceramahnya dengan untaian nasehat yang mengandung pelajaran-pelajaran berharga dalam dunia pergerakan, perpolitikan dan dakwah. Beliau kembali merunut kewajiban-kewajiban yang mesti dipenuhi oleh para kader Ikhwanul Muslimin demi perwujudan cita-cita mulia, sembari menyemangati mereka bahwa kemenangan umat Islam pasti akan datang. Beliau mengungkapkan: “Ingatlah kemenangan yang telah dijanjikan Allah, karena waktu itu pasti akan datang dan tak diragukan lagi”. Lalu Beliau mengutip firman Allah dalam Qur’an surah Ar-Ruum 5:

(وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُوْنَ بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَّشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الرَّحِيْمُ) [الروم: 4-5].

Artinya: dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. dan dialah Maha Perkasa lagi Penyayang.

Hasan Al-Banna dan Partai Politik

Sikap Hasan Al-Banna terhadap Partai-Partai Politik di Mesir

Imam Hasan Al-Banna meyakini bahwa keberadaan partai-partai politik Mesir di masanya, terbukti telah memecah belah persatuan bangsa dan mengklasifikasikannya dalam beberapa kelompok tertentu. Umumnya partai-partai ini bekerja demi kepentingan individu dan golongan serta motif-motif materi. Jarang sekali di antara partai-partai tersebut yang memiliki program jelas dalam upaya menciptakan atmosfir kemerdekaan dan reformasi. Atas dasar ini, dalam berbagai forum Imam Hasan Al-Banna menuntut penyelesaian masalah tersebut, bahkan kalau perlu membubarkan partai-partai itu, kemudian meleburnya dalam satu lembaga nasional yang bekerja demi kepentingan bangsa yang dijalankan sesuai dengan koridor Islam.

Penting juga disebutkan bahwasannya Imam Hasan Al-Banna terkenal sangat vokal menyuarakan aspirasinya terhadap partai-partai tersebut. Dalam sebuah forum dia berkata: “Saya ingin menyampaikan kepada sauadara-saudara kita para tokoh, aktifis dan kader partai-partai politik Mesir, bahwa mengeksploitasi Ikhwanul Muslimin dan dijadikan kendaraan politik demi merealisasikan ideology dan pemikiran yang berseberangan dengan Islam belum pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi. Tapi meskipun demikian, Ikhwanul Muslimin tidak memiliki dendam politik terhadap partai manapun. Dan dari lubuk hati yang paling dalam Ikhwanul Muslimin berkeyakinan bahwasannya reformasi Mesir tidak akan berjalan seperti harapan kita semua kecuali bila partai-partai politik tersebut melebur dan berkoalisi menjadi satu institusi bertaraf nasional yang bertanggung jawab untuk membawa Mesir menjadi bangsa yang berdaulat sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an.

Dalam kesempatan ini saya sampaikan pula bahwa: “Ikhwanul Muslimin meyakini bahwa kemandulan rekonsiliasi antar partai dan hanya pembiusan, bukan sebagai solusi. Rekonsiliasi itu tidak berlangsung lama dan tidak jarang dalam kesempatan lain, perbedaan pandangan antar partai politik itu malah semakin meruncing serta kembali sebagaimana sebelum rekonsiliasi. Sedangkan satu-satunya obat yang mujarab ialah partai-partai politik tersebut mengundurkan diri secara terhormat –terima ksih banyat ata apa yang telah mereka kerjakan- dan menyerahkan tampuk kekuasaan pada generasi sesudah mereka karena zaman mereka sudah berakhir, sebagaimana ungkapan pepatah: “Patah tumbuh hilang berganti”.

Sikap Islam terhadap Penjajah Barat

Seorang yang pernah membaca risalah Imam Hasan Al-Banna akan menemukan secara gamblang, sikap Islam atau pandangan hukum syariat Islam terhadap negara-negara Barat yang kerapkali melakukan agresi dan invasi terhadap negara-negara Islam yang lemah. Lalu Beliau mencontohkan beberapa negara imperealis Barat seperti: Inggris Raya, Perancis, Italia dan sebagainya.

Setelah Beliau menceritakan kekejaman dan kejahatan bangsa-bangsa Barat terhadap umat Islam di negeri mereka sendiri, kemudian Beliau menegaskan bahwa negara Islam merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisah satu sama lain. Pernyataan perang terhadap satu negara Islam berarti memusuhi seluruh negara Islam, karena umat Islam punya kewajiban membela diri terhadap serangan bangsa-bangsa penjajah serta berjuang memerdekakan negara dari cengkeraman kaum penjajah.

Harapan Beliau tertuju pada para kader dakwah supaya menjelaskan kekejaman dan tindak kriminal berat yang dilakukan para penjajah Barat terhadap umat. Serta menanamkan pada umat pemahaman bahwa kemerdekaan umat Islam tidak boleh diusik dan dijajah bangsa lain, terlebih lagi pemahaman tentang kelayakan umat Islam memegang tampuk kekuasaan dunia dan pemahaman tentang kewajiban jihad dengan nyawa dan harta. Karena betapa kematian lebih berharga daripada kehidupan, yaitu kehidupan perbudakan yang diwarnai oleh kehinaan. Beliau juga mengingatkan akan janji Allah berupa kemenangan bagi mereka yang menjawab seruan jihad dengan penuh keikhlasan dengan mengutip firman Allah dalam Qur’an surah Al-Mujadilah 21:

(كَتَبَ اللهُ َلأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِيْ إِنَّ اللهَ قَوِيٌ عَزِيْزٌ) [المجادلة: 21]

Artinya: Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang”. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Menyikapi Imperialisme Inggris terhadap Mesir

Sebagai ranah tempat lahirnya jamaah Ikhwanul Muslimin, Mesir punya keistimewaan tersendiri di mata Imam Hasan Al-Banna. Untuk itu Beliau sering membahas kondisi kritis yang melanda Mesir saat berada di bawah penjajahan Inggris yang memperbudak rakyat serta menguasai perekonomian, perindustrian, perdagangan, bisnis dan mengambil alih pengelolaan Terusan Suez, mengeruk sumber daya alam dan melarang rakyat Mesir mengelola sumber daya alam milik mereka sendiri.

Imam Hasan Al-Banna menguraikan bahwa solusi ampuh agar Mesir segera keluar dari cengkeraman penjajahan tersebut adalah membatalkan semua nota kesepahaman dan perjanjian antara pemerintahan Mesir dengan Inggris, melakukan inisiatif serangan terhadap penjajah Inggris yang masih bercokol di Mesir dan berupaya mengusir mereka dari tanah Mesir. Beliau berkata: “Jika dampak yang akan kita rasakan tidak jauh berbeda, lebih baik kita memilih opsi memproklamirkan perang terbuka dengan Inggris dan membatalkan semua bentuk perjanjian dan nota kesepahaman, Di samping kita juga harus menunjukkan sikap keras terhdap mereka layaknya bangsa padang pasir, bahkan kita mesti mengatur kehidupan ekonomi, sosial dan keseharian layaknya sebagai bangsa padang pasir yang bermental baja dengan menerapkan wajib militer terhadap setiap anak bangsa”.

Untuk itu, Imam Hasan Al-Banna terkenal sangat getol menuntut pemerintah Mesir agar menempuh metode tersebut serta Beliau mengecam sikap pemerintah yang terkesan masih ragu-ragu, lemah dan khawatir karena berpotensi akan menimbulkan pemberontakan rakyat Mesir.

Pemahaman Politik Islam

Beberapa Pemahaman Politik Islam

Perlu disebutkan di sini ialah bahwa Imam Hasan Al-Banna terbukti mampu melahirkan pemahaman-pemahaman politik Islam terkait beberapa terminonogi (istilah) politi yang berkembang di Mesir, negeri-negeri Aran dan juga Dunia Islam lainnya. Di antara terminologi tersebut adalah Al-Qaumiyyah (Nasionalisme) serta Al-Wathaniyyah (Cinta Tanah Air). Tentang masalah ini, Imam Hasan Al-Banna mengemukakan istilah-istilah baru terkait dengan prinsip nasionalisme serta menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap prinsip tersebut:

a. Nasionalisme Kebanggaan

Hasan Al-Banna rahimahullahm menyebutkan jika ada pihak yang berbangga dengan prinsip nasionalisme dengan maksud ialah kewajiban bagi generasi penerus untuk mengikuti jejak para nenek moyang mereka yang beriman kepada Allah sebagai tuhan mereka yang disembah dan ditaati, dan Islam sebagai sistem hidup, serta nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul, lalu mereka menyebarkan Islam sebagai akidah, syariat dan pandangan hidup, menerapkan hukum dengan keadilan Islam serta menyinari pola pikir manusia dengan cahaya keimanan, maka ini adalah cita-cita mulia, yang sangat relevan dengan prinsip Islam, bahkan Islam memotivasi tindakan-tindakan seperti itu.

Islam memerintahkan umatnya untuk mengikuti jejak Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM dan para Khulafaurrasyidin yang memiliki komitmen dan dedikasi tinggi terhadap perkembangan dakwah Islam. Di samping Islam juga memerintahkan umatnya untuk mengikuti para pendahulu yang telah mempersembahkan karya-karya terbaik mereka demi agama yang mereka anut dan eksplorasi dari pemahaman intisari Al-Qur`an, sunnah, dan ijma’ kaum Muslimin.

b. Nasionalisme Kebangsaan

Jika yang dimaksud dari istilah tersebut, bahwa umatnya harus lebih baik (utama) dengan kebaikan, harta dan segala upaya yang dilakukan sendiri, maka spirit ini seirama dengan prinsip yang dijunjung oleh Islam. Buktinya, infak terhadap karib kerabat bernilai ganda, yaitu pahala sedekah dan pahala silaturrahmi dengan kerabat . Inilah yang ditetapkan Allah Ta’ala dalam Qur’an surah Al-Baqarah ayat 215:

(يَسْأَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِيْنَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنَ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ) [البقرة: 215]

Artinya: mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.

Hal ini juga ditegaskan juga dalam sabda Rasulullah terhadap Abi Thalhah ra, tatkala ia ingin menyedekahkan kebun kurma yang merupakan aset kekayaan yang paling ia cintai, Rasulullah bersabda: Menurutku hendaklah kamu sedekahkan kebun kurma itu pada kerabatmu. Kemudian Thalhah membagikan kebun kurma tersebut pada karib kerabat dan para anak pamannya. (Hadits Muttafaqun ‘Alaih. Lihat Riyadhush-shalihin hadis No 320).

c. Nasionalisme Jahiliyyah

Imam Hasan Al-Banna memberikan warning tegas terhadap prinsip nasionalisme yang dianut oleh kaum jahiliyyah, karena yang dimaksud oleh para penyeru nasionalisme semacam ini adalah upaya menghidupkan kembali semangat-semangat jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong dan merasa lebih dari orang lain, kendati mereka Muslim, menyerukan kembali kepada nilai-nilai jahiliyyah dan sebagai ganti dari nilai-nilai keimanan dan etika-etika Islam yang mulia. Prinsip-prinsip nasionalisme seperti ini berusaha dihidupkan kembali oleh partai-partai sekuler yang yang menuduh Islam terbelakang (kuno) sehingga harus dikikis dari realitas kehidupan. Dengan dmikian pemikiran sekuler atau komunisme tersebar luas di tengah masyarakat.

Menyikapi masalah itu Imam Hasan Al-Banna pernah mengeluarkan pernyataan: “Nasionalisme seperti ini amat terscela dan berakibat buruk, akan meruntuhkan nila-nilai kemuliaan serta menyebabkan kehilangan watak-watak terpuji. Perlu diketahui pemikiran seperti ini tidak akan merusak dan merugikan agama Allah (Islam) sedukitpun. Firman Allah dalam Qur’an surah Muhammad ayat 38:

(وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ) [محمد: 38]

Artinya: Dan jika kamu berpaling niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.

d. Nasionalisme Permusuhan

Nasionalisme ini sesuai labelnya, berlandaskan pada semangat merampas hak-hak orang lain tanpa alasan yang benar. Spirit ini telah berkembang semenjak era jahiliyah dengan segala macam jenisnya. Hal ini dapat ditangkap dari makna syair yang sangat populer di era jahiliyyah:

وَمَنْ لاَ يَظْلِم النَّاسَ يُظْلَم

Artinya: Siapa yang tidak menzhalimi orang lain, maka dia yang akan dizhalimi.

Bahkan dalam komunitas masyarakat jahiliyyah, perbuatan aniaya dan kezhaliman merupakan keutamaan, sementara orang yang tidak berbuat zhalim berhak dicemooh dan dicela. In merupakan makna perkataan penyair yang mencaci Bani ‘Ajlan: “Mereka tidak sanggup menzhalimi orang lain kendati sebesar biji sawi”.

Tipologi nasionalisme ini sangat bertentangan dengan prinsip Islam dan perikemanusiaan, karena hanya akan berakibat pada perselisihan dan pertikaian yang tak berujung antar umat manusia, sehingga terjebak dalam permasalahan yang tidak ada kebaikan di dalamnya.

Setelah Imam Hasan Al-Banna mengetengahkan beragam nasionalisme yang tak relevan dengan konsep Islam, kemudian Beliau mengatakan: “Ikhwanul Muslimin tidak memahami nasionalisme dalam implikasi di atas, sehingga jamaah Ikhwan tidak mengakui keberadaan istilah Fira’unisme, Arabisme, Pinokioisme, syryanisme dan sebagainya. Isme-isme di atas tidak berarti sama sekali dalam Islam. Tapi Ikhwanul Muslimin meyakini sabda Rasulullah yang berbunyi:

إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نخوةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِاْلآباَءِ، النَّاسُ ِلآدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ، لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى.

Artinya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menghapuskan arogansi jahiliyyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang, karena sesungguhnya manusia berasal dari Adam dan Adam diciptakan dari tanah, sehingga orang Arab tidak lebih baik dibanding orang a’jam (non Arab) kecuali dengan taqwa mereka.

e. Nasionalisme Islam

Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa prinsip nasionalisme Islam berlandaskan pada ikatan aqidah. Setiap yang beriman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang disembah, Islam sebagai agama (sistem hidup), Muhammad sebagai Nabi dan Rasul maka –dalam pandangan Ikhwanul Muslimin- ia termasuk dalam elemen umat Islam, sehingga Muslim lain berkewajiban membantu, menolong, bersedia berkorban nyawa dan harta demi melindungi saudaranya tersebut.

Ketika menulis risalah “Akan kemanakah kita dakwahi manusia” dengan judul “Nasionalisme Kita, Apa Landasannya?” Beliau mengutip ayat-ayat yang memberikan sinyalemen seputar wala’ (loyalitas) terhadap Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Beliau juga menjelaskn posisi para pendahulu kita dari kalangan orang-orang shalih yang selalu menisbatkan diri mereka kepada Allah Ta’ala, sehingga mereka senantiasa berpegang teguh pada agama Islam yang kokoh dan menjadi saudara yang saling mencintai karena Allah, meskipun berbeda kelompok, suku bangsa, dan kondisi. Sampai-sampai mereka hanya bangga dengan penisbatan diri terhadap Islam. Salah seorang di antara mereka ditanya: Anda dari suku mana? Anda orang Tamim ataukah orang Qais? Lantas dia menjawab: “Bapak saya “Islam” dan saya tidak punya bapak selain Islam.” Beliau mengungkapkan hal tersebut dikala orang-orang malah berbangga-bangga dengan suku Qais atau Tamim.

Dari uraian di atas, kita dapat memahami bahwa nasionalisme Islam adalah nasionalisme kemanusiaan yang menyerap dan menampung seluruh jenis manusia dari suku bangsa, warna kulit, negara asal manapun. Karena menurut Beliau, ikatan dan hubungan aqidah lebih kokoh dibanding ikatan darah, keluarga, kepentingan dan wilayah geografis tertentu. Hal itu bisa terjadi karena hubungan aqidah memberikan kesempatan bagi semua jenis bangsa manusia tergabung dalam satu ikatan “Umat Islam” yang sangat manusiawi.

f. Kebangsaan

Imam Hasan Al-Banna menguraikan dalam “risalah Dakwatuna Fi Thaurin Jadi” bahwa disana-sini muncul beragam propaganda yang santer terdengar pada zaman ini yang ditimbang dengan timbangan Islam. Yang seiring dengan prinsip Islam kita terima, sementara yang bertentangan dengan prinsip Islam kita berlepas diri darinya (tolak).

Bertolak dari cara pandang ini, Imam Hasan Al-Banna melakukan analisa dan pengkajian khusus terhadap rasa cinta tanah air (patriotism) bila ditinjau dari aspek-aspek negatif dan positifnya. Dan akhirnya Beliau menyimpulkan bagaimana konsep politik Islam terhadap implikasi dari kebangsaan atau cinta tanah air tersebut.

Beliau menegaskan bahwa Islam mewajibkan umatnya untuk mencintai negeri dan tumpah darah mereka, serta melakukan tindakan bela negara dan tanah air mereka di saat kondisi menuntut demikian. Bahkan hampir di seluruh buku fiqih Islam ditemukan pembahasan mengenai bab tindakan bela negara yang diberi judul dengan “Bab Jihad”. Karena jihad adalah upaya bela negara dan tanah air, warga negara, harta dan kehormatan.

Beliau beristidlal (mengambil dalil) dari pemahaman akan kecintaan dan kerinduan Rasulullah terhadap kota Makkah. Disebutkan dalam shahih Bukhari, Rasulullah bersabda:

وَاللهِ إِنَّكَ لَخَيْرُ أَرْضِ اللهِ، وَأَحَبُّ أَرْضِ اللهِ إِلَيَّ، وَلَوْلاَ أَنِّيْ أُخْرَجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ

Artinya: Demi Allah, engkau adalah negeri Allah yang paling istimewa, engkau adalah negeri Allah yang paling kucinta, jikalau bukan karena aku diusir dari negeri ini, mungkin aku tidak akan keluar -dari kota ini (Makkah)-.

Bilal bin Rabbah yang tidak memiliki sejengkal lahan pun di Makkah, namun karena pernah lama hidup di sana sehingga kecintaan hatinya telah melekat terhadap kota Makkah, bahkan Beliau tak sanggup membendung tangisannya ketika bernostalgia dengan kota ini. Bilal pernah bersenandung:

ألا ليت شعري هل أبيتن ليلة بواد وحولي إذخر وجليل وهل أريدن يوما مياه مجنة

وهل يبدون لي شامة وطفيل

Andai: kiranya diri ini masih sempat melewati indahnya keheningan malam, kendati satu malam di sebuah lembah yang dikelilingi rerumputan dan orang-orang mulia, akankah di suatu waktu nanti diri ini masih sempat meneguk segarnya mata air itu

masihkah aku dapat mengenal Syammah dan Thufail?

Begitulah Bilal merindukan tidur du salah satu lembah kota Makkah, melihat tumbuh-tumbuhan kecil yang memiliki aroma yang harum, meiminum dan dan membasahi matanya dengan air Makkah serta melihat du gunungnya yangbernama Syammah dan Thufail.

Imam Hasan Al-Banna menjelaskan sesungguhnya pengukuhan ikatan antara individu-individu yang hidup pada suatu wilayah tertentu atas dasar taqwa dan perwujudan cita-cita hidup dunia dan akhirat merupakan satu kewajiban dalam Islam. Hujjah Beliau adalah sabda Rasul SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM:

وَكُوْنُوْا عِبَادَ الله إِخْوَانًا

Artinya: dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.

Dan firman Allah dalam Qur’an surah Ali Imran 118:

(يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ) [آل عمران: 118]

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.

Pemekaran wilayah kekuasaan Islam serta penaklukkan wilayah-wilayah baru dengan sarana jihad fi sabilillah. Ini juga termasuk dalam kategori kewajiban Islam. Dalil Beliau adalah firman Allah dalamn Qur’an Surah Al-Baqarah 193:

(وَقَاتِلُوْهُمْ حَتَّى لاَ تَكُوْنَ فِتْنةٌ وَيَكُوْنَ الدِّيْنُ ِللهِ) [البقرة: 193]

Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.

g. Kebangsaan sempit

Imam Hasan Al-Banna menjelaskan kebangsaan sempit tertolak dalam prinsip Islam dan bathil, karena berlandaskan pada semangat dan spirit pertikaian, perpecahan, persaingan (tidak sehat), kastaisasi bangsa ke dalam beberapa kelompok yang saling bercatur dan saling dengki satu sama lain, saling tuduh dan tuding, sebagian melakukan konspirasi terhadap sbagaian yang lain, puas dengan hukum ciptaan manusia yang dilandaskan hawa nafsu dan dibentuk oleh tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan berdasarkan maslahat pribadi.

Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam, sehingga mereka tak perlu berusaha ekstra dan tinggal mengeksploitir permusuhan-permusuhan tersebut demi perwujudan kepentingan dan misi mereka. Bahkan, di satu waktu musuh Islam malah makin menyulut api perpecahan sehingga permasalahan tersebut akan tetap menjadi sumber malapetaka bagi umat dan negeri-negeri mereka.

Menilai kebangsaan sempit tersebut, Imam Hasan Al-Banna berkata: “Itu adalah bentuk kebangsaan palsu yang tak akan mendatangkan faidah bagi para penyerunya dan tidak pula bagi umat manusia”.

Keterlibatan Hasan Al-Banna dalam Peristiwa-peristiwa Politik

Penting diketahui, bahwa Imam Hasan Al-Banna telah menjadi politikus Muslim semenjak di bangku bangku sekolah dasar. Sejak saat itu ia telah concern terhadap problem-problem bangsaan dan umatnya. Ia terlibat dalam perlawanan terhadap kolonialis Inggris yang telah menjajah negerinya, merampas sumber daya dan aset kekayaan negeri serta memperbudak rakyatnya. Beliau selalu menilai segala peristiwa yang timbul dengan pandangan kacamata Islam serta mencarikan solusi yang syar’i pula. Untuk itu Beliau berusaha dengan segala daya upaya guna mengarahkan bangsanya agar sampai pada tujuan, yakni kemerdekaan dan penerapan sistem pemerintahan Islam.

Semenjak usia remaja, saat Beliau berusia 13 tahun, telah memimpin berbagai demonstrasi dan pemogokan massal sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan Inggris atas Mesir. Saat itu terjadi pergolakan yang dinamakan dengan Revolusi Mesir tahun 1919. Pernah pada satu ketika, kepala sekolah Beliau khawatir terhadap konsekwensi dari aktivitas Hasan Al-Banna ini. Lalu kepala sekolah tersebut mebawa sekelompok anak yang diketuai Hasan Imam Hasan Al-Banna kepada kepala desa Buhairah samabil menjelaskan merekalah yang bertanggung jawab atas semua peristiwa yang terjadi. Lalu kepala desa itu berkata kepada kepala sekolah tersebut: Mereka inilah anak-anak yang sanggup membujuk anak-anak lain untuk menghentikan unjuk rasa yang mereka lakukan. Kepala sekalh itu berupaya meyakinkan mereka. Namun semua itu sia-sia saja, karena Imam Hasan Al-Banna dan teman-temanya tidak bersedia memberhentikan unjuk rasa tersebut .

Imam Hasan Al-Banna sering melakukan rapat-rapat koordinasi dengan teman-temanya untuk merencanakan berbagai demonstrasi dan unjuk rasa di rumah Beliau dan mereka tidak gentar serta khawatir jika petugas kepolisian menangkap mereka. Bahkan mereka berani menghadapi teror petugas kepolisian tersebut dan tak jarang pula malah petugas kepolisian terkesan dengan keberanian mereka.

Beliau menuturkan dalam Muzakkratnya: “Masih segar dalam ingatan saya hari unjuk rasa di hari-hari revolusi. Kala itu, saya dan beberapa kawan panitia berkumpul di sebuah rumah Hajjah Khadrah Sya’irah di Damanhur. Lalu tiba-tiba muncul petugas dari kepolisian yang langsung mendobrak pintu rumah, lalu mereka bertanya pada ibu pemilik rumah tentang keberadaan kami. Kemudian ibu tersebut menjawab: Oh.. tadi pagi-pagi sekali mereka telah meninggalkan rumah dan sampai sekarang belum pulang”, sambil ibu tersebut masih sibuk membersihkan sayur-mayur dagangannya. Tapi jawaban ini tidak jujur dan membuat hati saya tidak tenang.

Setelah mendengar jawaban ibu tersebut, saya langsung menemui pe¬tugas polisi yang menanyakan keberadaan kami. Hajjah Khadirah sangat tertekan. Kemudian saya berusaha menjelaskan kepadanya duduk persoalan sebenarnya dengan penuh semangat sambil berkata: Sesungguhnya kewajiban terhadap negeri ini mewajibkan Anda untuk bergabung bersam kami, bukan menggagalkan aktivitas kami lalu menangkap kami. Saya juga tidak mengerti hasilnhya ialah polisi tersebut menerima penejelasan tadi. Lalu dia keluar dan menjelskan kepada anggotanya kemudian pergi setelah ia menenagkan kami. Lalu, saya datangi rekan-rekan yang sedang bersembunyi sembari berkata pada mereka: Ini berkat kejujuran. Maka seharusnyalah kita menjadi pribadi-pribadi jujur dan siap memikul konsekuensi aktivitas kita dan sekali-kali jangan berbohong dalam kondisi bagaimanapun.

Kongres Politik

Imam Hasan Al-Banna mengadakan beberapa kali muktamar/ kongres politik. Sebagian kongres tersebut bersifat periodik untuk kalangan jamaah Ikhwanul Muslimin. Jumlah kongres politik semacam ini mencapai delapan kali yang dimulai semenjak tahun 1933-1945. Di samping itu, Beliau juga sering mengadakan kongres tingkat dewan pendiri yang membahas problema-problema politik kontemporer. Di samping itu, ada lagi kongres tingkat regional dan sebagiannya lagi tingkat mahasiswa. Ada lagi yang bersifat nasional khsus membahas kemerdekaan.

Di antara kongres penting yang diadakan oleh Imam Hasan Al-Banna untuk mengarahkan peristiwa-peristiwa pilitik ialah :

  1. Kongres politik VI tanggal 9 Januari 1941. Dalam pidatonya Imam Hasan Al-Banna menyoroti problem politik, sosial, perekonomian yang melanda Mesir dan kasus monopoli yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing.
  2. Pada tahun 1945 saja, Imam Hasan Al-Banna mengadakan tujuh kali kongres politik tingkat nasional yang dipusatkan di Kairo, Iskandaria dan ibukota-ibukota propinsi lain. Beliau menjelaskan secara komprehensif hak-hak politik masyarakat dan perjuangan menghapus buta huruf serta membahas hak dan kewajiban warga negara.
  3. Beliau juga mengadakan dua kali pertemuan Ikhwanul Muslimin tahun 1945 dan 1946 yang menhadirkan semua pimpinan wilayah, pusat-pusat Jihad dan kepamasyarakatan lainnya dalam merumuskan sikap terhadap berbagai peristiwa politik. Pertemuan tersebut melahirkan keputusan berikut:
    1. Menuntut pemerintahan Mesir untuk menghentikan negosiasi-negosiasi dengan Inggris dan mengumkan pembatalan perjanjian 1936 serta penarikan pasukan Inggris tanpa syarat dari bumi Mesir.
    2. Negosiasi-negosiasi itu tidak ada manfaatnya dan lebih baik menyeru masyarakat agar menyiapkan diri guna mengemban tugas Jihad fi sabilillah.
    3. Bila pemerintah tidak merealisasikan tuntutan-tuntutan pembatalan perjanjian dan mempersiapkan umat untuk berjihad dan sebagainya, berarti mereka termasuk antek-antek kaum penjajah, dengan demikian gugurlah kewajiban untuk taat kepada pemerintahan seperti itu.

Aktivitas-aktivitas Politik Hasan Al-Banna

Aktifitas-aktifitas politik yang pernah Beliau lakukan bersama para ikhwah, di antaranya:

  1. Di sela-sela keberangkatan Naqrasy menemui Dewan Keamanan PBB, Imam Hasan Al-Banna mengundang seluruh lapisan masyarakat Mesir untuk mendatangi masjid-masjid sewaktu pelaksanaan shalat zhuhur untuk mendengarkan orasi umum membahas sengketa lembah sungai Nil, kemudian Imam Hasan Al-Banna memimpin demonstrasi yang diprakarsai oleh Al-Azhar menuntut penyelesaian segera masalah-masalah yang menimpa Mesir.
  2. Imam Hasan Al-Banna mengirimkan telegram pada Naqrasyi guna memprioritaskan penundaan pembahasan sengketa lembah sungai Nil dan menuntutnya agar fokus terlebih dahulu pada pembatalan perjanjian 1936, menabuh genderang “jihad” mengusir secara paksa penjajah Inggris dari tanah Mesir serta pernyatan bahwa Ikhwanul Muslimin telah siap maju ke medan jihad.
  3. Derasnya gelombang aksi protes, unjuk rasa dan demonstrasi rakyat Mesir membuat pemerintah Mesir dan pemerintah Inggris tertekan, sehingga memaksa mereka berpikir keras untuk bersedia membatalkan perjanjian dan nota kesepahaman 1936.
  4. Aktifitas dan kerja politik lain yang dilakoni Imam Hasan Al-Banna adalah pengiriman delegasi-delegasi politik yang mengurus pembebasan Mesir dari penjajahan dan kolonialisme.
  5. Pemusnahan semua hal yang berkaitan dengan Inggris di Mesir, ketika setiap anggota ikhwan di masing-masing provinsi mengumpulkan semua buku-buku, majalah-majalah dan surat kabar berbahasa Inggris setelah itu dibakar di lapangan-lapangan umum sebagai bentuk aksi protes terhadap kebijakan politik koloialis Inggris.
  6. Penugasan delegasi-delegasi untuk menyerukan pemboikotan semua tulisan berbahasa Inggris serta pemusnahan semua spanduk, baliho dan papan pengumuman berbahasa Inggris yang terpampang di berbagai institusi, pusat-pusat perdagangan dan sebagainya, lalu menggantinya dengan spanduk-spanduk berbahasa Arab.

Penugasan divisi khusus Ikhwanul Muslimin yang berkonsentrasi melakukan pembelaan sengketa lembah sungai Nil untuk menyebarkan ke seluruh penjuru Mesir jutaan selebaran bergambar hati yang diberi warna merah dan ditengah-tengahnya tertulis kata “usir kaum penjajah!!!” hingga pada waktu yang telah ditentukan semua rakyat Mesir keluar dan berkumpul dengan menyangkutkan tulisan tersebut di dada mereka. Sungguh merupakan pemandangan yang menarik.

Aksi Mogok dan Demonstrasi

Di antara bentuk pendidikan politik Imam Hasan Al-Banna dalam menghadapi peristiwa-peristiwa penting dunia perpolitikan Mesir adalah sebagai berikut:

  • Imam Hasan Al-Banna pernah mengadakan rapat pembentukan panitia inti yang akan mendialogkan upaya perebutan secara paksa hak rakyat Mesir yang telah dirampas oleh imperealisme Inggris. Dialog tersebut diselengarakan pada tanggal 5 Februari 1946. Sebagai tindak lanjut dari hasil dialog tersebut berupa aksi protes dan demonstrasi menuju istana Abidin. Dalam demonstrasi tersebut mereka menuntut raja Faruq untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Mesir yang telah dirampas. Akibatnya, terjadi pembantaian besar-besaran di jembatan Abbas tanggal 9 Februari 1946. Segera setelah gelombang aksi protes yang dilancarkan, akhirnya rezim Neqrasyi tumbang, khususnya setelah gelombang aksi protes yang dikomandoi oleh Musthafa Mu’min, pimpinan mahasiswa Ikhwanul Muslimin di Universitas Al-Azhar.
  • Keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam beberapa aksi protes dan demonstrasi di masa rezim pemerintahan Ismail Shidqy. Dalam aksi tersebut, mereka menuntut Ismail berupaya mengembalikan hak-hak rakyat Mesir yang telah terampas. Dua tuntutan utama mereka adalah pengusiran Inggris dari tanah Mesir dan menggalang persatuan guna menyelesaikan sengketa lembah sungai Nil.

Pengerahan massa guna melakukan unjuk rasa sebagai bentuk penegasan dan keseriusan tuntutan mereka atas instruksi dari Ikhwanul Muslimin pada tanggal 10 Mei 1946 dan tanggal 8 Juni 1946. Mereka juga mengungkapkan fakta-fakta yang menyuarakan dengan lantang kepada rakyat Mesir agar menuntut hak-hak mereka serta menolak perjanjian-perjanjian dengan penjajah Inggris serta instruksi melakukan pemboikotan total terhadap Inggris bidang ekonomi, pendidikan dan sosial.

Perang Melawan Yahudi

Perang Melawan Yahudi

Imam Hasan Al-Banna meyakini bahwa opsi yang harus dijalankan untuk membebaskan hak-hak yang telah dirampas oleh otoritas asing adalah perang. Sebagai wujud nyata dari keinginan ini Beliau mengutus batalyon-batalyon pasukan militer Ikhwanul Muslimin ke Palestina bahkan setelah itu Beliau mengutus ribuan para Mujahidinin ke Palestina.

Sebelum berakhirnya kekuasaan Inggris di Mesir tanggal 15 Mei 1948, para pemimpin Negara Arab berkumpul di Suriyah. Betepatan dengan pertemuan itu, Imam Hasan Al-Banna mengirimkan telegram kepada para pimpinan bangsa Arab yang menyatakan kesediaanya untuk mengutus puluhan ribu kader Ikhwanul Muslimin untuk berjihad ke Palestina. Gelombang pertama berjumlah berjumlah 10.000 orang mujahid yang akan berangkat dan mengejar syahid di Palestina.

Tapi rezim Nakrasyi yang loyal dan bekerja untuk pemerintah Inggris berupaya menghalang-halangi proses keberangkatan para Mujahidinin Ikhwanul Muslimin ke Palestina. Kondisi ini memaksa para Mujahidinin berjalan kaki menempuh jarak yang sangat jauh agar bisa sampai ke wilayah Palestina.

Pemerintahan Mesir yang pernah dipimpin rezim Ibrahim Abdul Hadi sangat populer dengan kekejaman dan kebengisannya terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin. Ia sering menjerumuskan kader-kader Ikhwan ke penjara serta berkonspirasi untuk membunuh Imam Hasan Al-Banna. Melihat kondisi ini, para Mujahidinin Ikhwan yang sedang berjuang di Palestina, hati mereka pilu ketika mendengar informasi tentang kekejaman yang menimpa saudara-saudara mereka di Mesir yang tersiksa di tangan penguasa Mesir dan antek-anteknya.

Di sela-sela kondisi sulit yang menimpa para Mujahidin Ikhwan di Palestina pasca intimidasi terhadap kelompok Ikhwan dan penyitaan semua aset dan harta mereka, Imam Hasan Al-Banna masih berkeinginan kuat guna melanjutkan genderang jihad yang telah ditabuh di Palestina. Beliau menulis surat untuk para Mujahidin Palestina yang bertuliskan: “Tidak ada alasan bagi para Mujahidin Palestina dalam kondisi ini untuk kembali ke Mesir, selama di Palestina masih ada Yahudi walaupun cuma satu orang, berarti misi para Mujahidin Palestina belum usai”. Kemudian Beliau mengakhiri suratnya dengan untaian nasehat panjang. Intinya harapan terhadap para Mujahidin untuk tetap tenang dan menjaga hubungan baik antar sesama Mujahid.

Analisa dan Evaluasi Imam Hasan Al-Banna Terhadap Perang Arab – Yahudi di Palestina

Informasi ketidakseriusan perjuangan pasukan militer negara-negara Arab semenjak mereka terlibat sengketa Palestina telah tersebar ke berbagai wilayah. Para pasukan militer Arab malah melucuti senjata para Mujahidin di Palestina dan menyingkirkan mereka dari kancah peperangan dengan alasan bahwa urusan perang merupakan wewenang mereka, bukan wewenang para Mujahidin. Pasukan militer negara-negara Arab terbukti telah terjebak dalam siasat politik Yahudi yang berkeinginan menciptakan benturan-benturan antara para Mujahidin di Palestina dengan pasukan militer Negara-negara Arab.

Imam Hasan Al-Banna meyakini bahwa dengan sengaja telah terjadi konspirasi dunia Internasional dalam menyikapi sengketa Palestina. Beliau telah mencium adanya pengkhianatan Inggris terhadap bangsa Palestina yang teraniaya ini. Beliau dan banyak orang telah mengetahui bahwa seorang perwira polisi Inggris bernama Clove Pasya yang menjadi komandan pasukan Yordania, sebenarnya dialah yang telah menjadi komando seluruh pasukan militer Arab yang datang ke Palestina. Dan Pasya merupakan seorang Kristen yang benci dan dengki terhadap Islam dan kaum Muslim. Dan dia bersama beberapa rekannya, terbukti telah terlibat dalam kasus pembekalan persenjataan tentara Mesir dengan senjata-senjata yang telah rusak dan tak layak pakai.

Bukti-bukti ini telah dikumpulkan oleh Imam Hasan Al-Banna, kemudian Beliau mengkaji dan memahami serta mencium gelagat konspirasi terhadap bangsa Palestina dan para Mujahidin Ikhwan yang berada di sana. Sehingga upaya mobilisasi tentara-tentara Arab ke Palestina berakhir sia-sia, karena Islam masih tetap dikesampingkan dari kekuasaan dan politik.

Sangat banyak data yang berisikan perjuangan heroik para Mujahidin Ikhwan di Palestina kepada Imam Hasan Al-Banna dan berisi informasi dan data mengenai para Mujahidin yang telah syahid di medan jihad Palestina, sehingga Beliau tak mampu membendung air mata menahan sedih, lalu Beliau berujar:

“Semoga Allah selalu bersama mereka… Semoga Allah menerima persembahan iman dan jihad mereka…Semoga Allah meridhoi apa yang telah mereka perbuat dan mereka tunggu-tunggu… Di hadapan mereka masih terdapat peperangan besar terhadap penguasa-penguasa zalim negeri mereka sendiri yang lebih mereka khawatirkan dibanding kekuatan Yahudi, yaitu perang terhadap orang-orang yang tak menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran. Itulah perang terhadap Faruq beserta tentara-tentara dan para polisinya, serta orang-orang yang terdidik dalam pola-pola pendidikan kaum penjajah. Darah mulia yang telah bercucuran ini belum menggapai impiannya selagi kondisi masih seperti ini dan selama Islam masih dianggap barang asing di rumah-rumah kaum Muslimin. Mereka telah mengorbankan darah dan nyawanya di jalan Allah demi menghadapi musuh-musuh perang yang dipimpin oleh orang-orang yang tak peduli dengan Islam. Merekalah orang-orang asing itu……. Orang-orang asing itu…… Orang-orang asing itu.

Israel akan bangkit, karena pergerakan mereka adalah pergerakan berbasis agama dan bermotif ideologi yang mendiktekan semua rancangan dan planning mereka. Israel tak akan mundur dari misi keyahudinya, meskipun menuai celaan dari banyak orang. Bagaimana mungkin kelompok minoritas Yahudi akan membuat perbaikan-perbaikan? Mereka hanya menutup-nutupi kerusakan, keganasan dan kezhaliman yang menghiasi langkah-langkah mereka?! Sesungguhnya perjalanan masih panjang dan darah-darah yang telah tumpah ke bumi tentu tak akan bisa tergantikan. Dan perang besar itu adalah perang Islam melawan Israel yang akan tetap berlanjut hingga Islam benar-benar menghancurkan dan menghapus pergerakan mereka. Itulah hakikat perjuangan kita, karena kita tak boleh terbuai dan terpana oleh tindakan-tindakan heroik yang telah kita persembahkan…

Demi Allah, jikalau bukan karena alasan kasih sayang terhadap para generasi muda Islam yang punya semangat bergelora dan pertimbangan terhadap tanggapan dari orang-orang awam, niscaya akan saya proklamirkan secara tegas dan terang-terangan bahwa kami telah mengutus para pejuang kami untuk terjun di medan peperangan dan kami tahu konsekwensi dari peperangan tersebut.

Saya pribadi yang dipercayakan memimpin jamaah ini menolak semua cita-cita palsu, bilamana dunia perpolitikan tidak dipimpin oleh Islam, bilamana jihad tidak berdasarkan cita-cita mulia ingin menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Dan harapan saya terhadap rakyat Mesir agar bisa membedakan mana pejuang Islam sejati, dan mana orang-orang yang hanya ingin menunggangi perjuangan demi keinginan-keinginan pribadi sesaat dan kepentingan-kepentingan sekelompok orang tertentu semata. Bagi kami darah yang telah tertumpah ke bumi ini merupakan ungkapan permintaan maaf pada Allah Ta’ala dan sebagai pelajaran berharga bagi bangsa ini.

Sebelum syahid menemui ajalnya, Beliau sempat menulis dalam memoarnya yang menjelaskan kronologis permasalahan dimulai dari sebab-sebab inthifadhah –perlawanan- hingga pembekuan sengketa Palestina. Hal ini Beliau lakukan sebagai jawaban atas tulisan juru bicara kementerian dalam negeri Bapak Abdurrahman Ammar dengan tema yang sama. Dalam tulisannya ini, Abdurrahman meminta pembubaran Ikhwanul Muslimin. Di antara alasannya adalah karena kerasnya tekanan pihak asing. Juru bicara Kementerian Dalam Negeri ini mengaku kepada Hasan Al-Banna, Mursyid ‘Aam Ikhwanul Muslimin. Dalam pengakuan ini, ia mengatakan bahwa banyak tawaran dan tuntutan yang disampaikan pada Nakrasyi dari duta besar Inggris, duta besar Perancis dan staf Kedutaaan Besar Amerika Serikat pasca pertemuan mereka di kota Faid pada tanggal 6 Desember 1948. Dalam pertemuan itu, mereka menuntut pembubaran Ikhwanul Muslimin dengan segera.

Pada dasarnya, ini adalah permintaan yang logis dan wajar dari petinggi kaum penjajah karena mereka mengamati dan menilai bahwa Ikhwanul Muslimin akan menjadi batu penghalang dari perwujudan kepentingan-kepentingan mereka dalam sengketa lembah sungai Nil, kepentingan mereka terkait dengan negara-negara Arab dan dunia Islam umumnya. Dan tawaran semacam ini bukan barang baru, karena sudah terulang berkali-kali. Tuntutan ini merupakan tawaran klasik dari Duta Besar Inggris yang sering ia sampaikan dalam berbagai forum pada setiap rezim pemerintahan. Dan rezim-rezim pemerintahan Mesir sebelumnya, menolak mentah-mentah tawaran tersebut. Pada tahun 1942 ketika Perang Dunia II sedang berkecamuk dan ketika Jerman hampir menyerah kalah, Kedutaan Besar Inggris pernah meminta pada Rif’at Nuhas Pasya untuk membubarkan Ikhwanul Muslimin dan membekukan semua pergerakan mereka. Namun, Rif’at menolak dengan tegas permintaan tersebut dan hanya membekukan sebagian pergerakan di daerah-daerah, tapi membiarkan keberadaan kantor pusat Ikhwanul Muslimin.

Sebenarnya, rezim Nakrasyi memiliki kewenangan menerima tawaran tersebut dengan hanya sekedar ucapan semata kepada penjajah Inggris. Lalu membuat semacam kontrak kesepahaman dengan para kader Ikhwanul Muslimin terhadap kebijakan tertentu yang akan menguntungkan kedua belah pihak (rezim Nakrasyi dan Ikwanul Muslimin). Ikhwanul Muslimin pada saat itu telah siap menerima peluang terjadinya kesepakatan tersebut, terlebih pasca kedatangan Mursyid ‘Aam dari Hijaz (Saudi Arabia). Namun kenyataan berbicara lain, karena Narkasyi tidak berinisiatif membuat kesepakatan tersebut, malahan ia membuat kebijakan-kebijakan yang mengindikasikan Mesir masih menjadi milik asing dan berada di bawah tekanan asing bukan milik rakyat Mesir. Kemudian Imam Hasan Al-Banna kembali melanjutkan uraiannya hingga sampai pada akhir tulisannya: (sesungguhnya semua proses itu berjalan di bawah kendali Zionisme Internasional, Komunisme Dunia, negara-negara kolonialis, orang-orang atheis dan orang-orang Libertinis yang menilai Ikhwanul Muslimin akan menjadi batu penghalang besar bagi realisas misi-misi mereka).

Imam Hasan Al-Banna pernah ditanya oleh seorang wartawan terkait alasan dan motif para pemegang kekuasaan membubarkan Ikhwanul Muslimin. Lantas Beliau menjawab: “Di antara faktor-faktor yang memotivasi keinginan mereka membubarkan Ikhwanul Muslimin adalah bernuansa politis, berhubung karena penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) yang sudah di depan mata. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa Partai Sa’ad ingin memperoleh dukungan dan suara terbanyak dari partisipan dalam pemilu nanti, sehingga mereka kembali bisa berkuasa dalam pemerintahan. Dan telah menjadi rahasia umum pula, bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan satu kekuatan politik besar dan berpengaruh serta patut diperhitungkan di pentas perpolitikan Mesir. Karena kebijakan apapun yang diambil Ikhwanul Muslimin, tentu akan berdampak sangat besar terhadap orientasi perpolitikan bangsa. Sehingga muncul keinginan mereka untuk menganggu keberadaan politis Ikhwanul Muslimin sebagai strategi politik mereka menghancurkan image dan nama baik Ikhwanul Muslimin sebelum pemilihan umum yang -insya Allah- akan diselenggarakan pada bulan Oktober tahun 1949 jika tidak ada halangan yang merintang.

Menurut hemat penulis, orang yang mencoba melakukan pengkajian dan analisa terhadap ungkapan Imam Hasan Al-Banna tersebut, akan memahami bahwa orang ini benar-benar memiliki kecerdasan dan insting politik yang tinggi yang ia tuangkan dalam pandangan politiknya yang bijak serta terkesan “berani dan tidak ada tawar-menawar”. Sebuah pendapat politik yang tak berani diungkap kecuali oleh politikus-politikus yang memiliki kemapanan iman dan keyakinan pada Allah Ta’ala, politikus yang jeli dan peka dalam menganalisa esensi di balik tabir kelam dari peristiwa yang bergulir serta politikus handal yang mampu membaca konspirasi terselubung para kolonialis Kristen terhadap umat Islam, termasuk terhadap Ikhwanul Muslimin yang semenjak awal mereka telah dibebankan tanggung jawab untuk memulai proses kehidupan Islami dan mendirikan negara Islam serta membebaskan negeri Islam di belahan dunia manapun dari cengkeraman keganasan asing.

Sebelum Beliau syahid -menemui ajal-, dalam memoarnya Imam Hasan Imam Hasan Al-Banna rahimahullah sempat menulis bantahan terhadap tuduhan-tuduhan sesat dan tak beralasan yang dilontarkan oleh Partai Saad terhadap Ikhwanul Muslimin serta pengerahan opini publik demi upaya keluarnya kebijakan pembubaran Ikhwanul Muslimin. Imam Hasan Al-Banna memberi judul tulisan tersebut: “Fakta yang Tak Terbantahkan”. Dalam tulisan Beliau tersebut terdapat satu paragraf tentang siapakah aktor dan sutradara di balik semuanya?

Pemerintah Mesir yang gagal menggalang kerjasama dan perjanjian dengan Inggris langsung memutuskan diplomasi dengan Inggris dan mengadu ke Dewan Keamanan PBB lalu kembali dengan hasil nihil. Semenjak itu, pemerintah tidak lagi memikirkan dan terkesan mengabaikan masalah kenegaraan. Seperti masalah dengan Inggris, pemerintah membiarkan Inggris bebas berbuat semaunya sehingga berakibat pada kondisi Mesir yang semakin memprihatinkan. Jikalau urusan dalam negeri sudah banyak terabaikan, maka masalah-masalah lain seperti sengketa Palestina sudah barang tentu terabaikan juga, sehingga pemerintah Mesir mengeluarkan kebijakan yang menyatakan persetujuan gencatan senjata. Dengan kebijakan tersebut bukan berarti masalah telah selesai, tapi malah sebaliknya masalah semakin berlipat ganda baik material apatah lagi harga diri bangsa.

Akhirnya Yahudi pun campur tangan dan pura-pura ingin membantu Mesir. Namun kenyataannya Yahudi tidak bertindak apapun bila yang menyerang Mesir adalah musuh-musuh negara Mesir yang seide dengan Yahudi. Malahan di Mesir, warga negara asing bisa hidup tenang dan damai serta tidak perlu mengkhawatirkan diri dan asetnya karena ada petugas keamanan khusus yang ditugaskan melindungi tempat-tempat seperti: lokalisasi pelacuran, diskotik, bar, kafe, rumah border, tempat-tempat para penari striptis serta pusat-pusat maksiat lainnya.

Pemerintahan Mesir tidak sanggup lagi menyelamatkan anak bangsa dari cengkeraman kemiskinan, kebodohan dan masalah-masalah kesehatan serta naiknya harga komoditi di pasaran. Sementara itu, jarang sekali ada yang membantu kondisi Mesir yang sedang carut marut tersebut, meskipun ada, hanya dari pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan pribadi dari bantuan yang diberikan. Pemerintahan seperti ini yang mengusir dan memburu para kader Ikhwan, padahal mereka adalah anak bangsa sendiri. Tak hanya sampai taraf itu, karena pemerintahan juga menuduh mereka telah berbuat kriminal, dan banyak pula di antara kader Ikhwan yang diasingkan serta harta kekayaannya dan aset bisnis mereka disita dan dirampas oleh pemerintah.

Jikalau mau jujur, yaitu di saat yang berbicara adalah bahasa kebenaran dan bukan bahasa kekerasan, niscaya kami akan menhukum Anda para pemegang tampuk kekuasaan dengan sanksi yang seberat-beratnya. Tapi pemerintahan yang dzhalim bersifat temporal saja sedangkan pemerintahan yang berhukum dengan hukum Allah niscaya akan berlanjut hingga hari kiamat kelak. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tapi kebanyakan manusia tidak menyadari.

Rezim pemerintahan Ibrahim Abdul Hadi tak hanya sekedar mengusir para kader Ikhwan dari negerinya bahkan dalam medan jihad pun, Ibrahim Abdul Hadi melucuti semua senjata milik Ikhwan -Ini fakta- sehingga Palestina dan rakyatnya menjadi korban. Di samping itu Yahudi juga telah mendapatkan hadiah berharga karena mereka telah lepas dari musuh besar yang geram dan sedang berada dalam kondisi lapar serta tidak takut menghadapi kematian karena mereka telah sering mencicipi rasanya kematian di medan peperangan.