JAUH sebelum dunia Barat memperkenalkan Hak Asasi Manusia alias HAM pada sekitar abad XVI-XIX, Islam sudah terlebih dahulu memperkenalkan konsep HAM pada 1.300 tahun sebelumnya. Bahkan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, merupakan salah satu sosok revolusioner sekaligus pejuang penegak HAM yang paling gigih se antero jagad. Ia tidak hanya sekedar membawa serangkaian pernyataan HAM yang tertuang dalam kitab suci (Al-Qur’an), namun juga memperjuangkan dengan penuh pengorbanan dan kesungguhan. Salah satu kegigihan Nabi dalam memperjuangkan HAM, yakni memurnikan ajaran maupun kebiasaan yang ada pada zamannya, yakni tradisi masyarakat Arab Jahiliyah di Makkah yang sangat bertentangan dengan konsep HAM.
Bukti lainnya berupa pidato Muhammad bin Abdullah pada tahun 632 Masehi, yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Arafah. Bahkan deklarasi tersebut disebut-sebut sebagai dokumen tertulis pertama yang berisi tentang HAM. Secara sederhana dapat disimpulkan, jika dunia internasional baru mengenal HAM ribuan tahun pasca adanya konsep HAM mempuni yang diprakarsai Islam pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam perkembangannya, HAM (Human Rights, bahasa Inggris) diartikan sebagai sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. HAM berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut, juga tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. HAM biasanya dialamatkan kepada negara dengan kata lain negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta. Dalam terminologi modern, HAM dapat digolongkan menjadi hak sipil dan politik yang berkenaan dengan kebebasan sipil. Seperti gak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan kebebasan berpendapat. Termasuk juga hak ekonomi, sosial dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang publik. Seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, dan lainnya. Secara konseptual, HAM dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak tersebut ‘dianugerahkan secara alamiah’ oleh alam semesta, nalar atau bahkan Tuhan. Mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak asasi merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Selain itu ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa HAM hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan konsep tersebut. Ditinjau dari sudut pandang hukum internasional, HAM sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam ‘kehidupan bangsa’. Memang masyarakat kuno tidak mengenal konsep HAM universal, seperti halnya masyarakat modern. Pelopor dari wacana HAM adalah konsep hak kodrati yang dikembangkan pada abad pertengahan, dipengaruhi wacana politik selama Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis. Konsep HAM modern akhirnya muncul pada paruh kedua abad 20, terutama pasca dirumuskannya Pernyataan Umum tentang HAM di Paris (Prancis) pada 1948 silam. Sejak saat itu, HAM mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi semacam kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global. Pelaksanaan HAM dalam skala internasional diawasi oleh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sepeti Dewan HAM dan Badan Troktat hingga Komite HAM dan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sementara di tingkat regional, HAM ditegakkan oleh Pengadilan HAM Eropa, Pengadilan HAM Antar-Amerika, serta Pengadilan HAM dan Hak Penduduk Afrika. Bahkan kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik hingga hak ekonomi, sosial dan budaya sendiri sudah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Bahkan empat negara di kawasan Asia Tenggara, yakni Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Diwakili menteri agama masing-masing, sepakat mewujudkan resolusi yang berisi tujuh poin tentang HAM dalam perspektif Islam. Pertama, umat Islam diharapkan melengkapi diri dengan ilmu dan keterampilan yang tepat melalui sumber terpercaya untuk menghadapi berbagai doktrin dan tantangan baru. Hal itu demi memastikan hak-hak yang diperjuangkan sesuai prinsip dan bebas dari unsur yang bertentangan dengan Islam. Kedua, perlunya memberdayakan komitmen kehidupan beragama sebagai satu cara hidup, demi memastikan setiap individu muslim mampu menyikapi realitas kehidupan saat ini yang berporos kepada prinsip dan panduan ajaran Islam. Ketiga, mencari titik persamaan atas nilai-nilai kemanusiaan seperti martabat dan kehormatan, kemerdekaan dan kebebasan, kesetaraan dan kesamaan, serta persaudaraan sebagai dasar kesempatan untuk bekerjasama menangani isu-isu hak asasi manusia yang sejalan dengan Islam. Keempat, menyebarluaskan pemahaman tentang Islam sebagai satu sistem nilai dan etika, yang berkontribusi kepada kebaikan bersama. Kelima, Memperkuat perjuangan hak asasi manusia yang sejalan dengan tuntutan Islam, berdasarkan strategi menekankan prinsip-prinsip Islam sebagai sistem etika tentang HAM, meningkatkan pemahaman masyarakat terkait prinsip HAM sesuai etika Islam, serta meningkatkan efektivitas jaringan kerjasama antarotoritas agama di setiap negara, organisasi dan individu, demi memperkuat perjuangan isu-isu hak asasi dari perspektif Islam. Keenam, siap menjalin kolaborasi program penjelasan HAM dari sudut pandang Islam melalui kerja sama strategis di antara negara anggota. Ketujuh, forum menyepakati penulisan konsep HAM dari sudut pandang Islam yang dibentangkan dalam konferensi ini dapat diterbitkan atas nama MABIMS (Forum Menteri Agama Brunai, Indonesia, Malaysia dan Singapura) sebagai sumber informasi bagi para peneliti yang bisa dijadikan referensi di tingkat negara anggota, serta masyarakat antarbangsa. [adm] Ditulis oleh Samsul Arifin, dan dikutip dari berbagai sumber berbeda. Post date: 19-Oct-2009 20:40:27 USAI PERANG DINGIN awal tahun 1990, yang secara simbolik ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin dan pecahnya negara Uni Sovyet, maka secara bersamaan di seluruh dunia muncul gerakan demokratisasi (Huntington, 1995). Gelombang demokratisasi ini memunculkan kesadaran yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia dan tanggung jawab manusia untuk membangun masyarakatnya sendiri yang mengarah pada bentuk kehidupan masyarakat yang lebih mengedepankan keterbukaan, maju, dan modern serta menghindari-bahkan menghilangkan-model masyarakat yang totaliter yang menginjak-injak hak asasi manusia. Dalam konteks Indonesia, gelombang demokratisasi ini menemui momentumnya ketika terjadi gelombang reformasi dan diakhiri dengan “lengsernya” Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto tersebut, secara bersamaan telah mengantarkan bangsa Indonesia untuk mulai “menapaki” kehidupan berbangsa yang lebih mengedepankan kebebasan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Dengan kata lain, peralihan kepemimpinan dari kekuasaan yang otoriter dan despotis meniscayakan munculnya model kepemimpinan yang mengedepankan kebebasan yang bertanggung jawab serta penghargaan terhadap adanya hak-hak dasar manusia, yang diwujudkan melalui model kepemimpinan yang demokratis. Oleh karenanya, transisi menuju demokrasi-dalam konteks Indonesia-merupakan pilihan yang tidak bisa ditawar apalagi dimundurkan (point of no return). Tranisisi menuju demokrasi tentu saja bukan sesuatu hal yang langsung jadi dan terwujud melalui pewarisan dan adopsi an sich (taken for granted), melainkan harus tetap dipelajari, dipraktikkan dan “dikawal”, agar proses demokrasi benar-benar “menapaki rel” yang sesungguhnya. Demokrasi perlu ditegakkan dan terus dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menuju bangsa Indonesia yang lebih baik yang mengedepankan semangat kebersamaan, toleran dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Pilihan terhadap demokrasi sebagai suatu sistem dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara ini setidaknya memiliki 2 (dua) alasan, yakni pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental. Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya (Mahfud, 1993). Makna Demokrasi Memahami tentang demokrasi, tentu saja tidak bisa melepaskan secara terpisah tentang pengertian demokrasi itu sendiri. Demokrasi, jika ditelusuri dari sisi etimologis merupakan dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu, demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Sementara dari sisi terminologis, terdapat beberapa pendapat pakar yang mendefinisikan demokrasi tersebut. Josefh A. Schmeter, mendefinisikan demokrasi dengan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Sidney Hook. Menurutnya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Dengan kata lain, bahwa demokrasi meniscayakan adanya kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat yang secara substansial mengandung 3 (tiga) hal, yakni pemerintah dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat (government by the people) dan pemerintahan untuk rakyat (government for the people). Pemerintahan dari rakyat berhubungan dengan legitimasi pemerintahan (legitimate government) dan tidak legitimasi suatu pemerintahan (unligitimate government) di mata rakyat. Legitimasi pemerintahan berarti suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan yang diberikan oleh rakyat. Sebaliknya tidak legitimasinya pemerintahan berarti suatu pemerintahan yang sedang memegang kendali kekuasaan tidak mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat. Legitimasi-dalam konteks demokrasi-bagi suatu pemerintahan sangat penting karena pemerintah dapat menjalankan roda dan program pemerintahan sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah. Pemerintahan dari rakyat memberikan gambaran bahwa pemerintah yang memegang kekuasaan dituntut kesadarannya bahwa pemerintahan tersebut diperoleh melalui pemilihan dari rakyat bukan dari pemberian wangsit atau kekuasaan supra natural. Sementara, pemerintahan oleh rakyat (government by the people) berarti bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaan atas nama rakyat dan juga pengawasannya diserahkan kepada rakyat. Kedauanya dijalankan oleh rakyat bukan oleh siapa-siapa termasuk oleh negara. Sedangkan pemerintahan untuk rakyat (government for the people), yang berarti bahwa pemerintahan yang dijalankan harus mengutamakan dan berorientasi pada kebutuhan mendasar rakyat. Lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Schumpeter. Menurutnya demokrasi merupakan konsep yang bisa disederhanakan menjadi sebuah metode politik. Baginya, demokrasi adalah kemampuan warga negara untuk dapat menentukan pemimpin berdasarkan atas pilihannya. Berbeda dengan Schumpeter, David Held mendefinisikan demokrasi lebih komprehensif tidak sebatas dimaknai sebagai metode politik. Held lebih melihat demokrasi sebagai sebuah prinsip dasar otonomi. Prinsip dasar otonomi itulah yang kemudian disebut dengan otonomi demokrasi (democratic autonomy). Otonomi demokrasi meniscayakan partisipasi substansial secara langsung pada lembaga komunitas lokal dan manajemen diri (self management) perusahaan umum. Otonomi demokrasi membutuhkan pernyataan hak-hak asasi manusia (bill of rights) di luar hak memilih untuk memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan untuk menemukan preferensi pribadi dan pengawasan akhir oleh warga negara terhadap agenda politik. Selain itu, hak-hak sosial dan ekonomi juga menjadi bagian yang penting dalam menegakan demokrasi (Sorensen, 2003: 15). Dengan demikian, demokrasi menurut Held lebih ditujukan pada terwujudnya prinsip kebebeasan bagi warga negara, termasuk di dalamnya kebebasan atas adanya hak asasi manusia, hak ekonomi dan hak sosial. Atau dengan kata lain, Held memandang demokrasi bukan sebagai suatu konsep yang lebih mengedepankan pada praktik demokrasi prosedural, seperti yang terkait dengan pemilihan pemimpin, melainkan lebih menekankan pada proses bagaimana hak asasi manusia mendapatkan pengakuan dan kebebasan. Hampir sejalan dengan Held, Nurcholis Madjid pun mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah proses (demokratisasi). Demokrasi dalam konteks ini lebih dipahami sebagai sebuah proses untuk melaksanakan nilai-nilai civility dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat (Kamil, 2002: 26). Demokrasi merupakan sarana dalam merealisasikan kehidupan yang beradab, menghargai perbedaan, mengakui akan hak asasi manusia dalam rangka mewujudkan masyarakat madani (civil society). Berbagai pengertian tentang demokrasi di atas, pada prinsipnya dapat dipahami bahwa demokrasi merupakan konsep yang meniscayakan masyarakat (people) sebagai bagian dari sistem pemerintahan dan kenegaraan memiliki kebebasan dalam melakukan aktivitas, baik dalam konteks kebebasan menentukan pilihan terhadap calon pemimpinnya maupun kebebasan dalam konteks pelaksanaan hak asasi manusia, hak sosial dan hak ekonomi. Dengan kata lain, bahwa demokrasi merupakan ruang dimana warga negara memiliki partisipasi yang kuat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan beradab (civility) tanpa harus mendapatkan “pengekangan” dan pembatasan dalam mengapresiasikan kebebasannya tersebut. Makna Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia merupakan wacana yang mulai menggejala bersamaan dengan munculnya gerakan demokratisasi di Indonesia. Untuk memahami perbincangan tentang Hak Asasi Manusia tersebut, maka pengertian dasar tentang hak menjadi penting. Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berprilaku dan melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Secara umum, hak mempunyai 3 (tiga) unsur utama, yakni pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak, dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Setiap individu memiliki hak yang dalam penerapannya berada dalam ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitan dengan pemerolehan hak ini, paling tidak ada 2 (dua) teori yaitu teori McCloskey dan teori Joel Feinberg. Mc Closkey menyatakan bahwa pemberian hak adalah untuk dilakukan, dimiliki, dinikmati atau sudah dilakukan. Suatu hak penuh tidak perlu menentukan siapa yang menanggung beban untuk memungkinkan tersedianya hak itu dan suatu hak sering menimbulkan kewajiban serta pemberian hak merupakan seperangkat alasan yang kuat dan berakar serta eksis dalam diri manusia. Sementara Joel Feinberg menyatakan bahwa pemberian hak yang penuh merupakan kesatuan dari klaim yang absah (keuntungan yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan kewajiban). Dengan demikian, keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan hak bila disertai dengan pelaksanaan kewajiban. Berdasarkan teori tersebut perolehan hak harus diikuti dengan pelaksanaan kewajiban. Hal ini berarti bahwa antara hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya. Dalam terminologi Barat, Hak Asasi manusia semula dikenal dengan “right of man”, yang menggantikan istilah “natural right”. Istilah “right of man” ternyata tidak secara otomatis mengakomodasi pengertian yang mencakup “right of women”. Karena itu “right of man” diganti dengan istilah “human rights” oleh Eleanor Roosevelt yang dipandang lebih netral dan universal. Jan Materson dari Komisi HAM PBB, menyatakan dalam Teaching Human Rights, United Nations, bahwa “Human rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which can not live as human being ” (hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia). Lebih lanjut John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar atau sangat fundamental bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hal kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia. Dalam konteks Indonesia, definisi HAM termuat dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia Pasal (1) yang menyebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Dengan demikian menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM dalam rangka menjaga harkat dan martabat manusia menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer) bahkan negara. Kategorisasi Hak Asasi Manusia Bagir Manan membagi hak asasi manusia pada beberapa kategori yaitu: hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari hak diperlakukan sama di muka hukum, hak bebas dari kekerasan, hak khusus bagi kelompok anggota masyarakat tertentu, serta hak hidup dan kehidupan. Sementara, hak politik terdiri dari hak kebebasan berserikat dan berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan hak menyampaikan pendapat di muka umum. Hak ekonomi berkaitan dengan hak jamainan sosial, hak perlindungan kerja, hak perdagangan dan hak pembangunan berkelanjutan. Sedangkan hak sosial budaya berkenaan dengan hak memperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan, serta hak memperoleh perumahan dan pemukiman. Dalam Deklarasi Universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Rights) atau yang sering disingkat DUHAM, mengkategorisasikan HAM pada:
Hak personal, hak legal, hak sipil dan politik yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 21 dalam DUHAM tersebut memuat:
Sedangkan hak ekonomi, sosial dan budaya berdasarkan pernyataan DUHAM sebagai berikut:
Dalam UUD 1945, hak asasi manusia terdiri dari hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, hak kedudukan yang sama di dalam hukum, hak kekebasan berkumpul, hak kekebasan beragama, hak penghidupan yang layak, hak kebebasan berserikat dan hak memperoleh pengajaran atau pendidikan. Kemudian, secara operasional dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dinyatakan bahwa HAM dibagi pada beberapa jenis yaitu: 1). hak untuk hidup 2). hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan 3). hak mengembangkan diri 4). hak memperoleh keadilan 5). hak atas kebebasan pribadi 6). hak atas rasa aman 7). hak atas kesejahteraan 8). hak turut serta dalam pemerintahan 9). hak wanita, dan 10). hak anak . HAM sebagai Pilar Perwujudan Demokrasi Suasana kehidupan yang demokratis merupakan dambaan bagi umat manusia termasuk bangsa Indonesia. Oleh karenanya, demokrasi tidak saja menjadi gagasan yang utopis, melainkan sesuatu yang perlu diimplementasikan. Untuk mengukur suatu negara atau pemerintahan yang demokratis dapat dilihat dari 5 (lima) aspek. Pertama, masalah pembentukan negara. Proses pembentukan kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kualitas, watak dan pola hubungan yang akan terbangun. Agar kekuasaan bisa melayani kepentingan banyak pihak dan bersikap adil, maka sejak awal proses pembentukannya pun layaknya dilakukan secara terbuka dan tidak terbatas. Sementara ini, pelaksanaan pemilihan umum dapat dipercaya sebagai salah satu instrumen penting guna memungkinkan berlangsungnya suatu proses pembentukan pemerintahan yang baik. Namun masalahnya adalah “bagaimana hasil pemilu dapat mengkomposisikan penyelenggara kekuasaan yang bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat luas? Kedua, dasar kekuasaan negara atau berkaitan dengan konsep legitimasi kekuasaan serta pertanggungjawaban kekuasaan tersebut. Ketiga, susunan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dijalankan secara distributif untuk menghindari penumpukkan kekuasaan dalam “satu tangan”. Bagaimana memastikan bahwa “kekuasaan yang terbentuk” memiliki garis kekuasaan yang jelas, dan tidak berjalan di atas kemauan subyektif? Model kekuasaan ini tentu bukan model kekuasaan raja, yang tidak memiliki ukuran keadilan dan kepastian yang jelas. Model penyelenggaraan kekuasaan yang demikian tentu saja “menimbulkan masalah”, sebab raja tidak dipilih oleh masyarakat melalui pemilu. Keempat, masalah kontrol rakyat. Apakah dengan berbagai koridor tersebut sudah dengan sendirinya akan berjalan suatu proses yang memungkinkan terbangun sebuah relasi yang baik, yakni suatu relasi kuasa yang simetris, memiliki sambungan yang jelas, dan adanya mekanisme yang memungkinkan checks and balances terhadap kekuasaan yang dijalankan oleh eksekutif dan legislatif. Kelima, masalah hak asasi. Adanya kontrol yang efektif sudah tentu mengandaikan adanya suatu bentuk jaminan dan perlindungan bagi rakyat ketika hendak menjalankan fungsi tersebut Dalam konteks keterkaitan antara demokrasi dan penegakkan hak asasi manusia, Djuanda menjelaskan bahwa kehidupan demokratis dalam sebuah negara ditandai oleh beberapa hal, yakni: a). dinikmati dan dilaksanakannya hak serta kewajiban politik oleh masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip dasar HAM yang menjamin adanya kebebasan, kemerdekaan dan rasa merdeka b). penegakan hukum yang mewujud pada asas supremasi penegakan hukum (supremacy of law), kesamaan di depan hukum (equality before of law) dan jaminan terhadap HAM c). kesamaan hak dan kewajiban anggota masyarakat; d). kebebasan pers dan pers yang bertanggung jawab e). pengakuan terhadap hak minoritas f). pembuatan kebijakan negara yang berlandaskan pada asas pelayanan, pemberdayaan dan pencerdasan g). sistem kerja yang kooperatif dan kolaboratif h). keseimbangan dan keharmonisan i). tentara yang profesional sebagai kekuatan pertahanan j). lembaga peradilan yang independen Selain itu, sebuah negara yang dikatakan demokratis, setidaknya memiliki beberapa ciri antara lain: 1. adanya pemilu yang terbuka, tidak diskriminatif dan tidak memuat intimidasi, serta manipulasi. 2. adanya sistem hukum yang baik dan ditegakkan. 3. adanya mekanisme kontrol yang jelas dan terlindungi. 4. adanya perlindungan hak-hak asasi manusiaperlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak rakyat untuk ikut serta dalam pembentukan pemerintahan, dan prinsip partisipasi terbuka, tidak dengan sendirinya membuka jalan bagi suatu anarkhisme. Kriteria lain untuk menilai suatu negara demokratis disampaikan oleh Robert A. Dahl yang menyatakan 7 (tujuh) ciri negara demokrastis: 1. Pejabat yang dipilih 2. Pemilihan yang bebas dan fair 3. Hak pilih yang mencakup semua 4. Hak untuk menjadi calon suatu jabatan 5. Kebebasan pengungkapan diri secara lisan dan tulisan 6. Informasi alternatif 7. Kebebasan membentu asosiasi. *** Sebagai kata penutup, bahwa untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia tidak bisa mengabaikan penegakan Hak Asasi Manusia sebagai bagian yang inheren dalam proses demokrasi, karena penegakkan hak asasi manusia merupakan salah satu indikator tercipatanya negara yang demokratis. Dengan kata lain, jika dalam suatu negara belum mengapresiasi dan menegakkan hak-hak dasar manusia dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sesungguhnya negara tersebut masih berjalan pada demokrasi yang semu dan belum menapai demokrasi yang sebenarnya. Biblioghraphie Effendy, Bahtiar, Islam, Demokrasi dan HAM dalam Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, Yogyakarta: 2000. Gould, Carol C., Demokrasi Ditinjau Kembali, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1993 Howard, Rhoda E., HAM; Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2000 Jurnal Demokrasi & HAM, Vol 1. No. 3, Maret – Juni 2001, Jakarta: Institute for Democracy and Human Rights dan The Habibie Center Kamil, Sukron, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis, Jakarta: Gaya Media Prataman, 2002 Kumpulan Lengkap Perundangan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pustaka Yustusia, 2006 Madjid, Nurcholish, Membangun Oposisi Menjaga Momentum Demokratisasi, Jakarta: Voice Center Indonesia, 2000. Mahfudz MD., Moh., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gema Media, 1999 Sorensen, Georg, Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam sebuah Dunia yang Sedang Berubah, Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2003 Tim ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2003, edisi revisi Ciputat, Medio Mei 2006 |