Di Indonesia terdapat berbagai macam istilah kerjasama menurut adat istiadat daerah yaitu

(lihat gambar 1 di bawah ini).

Pada gambar di atas ini misalnya urutan dari yang tertua ke muda adalah dari kiri ke kanan, dalam hal ini a, g, o, u, A dan G dianggap tertua, sedangkan yang termuda adalah f, n, t , z, f, dan L pada tingkatan masing-masing, b, i , C adalah 'i opo ara' d, D dan J (ayah ego) adalah 'i opo ari', f, F dan I adalah 'i wawu a -kang; k, v, adalah 'i wawu ara' m, r, y, adalah 'i wawu ari sedangkan n, t, z, adalah 'i wawu hembo'

Istilah-istilah kekerabatan di qtas, mempunyai variasi-variasi tertentu pada setiap sub-suku-bangsa Sangihe dan Talaud.

Di samping itu, ada beberapa istilah dalam prinsip angkatan yang secara tegas membedakan angkatan-angkatan yang ada dalam sistim kekerabatan. Apabila ego dalam angkatan yang ada menempati angkatan O, maka istilah untuk angkatan 1 adalah gaghurang (orang tua); angkatan 2 ialth iupung (kakek). Angkatan -1 disebut ana' (anak); angkatan -2 disebut pulung su hiwa (anaknya anak atau cucu); angkatan -3 disebut pulung su wuku (anaknya anaknya anak atau buyut); angkatan -4 disebut pulung su wesi' (anak dari buyut); angkatan -5 disebut pulung su laede (cucunya buyut).

Tetapi, istilah di atas bagi orang Talaud menunjukkan suatu garis hubungan jauh dekatnya seseorang dari ego. Misalnya, untuk angkatan 1 dan 2 tetap disebut gaghurang dan iupung, sedangkan untuk dibedakan atas : ana' suhiwa berarti kandung, sedangkan anak dari saudara perempuan disebut ana' u wawine, dan anak dari saudara laki-laki disebut ana' u turanga.

Begitu halnya dengan istilah bagi anak ( cucu ), bila cucu tersebut adalah anak dari anak kandung

akan mereka disebut pulung su hiwa, tetapi jika itu merupakan anak dari anaknya saudara laki-laki atau perempuan, mereka disebut pulung su wuku ,atau jika itu adalah anak dari anaknya sepupu ,disebut pulung su laedo, meskipun mereka pada dasarnya menempati angkatan -2.

Demikian, setiap istilah dalan angkatan ini, juga mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda terhadap ego. Seorang pulung su hiwa pada prinsipnya mempunyai hak dan kewajiban yang lebih besar terhadap ego, dibandingkan dengan hak dan kewajiban dari pulung su wisi, dan pulung su wuku.

Dengan sistim istilah dalam prinsip angkatan di atas, seseorang dapat mengetahui dengan segera, dengan siapa dia boleh kawin dan dengan siapa pula mereka belum bisa atau dilarang untuk kawin.

Umumnya batas pemilihan jodoh adalah exogami dalam arti di luar batas hubungan pulung su wisi. Setiap orang yang masih mempunyai hubungan di dalam batas pulung su wisi bila kawin- mawin merupakan suatu pelanggaran adat.

B. DAUR HIDUP.

Masa hamil sampai dengan kelahiran dalam suatu keluarga merupakan suatu masa yang selain menggembirakan karena ini berarti akan bertambahnya anggota keluarga, juga merupakan suatu masa yang penuh dengan pantangan-pantangan yang harus ditaati serta keharusan yang mesti dilakukan, bukan hanya bagi si ibu yang hamil tetapi juga oleh suaminya.

Jika seorang ibu mulai merasa adanyn tanda-tanda kehamilan, ia segera memberitahukannya kepada suami serta semua kerabatnya. Dan pada masa pada

ini ia mulai menjalani Seberapa pantangan seperti : tidak boleh berjalan sendirian di siang hari, sedangkan dalam malam harinya tidak boleh keluar rumah. Kalau ia berjalan, apakah ia mau mencuci di pancuran, ia harus memakai tutup kepala ( kerundung ). Larangan diatas ini untuk menghindari gangguan dari roh-roh halus yang disebut puntiana yang suka mengganggu orang hamil. Larangan lainnya ialah, tidak boleh duduk didepan pintu, atau di tangga rumah, makan makanan tertentu yang menurut anggapan mereka hal ini dapat mempersulit kelahiran. Makan ikan yang mengandung banyak darah, melakukan pekerjaan yang bersifat membunuh, seperti memangkas pantangan yang tidak hanya ditaati oleh ibu, tetapi juga oleh si suami dari ibu yang hamil.

Tindakan ini menurut kepercayaan mereka bisa mengakibatkan hal-hal seperti terjadinya pendarahan yang banyak bagi ibu yang melahirkan, bahkan juga dapat mengakibatkan kematian bagi bayi atau ibunya.

Selain pantangan-pantangan yang dikemukakan di atas, ada juga pantangan-pantangan lainnya. Sedangkan pada masa hamil ini, si bu harus memeriksakan kesehatan tubuhnya kepada 'dukun beranak', pada saat mana oleh si dukun, ibu yang hamil ini diberi ramuan obat-obat dari akar-akaran dan daun untuk diminum atau diusap pada seluruh tubuh.

Menjelang hari-hari kelahiran, si suami sudah harus mengumpulkan kayu kering di halaman rumah, dengan kayu tersebut pada malam hari sesudah bayi dilahirkan, dibuat api unggun di halaman depan kamar yang dihuni oleh ibu dan bayi.

Api tersebut tidak boleh padam dan harus dinyalakan selama tujuh hari atau lebih, Selain itu,juga

disediakan kayu bakar untuk menjerang obat-obatan dan juga untuk memanaskan badan si ibu yang melahirkan.

Ibu yang melahirkan selamanya dibantu oleh dukun berunak. Pemotongan pusar si bayi yang bulunya dipotong dengan sebilah kulit bambu-disertai dengan penberian nama bagi si bayi. Nama ini diambil dari nama salah seorang kakek atau nenek moyang yang telah meninggal.

Dengan nama yang khas daerah, kemudian ditambah dengan baptis/sunat dan nama keluarga.

Pada saat kelahiran, keluarga ini mendapat kunjungan dari sanak kerabat. Dan pada tiap hari kunjungan diadakan pesta kecil-kecilan.

Sekarang, hampir tidak ada lagi masa-masa inisiasi bagi bayi yang dijalankan berdasarkan adat, selain upacara inisiasi berdasarkan agama yang dianut, seperti upacara baptis bagi golongan Kristen Protestan dan Katolik; upacara potong rambut dan sunatan bagi golongan Islam.

Masa menjelars remaja dilalui tanpa adanya inisiasi. Setiap anak, oleh orang tuanya, bahkan telah menjadi suatu kebiasaan inlah mulai diajar mengerjakan setiap pekerjaan dengan pembagian berdasarkan jenis kelamin. Demikian, anak-anak gadis, oleh para orang tuanya diserahi pekerjaan mengasuh adik-adiknya, mengerjakan pekerjaan wanita, memasak, menangkap ikan, sedangkan anak-anak laki-laki membantu orang tuanya berkebun dan menangkap ikan.

Masa remaja menanjak ke masa dewasa bagi para gadis dan pria, ditandai dengan mulai ikut sertanya mereka pada kegiatan-kegiatan umum seperti pada pesta-pesta adat, membantu keluarga yang menyelenggarakan sesuatu hajat dan kegiatan lainnya.

Dengan demikian, pada masa remaja inilah par anak gadis dan pria mulai dibiasakan untuk lebih aktif pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Dan pada kesempatan ini mereka mulai saling kenal mengenal, saling mencari dan mendekati calon teman hidupnya. Namun, setelah mereka sudah saling mengenal, maka pria yang terutama sebagai pengambil inisiatif mulai mencari orang ketiga yang akan menjadi perantara baginya dan gadis dimaksud. Dan orang ketign ini selamanya mempunyai hubungan kekerabatan baik dengan si pria maupun si gadis. Keadaan mana, bila telah terjadi persesuaian antara keduanya dilanjutkan dengan perkawinan.

Namun demikian, dalam pemilihan jodoh, ada yang diatur oleh orang tua-tua tanpa menghiraukan anak ada juga orang tua yang tinggal mengikuti kemauan si anak.

Orang Sangihe dan Talaud mengenal tiga bentuk perkawinan, masing-masing mepapangetude atau irangeng, mutingkaelo, dan metatalangnga.

  1. mepapangetude atau irangeng, merupakan salah satu upacara perkawinan yang dianggap ideal. Upacara ini terdiri atas tahap-tahap yaitu : tahap pertame adalah mengonong atau dumalenguwera (Pada fase ini pihak keluarga anak laki-laki mengirimkan seorang atau dua orang utusan untuk menyampaikan pinangan. Sesudah menyampaikan pinangan, utusan ini segera kembali ke pihak keluarga laki-laki. Mereka tidak perlu menunggu jawaben atas pinangannya. Sebab seringkali pihak keluarge laki-laki harus mengulangi pinangan ini sampai tiga kali.

Segera sesudah menerine utusan ini, pihak keluarga si gadis mengirimkan utusan kepada

keluarga anak laki-laki untuk ne nuleng konong (menyampaikan berita), apakah pinangan sudah diterima atau masih dipertimbangkan.

Dan biasanya, dengan jawaban bahwa pinangan masih dipertimbangkan, karena setiap pinangan tidak akan diterima begitu saja, upacara ini sudah dilanjutkan pada fase berikutnya ialah mo tahiawui atau mudalahoko (menuturkan asal usul keturunan). Pada fase ini orang tua keluarga bersama anggota kerabat yang tertua (biasanya kepala dari ruangana) datang kerumah keluarga si gadis. Upacara ini biasanya dihadiri oleh semua anggota kerabat dari kedua belah pihak. Kecuali untuk mengetahui mungkin tidaknya mereka bisa kawin dalam hal ini apakah sudah berada di luar batas kekerabatan (axogami pulung su wisi) (lihat halaman 46) maka maksud dari menuturkan asal usul keturunan ini adalsh untuk menentukan sampai sejouh mana mereka dinilai dengan garis keturunan.

Mengenai penilaian atas garis keturunan ini, dalam masyarakat dibagi atas tiga kategori bilangan, masing-masing Hoko walaumpulo, untuk keturunan para raja, Hoko limampulo, untuk keturunan bangsawan ( papung). dan Hoko talumpulo, untuk rakyat biasa. Setiap hoko ( nilai ) ini pun dibagi atas dua kriteria masing-masing : Hoko walaupulo dibagi atas hokowalumpulo matawa berarti mereka adalah keturunan raja, anaknya dan cucu raja, hoko walumpulo mahusu, untuk keturunan dari sepupu raja.

Hoko limampulo matawa bagi keturunan bangsawan yang kawin dengan bangsawan, hoko limampulo mahusu, bagi keturunan bangsawan yang sudah bercampur dengan rakyat biasa, hokotalumpulo matawa bagi keturunan bangsawan yang sudah kawin dengan rakyat biasa, terakhir hoko talumpulo mahusu, bu-


at turunan rakyat biasa.

Dengan diketahuinya asal-usul keturunan ini, peminangan dapat diterima dan juga bisa ditolak. Misainya, orang akan enggan menerima calon suaminya yang berada pada hoko talum pulo mahusu, jika ia sendiri berada pada hoko limampulo matawa. Sebab ini berarti ia turun derajat keturunannya.

Apabila pihak keluarga anak gadis, sesudah fase me tahi awui atau medalahoko, menerima pinangan, mereka segera mengirimkan kepada pihak keluarga laki-laki untuk menuleng kiawui (menerima pinangan secara resmi). Sesudah keluarga anak gadis mengirimkan utusannya kepada keluarga pihak laki-laki untuk menuleng kiawui (menyatakan hahwa pinangan tersebut telah diterima, lalu kedua pihak keluarga yang bersangkutan ini menentukan saat pertunangan.

Pertunangan ( mamuna u wera ) dilakukan di depan tua-tua adat, kepala desa dan pimpinan agama.

Di sini juga dibicarakan tentang sangsi bagi yang membatalkan pertunangan, berupa pembayaran uang tebusan bagi pihak yang diingkari. Dan lamanya pertunangan ini juga dibicarakan pada kesempatan tersebut.

Perkawinan( me papangentude) segera dilaksanakan apabila masa pertunangan telah berakhir, dan ini berarti kedua belah pihak telah siap untuk mengadakan upacara/pesta perkawinan. Biaya upacara ini selamanya ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan pembicaraan antara mereka. Kecuali itu, maka pihak keluarga laki - laki pada saat perkawinan (mas kawin) ini berujud tanah perkebunan, atau tanaman seperti kelapa,pala, sagu; juga selain mas kawin ini ada juga' pembe

rian atau barang antaran' yang disebut Lauru ini terdiri atas perabot rumah tangga bagi kedua calon pengantin.

Upacara/pesta perkawinan selamanya dilangsungkan baik di rumah keluarga pihak perempuan, juga di rumahnya pihak laki-laki, ada juga yang mengadakan pesta yang disatukan pada satu rumah dari salah satu pilak, atau juga diadakan di rummah salah seorang yang oleh kedua pihak masih di anggap sebagai anggota kerabatnya.

2. Mutingkaelo, merupakan salah satu bentuk kawinan yang dilakukan untuk menghindari segala persyaratan yang berlaku. Cara perkawinan ini sangat singkat, yaitu si lelaki, dengan sepengetahuan orang tuanya pada malam hari mendatangi rumah si gadis. Setibanya di rumah si gadis yang tentu saja mereka telah mempunyai hubungan - ia tidak langsung masuk ke rumah, melainkan duduk di pekarangan sampai kesiangan. Jika orang tua si gadis mendapatkannya duduk di pekarangan rumahnya, lalu ia menanyakan apa maksudnya sampai pada hari yang masih begitu pagi ia telah berada di pekarangan orang. Apabila si lelaki tadi telah menjelaskan maksudnya, maka keluarga si gadis langsung membicarakan perkawinan dengan keluarga si lelaki tadi demi menjaga nama baik dari kedua belah pihak. Sebab, kalau keadaan ini dibiarkan begitu saja oleh keluarga si gadis, hal ini akan menjadi pembicaraan dan buah mulut orang dalam desa. Perkawinan dengan cara ini dilakukan tanpa syarat-syarat seperti adanya mas kawin, juga tidak melalui prosedur seperti pada perkawinan yang dijelaskan di atas.

3. Matalanga, atau kawin lari. Cara ini dilakukan oleh anak lelaki dan gadis yang telah saling

mencintai namun mendapat tantangan dari pihak keluarganya. Ada juga yang melakukannya dengan cara lari ke desa tetangga, atau ke ladang, kemudian menetap selang beberapa hari sampai ada anggota keluarga atau kerabat si gadis yang datang mencarinya.

Setelah melalui cara ini, keduanya dikawinkan tanpa melakuken syarat-syarat sebagaimana lazimnya. Perkawinanpun dilakulan tanpa suatu pesta.

Dalam kehidupan sehari-hari, bila ada anggota mesyarakat yang meninggal, maka kematiannya ini dapat diketahui oleh orang dalam desa melalui bunyi lonceng, atau gong. Atau para kerabat dari yang berdukacita ini segera menghubungi semua sanak sauderanya, Upacara penguburan, dijalankan sesuai dengan keyakinan dari yang simati. Demikian, jika in beragama Kristen maka upacara penguburannya dilakukan berdasarkan upacara keagamaan. Dalam kedukaan ini memperoleh bantuan dari warga desa, di mana setiap warga desa membawa bahan yang dibutuhkan, seperti bahan makanan ; sedangkan selama upacara berkabung, sampai tiga hari lamanya kelunrga yang berduka tidak boleh memasak. Untuk urusan ini dikerjakan oleh sanak saudara yang datang membantu.

Sejak hari kematian, semua anggota keluarga yang berkabung mengenakan baju yang berwarna hitam disertai dengan ikat kepala dari kain hitam juga. Ikat kepala mana nanti ditanggalkan sesudah tiga hari, sedangkan baju hitam tetap dikenakan sampai selams enpat puluh hari, seratus hari atau lebih, sesusi dengan keinginan dari anggota keluarga tadi.

C. SISTIM KESATUAN HIDUP SETEMPAT.

Wanua atau kampung (desa) merupakan kesa

tuan hidup yang terkecil yang ada di kepulauan Sangihe dan Talaud. Setiap wanua atau kampung (desa) dikepalai oleh seorang yang memegang pemerentahan dan disebut Kepala kampung atau Opolao atau juga yang dinamakan Kapiten Laut.

Opolao atau Kapiten Laut, dibantu oleh beberapa stafnya antara lain, Kapita (wakil kepala kampung), Juru-tulis dan Meweteng. Sedangkan di bidang adat, kecuali di beberapa tempat juga dirangkap oleh Ono-lao, terdapat satu dewan yang dikepalai oleh Ratumbanua (kepala adat) Inanggu wanua, dan Timadu ruanganna, (kepala-kepala kelompok kekerabatan) Mereka inilah yang mengurusi segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara-upacara adat sehubungan dengan aktivitas mata pencaharian hidup, dan upacara-upacera sepanjang daur hidup setiap warga desa.

Dalam struktur pemerintahan sekarang, maka daerah kepulauan Sangihe dan Talaud merupakan satu 'daerah tingkat dua atau kabupaten' yang dikepalai oleh seorang Bupati kepala daerah.

Daerah tingkat dua ini meliputi 16 ( enambelas ) kecematan ditembah dua kecamatan Border Crossing (Miangas dan Marore). Enam belas kecamatan ini meliputi kurang lebih 210 (duaratus sepuluh) desa.

Dalam hubungannya dengan adat-istiadat, maka bupati kepala daerah, selain merupakan figur pemerintah yang membawahi daerah, ia juga merupakan tokoh atau kepala adat ditingkat kabupaten, sedangkan di tingkat kecamatan ialah camat yang merangkap jabatan adat ini.

Dalam kehidupan masyarakat yang ada dilingkungan wanua,seperti telah diuraikan pada bagian-bagian di atas, menunjukkan adanya aktivitas kerjasama yang menonjol, baik antar anggota kelompok

kekerabatan, antara warga desa, maupun antara desa dengan desa. Kegiatan kerjasama ini jelas nampak dalam beberapa lapangan mata pencaharian hidup, seperti dalam bercocok tanam, menangkap ikan, berburu; maupun pada aktivitas hidup laimnya seperti pada mendirikan rumah, mengadakan sesuatu hajat berupa pesta perkawinan, selamatan, dan terlebih jika ada kematian.

Suatu istilah mengenai kerjasama ini agak sulit untuk ditentukan karena setiap aktivitas kerjasama ini mempunyai nama sendiri-sendiri. Misalnya dalam lapangan pertanian dikenal istilah: ma'aliu (gotong royong), makitowang, manabba (untuk lapangan berburu), matawanga, madarumatinga dan mahampuge juga merupakan manifestasi dari jiwa gotong royong yang sekaligus merupakan tanda turut berduka cita jika ada kematian.

D. STRATIFTKASI SOSIAL.

Pada beberapa puluh tahun yang silam, dan juga hingga kini masih terasa, ialah adanya penggolongan anggota masyarakat dalam beberapa lapisan, yaitu : Lapisan yang teratas adalah Papung (papunna) atau bangsawan, kemudian disusul oleh yang kedua ialah rakyat biasa, sedangkan lapisan ketiga dan dianggap sebagai lapisan terbawah disebut allongnga atau golongan budak.

Walaupun dalam kehidupan sehari-hari penegasan antara golongan-golongan di atas tidak lagi setegas dahulu, namun hal ini masih nampak dalam perkawinan, dengan adanya penilaian terhadap seseorang berdasarkan keturunan (modalahoko).

Sistim stratifikasi di atAs kini mulai digantikan dengan adanya golongan-golongan terpelajar yang ada dan bekerja di desa, seperti guru ,

pimpinan-pimpinan gereja dan pemerintah dalam desa, yang menggeser kedudukan dan menggantikan golongan bangsawan sebagai warga lapisan teratas dalam masyarakat.

Kecuali itu, golongan ketiga (golongan budak ) sudah tidak ada lagi. Dan dengan demikian sistim pelapisan yang ada sekarang tinggal terbagi atas dua bagian, masing-masing golongan terpelajar dan pimpinan menempati tempat teratas; dan tempat kedua (bawah) ditempati oieh petani/nelayan.

Munculnya petani-petani yang memiliki tanah dan perkebunan, menunjukkan adanya gejala bahwa mereka akan merupakan suatu golongan yang baru dan berada di antara kedua golongan di atas.

A. PEFATAH-PEPATAH.

Seni sastra lisan orang Sangihe dan Taloudyang dapat dikemukakan di sini,yaitu seni sastra lisan yang disebut Sasalamate, Papantung, Bawio ,Sasahara, dan Papinintu.

  1. Sasalamate adalah syair yang isi dan maksudnya merupakan suatu doa pemberian/permohonan berkat atas sesuatu usaha, baik bersifat pribadi, maupun umum. Sasalimte, merupakan suatu syair yang dapat digolongkan kepada syair suci, karena hanya diucapkan pada setiap upacara adat, misalnya pada pesta perkawinan.
  2. Papantung, atau pantun, Jenis-jenis pantung yang dikenal ialah pantun percintaan, pantun nasihat dan pantun jenaka.

  1. Bawio, atau teka-teki.
  2. Sasahara, atau bahasa pantang. Bahasa pantang ini biasanya dipakai oleh para pelaut, nelayan dan sering juga dipakai oleh para petani serta mereka yang melakukan kegiatan berburu. Dalam bahasa pantang ini sesuatu benda atau apa saja tidak disebut dengan nama biasa (asli) tetapi dengan nama kiasan. Misalnya :

Bahasa Sasahara Bahasa sehari-hari Bahasa Indonesia
- Dalending (alat pendingin). Ake Air
- Mahenbuang (yang menggonggong. Asu Anjing
- Maembekang (yang mengembik) Ambingnga Kambing
- Maengkerongang Sawallo Kilat.

  1. Papinintu, atau ibarat (peribahasa).

    Contohnya : - Kere medalombong bitung - seperti pengapungan buah pohon buton. Artinya : Hidup yang sebentar naik sebentar turun (timbul tenggelam).

Selain pantun-pantun, peribahasa, syair dan bahasa pantang, ada juga sejenis sajak yang dilagukan dan ini sangat terkenal, baik dilagukan dalam aktivitas bercocok tanam, berlayar, menidurkan enak dan lain sebagainya.

Syair yang dinyanyikan ini disebut sasambo. Beberapa contoh sasambo yang dapat dikemukakan antara lain :

  1. Kapiang balang Siau. Pineburakengkeng dingkaleng. Yang berarti : Keindahan lembah Siau di

jaman dahulu, sewaktu Siau masih merupakan suatu kerajaan. Hampir semua putera-putera raja berebutan dan beristerikan puteri-puteri Siau.

  1. Kapiang bulang limangu, nebawa wituing lawo. Artinya : Keindahan cahaya purnama, melebih cahaya semua tata surya. Sasambo ini mempunyai arti kiasan yang isinya memuji raja atau pimpinan yang berwibawa, dan oleh kewibawaannya ia nampak agung di mata rakyat.

Sasambo yang biasa diucapkan sewaktu menanam padi antara lain berbunyi sebagai berikut :

Kaliomaneng metowo, gagbalo medaukalu = sembahyang di panjat semoga direstui niat disetujui.

Emme tendang pakapia, su entana matawa = padi bertumbuh baik, di tanah gemuk.

Tegi neberang bewene, mengasi eng sangkalurang = Elang beriringan, pertanda panen yang berhasil.

Demikian beberapa contoh dari ungkapsn-ungkapan yang masih sempat dicatat dalam penelitian yang relatif singkat tadi. Dari beberapa penulisan dan petunjuk yang ada memberikan. suatu gambaran akan adanya dan begitu banyaknya seni sastra lisan yang dimiliki oleh orang Sangihe dan Talaud, Dan suatu penelitian yang lebih khusus dan mendalam sangatlah diperlukan untuk menginventarisasi serta menganalisanya.