Cerita singkat tentang berbaik sangka kepada teman

Indahnya Berprasangka Baik


Dua orang laki-laki bersaudara bekerja pada sebuah pabrik kecap dan sama-sama tekun belajar Islam. Sama-sama mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka acap kali harus berjalan kaki untuk sampai ke rumah guru pengakiannya. Jaraknya sekitar 10 km dari rumah peninggalan orangtua mereka.

Suatu ketika sang kakak berdo’a memohon rejeki untuk membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya, bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaan tempatnya bekerja. Lalu sang kakak berdo’a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik akhlaknya.

Kemudian berturut-turut sang kakak berdo’a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain. Dengan itikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do’anya itu. Sementara itu, sang adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orangtuanya yang dulu dia tempati bersama dengan kakaknya. Namun karena kakaknya sangat sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang adik sering kali harus berjalan kaki untuk mengaji ke rumah guru mereka.

Suatu saat sang kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya. Dia dia teringat bahwa adiknya selalu membaca selembar kertas saat dia berdo’a, menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan untuk berdo’a. Lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo’a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do’a-do’anya tiada dikabulkan oleh Allah azza wa jalla.

Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu. Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya sang adik itu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do’anya tak pernah terkabul.

Sang kakak membereskan rumah peninggalan orangtuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya yang berisi tulisan do’a, diantaranya Al-Fatihah, shalawat, do’a untuk guru mereka, do’a selamat, dan ada kalimah di akhir do’anya : “Ya, Allah. Tiada sesuatu pun yang luput dari pengetahuanMu. Ampunilah aku dan kakakku. Kabulkanlah segala do’a kakakku. Bersihkanlah hatiku dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku di dunia dan akhirat.”

Sang kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya, tak dinyana ternyata adiknya tak pernah sekalipun berdo’a untuk memenuhi nafsu duniawinya.

Bila masih menduga bahwa nasib ukhrawi kita; entah surga atau neraka, tergantung pada amal perbuatan, berarti kita masih terjebak dalam kepercayaan pada amal. Itu juga bermakna bahwa kita berada di tingkat spiritual yang tidak tinggi. Porsi amal dan ibadah lahir kita semasa hidup, tak ubahnya bagai puluhan anak tangga yang dijalani setapak demi setapak. 


Adapun untuk mencapai taman akhirat (surga) dibutuhkan melewati sekian puluh ribu anak tangga lagi, dan di situlah hak prerogatif Tuhan. Lalu, masihkah percaya bahwa surga dan neraka tergantung amal? Seharusnya tidak lagi. Bahkan, baginda nabi sang insan paripurna pun dengan tegas mengatakan bahwa amalnya tak mampu menjamin keselamatan dirinya.


Hal itu, bukan karena amal nabi hanya selebar daun kelor, tidak begitu. Melainkan sedang mengajarkan umatnya bahwa seorang hamba tidak boleh mengandalkan amalnya. Selain juga, agar umatnya tak lancang mengambil alih hak prerogatif Tuhan dengan mengklaim surga-neraka berdasarkan amal mereka. Jelas kacau-balau kehidupan makhluk bumi bila kedua tempat abadi ini bisa diklaim sendiri.


Kemudian, jika ada yang heran dan bertanya, bukankah husnuzhzhan kepada Allah merupakan sebentuk ibadah? Lalu, mengapa bertebaran kisah-kisah orang selamat hanya dengan mengandalkan baik sangkanya kepada Allah? Apa gerangan di balik itu semua?    Jawabannya sederhana, karena husnuzhzhan kepada-Nya sejatinya adalah lantunan doa, secuil permohonan sang hamba kepada Tuhannya. Dan, adakah yang salah dari mengandalkan doa? Alhasil, Allah menyelamatkan hamba tersebut tentu bukan karena amalnya. Tetapi, karena Dzat sang pengabul doa sedang mengabulkan doa hambanya. Dalam teori linguistik Arab, ini dikenal dengan khabariyah lafzh(an) wa insyaiyyah ma’n(an) (sebuah kalam yang menggunakan redaksi informatif, namun menyimpan makna tanya, perintah atau doa).


Syekh Ibnu Abid Dunya, dalam kitab Husnuzhzhan Billah banyak mengutip kisah-kisah orang yang baik nasib ukhrawinya lantaran berbaik sangka kepada Allah swt. Imam Muhammad Ibnu Sirin, salah satunya. Ia termasuk ulama yang difasilitasi dengan mewah di taman firdaus sana, karena husnuzhzhan-nya yang teramat tinggi kepada Allah. Sampai-sampai, Ibnu ‘Aun menyampaikan pujian yang indah tentang Ibnu Sirin. Ia berkata:


مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَأَعْظَمَ رَجَاءً لِهَذِهِ الأُمَّةِ مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِرِيْن وَأَشَدَّ خَوْفًا عَلى نَفْسِهِ مِنْهُ


Artinya, “Saya tak pernah menjumpai seseorang yang teramat besar harapnya,sekaligus juga rasa takutnya daripada Muhammad Ibnu Sirin.” (Husnuzhzhan Billah karya Ibnu Abi ad-Dunya [hal. 31, poin ke-99])


Semukabalah dengan Ibnu Sirin, adalah Malik bin Dinar, seorang ulama abad kedua Hijriah-yang wafat bertepatan dengan tahun 748 M-yang gigih bertolak dari tanah kelahirannya di kota Kufah, menuju negeri India demi menyebarkan agama baginda nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Konon, sepeninggal Imam Malik bin Dinar, seorang bernama Suhail-saudaranya Hazam al-Qith’i-bercerita bahwa ia pernah bertemu Malik bin Dinar dalam mimpinya. Di alam bawah sadarnya itu ia bertanya:


يَا أَبَا يَحْيَى لَيْتَ شِعْرِيْ مَاذَا قَدِمْتَ بِهِ عَلى عَزَّ وَجَلَّ؟ 


Artinya, “Wahai Abu Yahya (nama kunyah Malik bin Dinar), aku takjub luar biasa melihatmu dalam kondisi demikian berseri indah, apa yang telah kaupersiapkan menghadap Allah?”


Tanya Suhail dalam kondisi terpaku bengong keheranan. Lalu, imam Malik bin Dinar menjawab:


قَدِمْتُ بِذُنُوْبٍ كَثِيْرَةٍ مَحَاهَا عَنِّي حُسْنُ الظَّنِّ بِاللهِ


Artinya, “Aku datang membawa gelimang dosa yang tidak sedikit. Namun, itu semua habis terbayar kontan oleh baik sangkaku kepada Allah.”(Husnuzhzhan Billah karya Ibnu Abi ad-Dunya [hal. 8, poin ke-7])


Tak habis pikir, bagaimana jika ganjaran berbaik sangka kepada Allah itu diperlihatkan, tak perlu lama, cukup sedetik saja atau bahkan kurang. Barang kali, sedetik pun bibir ini tak akan pernah berhenti semringah, atau mungkin mata ini akan terus menangis bahagia tanpa henti. Lantaran sebegitu tegas anjuran husnuzhzhan billah tersebut. Melalui sebuah Hadist riwayat sahabat Jabir, mungkin kita bisa rasakan sendiri bagaimana kegetolan nabi saat menganjurkan umatnya agar berbaik sangka kepada Allah. Di sana, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


لَا يَمُوْتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنَّ قَوْمًا قَدْ أَرْدَاهُمْ سُوْءُ ظِنِّهِمْ بِاللهِ. فَقَالَ لَهُمْ: وَذَالِكُمْ ظَنَّكُمْ الَّذِيْ ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ


Artinya, “Jangan pernah rela maut meregang nyawamu kecuali kau telah berbaik sangka kepada Allah ‘azza wa jalla, mengingat, ada satu kaum yang telah diluluhlantakkan-Nya karena prasangka buruk mereka kepada Tuhannya. Kemudian, nabi membacakan surah Fusshilat ayat 23 berikut-yang artinya-‘Dan, itulah dugaanmu yang telah kamu sangkakan terhadap Tuhanmu, dugaan itu telah membinasakanmu, sehingga jadilah kamu termasuk orang yang rugi’.” (kitab Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal [juz 32, hal. 373 dalam hadist ke-15197]).


Jelas ‘bukan main’, kala Allah mengancam hamba-Nya yang berprasangka buruk terhadap-Nya dengan ancaman-ancaman yang tak sepele.


Dahulu, ada seorang bernama Zaid. Suatu ketika, ia berkisah bahwa dirinya pernah bermimpi bertemu Hausyab, sahabatnya yang sudah lebih dahulu bertemu Mungkar-Nakir itu di saat ia hanya sebatas mengenal namanya. Dalam mimpi tersebut, si Zaid sempat bertanya bagaimana nian kabar sahabatnya selama ini. ‘Hidupku kini penuh kesuksesan dan keberuntungan’, jawab Hausyab singkat diikuti senyumnya yang lebar. Karena terkesima dengan keberuntungan Abu Bisyr-nama kunyah Hausyab-ia pun sepontan meminta nasehat agar bisa mendapatkan keberuntungan serupa. Kemudian, Hausyab berpesan:


عَلَيْكَ بِمَجَالِسِ الذِّكْرِ وَحُسْنِ الظَّنِّ بِمَوْلَاكَ فَكَفَى بِهِمَا خَيْرًا


Artinya, “Kamu tidak boleh lepas dari majelis zikir (baik zikir hati maupun pengetahuan) dan berbaik sangka kepada Allah, cukuplah dua hal itu untuk keberuntungan juga kesuksesanmu.”(Husnuzhzhan Billah karya Ibnu Abi ad-Dunya [hal. 8, poin ke-8])


Lalu, Abu Bisyr pun berlalu, hilang ditelan cahaya.


Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan gubahan syair Abu ‘Imran as-Sulami yang dikutip Ibnu Abi ad-Dunya dalam Husnuzhzhan Billah-nya (hal. 34, poin ke-114). Waktu itu, kebetulan sedang mendendangkannya kepada Abu Ali al-Husein bin Abdirrahman. Berikut liriknya:


وَإِنِّي لَآتِي الذَّنْبَ أَعْرِفُ قَدْرَهُ # وَأَعْلَمُ أَنَّ اللهَ يَعْفُوْ وَيَغْفِرُ


لَئِنْ عَظَّمَ النَّاسُ الذُّنُوْبَ فَإِنَّهَا # وَإِنْ عَظُمَتْ فِي رَحْمَةِ اللهِ تَصْغُرُ


Artinya, “Sungguh, diriku kian kemari selalu mengukir dosa yang terus kuhitung banyaknya # Tetapi, aku sangat yakin, sebanyak apapun itu Allah pasti maafkan dan ampuni.”


“Bahkan, jika pun manusia terus menambah durhakanya detik demi detik, tanpa henti # tetaplah hanya secuil di hadapan kasih sayang-Nya yang hangat bagai mentari.” Semoga bermanfaat.


Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumnus Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.