Cara mengikhlaskan hutang orang yang sudah meninggal

Cara mengikhlaskan hutang orang yang sudah meninggal

Bagaimana Cara Menagih Hutang Kepada Orang yang Sudah Meninggal, Gus Baha Lakukan Hal ini. /*/Tangkap layar @kajian.gusbaha

MANTRA SUKABUMI - Persoalan hutang tentunya bukan hal yang sepele bahkan akan dipertanggung jawabkan dunia dan akherat, sehingga dalam penjelasannya Gus Baha menjelaskan bahwa orang meninggal pun harus ditagih apabila mempunya hutang.

Kadang kala masyarakat menganggap bahwa ketika menagih hutang kepada keluarga yang meninggal dianggap tidak wajar, padahal itu sebuah kewajiban, Gus Baha memberikan solusi dalam ceramahnya

Karena ketika orang meninggal lalu masih memiliki hutang maka akan dihukum di akherat nanti ketika belum dilunasi atau tidak ada kesepakatan untuk melunasi, menurut Gus Baha bicarakan terlebih dahulu kepada keluarganya.

Baca Juga: Bukan Assalamualaikum, Kata Gus Baha Ucapkan Doa ini saat Masuk Rumah dan Tak Ada Siapa pun di Sana

Dalam kajiannya Gus Baha membahas realita yang ada pada masyarakat jawa dalam memahami masalah utang pituang khusunya kepada orang yang sudah meninggal.

Gus Baha menyarankan bahwa apabila hutangnya berjumlah sedikt maka lebih baik di ikhlaskan, selain memudahkan pertanggung jawaban orang yang meninggal di sisi lain kita akan mendapatkan pahala Shodaqoh.

"Makanya kalau adat di Kyai Jawa itu kalau ada orang meninggal dilepaskan mesti yang punya hutang disuruh mengikhlaskan," ucap Gus Baha seperti yang dikutip mantrasukabumi.com dari video yang dilihat di kanal YouTube Ngaji Online pada Jumat 10 Desember 2021.

"Atau jika jumlahnya banyak diminta ke pewaris," katanya.

Dalam tradisi Jawa, banyak orang yang dihutangi akan meminta ke keluarga sesudah beberapa saat.

Cara mengikhlaskan hutang orang yang sudah meninggal

Hutang yang Diikhlaskan Harus Dibicarakan, Begini Penjelasan Ustadz Adi Hidayat. /Tangkap Layar YouTube Majlis Islami

PortalJember.com - Hutang pada hakikatnya adalah wajib untuk dibayar.

Sampai orang yang memberikan pinjaman meninggal dunia, orang yang meminjam tetap memiliki kewajiban untuk membayar hutang tersebut.

Namun, ada suatu sebab di mana orang yang memiliki hutang tidak harus membayarkan hutangnya lagi.

Baca Juga: Bukan Kupu-kupu, Ini Hewan yang Bila Masuk Rumah jadi Berkah dan Tanda Ridho Allah Turun Kata Syekh Ali Jaber

Hal tersebut bisa terjadi ketika orang yang memberikan pinjaman telah mengikhlaskannya.

Akan tetapi, ketika seseorang mengikhlaskan hutang apakah harus dibicarakan dengan orang yang bersangkutan atau tidak?

Dikutip PortalJember.com dari kanal YouTube Majlis Islami yang diunggah pada 18 Februari 2020, berikut penjelasan Ustadz Adi Hidayat tentang mengikhlaskan hutang.

Baca Juga: Tips Mengecilkan Perut Buncit ala dr. Reisa Broto Asmoro, Cukup Hindari 3 Hal Ini agar Lemak Perut Rontok

Utang piutang memang rentan menimbulkan permasalahan. Bahkan termasuk utang dari orang yang sudah meninggal dunia. Salah satunya ialah utang yang sudah disebut diikhlaskan tapi belakangan ditagih kembali.

Seperti misalnya contoh kasus di bawah ini:

Tahun 2017, ayah saya meninggal dunia dan meninggalkan utang kepada paman saya. Paman saya sudah menyatakan mengikhlaskan. Namun, minggu lalu, paman saya datang untuk menagih utang yang katanya milik ayah saya dengan nilai fantastis sampai Rp 1 miliar. Apa yang harus saya lakukan? Karena paman saya waktu itu sudah mengikhlaskan dan nilai utang Rp 1 miliar tidak jelas dari mana.

Berikut jawaban Alfred Nobel Sugio Hartono, S.H., M.Hum. (Managing Partners Law Firm Alfred Nobel SH & Partners), pengacara yang tergabung dalam Justika:

Sebelumnya, saya turut prihatin atas masalah yang menimpa Saudara mengenai permasalahan utang piutang antara almarhum ayah Saudara dan paman.

Dalam hal ini, tidak dijelaskan saat paman Saudara memberikan pernyataan telah membebaskan semua utang milik almarhum ayah Saudara apakah secara lisan atau secara tertulis.

com-Ilustrasi penghitungan utang Foto: Shutterstock

Apabila dinyatakan secara lisan, perlu diperjelas lagi, apakah saat memberikan pernyataan lisan, ada saksi yang mendengar dan melihat langsung pernyataan dari paman Saudara. Baik dari pihak paman Saudara maupun pihak dari almarhum ayah Saudara.

Apabila dinyatakan dengan tulisan, perlu dibuktikan dengan perjanjian tertulis atau menggunakan komunikasi elektronik yang dapat dibuktikan secara tertulis (WhatsApp/SMS/LINE/Telegram, dll).

Mengenai jumlah utang senilai Rp 1 miliar, perlu ditegaskan kembali apakah ada perjanjian tertulis antara paman Saudara dan almarhum ayah Saudara semasa hidupnya.

Saat ini yang bisa dilakukan oleh Saudara apabila paman Saudara tidak dapat membuktikan perjanjian tertulis mengenai utang almarhum ayah Saudara, menurut saya langkah yang dapat diambil oleh Saudara untuk melakukan perlindungan hukum terhadap diri Saudara yaitu:

Jika pernyataan pembebasan utang yang sudah dinyatakan secara benar dan sadar oleh paman saudara tiba-tiba dianulir sendiri oleh paman Saudara, lalu paman Saudara mengeklaim bahwa almarhum ayah Saudara mempunyai utang senilai Rp 1 miliar dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka paman Saudara diduga melakukan suatu kebohongan dan pencemaran nama baik. Adapun tindakan tersebut dapat dijerat dengan pasal sebagai berikut :

Pasal 390 KUHP, Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (UU 1/1946), Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Adapun penjelasan pasal-pasalnya sebagai berikut:

  • Jerat Pasal Untuk Kebohongan:

Pasal 390 KUHP dengan rumusan yang sedikit berbeda mengatakan:

"Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan".

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 mengatakan:

Ayat (1) "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun".

Ayat (2) "Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun".

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 mengatakan:

"Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi tingginya dua tahun".

Pasal 27 Ayat 1 UU ITE mengatakan:

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".

Kebohongan melalui media elektronik bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan karena bertentangan dengan norma kesusilaan yang berlaku di masyarakat.

Ancaman pidana bagi yang melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE diatur dalam Pasal 45 ayat 1 UU ITE sebagai berikut:

"Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".

  • Jerat Pasal Untuk Pencemaran Nama Baik

com-Ilustrasi utang. Foto: Shutterstock

Pasal 310 ayat 1 dan 2 KUHP mengatakan:

Ayat (1) "Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

Ayat (2) "Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Pasal 27 Ayat 3 UU ITE mengatakan:

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik".

Ancaman pidana bagi orang yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini diatur dalam Pasal 45 ayat 3 UU ITE, sebagai berikut:

"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)".

Pasal-pasal tersebut di atas dapat digunakan sebagai dasar laporan sebagai bentuk pembelaan apabila Saudara ingin melaporkan tindakan paman Saudara kepada pihak berwajib yang tujuannya bermaksud untuk menjelek-jelekan keluarga Saudara dengan menggunakan berita atau cerita bohong serta fitnah.

Artikel ini merupakan kerja sama kumparan dan Justika