Berikut ini yang tidak termasuk objek Pajak Bumi dan BANGUNAN sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 1985

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (2)

SESUAI dengan namanya, pajak bumi dan bangunan (PBB) merupakan pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan. Namun, apakah yang sebenarnya dimaksud dengan bumi dan bangunan? Apakah jenis pajak ini dikenakan terhadap setiap benda yang termasuk dalam kategori tersebut atau ada pengecualiannya? Jika iya, apa faktor yang membedakannya? Berikut penjelasannya.

Objek yang Dikenakan PBB
KETENTUAN mengenai objek yang dikenakan PBB secara umum tercantum dalam dua peraturan, yaitu pertama Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) untuk yang dipungut pemerintah pusat. Kedua, Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) untuk pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) yang dipungut pemerintah daerah.

Untuk objek PBB yang merupakan wewenang pemerintah pusat, Pasal 2 ayat (1) UU PBB hanya menetapkan yang merupakan objek PBB dalam lingkup pusat adalah bumi dan/atau bangunan. Namun, apa yang sebenarnya dimaksud dengan bumi dan bangunan dalam lingkup ini?

Pada ruang lingkup PBB pusat, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU PBB, yang dimaksud dengan bumi meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam permukaan bumi dan tubuh bumi termasuk yang berada di bawahnya seperti tanah, sawah, dan tambang.

Kemudian, bangunan dalam lingkup PBB pusat diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU PBB, yaitu segala sesuatu yang merupakan konstruksi teknik. Konstruksi yang dimaksud juga meliputi segala konstruksi yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan seperti jalan tol, dermaga, tempat penampungan/kilang minyak, pipa minyak, serta fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Sementara untuk PBB dalam lingkup daerah, Pasal 1 angka 37 UU PDRD menyatakan PBB-P2 dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan. Namun, hal ini dikecualikan untuk kawasan yang digunakan untuk usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan karena bukan merupakan wewenang daerah.

Tak jauh berbeda dengan UU PBB, Pasal 1 angka 38 UU PDRD mendefinisikan bumi sebagai permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut di wilayah kabupaten/kota. Sementara bagunan didefinisikan dalam Pasal 1 angka 39 sebagai konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaam dan/atau laut.

Klasifikasi Objek PBB
ADAPUN terkait dengan objek PBB yang dipungut pemerintah pusat, Penjelasan Pasal 2 UU PBB menguraikan secara lebih jelas mengenai klasifikasi objek pajak bumi dan bangunan yang merupakan objek PBB.

Sesuai dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (2), klasifikasi bumi dan bangunan dalam lingkup PBB pusat adalah pengelompokan bumi dan bangunan dengan didasarkan pada nilai jualnya sebagai pedoman pengklasifikasian objek PBB. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan penghitungan pajak yang terhutang atas objek tersebut.

Selanjutnya, Penjelasan Pasal 2 ayat (2) menetapkan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan klasifikasi bumi yang merupakan objek PBB pusat, yaitu letak, peruntukan, pemanfaatan, kondisi lingkungan, dan lainnya. Pendoman pengelompokan ini berlaku untuk setiap bumi/tanah, baik yang berada di permukaan bumi maupun di dalamnya.

Selain itu, Penjelasan Pasal 2 ayat (2) juga menetapkan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam mengklasifikasikan objek pajak bangunan, yaitu bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan, dan lainnya.

Untuk lebih jelasnya, pengklasifikasian objek PBB ini diatur secara lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 186 /PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PMK 186/2019).

UU PDRD tidak mengatur secara jelas mengenai ketentuan pengklasifikasian objek pajak bumi maupun bangunan dalam lingkup PBB-P2. Pada Pasal 77 ayat (2) hanya disebutkan yang termasuk sebagai bangunan dalam lingkup PBB-P2 ini seperti jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal, dermaga, taman mewah dan lainnya.

Pengecualian
SELAIN objek pajak yang merupakan objek PBB, baik UU PBB maupun UU PDRD, juga mengatur mengenai objek apa saja yang dikecualikan dari pengenaan PBB. PBB pada tingkat pusat mengacu pada ketentuan Pasal 3 UU PBB. Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah setiap objek pajak yang digunakan untuk melayani kepentingan umum.

Adapun kepentingan umum yang dimaksud meliputi pelayanan di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional. Oleh karena itu itu dapat dikatakan yang termasuk dalam kategori ini adalah objek pajak yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

Selain itu, jenis objek pajak lain yang juga dikecualikan dari pengenaan PBB ini adalah yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenisnya dengan itu. Ada juga hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

Selanjutnya, jenis objek pajak lainnya juga dapat dikecualikan dari pengenaan PBB ini, seperti yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. Hal ini juga termasuk objek pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.

Selain itu, objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan juga dapat dikecualikan dari pungutan PBB pusat. Untuk penentuan pengenaan pajaknya diatur secara lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Tak jauh berbeda dengan PBB dalam lingkup pusat, objek pajak yang tidak dikenakan PBB-P2 berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UU PDRD juga meliputi objek pajak yang digunakan oleh pemerintah dan daerah. Penggunaan objek pajak itu untuk penyelenggaraan pemerintahan serta yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum seperti di bidang ibadah, sosial, kebudayaan nasional, dan lainnya.

Selain itu, objek pajak lain yang juga termasuk dalam pengecualian ini adalah hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri keuangan.

Secara garis besar, pengenaan PBB baik pada tingkat pusat maupun daerah didasarkan atas tujuan pemanfaatannya. Adapun tujuan yang termasuk dalam ruang lingkup ini, baik itu pada tingkat pusat maupun daerah adalah, untuk memperoleh keuntungan serta kenikmatan dari kepemilikan atau penguasaan atas bumi atau bangunan tersebut.*

Pengertian

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994.

PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

Objek PBB

Objek PBB adalah “Bumi dan atau Bangunan”:

  1. Bumi: Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan, tambang.
  2. Bangunan: Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Contoh: rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, emplasemen, pagar mewah, dermaga, taman mewah, fasilitas lain yang memberi manfaat, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai.

Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB

Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang :

  1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi.
  2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
  3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
  4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
  5. Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:

  • mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
  • memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
  • memiliki bangunan, dan atau;
  • menguasai bangunan, dan atau;
  • memperoleh manfaat atas bangunan

Wajib Pajak adalah Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak.

Cara Mendaftarkan Objek PBB

Orang atau Badan yang menjadi Subjek PBB harus mendaftarkan Objek Pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek tersebut, dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang tersedia gratis di KPP atau KP2KP setempat.

Dasar Pengenaan PBB

Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP ditetapkan per wilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan Bupati/Walikota serta memperhatikan :

  1. harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
  2. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
  3. nilai perolehan baru;
  4. penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)

NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggi-tingginya Rp 12.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam satu Tahun Pajak.
  2. Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.

Dasar Penghitungan PBB

Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).

Besarnya persentase NJKP adalah sebagai berikut :

  1. Objek pajak perkebunan adalah 40%
  2. Objek pajak kehutanan adalah 40%
  3. Objek pajak pertambangan adalah 40%
  4. Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):
    • apabila NJOP-nya≥ Rp1.000.000.000,00adalah 40%
    • apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%

Tarif PBB

Besarnya tarif PBB adalah 0,5%

Rumus Penghitungan PBB

Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP

  1. Jika NJKP = 40% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya PBB
    • = 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
    • = 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)
  2. Jika NJKP = 20% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya PBB
    • = 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
    • = 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)

Tempat Pembayaran PBB

Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari KPP Pratama atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.

Saat Yang Menentukan Pajak Terutang

Saat yang menentukan pajak terutang adalah adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.

Contoh:

A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 2010. Kewajiban PBB Tahun 2010 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 2011 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B. Perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.

Lain-lain

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569) yang terkait dengan peraturan pelaksanaan mengenai Perdesaan dan Perkotaan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, sepanjang belum ada Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang terkait dengan Perdesaan dan Perkotaan.

Sumber : http://www.pajak.go.id/content/seri-pbb-ketentuan-umum-pajak-bumi-dan-bangunan-pbb