Berikan contoh dan jelaskan tiga Hambatan dalam membuat kehidupan demokrasi di Indonesia

Anggota Majelis Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Indria Samego mengatakan bahwa ada tiga kelemahan penerapan demokrasi di Indonesia. Di negara ini, masih terdapat budaya politik feodalistik dan komunalisme, demokrasi kita juga mengarah pada otoritarianisme mayoritas, dan kelemahan terakhir demokrasi kita adalah absennya ideologi dari partai politik, kata Indria dalam Forum Fasilitasi Daerah Dalam Rangka Penguatan Ketahanan Bangsa di Jakarta, Jumat [02/03].

Kelemahan demokrasi Indonesia yang pertama, yaitu masih terdapatnya budaya politik feodal dan komunalistik, menurut Indria, bisa dilihat dari berbagai macam idiom-idiom yang digunakan partai politik dan tokohnya dalam berkampanye. Akibatnya, usaha partai politik untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya didasarkan pada penilaian yang subjektif ketimbang objektif, kata dia.

Indria mengatakan bahwa yang paling berbahaya dalam budaya politik feodal dan komunal ini adalah potensi konflik-konflik yang akan muncul jika seseorang kalah dalam kontestasi demokrasi.

Dalam berbagai kasus pemilihan kepala daerah, kita melihat kenyataan bahwa perdamaian baru merupakan jalan yang dipilih hanya jika tuntutan suatu kepentingan politik dipenuhi, kata dia.

Kelemahan kedua menurut Indria adalah munculnya otoritarianisme mayoritas akibat terlalu liberalnya demokrasi Indonesia. Hal ini, menurut dia, membuat sulitnya sebuah keputusan politik diambil secara mufakat.

Karena begitu sulitnya musyawarah dilakukan, maka setiap pembuatan keputusan diserahkan ke mekanisme pasar politik, ini tentu saja mencederai sila keempat Pancasila yang menyatakan bahwa demokrasi Indonesia berdasar pada permusyawaratan perwakilan kata dia.

Kelemahan demokrasi yang ketiga dalam pandangan Indria adalah dikesampingkannya ideologi dalam partai-partai di Indonesia karena partai politik lebih mengutamakan pertimbangan pragmatis dan jangka pendek, yaitu memenangkan kontes politik.

Kepentingan jangka pendek dan pragmatis inilah yang memunculkan politik uang, hanya karena ingin memenangkan pemilu suatu partai atau calon kepala daerah harus membayar rakyat untuk memilih gambar tertentu dalam lembar pencontrengan saat pemilu, kata Indria.

Akibat selanjutnya, menurut Indria, adalah bergesernya fungsi ideal partai dari penghubung antara negara dan rakyat menjadi sarana pengumpul suara dan dana. Jika tujuan partai hanya memenangkan pemilu dan mengumpulkan dana, maka kita sulit berharap partai menjadi lembaga demokrasi yang bisa diandalkan, kata dia. (ant )
Sumber : Berita Sore, 2 Maret 2012

Sivitas Terkait : Indria Samego

Jakarta -

Indonesia masih berada pada transisi jalan di tempat yang berlarut-larut, bahkan di beberapa tempat mengalami kemunduran yang membuat kita masih jauh dari harapan demokrasi terkonsolidasi.Demokrasi Indonesia belum terkonsolidasi yang ciri-cirinya: 1) demokrasi bisa berjalan dan berproses dalam masa waktu yang lama; 2) ada penegakan hukum berjalan baik; 3) pengadilan yang independen; 4) pemilu yang adil dan kompetitif; 5) civil society yang kuat; 6). terpenuhinya hak-hak sipi, ekonomi, dan budaya warga negara.

Masalah Krusial

Masalah demokrasi Indonesia yang terlihat krusial adalah absennya masyarakat sipil yang kritis kepada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi, pemilu biaya tinggi karena masifnya politik uang dalam pemilu, kabar bohong dan berita palsu, rendahnya keadaban politik warga, masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang belum tuntas hingga kini, kebebasan media dan kebebasan berkumpul, dan berserikat, serta masalah masalah intoleransi terhadap kelompok minoritas. Kita mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan karena hampir semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media dan mahasiswa telah merapat dengan kekuasaan atau sekurang-kurangnya memilih untuk diam demi menghindari "stigma" berpihak kepada kelompok intoleran yang anti-Pancasila dan anti-demokrasi. Sedikit-banyak ini disebabkan oleh polarisasi politik yang tajam yang membelah Indonesia menjadi dua kubu, yang membuat setiap suara mengkritik pemerintah segera dikelompokkan ke kubu anti-pemerintah. Padahal absennya suara kritis adalah kehilangan besar untuk demokrasi yang membutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontrol kekuasaan.

Kampus perlu mendapat catatan secara khusus karena baru kali ini sejak era Reformasi kampus begitu berlomba-lomba merapat kepada kekuasaan, terlihat dari maraknya praktik kooptasi ikatan alumni dengan orang-orang di lingkaran istana yang jadi ketuanya, pemberian gelar doctor honoris causa kepada elite politik yang tidak didasarkan kepada kontribusi nyatanya kepada masyarakat dan ilmu pengetahuan melainkan lebih karena pertimbangan politik, absennya gerakan mahasiswa yang membawa gagasan bernas dan berani bersuara kritis kepada kekuasaan, dan kekuasaan sangat besar yang dimiliki pemerintah untuk menentukan rektor terpilih melalui kementerian dikti.

Pengawasan atau surveilance atas aktivitas dosen baik di media sosial ataupun di dunia nyata merupakan gejala penghalang kebebasan akademik lainnya yang semakin melemahkan suara kritis dari kampus.

Lemahnya Parpol

Persoalan demokrasi terbesar kita saat ini ada pada lemahnya partai politik. Bukti persoalan partai politik bermula dari rekrutmen kader sebagian besar tidak serius dan asal-asalan. Tokoh masyarakat yang berkualitas, dosen, peneliti semakin sedikit yang terlibat di eksekutif maupun legislatif. Dua dekade setelah Reformasi, partai belum mulai menunjukkan ikhtiar yang serius dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi partai politik hanya dilakukan pada masa menjelang pemilu. Di sisi lain, pemilu dalam sistem proporsional terbuka tidak memperkuat pelembagaan partai politik karena kader yang loyal terhadap partai bisa dikalahkan oleh kader pendatang baru yang memenangkan kompetisi karena mampu mempraktikkan politik uang dengan lebih masif. Akhirnya sistem politik nasional diisi oleh kader-kader instan.Pemilu biaya tinggi karena masifnya praktik politik uang merupakan catatan lainnya. Ed Aspinall dan Ward Berenchot (2019) mencatat bahwa dari masa ke masa, pemilu di era Reformasi semakin mahal dari mulai level lokal sampai nasional dengan Pemilu 2019 sebagai pemilu termahal. Biaya pemilu yang tinggi ini berdampak pada maraknya praktik korupsi di berbagai level lembaga negara karena para calon terpilih baik di legislatif berkepentingan mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan.

Media Sosial

Lemahnya internalisasi keadaban sipil (civic virtue) di antara warga negara sebagaimana tampak dalam perseteruan yang tajam, dangkal, dan kurang beradab antara netizen di media sosial merupakan catatan penting lainnya. Warga negara perlu belajar untuk berbeda pendapat atau pilihan politik sambil tetap berteman, bersahabat, dan bersaudara sebagai sesama anak bangsa.

Maraknya ujaran kebencian, intoleransi, dan diskriminasi terhadap minoritas agama dan suku merupakan gejala yang mengkhawatirkan. Perbedaan pilihan politik atau keyakinan tidak boleh menggerus modal sosial kita berupa rasa saling percaya, toleransi, saling tolong menolong, dan saling menghargai perbedaan. Ancaman kebebasan media dan berekspresi seperti pemberangusan buku, pencekalan diskusi buku dan film, ancaman pidana untuk ilmuwan dari luar yang melakukan penelitian di Indonesia merupakan masalah lainnya. Penggunaan UU ITE untuk mempidanakan warga atau jurnalis merupakan ancaman lainnya untuk kebebasan berekspresi.

Kemunduran

Setelah 4 tahun pemerintahan berjalan, kritik dari pada analis dalam negeri maupun luar negeri mulai muncul. Ed Aspinal (2018), Tom Powel dan Eve Warburton (2018 dan 2019) menganalisis perkembangan demokrasi di Indonesia dan berargumen bahwa terjadi kemandekan dan bahkan kemunduran demokrasi di mana Presiden Jokowi mulai melakukan praktik non demokratis seperti membubarkan ormas tanpa proses hukum, meningkatnya intoleransi, semakin kuatnya polarisasi politik, masifnya kabar bohong dan pelanggaran hak asai manusia.Perlu partisipasi semua pihak baik intelektual, aktivis CSO's, jurnalis, dan partai politik untuk menyadari situasi kemandekan bahkan kemunduran demokrasi di Indonesia untuk bersama-sama berjuang menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Rendahnya dialog dan sinergi di antara berbagai elemen itu adalah masalah demokrasi kita hari ini.

Wijayanto Associate Director LP3ES (Center for Media and Democracy), dan Fajar Nursahid Direktur Eksekutif LP3ES

(mmu/mmu)


SEBAGAI salah satu negara kepulauan yang besar dan multikultur, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menerapkan demokrasi dalam kehidupan bernegara masyarakatnya.

Apa itu demokrasi?

Secara etimologis, dalam bahasa Yunani demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuatan), yang secara harfiah apabila digabungkan memiliki makna kekuatan rakyat.

Dalam konteks demokrasi, Franklin D. Roosevelt menegaskan bahwa masyarakat memiliki kekuasaan penuh atas negara, sedangkan filsuf Yunani, Aristoteles, mengatakan bahwa demokrasi terjadi ketika masyarakat miskin memegang kekuasaan.

Definisi demokrasi lainnya yang paling sering kita dengar adalah oleh Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln, yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Konsep demokrasi muncul sekitar tahun 508-507 SM di era Yunani Kuno. Setelah itu Republik Romawi pertama kali mengadopsi konsep demokrasi dari Yunani Kuno dan menggunakan sistem pemerintahan republik di peradaban Barat, yang kemudian diikuti oleh negara-negara modern lainnya.

Sebagai sebuah sistem bernegara, demokrasi menempatkan aspirasi rakyat melalui wakil-wakilnya sebagai pemilik kekuasaan tertinggi yang memberikan legitimasi kepada seorang pemimpin melalui mekanisme pemilihan yang terbuka, adil, dan jujur.

Namun, apabila prinsip demokrasi tidak diimbangi oleh literasi politik dan pengetahuan yang baik, kebebasan berpendapat bisa disalahgunakan sehingga berpotensi memicu konflik sosial-politik di kalangan masyarakat.

Demokrasi Pancasila sebagai pilihan

Di Indonesia sistem demokrasi mulai semarak kembali sejak era Orde Baru (1966) karena di masa pemerintahan Soeharto masyarakat Indonesia dilibatkan secara langsung dalam menentukan pemimpin negara melalui Pemilihan Umum yang bersifat Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia).

Selain itu, lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti DPR baik di pusat maupun daerah, MPR, dan lain-lainnya juga mulai menjalankan fungsinya untuk menampung suara rakyat.

Meskipun demikian, praktik demokrasi juga tidak bisa dikatakan maksimal di era ini karena sistem pemerintahan Soeharto yang opresif dan militeristik, khususnya terhadap kelompok minoritas dan kelompok agama.

Namun, sejauh ini prinsip atau sistem demokrasi merupakan pilihan tepat untuk negara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengingat masyarakatnya yang sangat pluralis.

Oleh karena itu, sejauh ini Demokrasi Pancasila yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sistem pemerintahan yang paling mungkin diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan konsep Demokrasi Liberal, Demokrasi Kapitalis, dan Demokrasi Terpimpin yang dalam catatan sejarah perjalanan bangsa pernah gagal diterapkan di Indonesia.