Beberapa permasalahan penegakan hukum dan HAM yang dihadapi pemerintah Indonesia kecuali

Merdeka.com - Sering banget kita dengar dari TV tentang HAM. Apa sih HAM itu? HAM atau Hak Asasi Manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang ada di setiap manusia yang ada sejak lahir sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hak ini nggak bisa diambil, dibeli, diminta, atau diwarisi. Ada beberapa hambatan yang dialami oleh pemerintah dalam upaya memajukan HAM yaitu :

1. Kondisi sosial budaya yang berbeda. Di Indonesia kan banyak budaya, dari sabang sampai merauke dan masih ada beberapa perbedaan status sosial yang timbul.

2. Kurangnya penyampaian yang merata ke semua masyarakat.

3. Kebijakan yang menimbulkan pro dan kontra yang ada di masyarakat. Perbedaan pendapat ini semakin membuat HAM yang ada di Indonesia terhambat kemajuannya.

4. Pembuatan undang-undang yang tidak tepat sasaran. Sering banget terjadi pembuatan peraturan perundangan yang malah membuat pelanggaran HAM yang ada makin banyak.

5. Penindakan yang lemah. Masih sering banget kita temui hukuman yang nggak sesuai sama apa yang dilakukan. Padahal, aparat hukum seharusnya bertindak adil dan bijaksana dalam memberikan hukuman agar sesuai dengan kesalahan yang diperbuat.

6. Rendahnya pemahaman warga Indonesia tentang pentingnya HAM. Sama yang kayak tadi disebutin, banyak orang yang nggak tahu kalau HAM itu penting banget. Tanpa HAM, kamu bakalan diinjak-injak sama orang lain dan tersiksa.

7. Lemahnya aparat hukum yang ada di Indonesia semakin membuat HAM yang ada di Indonesia sulit ditegakkan.

Ternyata, masih banyak banget hambatan yang dialami oleh pemerintah dalam upaya pemajuan HAM. Sebagai warga negara yang baik, kita harus menekan hamabatan tersebut supaya HAM tambah maju. Bantuin pemerintah yuk?

Kabar Latuharhary – Komnas HAM menyimpulkan bahwa penegakan hak asasi manusia di Indonesia pada 2019 belum mengalami kemajuan yang berarti. Berbagai komitmen dan agenda perbaikan kondisi HAM yang dimandatkan Nawacita, Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) belum menunjukkan pencapaian yang signifikan.

Pernyataan ini disampaikan oleh Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara dalam Webinar “Masa Depan HAM dan Demokrasi di Era Normal Baru (Perspektif Nasional, Regional dan Internasional)”, Kamis (09/07/2020). Dalam diskusi yang digagas oleh Human Rights Working Group (HRWG) tersebut, Beka menyampaikan banyak faktor yang menjadi pendorong persoalan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

“Banyaknya peraturan yang tidak diimbangi dengan penguatan kebijakan perlindungan HAM dan sosial; eksisnya regulasi yang tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia; lemahnya kemampuan institusi negara dalam hal penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM; rendahnya kepatuhan hukum dan budaya aparat dalam penghormatan dan perlindungan HAM; serta minimnya pemahaman aparat negara pada pendekatan dan prinsip hak asasi manusia,” jelas Beka.Beka juga mengungkapkan catatan penegakan hak asasi manusia pada 2019 yang diterima oleh Komnas HAM. Sepanjang 2019, Komnas HAM menerima 2.757 (dua ribu tujuh ratus lima puluh tujuh) aduan yang datang dari seluruh Indonesia.  Wilayah terbanyak pengadu datang dari DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Jawa Timur dengan isu yang paling banyak diadukan adalah hak atas kesejahteraan  terkait sengketa lahan, sengketa ketenagakerjaan, serta kepegawaian.Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, lembaga yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM adalah kepolisian. Namun, jumlah aduan terkait kepolisian dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Komnas HAM juga memberikan perhatian khusus untuk isu-isu yang dianggap penting bagi masa depan demokrasi dan hak asasi manusia seperti penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, konflik agraria, intoleransi, dan lain-lain.

Ketika membahas persoalan covid-19, Beka menyampaikan bahwa situasi penegakan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia belum banyak berubah. Komnas HAM masih banyak menerima aduan terkait pelanggaran hak asasi manusia, juga kebebasan sipil dalam berpendapat dan berekspresi selama masa pandemi covid-19.

“Selain penanganan covid-19 yang pendekatannya kurang berperspektif hak asasi manusia, rendahnya koordinasi antar kementerian dan lembaga juga menimbulkan kerugian di masyarakat. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda menggembirakan dari penanganan covid-19, bahkan beberapa hari terakhir penambahan kasus masih tinggi,” ujar Beka.

Di akhir pemaparannya, Beka menyampaikan bahwa di samping hak atas kesehatan, pelayanan publik dan penyelesaian keadilan yang berkaitan dengan pengaduan, sengketa dan konflik antara lembaga pemerintah dengan masyarakat juga terdampak. Pemerintah harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa mereka menghormati kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Dengan begitu, ketika ada kritik, masukan dan partisipasi tidak direspon negatif dan bahkan berujung pada proses hukum.

“Terkait kualitas demokrasi, pada akhir 2020 akan dilaksanakan Pilkada serentak di level Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Ketika belum bisa memberikan signal positif untuk penanganan covid-19, masih akan terus ada keraguan soal kualitas demokrasi di Indonesia. Selain itu, dikhawatirkan akan banyak politisasi anggaran negara yang mengatasnamakan Pilkada sehingga hak asasi manusia terlupakan,” pungkas Beka. (Utari/Ibn/RPS)

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid memprediksi ada tiga tantangan yang akan dihadapi terkait penegakan hak asasi manusia (HAM) pada 2020. Tantangan pertama adalah kuatnya oligarki di dalam sistem politik Indonesia.

Dalam hal ini, oligarki yang dimaksudnya adalah mereka yang memiliki kekayaan material luar biasa, menguasai partai politik dan kelembagaan pemerintah, serta media massa. Efeknya untuk HAM, dia mengatakan oligarkilah yang menikmati sumber daya alam (SDA) di Indonesia.

"Itu kita lihat dalam Undang-Undang sumber daya air, UU mineral dan batu bara. Kita (juga bisa) lihat dalam konsesi-konsesi tambang baru di Freeport atau di Papua pada umumnya, banyak tambang baru emas di sana, (dan) perkebunan sawit yang diekspansi," ujar Usman di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (7/12).

Tantangan kedua adalah lemahnya penegakan hukum. Menurutnya, apabila sistem tidak diperbaiki, maka tidak ada kontrol terhadap kekuasaan.

Sisi lain, dalam tantangan kedua, Usman mencontohkan kasus pembunuhan aktivis Munir Said Thalib atau penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan tidak akan pernah selesai apabila penegakan hukum masih lemah.

Untuk mewujudkan dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia tidaklah semudah menuliskan serta mengucapkannya. Hal ini disebabkan banyak hambatan dan tantangan yang tidak lagi sebatas retorika, melainkan sudah menjadi realita yang tidak dapat dihindari apabila ditunda-tunda.

Dalam penegakan HAM melalui sistem hukum pidana yang telah berlaku di Indonesia terdapat kendala-kendala atau hambatan yang bersifat prinsipil substansil dan klasik. Salah satu hambatan tersebut adalah asas legalitas yang menegaskan bahwa hukum tidak diberlakukan surut terhadap tindak pidana yang terjadi sebelum undang undang dikeluarkan/diundangkan.

Selain itu, substansi peraturan perundang-undangan kurang lengkap dan banyak kelemahan (loopholes) sehingga memberikan peluang penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penegakan hukumnya. Hambatan lain yang mendasar antara lain masih lemahnya kesadaran dan tanggung jawab berbangsa dan bernegara dalam menghasilkan produk peraturan perundang-undangan, yang pada akhirnya tidak terlepas dari maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Dalam memasuki abad ke-21 banyak tantangan besar yang dihadapi dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia khususnya di dalam era reformasi hukum dan dapat dielaborasi ke dalam tiga model lingkungan, yaitu sebagai berikut.

1. Lingkungan yang memiliki aspek-aspek nasional dan internasional. Kedua lingkungan tersebut berinteraksi secara simbiosis mutualistis, karena baik buruknya penegakan hukum di Indonesia dapat dipengaruhi oleh dua lingkungan tersebut.

2. Lingkungan strategis yang memiliki aspek internasional berkaitan langsung dengan politik perdagangan global yang menempatkan Negara Selatan sebagai tempat pemasaran produk-produk global Negara Utara. Oleh karena itu, timbul tuntutan untuk menciptakan iklim dan lingkungan dunia perdagangan serta usaha kondusif dan sehat bagi hubungan perdagangan, baik bilateral ataupun multilateral. Menghadapi tantangan lingkungan strategis yang bersifat internasional, pemerintah Republik Indonesia telah melakukan kebijakan-kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut yaitu penegakan GTO/WTO, melakukan penyusunan rancangan Undang-Undang Arbitrase, Undang-Undang Kepailitan, telah melakukan serta revisi undang-undang dalam bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), telah memberlakukan undang-undang persaingan usaha dan anti monopoli (competition act), serta sudah memberlakukan undang-undang perlindungan konsumen (consumer’s protection act) Undang-Undang no. 8 Tahun 1998/1999.

3. Lingkungan strategis yang memiliki aspek nasional dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik dan keamanan. Di dalamnya termasuk pembentukan hukum yang aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat dan mendukung kehidupan politik yang sehat. Hal tersebut juga disertai dan diperkuat oleh penegakan hukum yang tegas konsisten dengan dilandasi asas kepastian hukum, asas proporsionalitas, asas keadilan, dan asas mufakat.

Kebijakan pemerintah menghadapi tantangan lingkungan strategis yang bersifat nasional dalam bidang perundang undangan, antara lain sebagai berikut.

1. Pencabutan undang-undang subversi dan penambahan/perluasan ke dalam KUHP.

2. Revisi undang-undang tentang tindak pidana korupsi.

3. Mengajukan rancangan undang-undang tentang HAM dan pembentukan KOMNAS HAM.

4. Memberlakukan Undang-Undang no. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang berisi Dari KKN.

5. Memberlakukan Undang-Undang No. 2/2002 dan Undang-Undang no. 3/2002 tentang Hankam dan pemisahan TNI serta POLRI.

Referensi bacan Hak Asasi Manusia Karya Sri Widayati, S.Pd