Bangunan yang melambangkan gunung sebagai tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah

one piece>=bleach>naruto​

Berikan 10 contoh Alif lam syamsiah dan 10 contoh Alif lam Qomariyah, beserta keterangannya!! Tolong di bantu jawab ya kakak, trims ​

KPK dari 38 dan 15KPK dari 75 dan 60KPK dari 30 dan 32​

apa yang di maksud dengan kesenian,sastra,ataupun tradisi yang mendapat pengaruh budaya asing​

Dalampermenungan tersebut siapakah

kita harus taat kepada Allah SWT , secara ​

1. Apa itu revolusi xinhai? 2. Kapan revolusi xinhai terjadi? 3. Kenapa revolusi xinhai terjadi? ​

kenapa Hitler menginvasi eropa​

setelah muhammad bin ali meninggal,gerakan dakwahnya dilanjutkan anaknya yang bernama a. abbas bin Abdul mutthalid b.ali bin Abdullah c.abu muslim al- … khurasanid.ibramin al-Imam​

sebutkan raja-raja beserta tahun kekuasaan pada kerajaan buton!?​

PENCITRAAN GUNUNG DALAM BUDAYA BALI: KAJIAN FUNGSI DAN MAKNA SIMBOLIK BENTUK MOTIF HIAS PADA PADMASANA, Oleh: Drs. I Made Jana, M.Sn., Ir. Mercu Mahadi, MT, I Made Sumantra, S.Sn, M.Sn Jurusan/Prodi Kriya Seni FSRD ISI Denpasar ABSTRAK Penelitian ini ingin mengetahui konsep-konsep dan pencitraan gunung dalam pandangan masyarakat Hindu di Bali, sebagai representasi estetik dalam penciptaan karya seni dan arsiktektur yang relegius. Melalui kajian ini, akan memperoleh kejelasan dan memberikan pemahaman yang otentik terhadap fungsi dan makna simbolik maupun filosofis di dalam bingkai kebudayaan Hindu di Bali. Metode yang digunakan, yaitu melalui pendekatan sosio-relegius yang mengacu pada mithologi gunung dan pengaruhnya terhadap kebudayaan asli Indonesia, khususnya di Bali. Metode ini merupakan bagian dari metode deskriptif atau kualitatif. Data yang diperlukan dikumpulkan melalui studi pustaka, observasi dan wawancara. Data ini diolah, dikatagorisasi dan direduksi; kemudian dianalisis menggunakan analisis tekstual, kontekstual dan interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, citra gunung dalam bentuk bangunan padmasana mengikuti konsep anantasana, singhasana, padmasana. Sebagaimana tersurat dalam arghapatra: Sanghyang Padmasana tumumpang ring Sanghyang Catur Airswarya, ikang catur Airswarya tumumpang ing Anantasana. (artinya: Sanghyang Padmasana berada di atas Sanghyang catur Airswarya, Sanghyang catur Airswarya berada di atas anantasana. Yang dimaksud Sanghyang Catur Airswarya adalah Singhasana, yang dilukiskan berupa segi empat, sementara padmasana adalah lingkaran, dan anantasana dilukiskan berupa bentuk segi tiga. Anantasana dilukiskan berbentuk segi tiga, yang dimaksudkan adalah Bedawang Nala, Naga Anantabhoga dan Naga Bhasuki. Singhasana adalah catur Airswarya terdiri atas dharma, Jnana, Wairagya dan aiswarya, Padmasana dilukiskan dalam bentuk kelopak bunga teratai berjumlah delapan. Di puncaknya adalah dewa pratistha sebagai sthana Hyang Siwa. Konsepsi pembuatan padmasana sebagai bangunan tempat suci tidak lepas dari peranan Danghyang Nirartha, bahwa pendirian padmasana, bersumber dari teks-teks sastra agama Hindu, dan identik dengan narasi adiparwa dalam pemuteran gunung Mandara di Ksirarnawa. Apabila dicermati secara seksama juga sesuai dengan puja yang digunakan oleh pendeta Siwa-Buddha pada saat mensthanakan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Apabila diperhatikan cerita naratif yang diangkat ke dalam bentuk bangunan padmasana, menggambarkan peranan Wisnu yang sangat mengagumkan sebagai penopang alam semesta atau sebagai penyelamatan dunia. Wisnu dalam keyakinan umat Hindu disebut sebagai awatara. Dalam hal ini Wisnu mengandung makna yang meresapi segalanya, merupakan salah satu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan sebab pertama dari segalanya, jiwa segalanya, berada dimana-mana, tidak terbatas, sifat-nya, aktivitas-nya dan perwujudan kemahakuasaan-nya tidak terbatas. Sebagai perwujudan alam semesta. Ia memasuki, membimbing dan mengatur segalanya. Terciptakan oleh-nya, diresapi oleh-nya. Matahari adalah matanya Wisnu, yang melihat semuanya; dengan energinya semua kehidupan tumbuh subur. Pemunculan matahari setiap hari disambut sebagai kesempatan yang menguntungkan bila pendeta Brahmana mengucapkan mantram gayatri. Mantram ini dilakukan dipagi hari, dan diulangi lagi disiang hari dan saat terbenamnya, dengan memanggil matahari yang menyinari dunia dan surga dengan inspirasi yang suci. Doa yang lain, yaitu memberikan penghormatan kepada Ibu pertiwi dan mohon pelindungannya: yaitu Oh Ibu Pertiwi dunia ini dipertahankan oleh-mu. Oh Dewi engkau ditegakkan oleh Wisnu. Mohon kemurahan- Mu untuk menyucikan tempat duduk ini dan tuntunlah hamba setiap hari. Bumi dan matahari menyediakan tempat bagi pengalaman manusia. Matahari matanya Tuhan memberikan energy dan kehidupan seterusnya, menyuburkan tanah, merupakan ibu dari mana manusia itu dilahirkan. Penghayatan terhadap hakikat ajaran ketuhanan dalam agama Hindu, secara mental maupun ritual dapat dipelajari dari cerita-cerita dalam wiracarita atau asthadasaparwa yang terkait dengan pencarian tirtha amerta, seperti pemutaran Gunung Mandara dan diberi makna spiritual sebagai sesuatu yang terjadi dalam diri atau perjalanan ke dalam diri. Penggunaan sarana berupa simbol seperti yang dipahatkan pada padmasana sangat bermanfaat di dalam menumbuhkan rasa bhakti umat, baik secara individu maupun kelompok. bahwa simbol keagamaan mampu mengungkapkan suatu modalitas yang nyata atau suatu struktur dunia yang tidak tampak pada pengalaman langsung. Dalam mengilustrasikan bagaimana sebuah simbol mampu mengungkapkan modalitas kenyataan yang tak terjangkau oleh pengalaman manusia. Misalnya simbolisme air yang mampu mengekspresikan kondisi pra-formal, virtual dan kaotis. Bahwa sangat jelas sekali hal ini bukan masalah pengetahuan rasional, melainkan kesadaran hidup yang menangkap realitas melalui simbol, lebih dari sekedar refleksi. Kata kunci: Citra gunung, makna, simbol dan budaya Bali.

ABSTRACT This study investigates the concepts and imagery in the view of the mountain in Bali Hindu society, as an aesthetic representation in the creation of works of art and the relegius arsiktektur. Through this study, will gain clarity and give an authentic understanding of the function and meaning of symbolic and philosophical frame in the Hindu culture in Bali. Methods are used, namely socio - relegius approach which refers to mythological mountain and its effect on indigenous cultures of Indonesia, especially in Bali. This method is part of a descriptive or qualitative methods. Necessary data were collected through literature review, observation and interviews. This data is processed, and reduced classified ; subsequently analyzed using analysis of textual, contextual and interpretative. The results showed that, the image of the mountain in the form of the building follows the concept anantasana padmasana, singhasana, padmasana. As written in arghapatra : Sanghyang Padmasana tumumpang ring Sanghyang Catur Airswarya, ikang catur Airswarya tumumpang ing Anantasana ( meaning : Padmasana is above Trance Trance Airswarya chess, chess Trance Airswarya is above anantasana. Referred Trance Airswarya Chess is Singhasana, which is depicted in the form of a rectangle, while padmasana is a circle, and anantasana described a triangular shape. Anantasana depicted shaped triangle, is intended Bedawang Nala, Naga and Naga Anantabhoga Bhasuki. Singhasana chess Airswarya is composed of dharma, Jnana, Wairagya and aiswarya, Padmasana is described in the form of eight lotus petals. was at its peak as sthana Hyang Pratistha god Shiva. Conception of creation as the padmasana shrine building is the role Danghyang Nirartha, that the establishment padmasana, sourced from literary texts of Hinduism, and is identical to the narrative in Pemuteran adiparwa Mandara mountain in Ksirarnawa. If carefully observed also in accordance with the puja used by the Shiva - Buddhist priest at put the time of Ida Sang Hyang Widhi Wasa. If the note is lifted into a narrative story in a form of padmasana building, describing the role of Vishnu which was amazing as the support of the universe or as rescue world. Vishnu in Hindu belief known as Awatara. In this case implies that Vishnu pervades everything, is one manifestation of the Almighty God, which is the first cause of all things, the soul of everything, is everywhere, is not unlimited, His nature, His activities and the realization of His omnipotence is not limited. As the embodiment of the universe. He entered, guide and set everything up. Being created by Him, impregnated by him. The sun is his eye Vishnu, who saw it all ; with energy all life thrives. Greeted the appearance of the sun every day as a favorable opportunity when the Brahmin priest say gayatri mantram. The Mantram done in the morning, and repeated again during the day and at the west, by calling the sun is shining on the world and heaven with holy inspiration. Another prayer, which is paying tribute to the mother earth and hope protection : ' Oh Mother Earth is maintained by world - You. Oh Goddess you are enforced by Vishnu. Beg Thy mercy to purify this seat and lead servant every day. The earth and the sun providing a place for the human experience. Sun " eyes of God " gives life energy and so on, nourish the soil, which is the mother of the man born. Appreciation of the essence of the teachings of the divine in Hinduism, mentally and ritual can be learned from the stories in the epic or asthadasaparwa related searches Alexis, such as playback Mount Mandara and given spiritual meaning as something that happens inside or journey into the self. The use of means in the form of symbols such as carved in padmasana is very useful in people develop a sense of devotion, either individually or in groups. that religious symbols able to express a modality real world or a structure that is not visible on direct experience. In illustrating how a symbol capable of expressing modality reality beyond the reach of human experience. For example, the symbolism of water that is able to express the condition of before officially, virtual and kaotis. Very clear that this is not a matter of rational knowledge, but awareness of life that captures the reality through symbols, more than a reflection. Keywords : mountain image, meaning, symbols and culture of Bali. A. PENDAHULUAN Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Agung di Bali merupakan lambang yang aktif dan menonjol tentang dunia nyata dan dunia lain, tentang kehidupan dan kematian, lapuk dan lahir kembali, tentang kebengisan dan ketenteraman (Joseph Fischer, 1990: 195). Gunung dunia India dan tempat tinggal para dewadewa, yaitu gunung Mahameru dengan mudah diidentifikasikan dengan gunung-gunung tertentu di pulau-pulau Indonesia, seperti Jawa dan Bali, yaitu tempat tinggal roh para leluhur yang dipercaya (Claire Holt, 2000: 34). Secara teologis disebutkan, dalam mazab Siwa gunung memegang kedudukan penting terutama sebagai lingga atau sthana Dewa Siwa. Maka Meru atau Kailasa itulah gunung tertinggi di dunia dengan puncaknya selalu ditutupi oleh salju (hima). Sebagai tempat Siwa, secara mithologis puncak Himalaya disebut Gauri Sangkar(a) yaitu gelar Dewa Siwa (G. Pudja, 1982/1983: 49).

Mithos ini menunjukan gunung Mahameru sebagai gunung dewata dalam paham Hindu yang menghubungkan bagaimana gunung tersebut dibawa dari India ke pulau Jawa dan Bali. David J. Stuart-Fox mengatakan, bahwa dalam mithos ini, Gunung Agung merupakan pecahan dari Gunung Mahameru dan dalam metafora geneologis ini dewa dari Gunung Agung merupakan putra dari Gunung Mahameru, yaitu Dewa Pasupati. Salah satu nama dewa Gunung Agung, Putrajaya (atau Putranjaya) secara jelas menghubungkan anak ini, dan namanya Mahadewa, adalah salah satu julukan bagi Siwa, menunjukkan statusnya yang paling tinggi dalam paham Hindu di Bali. Semakin tinggi sebuah gunung, semakin agung dewa yang bersemayam di dalamnya, semakin besar pula pura tempat di mana para dewa itu desembah. Gunung Agung adalah gunung yang paling tinggi di Bali. Pura Besakih yang terletak di lerengnya merupakan pura jagat yang paling tinggi di Bali (Stuart-Fox, 2010: 2). Menurut keyakinan umat Hindu, bahwa Tuhan berada di tempat yang tinggi/gunung. Untuk memuja- Nya umat Hindu di Bali membuat tempat-tempat suci. Bentuk-bentuk tempat suci tersebut, yaitu Gunung, Lingga, Candi, Meru dan Padmasana. Padmasana muncul belakangan dalam arsitektur pura di Bali. Padmasana dihubungkan dengan tradisi brahmana yang kemunculannya di Bali diperuntukan bagi Danghyang Nirartha, sebagai Pendeta istana Dalem Waturenggong pada masa kejayaan dinasti Gelgel. Beliau ini membawa dampak yang sangat signifikan dalam agama Hindu dan ritual di Bali. Seperti padmasana tiga di Besakih merupakan padmasana terlengkap di Bali. Padmasana ini terdiri dari dasar yang di atasnya terdapat tiga Padmasana yang masing-masing berdiri di atas Bedawang Nala yang dililit oleh dua naga kosmik, yaitu Basuki dan Anataboga (Stuart-Fox, 2010: 2). Bentuk Padmasana secara umum, seperti Padmasana di Pura Jaganatha Denpasar hanya memiliki dasar tunggal dipandang sebagai tempat pemujaan Siwa-Raditya, Siwa sebagai penguasa Matahari. Siwa sebagai penguasa Matahari, salah satu sebutan Tuhan dalam doktrin Siwa-Siddhanta yang dominan di Bali. Dalam hal ini, sebutan Tuhan bagi umat Hindu di Bali, yaitu Sanghyang Widdhi Wasa. Hal ini dilakukan sebagai metode di dalam menghayati kebesaran Tuhan. Tempat pemujaan ini sebagai alat untuk membangun citra yang lebih tinggi, untuk menuju kebenaran, keheningan pikiran dan kedamaian. Dalam terminologi kosmologis, konsepsi relegius diproyeksikan dalam arti daerah yang menjadi milik kita ke puncak gunung kosmik. Simbolisme mengenai pusat yang menerangkan serangkaian image kosmologi dan keyakinan relegius antara lain: 1) Tempat-tempat suci dan tempat perlindungan dipercayai terletak di pusat dunia; 2) candi-candi merupakan replika gunung kosmik, sebagai penghubung utama antara bumi dan surga; 3) fondasi-fondasi candi menancap jauh ke dalam tanah. Dalam hal ini dapat dicontohkan, Ziggurat secara literal merupakan gunung kosmik; tujuh cerita menunjukan tujuh lapis langit; dengan mendaki, para pendeta meraih puncak jagat raya. Simbolisme serupa juga terdapat di candi Borobudur yang megah. Borobudur dibangun sebagai gunung buatan. Mendakinya sama dengan penjalanan yang sangat menyenangkan ke pusat dunia; sampai di teras tertinggi, para peziarah merasakan sebuah terobosan dari satu tataran ketataran yang lain; dia memasuki daerah suci yang mentransendensikan dunia profan (Eliade, 2002: 35). Eliade mengatakan jagat raya terhampar dari sebuah pusat dan terbentang ke empat penjuru mata angin, sebuah desa dibuat mengelilingi sebuah persimpangan, seperti halnya di beberapa bagian di Asia, Bali misalnya, ketika sebuah desa baru akan dibangun, penduduknya mencari sebuah persimpangan alami, di mana dua jalan berpotongan pada sudut yang benar. Sebuah tanah lapang yang dibuat di titik pusat merupakan imago mundi. Pembagian desa menjadi empat bagian yang secara sekilas menunjukan sebuah pengelompokkan serupa pada masyarakat berkaitan dengan pembagian jagat raya menjadi empat horizon. Sebuah tempat biasanya dibiarkan kosong di tengah desa: di sanalah nantinya akan dibangun rumah ibadah, yang atapnya secara simbolis melambangkan surga (dalam beberapa hal surga disimbolkan dengan pucuk sebuah pohon atau dengan image sebuah gunung (Eliade, 2002: 41). Rasa cinta melahirkan keikhlasan untuk berkorban, rasa cinta melahirkan seni (Putra, 1979: 4). Manusia ingin menghaturkan segala sesuatu yang paling baik dan terindah untuk Tuhanya. Pura sebagai tempat persembahyangan diukir dan dihias lebih indah dari rumahnya sendiri. Rasa seni yang digejolakan oleh getaran rasa keagamaan, menimbulkan seni-seni simbol dan seni yang bersifat melankolik/sedih. Cetusan rasa cinta kasih dan kerinduan kepada Tuhan dapat diwujudkan dalam bentuk persembahan bhakti atau dalam produk arsitektur pura dan seni berupa simbol-simbol untuk melukiskan sifatsifat Tuhan. Umat Hindu di Bali menggunakan banten atau prasadham serta berbagai sarana dan prasarana lainnya sebagai niasa (simbol), ketika memuja dewa Siwa. Menurut lontar Yadnya Prakerti, banten sebagai perwujudan atau lambang Hyang Widhi (Brahman), manusia (raganta) dan alam raya (bhuana). Tujuan dari penggunaan niasa atau simbolisme agar tri premana (sabda, bayu, idep) umat manusia menjadi lebih terpusat kepada Tuhan. Ketiga unsur ini yang berada dalam diri umat menjadi satu kesatuan yang utuh, mantap serta penggunaan sakti menjadi lebih tepat, ketika melakukan upacara maupun dalam menjalankan kehidupannya. I Gusti Ngurah Nala mengatakan bahwa, setiap Siwaisme/Siwagama di Bali dibagi menjadi empat, yaitu: Adnyana, Yoga, kriya, Carya atau Acara (Nala, 2006: 77-78). Menunjuk pada uraian tentang kriya di atas, merupakan sebuah aktifitas yang berkaitan dengan pembangunan tempat suci, seperti pura serta penerapan unsur-unsur estetiknya sangat menarik untuk dibahas

dan dilakukan penelitian. Bahwa hal tersebut sangat relevan dengan judul penelitian, PENCITRAAN GUNUNG DALAM BUDAYA BALI: KAJIAN FUNGSI DAN MAKNA SIMBOLIK BENTUK MOTIF HIAS PADA PADMASANA, B. METODE PENELITIAN Dalam melakukan penelitian, bisa saja menggunakan berbagai macam metode dan sesuai dengan rancangan penelitian. Untuk menyusun suatu rancangan penelitian yang baik diperlukan berbagai pertimbangan di dalam memecahkan persoalan. Dalam penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian deskriptif, adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskriptif) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian, dengan tujuan untuk membuat pencandraan secara sistimatis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 2005: 76). Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berdasarkan pengamatan terhadap motif hias (sebagai motif penentu) dalam bangunan Padmasana, yang meliputi: 1. Pandangan masyarakat Bali terhadap Gunung terkait dengan bangunan Padmasana. 2. Makna dan fungsi motif hias (pokok) yang terdapat dalam struktur bangunan Padmasana. 3. Peranan Padmasana dalam budaya Bali, dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. C. HASIL DAN PEMBAHASAN C. 1. PANDANGAN MASYARAKAT HINDU DI BALI TENTANG GUNUNG C.1.1. Gunung sebagai tempat yang tinggi/suci. Jagat raya lahir dari pusatnya, ia berkembang dari sebuah titik pusat, yaitu pusarnya. Dalam Reg Veda (X: 149), jagat raya dilahirkan dan dibangun dari inti, titik pusat. Tuhan menciptakan dunia melalui pusar, dan dari sini ia berkembang ke segala arah. Pusar bumi Pusat Dunia, adalah Tanah Suci. Di Bali tepi pantai dan hampir semua puncak pegunungan dan bukit-bukit diyakini sebagai tempat suci, yang merupakan stana para dewa, bahkan digambarkan sebagai Padmadala kelopak daun bunga teratai yang menurut kitab Wraspati Tatwa merupakan stana Sang Hyang Sadasiwa (Titib, 2000: 87). Umat Hindu memiliki pandangan dan keyakinan, bahwa gunung sebagai tempat atau sthana Ida Sanghyang Widhi Wasa beserta Ista dewata dan roh leluhur yang telah suci. Umat Hindu di India memandang, bahwa gunung Mahameru sebagai simbol alam semesta, puncaknya disimbolkan sebagai tempat bersemayamnya Tuhan beserta segala manifestasinya. Di Jawa gunung Semeru dipercaya oleh umat Hindu di Jawa sebagai tempat bersemayamnya Ida Sanghyang Widhi beserta manisfestasinya, sedangkan di Bali, gunung Agung dipandang sebagai tempat bersemayamnya Ida Sanghyang Widhi Wasa. Gunung Agung sebagai sthana (persemayaman). Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah puncak dan alam sekitarnya yang meliputi puncak (mata air telaga mas), lambang pura Besakih, hutan lembah dan sungai yang airnya mengalir dari padanya. Sanhyang Widhi disebut Siwa berada di dunia atas, mengambil tempat di puncak gunung. Gunung sebagai tempat abadi merupakan simbol kosmos. Umat Hindu di Bali memandang Gunung Agung sebagai tempat suci, atau sebagai simbol alam semesta yang teratur. Hal ini dikaitkan dengan mithos, bahwa puncak gunung Mahameru dipindahkan di puncak Gunung Agung. Oleh karena itu pengertian arah gunung menjadi arah yang suci, sakral, di samping arah terbitnya matahari (surya). C.1.2. Dimensi Mithologis Gunung Dalam Budaya Bali Dalam Ensiklopedia Indonesia seri empat disebutkan, mithologi merupakan kumpulan cerita-cerita tradisional, biasanya berasal dari suatu bangsa atau rumpun bangsa tertentu, yang diceritakan secara lisan dari generasi kegenerasi. Kebanyakan berasal dari masa sebelum aksara dikenal. Mithos dapat dibagi mejadi tiga golongan utama, yaitu mithos sebenarnya, cerita rakyat, saga serta legenda (Shadily, 1993: 2264). Sebagaimana halnya dalam Brahmanda Purana disebutkan: Pertiwi nama sanghyang Bhumi, asal dari Prthu, putranya maharaja Prthu...Diminta belas kasihan bhatara Swayambhuwa Manu menjadi anak lembu oleh maharaja Prthu. Tiada ingkar bhatara Swayambhuwa Manu, maka segeralah maharaja Prthu memerah bhatari Pertiwi. Yang menjadi ember penampungannya adalah bumi ini. Muncullah segala hasil tanaman akibat perahan beliau. Hal itu terpenuhi semua, berkat jasa maharaja Prthu sehingga tersedia makanan di dunia sampai pada saat ini (Gde Swandi, G. Pudja, 1881: 99). Dalam srimad Bhagavatam, Bhumi mengambil wujud seekor sapi dan menyuruh Perthu membawa anak sapi. Pada waktu induk sapi melihat anaknya ia mencetuskan rasa cintanya dan air susunya memancar dengan bebas (Ranchore Prime, 2006: 47-49). Simbol induk dan anak sapi digunakan di sini untuk menekankan hubungan antara bumi dan penduduknya, seperti hubungan antara ibu dan anak-anaknya. Dalam hal ini yang dibutuhkan untuk mendapatkan karunia berupa

penopang hidup dan kebaikan, yaitu rasa cinta kasih, bukan eksploitasi yang ilmiah. Bumi ini adalah bakta Wisnu dan pengabdiannya, yang menyediakan bahan makanan kepada semua makhluk hidup, seperti halnya seorang ibu yang memberikan makanan kepada anak-anaknya. Sesuai dengan tradisi Weda, kemakmuran dan kesenangan secara alami merupakan hasil dari kehidupan keagamaan yang harmonis dengan alam. Inilah aspek mithos memerlukan penekanan khusus. Mithos menunjukkan kesakralan absolut, karena mithos berkaitan dengan aktifitas penciptaan dewa-dewa, yang menyingkap kesakralan kerjanya. Setiap mithos menunjukkan bagaimana sebuah realitas hadir, apakah menjadi realitas total, kosmos, atau fragmen - sebuah pulau, spesies tanaman, institusi manusia. Berdasarkan hal di atas, Marcea Eliade (2002: 98) mengatakan bahwa, fungsi tertinggi mithos adalah untuk menetapkan model paradigmatik terhadap semua ritual dan aktifitas manusia makan, seksualitas, kerja, pendidikan dan sebagainya. Dalam hal ini bertindak sebagai mahluk benar-benar bertanggung jawab, manusia meniru gerakan paradigmatik dewa-dewa, mengulangi tindakan-tindakan, baik di dalam hal fungsi psikologis, seperti makan atau dalam masalah sosial, ekonomi, kultural, meliter dan aktivitas yang lain. Lebih lanjut disebutkan, pengulangan model illahiah ini memiliki dua hasil: 1) dengan meniru dewa-dewa, manusia tetap sakral, karena berada di dalam realitas; 2) dengan reaktualisasi gerakan paradigmatik illahi yang berkelanjutan, dunia dikuduskan. Perilaku manusia-manusia relegius memberikan sumbangan di dalam mempertahankan kesucian dunia. C.1.3. Pencitraan Gunung Dalam Budaya Bali Kerajaan Bali kuno, selain memiliki tempat suci yang didirikan di atas bukit (gunung) yang sekaligus melambangkan meru. Maka kerajaan juga memiliki tempat suci, yaitu pura penataran, pura segara (laut) serta pura puncak (gunung). Pendirian pura (tempat suci) di puncak bukit atau gunung, dimaksud sebagai imbangan dari pura penataran yang terletak di kerajaan, bahwa dimasing-masing kerajaan memiliki sekurang-kurangnya tiga jenis pura, yaitu: pura Penataran yang mewakili pura pusat kerajaan yang terletak ditengah-tengah kerajaan, pura puncak yang mewakili pura gunung dan pura segara mewakili pura laut. Pada zaman Bali kuno, sebagai pusat kerajaan terletak di Bedulu dan pura penataranya yaitu pura Penataran Sasih yang terletak di desa Pejeng dianggap sebagai pemujaan awal terjadinya kehidupan di dunia ini. Sedangkan untuk memuja roh suci leluhurnya, yaitu di puncak penulisan Kintamani Bangli. Sebagai pura laut terletak di desa Pejeng, yaitu adanya pura Puser Tasik (pura ini sebagai pura laut dari kerajaan Bali kuno. Adapun konsep yang mendasari pembangunan pura (tempat suci) di tiga tempat itu karena adanya kepercayaan. Bahwa manusia senantiasa berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber dari penjuru mata-angin, bintang-bintang dan planet-planet. Tenaga ini mungkin menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan atau membuat kehancuran, tergantung dapat atau tidaknya individu-individu dan kelompok masyarakat, terutama kerajaan menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka sesuai dengan jagat raya. Dalam pandangan Hindu di Bali, gunung sebagai tempat suci para leluhur, para dewa dan gunung juga sebagai Lingga Acala (lingga yang tidak bergerak). Lingga adalah simbol sthana dari dewa Siwa sebagai Mahadewa. Mengacu pada sistem relegi di Indonesia, gunung sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Orang memuja kepuncak gunung, melarang manusia memasuki wilayah hutan larangan di gunung. Membuat bangunan punden berundak-undak yang menyerupai puncak gunung. Itu membuktikan bahwa pada awalnya manusia Indonesia menganggap gunung sebagai tempat sakral. Gunung adalah dunia roh, maka gunung dihormati. Gunung dalam bentuk yang lain, yaitu Gunungan pada zaman Hindu dan Buddha masih berupa pohon hayat atau kayon. Pada bangunan candi banyak dijumpai pahatan pohon hayat dalam bentuk kalpataru. Pohon hayat sebagai lambang poros kosmos, sebagai pencapaian manusia terhadap dunia atas. Dunia roh masih mewarnai makna mistik Hindu dan Buddha (Jakob Sumardjo, 2000: 349). Dalam hal ini, citra dasar gunung dapat dilihat pada Meru, sebagai tempat memuja dewa, Tuhan, juga pada pintu gerbang (Candi Bentar), dan kori Agung. Menurut cerita orang tua dahulu candi bentar merupakan simbol pecahnya gunung Kailasa tempat semadinya Dewa Siwa. Secara arsitektural bentuk-bentuk atap meru yang menguncup seperti bentuk gunung ke atas semakin kecil bertemu dalam satu titik, bermakna menuju titik keheningan dan kekosongan. Dalam kondisi seperti ini, manusia seutuhnya berada dalam penyadaran diri yang suntuk kewilayah semadi yang sesungguhnya. Penyerahan sujud bhakti dan ketulusan hati bertemu dalam satu wilayah keindahan spiritual. Maka aspek estetika dalam bangunan pura tidak hanya bersandar pada aspek material saja, namun penyatuan makna spiritual-relegiusnya (Suardana, 2005: 210 ). C.1.4. Tinjauan Padmasana Berdasarkan catatan sejarah pada abad ke-11, ditemukan bangunan arsitektur yang bersifat relegius dalam bentuk bangunan pura yang dinamakan Kahyangan tiga dan Kahyangan Jagat. Hal ini tidak lepas dari peranan Empu Kuturan sebagai tokoh agama Hindu di masa pemerintahan Erlangga. Beliau membawa pengaruh dan perubahan di dalam tata kehidupan masyarakat Bali di bidang arsitektur, politik dan agama. Beliau

mengajarkan konsep tentang parhyangan yang lebih dikenal dengan nama kahyangan sebagai tempat Hyang atau Dewa, Bhatara. Maka di Bali ada pura pemujaan kepada Dewa, Tuhan, dan ada pemujaan kepada roh leluhur. Di samping itu beliau mengajarkan membuat pedagingan untuk pelinggih Dewa. Pada abad ke-15 kebudayaan Bali diperkuat lagi oleh pengaruh kerajaan Majapahit dibawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa itu, yaitu tata kehidupan yang berasal dari kerajaan Majapahit, diterapkan secara menyeluruh meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali. Setelah proses ini berjalan lama, pengaruh tersebut berkembang pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong pada abad ke-16. Kesusastraan dalam bentuk penulisan lontar-lontar berkembang pesat yang memuat berbagai pengetahuan dan ajaran-ajaran agama Hindu, serta tata cara membuat banten, pembakaran mayat (ngaben). Begitu pula berbagai macam kesenian dapat tumbuh di masa itu. Pertumbuhan dan perkembangan ini tidak lepas dari peranan dan pengabdian Danghyang Nirartha dalam menyempurnakan ajaran agama Hindu untuk kesejahteraan masyarakat dan pulau Bali. Ida Bagus Raka mengatakan: Danghyang Nirartha memperjelas kekaburan antara pemujaan kepada Dewa dengan pemujaan kepada rokh leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa (kahyangan tiga) dan ada pura untuk pemujaan kepada rokh leluhur, yaitu pura panti, paibon, dadya dan sebagainya. Danghyang Nirartha pertama kali membuat pelinggih Padmasana untuk sthana Sanghyang Widhi/Tuhan. Padmasana adalah perkembangan dari bentuk menhir menjadi bentuk yupa dan stamba, lalu berkombinasi dengan tahta batu menjadi bentuk tugu-capah. Kamudian dihias dengan relief yang bermotif daun-daunan dan bentuk binatang (Raka, 1977/1978: 18). Relief-relief yang menjadi ornamen bangunan tugu capah, mengambil cerita Adhiparwa pada bagian yang menceritakan pemuteran mandhara giri di lautan susu (ksirarnawa) sehingga jadilah Padmasana (Gde Ngurah, 1981: 19). Padmasana dalam sikap yoga, menunjukkan kedua telapak kaki ditumpangkan pada paha kiri dan paha kanan, telapak tangan menghadap ke atas, punggung lurus leher tegak, mata memandang ujung hidung, gigi atas dan gigi bawah jangan bertemu, ujung lidah di sela-sela kedua baris gigi. Inilah yang disebut padmasana dalam sikap Yoga (Agastia, 2002: 167). Padmasana sebagai sikap duduk seorang sadhaka, Ia yang melaksanakan sadhana yoga berkaitan dengan tegaknya tulang punggung, leher dan kepala, karena di sana tempatnya sadcakra, mulai dari muladharacakra sampai dengan sahasraracakra. Semuanya berbentuk padma, yang menjadi tempat bersemayamnya kekuatan Siwa dan di puncaknya di sahasraracakra (padma berkelopak seribu di kepala manusia) adalah sthananya Hyang Siwa. Di bagian lain para kawi senang memakai istilah hredayapadma (padma hati) atau sarasija ri dalem twas (padma di dalam hati), tempatnya mensthanakan istadewata, seperti (Dewi Kata-kata) disebut Dewi Wagiswari. Oleh karena itu, mendengar, melihat bangunan padmasana, orang akan mengasosiasikan dengan gunung, yang dikaitkan dengan cerita pemutaran mandhara giri sebagaimana tersurat dalam Adiparwa. Dalam naskah-naskah yang tersimpan di Bali, pendirian Padmasana pada dasarnya dilandasi oleh bunga padma (Agastia, 2002: 169). Danghyang Nirartha yang diyakini memperkenalkan konsepsi padmasana, dikenal sebagai seorang kawi-wiku yang benar-benar mendalami ajaran Siwa dan Buddha. Ketika beliau datang ke Bali untuk memberi pencerahan pada masyarakat di daerah yang berada di kaki gunung Agung (yang disimbolkan sebagai Mahameru), maka beliau di sini mendirikan sebuah bangunan padmasana. Beliau sebagai purohita atau pandita kerajaan oleh Raja Waturenggong, beliau ditunjuk sebagai yajamana pelaksanaan Karya Agung Eka Dasa Rudra pada waktu itu. Karya Agung yang digelar seratus tahun sekali, juga sebagai simbol membangun sebuah padmasana. Kekuatan Hyang Siwa yang memancar ke segala penjuru dilukiskan sebagai padma delapan kelopak bunga dengan tiga tingkatan di tengah (Agastia, 2002: 169). Danghyang Nirartha dan yang lainnya, sebagai tokoh agama memegang peranan penting dalam sejarah/seni (rupa) Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Beliau dapat memadukan agama dengan seni dalam budaya Bali. Perpaduan agama dan seni dalam agama Hindu, disponsori dan dibina oleh tokoh-tokoh, selain Danghyang Nirartha, juga oleh Empu Lutuk, Bhagawan Wiswakarma dan yang lainnya. Beliau-beliau inilah yang telah berjasa memadukan rasa keindahan dengan rasa keagamaan (Raka,1977/1978: 8). Sebagai seorang sadhaka/wiku, Danghyang Nirartha memberi pencerahan dengan menghadirkan padmasana, baik secara sekala, sekala-niskala dan niskala. Tujuan didirikannya Padmasana adalah untuk memuja Tuhan yang bersifat nirgunam (tanpa wujud). Bahwa dalam brahmawidya, Tuhan memiliki dua sifat yaitu sagunam (berwujud) dan nirgunam (tak berwujud). Sifat Tuhan yang sagunam, dalam paham Hindu diwujudkan dalam bentuk simbol. Bahwa Tuhan tidak dapat didefinisikan dengan sesuatu apapun. Oleh karena itu bagi seorang bhakta yang memiliki kemampuan spiritual yang tidak sama, maka bagi seorang memiliki kemampuan pada tingkat bhakti dan karma marga, yaitu dengan jalan penyerahan diri kepada Tuhan, ketulusan hati dan berbuat baik kepada orang lain dan mahluk ciptaan-nya dengan mengembangkan rasa cinta kasih. Dalam hal ini untuk memuja Tuhan, tentu mereka akan membutuhkan tempat pemujaan sebagai citra eksternal, misalnya Padmasana. Citra gunung dalam bentuk Padmasana, sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa (bagi masyarakat Hindu di Bali menyebut Ida Sangyhyang Widhi Wasa). Dalam theologi Hindu, ajaran mengenai kosmologi bertujuan untuk menjelaskan bahwa alam semesta ini adalah semacam orde sebagai pengejawantahan sifat hakikat Tuhan sarwa semesta alam. Menurut Hegel

(dalam Pudja, 1984: 42), masalah yang menjadi objek penelitian dalam kosmologi meliputi berbagai aspek gejala-gejala alam semesta termasuk pula tentang ajaran mengenai kemanfaatannya, sifat-sifat kekekalan-nya, sifat-sifat alamiah yang bersifat serba terbatas, sifat-sifat relatif, asal mula timbulnya kejahatan, pengertian dosa dan surga, di samping aspek lainnya yang membahas hubungan antara ruang dan waktu sebagai hakikat alam fenomena. Lebih lanjut dalam kitab suci (G. Pudja, 1982: 33) disebutkan, dalam ilmu yoga, untuk mencapai kesempurnaan batin, konsep psiko kosmos banyak dipakai sebagai sarana dalam penganalisaan perkembangan kejiwaan. Semua benda disimbolkan sebagai bagian alam semesta atau sebagai bentuk kesatuan yang bulat dari sistem alam semesta. Oleh karena itu, manusia secara individual merupakan satu kosmos. Tempat ibadah, seperti padmasana adalah satu kosmos. Suara atau mantra adalah satu kosmos. Jadi setiap objek sedapat mungkin merupakan satu pengejawantahan dari satu sistem alam semesta. Penggambaran kosmos tidak terbatas pada diri manusia, melainkan juga semua objek, termasuk benda simbol lainnya yang diumpamakan sebagai kosmos, seperti digambarkan dalam bentuk antara lain: Ongkara, Padmasana, (Siwalingga), Yantra dan lainnya (Pudja 1982: 45). Hal ini dilakukan untuk mencapai tempat yang dituju, yaitu untuk sampai kepada Tuhan, tetapi pengatahuan manusia tentang Tuhan serba terbatas. Begitu juga cara mengetahuinya berliku-liku yang dapat menyesatkan tanpa kesadaran dan berpikir selalu tentang Tuhan. Berdasarkan hal itu pada bagian atas Padmasana hanya berupa sthana Tuhan, merupakan alam atas/brahman. Brahman berada di luar batas jangkauan pikiran manusia. Oleh karena itu, dalam sthana ini dipahatkan relief yang berupa Acintya. Hal ini merupakan suatu kebutuhan bagi umat Hindu. Nama Rupa adalah suatu kebutuhan manusia dalam proses penghayatan. Bila hakikat yang absolut itu telah diberi nama, langkah berikut dari proses kejiwaan adalah keinginan untuk mengenal wujud (rupa). Tiada nama tanpa rupa ( R. Sugiarto, 1982: 77). Apa pun yang terekspresikan dalam personae suci dalam bentuk yang kasat mata atau bisa dibayangkan harus dianggap sebagai sebuah tanda dan petunjuk yang mengarahkan intelek pada apa yang tersembunyi, sesuatu yang lebih berkuasa, lebih komprehensip dan kurang transitif dibandingkan dengan segala sesuatu yang familier dengan mata atau emosi (Zimmer, 2003: 332). Konsep dan ide yang didefinisikan dan dibatasi dengan intelek harus dianggap sebagai tanda-tanda yang sekedar membantu, yang menunjuk kepada apa yang tidak dapat didefinisikan atau dibatasi dengan nama. Realitas bentuk (rupa) dan nama (naman) keduanya berada dalam wilayah yang kasat mata dan konseptual hanya bayangan. Keduanya harus dipahami sebagai manifestasi dari sesuatu yang lebih tinggi darinya, sesuatu yang tidak terbatas, yang menolak semua definisi baik dalam rumusan theologi awal yang penuh dengan keajaiban maupun dalam hipotesis-hipotesis ilmu pengetahuan terkemudian yang berorientasi praktis. Menyimak hal di atas, simbol dan simbolisasi terdapat dua macam pemikiran, yaitu 1) simbol sebagai sesuatu yang imanen dalam dimensi horisontal saja; 2) bahwa simbol itu transenden dan dalam dialog dengan yang lain ditemukan jawaban. Maka berdasarkan atas pandangan ini, maka simbol tidak saja berdimensi horisontal-imanen, melainkan juga bermatra transenden, jadi horisontal-vertikal; simbol bermakna metafisik (Han J. Daeng, 2008: 82). Simbol mengungkapkan aspek-aspek terdalam dari kenyataan yang tidak terjangkau oleh alat pengenalan lain. Gambar, simbol dan mithos mengungkapkan modalitas-ada paling rahasia. Kajiannya membuka jalan untuk mengenal manusia sebelum terjalin dalam peristiwa sejarah. Rupa simbol-simbol dapat berubah, tetapi fungsinya tetap sama. Simbol, mithos dan ritus selalu mengungkapkan suatu situasi batas manusia dan bukan hanya suatu situasi historis saja. Situasi-batas adalah siatuasi yang ditemukan manusiamanusia, ketika ia sadar akan tempatnya dalam universum (Eliade dalam Daeng, 2008: 83). Simbol-simbol dan gambar-gambar merupakan jalan masuk ke dunia adisejarah. Pemikiran simbolik menjadikan kenyataan yang langsung terbuka, pemikiran itu tidak merusak atau mengosongkan nilai kenyataan itu. Dengan dasar pemikiran di atas, maka pada dasar bangunan Padmasana terdapat pahatan (relief) berupa Bedawang Nala yang dibelit oleh dua ekor naga, yaitu Ananta Bhoga dan Naga Basuki. Bedawang Nala disebut Kurma/kura-kura raksasa. Bedawang Nala ini sebagai penggambaran dari keagungan Dewa Wisnu sebagai awatara yang memiliki misi untuk menyelamatkan bhumi dari kehancuran. Awatara berupa binatang Kurma ketika diaduknya samudra mantana oleh para dewa dan asura untuk mendapatkan air amertha (air keabadian). Alat yang dipakai tongkat untuk mengaduk samudra mantana adalah gunung mandhara (Sandika, 2011: 85). Urs Ramseyer mengatakan bahwa, disudut dalam bagian timur yang paling dekat dengan gunung yang merupakan sudut tagel siku merupakan pertemuan struktur dua sisi. Singgasana tinggi (meru) untuk memuja dewa Siwa. Singgasana teratai (padmasana) merupakan perkembangan singgasana (sanggar Agung) dari tradisi meghalitikum diperuntukan untuk dewa gunung dan dewa Matahari, yang berhubungan dengan aktifitas keagamaan dari seorang brahmana yang bernama Danghyang Dwijendra (Nirartha). Sanggar Agung selalu berada di utara, yang berarti agar umat menghadap ke gunung pada saat memuja para Dewa. Sedang singgasana teratai (Padmasna) para pemuja menghadap ke timur pada saat memuja Siwaditya. Konstruksi singgasana teratai merupakan realitas nyata dari prinsip tiga dunia, seperti digambarkan pada dasar singgasana teratai ini berupa kura-kura (Badawangnala), melambangkan dunia bawah. Badawangnala ini dililit oleh dua ekor ular (Anantabhoga dan Basuki). Hal ini mengingatkan mithos India tentang pengadukan lautan susu.

Singgasana teratai/padmasana yang dibagi tiga, dunia bawah, dunia tengah dan dunia atas, adalah sthana Siwa yang disebut Sanghyang Widhi merupakan prinsip yang tertinggi bagi umat Hindu di Bali (Ramseyer, 1986: 131) Ular yang melilit Badawangnala (sebagai awatara Wisnu) bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam semesta ini, seperti bencana alam gempa bumi. Wisnu dalam inkarnasinya menjadi Kresna, alam digambarkan sebagai Lautan Susu Kehidupan Abadi, darinya terciptalah alam semesta yang fana dan kembali menjadi terurai. Lautan ini dipersonifikasikan sebagai Adi-sesa, ular raksasa yang menyangga alam semesta yang terbentang di atas kepalanya, merupakan naga pemberi hidup di kedalaman ruang. Sementara itu dalam bentuk antropomorfis, Wisnu digambarkan sebagai terlentang di atas ular itu. Ular itu adalah dirinya, juga alasnya serta menyangganya di atas lautan susu tadi, merupakan wujud dirinya dalam bentuk yang elementer. C.1.5. Tampilan Visual dan Teks Sastra. Edi Sedyawati menyebutkan, secara visual tampilan Dewata amat penting dalam pemujaan, baik untuk membangun citra mental dalam diri pemuja maupun membentuk sosok fisik berupa arca dari Dewa yang bersangkutan. Ada dua macam tempat yang dapat memuat gambaran visual Dewa-dewa tersebut, yaitu bagian yang dimaksudkan sebagai puisi pemujaan untuk menyeru Dewa, yaitu stuti, stawa atau kutamantra, ataupun sebagai bagian dari narasi dimana Dewa tertentu muncul dalam suatu adegan. Misalnya Dewa Siwa pada umumnya ditempatkan sebagai Dewa Hindu tertinggi yang senantiasa tinggal di kahyangan untuk memberikan anugrah-anugrah kepada mereka yang telah menjalankan tindakan-tindakan keagamaan yang hebat. Dewa Siwa dalam wujudnya sebagai Ardhanari sering digambarkan diikuti oleh makhluk-makhluk kahyangan yang terdiri dari para rsi, widyadara, gandarwa, apsara, kinara-kinari, yaitu makhluk setengah burung (bagian bawah) dan setengah manusia, pria atau wanita yang kadang juga digambarkan membawa instrumen musik (Sedyawati, 2006: 27-28). Bahwasannya apa yang dilukiskan di dalam karya-karya sastra tersebut, sepanjang menyangkut peribadatan tentu tidak mengabaikan ketentuan keagamaan yang berlaku. Maka dapat dikatakan, mantra dalam ritual dan mantra dalam interpretasi estetik saling terkait walaupun penggunaannya berbeda. Demikian juga halnya dengan data sastra dengan artefak percandian menunjukkan, bahwa para pujangga dan para silpin (pembuat arca dan candi) terikat dalam suatu tradisi. Mereka tetap mempunyai ruang gerak untuk mengembangkan kreativitas dan daya mental untuk menggambarkan konsep-konsep keagamaan serta wijudwujud visualnya. Di dalam weda, yaitu dalam Ananta bhoga Stava, bumi digambarkan sebagai naga; Di dalam Basuki Stava, gunung (sebagai tempat air hujan disimpan dan merupakan hulu dari sungai-sungai digambarkan sebagai naga; dan Samudra Stava, lautan pun digambarkan sebagai naga. Bahwa yang dimaksud naga itu adalah papan, pangan, air dan udara. (Putra, 1982: 37). Rai Supayana seorang pemangku/pinandita (dalam Adnyana, 2006: 27), mengatakan, bahwa hampir semua puncak dan bukit-bukit diyakini sebagai sthana para dewata yang digambarkan sebagai Padma Mandala, yaitu kelopak daun bunga teratai. Para pendeta melakukan nyanyian pujian dalam melakukan pemujaan sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada Tuhan yang bersthana di gunung, antara lain: Ong giri pati maha wiryam maha dewa pratista linggam sarwa dewa prana myanam, sarwa jagat pratistanam. Artinya: Om Sang Hyang Widhi selaku giri pati yang mewah, maha dewa dengan lingga gemerlapan, semua kekuatan memuja kepada-mu, isi semesta alam tersucikan oleh-mu. Nyajian doa dan pujian-pujian yang dilantunkan dalam acara ritual keagamaan, itu bersumber dari ajaran weda. Ajaran weda bertujuan untuk diketahui dan dipahami oleh umatnya secara lebih luas dan populer. Hal ini dilakukan melalui nyanyi dan lagu yang disampaikan dalam yadnya. Dalam Rg. Weda X. 71 (4) disebutkan ada empat cara/sistem yang dapat dilakukan untuk mengembangkan ajaran weda berdasarkan profesi dari masing-masing, yaitu a) melalui kawisastra; b) melalui seniman (undagi/sangging); c) melalui para ahliahli; d) melalui pendeta-pendeta pemimpin upacara yadnya (G. Pudja, 1981: 66). Berdasarkan sistem di atas, terkait dengan pembahasan yang menyangkut pencitraan gunung dipandang dari sudut arsitektur dan seni rupa dalam budaya Bali, maka para undagi, sangging/para silpin, memiliki pegangan di dalam berkreasi atau mengembangkan kreativitas dan daya mental yang bersumber dari teks sastra agama dalam upaya menyebarkan ajaran weda. Dalam hal ini para undagi/sangging dengan hasil perenungan dan interpretasinya terhadap teks sastra agama, ditransformasikan ke dalam bentuk arstektur padmasana sebagai sthana Tuhan, yang disajikan secara indah, dilengkapi dengan ornamentasi dan relief yang diambil dari kitab Adiparwa dalam epos Mahabharata di atas.

C.1.6. Konsepsi Pendirian Padmasana. Dalam kitab Wrehaspati-tattwa (dikutip IBG. Agastia, 2002: 164) menyebutkan tentang padmasana : Adalah padmasana sebagai tempat duduk beliau yang disebut juga sebagai cadusakti, yaitu wibhu sakti, prabhu sakti, jnana sakti, kriya sakti. Hal ini menunjukkan bahwa Sadasiwa berstana ditengah-tengah padmasana, dengan empat kekuatan- Nya untuk menggerakan penciptaan. Dalam ajaran Siwa Sidhanta, Siwa di Bali, lebih dikenal dengan Paramasiwa, berada pada posisi niskala, Sadasiwa berada pada posisi sekala-niskala dan Maheswara (di Bali disebut Siwa) berada pada posisi sekala, Sadasiwa berbadan mantra, dikelilingi oleh empat sakti, disebut caduksakti, juga disebut sebagai padmasana. Selanjutnya Sanghyang Sadasiwa, memiliki delapan guna, yang disebut: Astaiswarya, seperti yang sudah diungkap pada bab sebelumnya. IBG. Agastia menunjuk pada bangunan padmasana di Pura Besakih. Disebutkan undak tiga pada bangunan padmasana mengikuti konsep anantasana, singhasana, padmasana. Sebagaimana tersurat dalam arghapatra: Sanghyang Padmasana tumumpang ring Sanghyang Catur Airswarya, ikang catur Airswarya tumumpang ing Anantasana. (artinya: Sanghyang Padmasana berada di atas Sanghyang catur Airswarya, Sanghyang catur Airswarya berada di atas anantasana. Yang dimaksud Sanghyang Catur Airswarya adalah Singhasana, yang dilukiskan berupa segi empat, sementara padmasana adalat lingkaran, dan anantasana dilukiskan berupa bentuk segi tiga (Agastia, 2002: 170). Anantasana dilukiskan berbentuk segi tiga, yang dimaksudkan adalah Bedawang Nala, Naga Anantabhoga dan Naga Bhasuki. Singhasana adalah catur Airswarya terdiri atas dharma, Jnana, Wairagya dan aiswarya, Padmasana dilukiskan dalam bentuk kelopak bunga teratai berjumlah delapan. Di puncaknya adalah dewa pratistha sebagai sthana Hyang Siwa. Dari jumlah delapan kelopak daun teratai melukiskan sifat-sifat keamahakuasan-nya, disebut astaiswarya yaitu: Anima, Laghima, Mahima, Prapti, Prakakamya, Isitwa, Wasitwa, Yatrakamawasana. Hal ini menggambarkan Hyang Siwa berada ditengah-tengah Padmasana, dengan sejumlah kelopak bunga padma mengelilinginya. Dalam kitab Karanagama: Singhasana catus konam, anantam ca trikonakam; padmam ca wartulakaram, sat konam wimalasanam; yogasanam casta konam, asanam parikalpayet. Artinya : Pemujaan harus membayangkan singhasana dalam bentuk segi empat, ananthasana berbentuk segi tiga, padmasana berbentuk lingkaran, wimalasana berbentuk segi enam dan yogasana berbentuk segi delapan (Agastia, 2002: 170). Lebih lanjut dikatakan sejumlah asana yang diterapkan dalam pembuatan padmasana di Bali menjadi triasana, yaitu anantasana, singhasana dan padmasana. Pada bagian padmasana yang berbentuk lingkaran masuk dalam wimalasana dan yogasana. Teks-teks yang dilukiskan yang ada dalam naskah menjelaskan tentang hal tersebut di atas. Gambar 1 Konsep Padmasana, yang bersumber dari teks (Agastia, 2002: 170). C.1.7. Teks Samudra Mantana dalam bahasa Jawa Kuno. Dalam hal ini perlu dijelaskan perubahan nama samudra menjadi ksirarnawa. Budi Adnyana mengatakan Ksirarnawa secara harafiah memiliki arti lautan susu (ksira = susu). Samudra Manthana juga disebut lautan susu (Budi Adnyana, 2011: 49). Seperti terungkap di atas, peranan Danghyang Nirartha mengembangkan konsep padmasana di Bali memiliki konsep yang sama dengan bongkah tufa yang dipahat indah itu ditemukan di situs Majapahit sekitar akhir tahun 60-an, sekarang berada di Museum Trowulan. Denys Lombard (2000: 123) mengatakan bahwa, unsur dengan sebuah air mancur yang menggambarkan tema pemutaran Mandara Giri. Gunung Meru berlandaskan kura-kura, para dewa dan asura memutar gunung tersebut secara bergantian, menarik ujung-ujung seekor naga yang melilit gunung; dari gerak kosmis itu tercipta air amertha, yang artinya sebagai air penyubur. Pahatan ini menampilkan cerita pengadukan Mandara giri di lautan susu, sebuah tema yang diketahui arti hidrouliknya.

C.1.8. Makna Simbolis Padmasana Sebagai simbol konstruktif, kelembagaan Hindu membangun padmasana sebagai lambang sthana dewa Siwa/tempat yang tinggi atau lambang surga. Mikke Susanto mengatakan, gunung, gunungan dianggap sebagai mata rantai yang menghubungkan candi beragama Hindu: kahyangan, sebagai tempat para dewa, atau surga. Sedangkan dalam arsitektur kuno, asosiasi gunung yang dimanifestasikan dalam struktur tertinggi seperti punden berundak-undak, piramida, candi, pura, pagoda dan beberapa bentuk lainnya. Dengan munculnya bentuk struktur menggunung terlihat adanya kesejajaran antara paham Hindu yang menempatkan para dewa bertempat tinggal di puncak gunung dengan kepercayaan asli di Nusantara tentang roh nenek moyang yang bersemayam di puncak gunung (Susanto, 2011: 167). Dalam pembuatan Padmasana terdapat bentuk-bentuk motif hias yang berupa relief bersumber dari teks Adiparwa. Mithos ini telah melegenda diteladani di dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam pandangan umat Hindu di Bali, padmasana diartikan sebagai simbolis alam semesta, sebagai sthana Ida Sanghyang Widhi wasa, yang dibangun dalam bentuk bangunan yang menjulang tinggi. Tempat duduk Siwa digambarkan berupa kursi di atas bunga teratai. Padmasana sebagai lambang dari gunung Mahameru, juga sebagai simbol alam semesta, sebagai sthana Tuhan (Sudirga, 2010: 168). C.1.9. Kerja dan Persembahan Eksistensi bangunan Padmasana sebagai sthana Ida Sanghyang Widdhi Wasa/Tuhan, tidak hanya untuk menciptakan bentuk-bentuk simbol keindahan yang menyenangkan saja, tetapi di balik itu terkandung makna yang bersifat pribadi, sosial maupun fungsi yang lain. Kehadiran Padmasana sebagai ekspresi psikologis, estetis, spiritual, politis dan sosial. Hal ini dapat ditelusuri dari narasi relief Adiparwa yang dipahatkan, melalui pemahaman, pemaknaan terhadap simbol-simbol yang tersimpan di balik cerita adiparwa tersebut. Y. Sumandiyo Hadi mengatakan, secara kualitas penciptaan karya seni (dalam arsitektur) harus dimengerti bahwa simbol ekspresif (karya seni) adalah suatu bentuk yang bermakna. Bahwa transformasi simbolis menjadi pengalaman manusia yang sangat dalam, karena dorongan estetis inherent padanya untuk menciptakan bentuk kreatif sesuai dengan kebudayaannya. Agama dan seni mempunyai unsur-unsur yang sama, yaitu ritual, emosional, ekspresi jiwa atau psikologi, individual, sosial serta bersifat simbolis (Sumandyo Hadi, 2006: 102). C.1.10. Hubungan seni dengan alam masyarakat Hindu sangat akrab dan bahkan dekat dengan alam di sekitarnya. Namun kedekatan ini tidak menimbulkan kekaguman pada bentuk-bentuk luarnya, melainkan pada hakikat yang ada di dalamnya. Dalam hal ini dapat dicontohkan, seperti penggambaran bentuk kosmos secara dekoratif dalam bentuk gunungan wayang kulit. Bentuk-bentuk gunungan tersebar di kepulauan Nusantara di masa lampau. Bentuk tersebut diberi nama pohon hayat yaitu pohon kehidupan. Pohon hayat sebagai lambang kehidupan manusia beserta seluruh kebudayaannya yang senantiasa berkembang sejak manusia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Pohon kehidupan tersebut memiliki banyak nama sesuai dengan jaman dan daerahnya, seperti pohon Ara di Lampung/Sumatra pada umumnya; Kalpataru pada masyarakat Jawa kuno; kayon/kayonan di Bali; Kaharingan pada masyarakat Dayak di Kalimantan; dan gunungan atau kayon dalam dunia pewayangan masyarakat Jawa. C.1.11. Penempatan Ornamen pada Bangunan Suci Padmasana. Seperti yang terungkap dalam konsep padmasana di atas, dibawah ini akan diuraikan secara umum wujud fisik bangunan padmasana dapat dibagi menjadi tiga bagian. Dalam konsep Hindu disebut alam bhur (bawah), alam tengah (bhwah) dan alam atas (swah). a) Tepas (alam bhur/dasar padmasana). b) Batur alam tengah (bhwah/badan padmasana) c) Sari (Swah/puncak) Di samping peranan sentral Danghyang Nirartha membawakan konsep padmasana, kemudian tidak kalah juga para undagi dan sangging sebagai baktha merupakan subjek penting, bahwa ia mampu meresepsi kebesaran Tuhan dalam bentuk dan konsep keindahan, seperti yang dituangkan dalam bentuk bangunan padmasana. Dalam hal ini segala hasil ciptaan Tuhan dapat ditampilkan ciri-ciri keindahannya, kemudian disajikan kepada masyarakat pendukungnya, yaitu umat Hindu di Bali.

Gambar 2 Padmasana di Pura Jagatnata Denpasar Foto : I Made Sumantra. Tahun : 2012 D. SIMPULAN Dalam khasanah Dewa-dewa Hindu yang terkait dengan mithos gunung Mandhara adalah Dewa Wisnu. Bahwa Wisnu Sang Pemelihara, adalah Tuhan semesta alam, yang biasanya memegang cakra, sangka kala, gada dan tunjung. Manakala umat manusia membutuhkan pertolongan, Dewa yang beretikad baik ini tampil di bumi sebagai awatara. Salah satunya, yaitu awatara Wisnu berupa Penyu Raksasa (Kurmagni) untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran, termasuk penyelamatan air kehidupan dewata (air kehidupan abadi) yang disebut Tirta Amertha. Cerita klasik Pemuteran Mandara Giri di Ksirarnawa yang diterapkan pada bangunan padmasana, memberikan wawasan yang mendalam tentang sifat dan fungsi Illahi dalam tradisi Hindu, seperti peranan Wisnu dan Siwa yaitu menekankan identifikasi dan aspek-aspeknya di dalam kemajemukan kehidupan di bumi ini. Orang-orang Hindu sangat dekat dan menghormati kehidupan dan alam, seperti sungai-sungai, laut/samudra, gunung, hewan, binatang, hutan atau tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan pandangan tersebut, masyarakat Hindu, khususnya di Bali secara prinsip memusatkan perhatian pada Waisnawa yaitu Wisnu dan Siwaisme yaitu dewa Siwa. Dua hal ini diibaratkan sebagai dua sisi dari sebuah mata uang, yang pada intinya adalah sama. Pencarian tirta amertha dalam cerita di atas yang dipakai motif hias pada padmasana tersebut sangat sesuai dengan perian yang lebih tepat, disebut sanatana dharma. Sanatana artinya tanpa akhir, Dharma artinya kebenaran. Sanatana Dharma artinya menemukan kebenaran abadi, kehidupan yang tiada akhir. Padmasana sebagai tempat suci yang bertujuan untuk mencari dharmanya roh, arti kehidupan. Berdasarkan atas tujuan itu, masyarakat Hindu di Bali, harus mengembangkan wawasan yang mencakup, bukan saja dalam kehidupan manusia, tetapi seluruh yang ada di dunia ini. Bumi adalah ibu, bumi ini adalah dewi, Kali, Parwati, Sita dan ibu pertiwi adalah rumah Tuhan, menjadi modal paradigmatik dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali. E. UCAPAN TERIMAKASIH Diharapkan penelitian ini, dapat memberikan pemahaman dan pengertian, sehingga bermanfaat bagi mahasiswa seni rupa, maupun masyarakat Hindu di Bali dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Disadari bahwa dalam penelitian ini banyak kekurangan, kelemahannya, baik metode, cara penulisan maupun isinya. Oleh karena itu saran dan kritik konstrutif dari pembaca sangat diharapkan, demi kesempurnaan penelitian ini, maupun menjadi catatan penting untuk penelitian yang akan dating. Dalam kesempatan ini tidak lupa disampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat: - Ketua LP2M ISI Denpasar, Drs. I Gusti Ngurah Saramasara, M. Hum., - Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar, - Kepada ketua Jurusan Kriya Seni, FSRD ISI Denpasar, - Kepada rekan-rekan dosen Kriya, - Para informan yang telah memberikan informasi terkait penelitian ini, serta terimakasih kapada semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini, tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu di sini. Semoga kebaikan yang telah dilakukan, dapat dibalas dengan kebaikan.