Bakteri yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak di laut adalah

Apa hal yang pertama kali terpikirkan ketika mendengar kata “bakteri”? Tentu banyak yang langsung berpikir bahwa bakteri merupakan makhluk renik yang kotor, sumber penyakit, dan hal-hal lain yang merugikan manusia. Padahal perlu diketahui bahwa bakteri juga memiliki banyak manfaat dan tentunya menguntungkan bagi kehidupan manusia. Apa saja itu?

Bakteri dapat berperan sebagai probiotik, seperti Lactobacillus. Bakteri juga dapat berfungsi sebagai biofertilizer, seperti Azosprillum, Azotobacter, Rhizobium. Ada pula bakteri yang menghasilkan antibiotik, misalnya Streptomyces griseus yang menghasilkan streptomisin. Selain itu, berkat bakteri kita dapat menikmati jenis makanan seperti keju, yogurt, kecap, hingga nata de coco. Bakteri juga memiliki peranan penting dalam pemulihan lingkungan. Kita telah mengetahui bahwa semakin hari angka pencemaran lingkungan semakin meningkat. Sebagian besar sumber pencemaran tersebut adalah akibat ulah manusia.

Limbah hidrokarbon merupakan salah satu penyumbang terbesar pencemaran lingkungan, baik di tanah, maupun air. Hidrokarbon adalah senyawa yang mengandung unsur hidrogen (H) dan karbon (C). Limbah hidrokarbon berasal dari bahan bakar fosil yang memiliki sifat sulit larut air, seperti bensin, solar dan minyak mentah (crude oil). Limbah ini sukar untuk dihilangkan, sehingga dapat merusak ekosistem. Kasus tumpahan minyak di laut merupakan pencemaran hidrokarbon di perairan yang berdampak negatif terhadap biota laut dan berbagai jenis hewan yang hidup di pesisir pantai.

Bakteri yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak di laut adalah
Tumpahan minyak di lautan. Sumber: gulfresearchinitiative.org.
Bakteri yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak di laut adalah
Burung laut yang mati akibat tumpahan minyak. Sumber: www.upi.com.

Berbagai upaya telah dilakukan agar lingkungan yang tercemar dapat pulih kembali. Namun, metode-metode yang digunakan justru menambah tingkat pencemaran, seperti penggunaan bahan-bahan kimia. Alam telah diciptakan sedemikian rupa untuk mengatasi segala permasalahan yang terjadi, termasuk dalam hal remediasi atau pemulihan lingkungan tercemar.

Melalui kegigihan para peneliti dan akademisi di bidang mikrobiologi, telah ditemukan upaya yang efektif, aman, dan murah dalam proses remediasi lingkungan tercemar. Upaya tersebut dikenal dengan istilah bioremediasi, yakni suatu upaya mengurangi polutan yang mencemari lingkungan dengan menggunakan mikroorganisme, tumbuhan, atau mikroba.

Bakteri hidrokarbonoklastik merupakan kelompok bakteri yang mampu “memakan” atau mendegradasi senyawa hidrokarbon. Proses degradasi senyawa hidrokarbon oleh bakteri diawali dengan produksi suatu senyawa yang disebut biosurfaktan. Senyawa ini dilepas oleh bakteri untuk menurunkan tegangan permukaan air, sehingga senyawa hidrokarbon yang tadinya sulit larut menjadi mudah larut dan “menyatu” dengan air, kemudian menjadi butiran-butiran kecil. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah emulsifikasi.

Senyawa hidrokarbon yang telah menjadi butiran-butiran emulsi tadi akan “dikerumuni” oleh bakteri hidrokarbonoklastik yang kemudian melepaskan enzim lipase. Enzim ini memiliki kemampuan lipolitik, kemampuan untuk menghidrolisis lemak menjadi senyawa yang lebih sederhana. Hasil akhir dari proses degradasi senyawa hidrokarbon tersebut adalah senyawa air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) yang aman bagi lingkungan sekitar.

Bakteri yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak di laut adalah
Proses bioremediasi limbah hidrokarbon oleh bakteri hidrokarbonoklastik. Sumber: steemit.com.
Bakteri yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak di laut adalah
Bakteri hidrokarbonoklastik melepaskan senyawa biosurfaktan untuk mengemulsi hidrokarbon. Sumber: http://blogs.discovermagazine.com.

Terdapat berbagai jenis bakteri yang tergolong dalam kelompok bakteri hidrokarbonoklastik, di antaranya adalah Bacillus subtilis, Pseudomonas aeruginosa, dan Serratia marcescens. Tiap jenis bakteri menghasilkan jenis biosurfaktan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan “gen penyandi” yang mengatur proses produksi biosurfaktan pada sel bakteri.

Pada B. subtilis, produksi biosurfaktan diatur oleh gen sfp dan jenis biosurfaktan yang dihasilkan adalah kelompok lipopeptida berupa surfaktin. Biosurfaktan jenis ini tersusun atas gugus asam amino dan asam lemak. Sementara itu, pada P. aeruginosa, produksi biosurfaktan diatur oleh gen rhl dan dihasilkan biosurfaktan dengan jenis rhamnolipida yang tersusun atas gula ramnosa dan lipid. Sekedar tambahan informasi, senyawa biosurfaktan ini umumnya dimanfaatkan dalam pembuatan sabun, kosmetik, dan obat.

Kemampuan bakteri hidrokarbonoklastik dalam mendegradasi limbah hidrokarbon tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti sumber nutrisi, suhu, pH, dan lain sebagainya. Hingga saat ini, masih banyak penelitian yang mengkaji bakteri hidrokarbonoklastik agar lebih optimal dalam proses bioremediasi lingkungan. Hal tersebut dilakukan agar diperoleh agen-agen bioremediasi yang unggul dan mampu memulihkan lingkungan tercemar dengan efektif, efisien dan yang paling penting adalah ramah lingkungan.

Bahan bacaan:

  • Gouma, S., Fragoeiro, S., Bastos, A.C., and Magan, N. 2014. Bacterial and fungal bioremediation strategies, in Microbial Biodegradation and Bioremediation. Netherland: Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-800021-2.00013-3

  • Kim, HS., Kim, SB., Park, SH., et al. 2000. Expression of sfp gene and hydrocarbon degradation by Bacillus subtilis. Biotechnology Letters, 22 (18): 1431-1436. https://doi.org/10.1023/A:1005675231949

  • Reis, R.S., Pereira, A.G., Neves, B.C., and Freire, D.M.G. Gene regulation of rhamnolipid production in Pseudomonas aeruginosa. Bioresource Technology, 102 (11): 6377-6384. https://doi.org/10.1016/j.biortech.2011.03.074

Penulis:

Elga Renjana, Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Alumnus Universitas Airlangga.

Kontak: elgarenjana(at)gmail(dot)com

Minyak terbukti menjadi pencemar lautan nomor satu. Separuhnya dihasilkan dari aktivitas industri. Selebihnya akibat kegiatan pelayaran hingga kecelakaan kapal tanker. Lautan Indonesia sebagai jalur kapal tanker internasional pun rawan tercemar limbah minyak. Namun laut Indonesia juga memiliki mekanisme tersendiri untuk menetralisasi pencemaran. Laut Indonesia kaya mikroba pengunyah minyak yang mampu meremediasi kawasan tercemar.

"Mikroba itu perlu diberdayakan untuk mengurangi pencemaran laut, " kata Ahmad Thontowi, salah satu anggota tim peneliti bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Thontowi berhasil meraih hibah dari Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) untuk risetnya itu, di Jakarta, akhir Februari silam. Dengan dana hibah tersebut, Thontowi berharap bisa melanjutkan penelitian tentang bakteri pemakan minyak. Thontowi memiliki waktu untuk melakukan riset hingga 31 Maret ini.

Menurut Thontowi, penelitian itu dimulai pada 1 April 2005. "Benar telah berlangsung lebih dari tiga tahun, " katanya. Dana murni berasal dari Pemerintah Jepang, sedangkan Indonesia menyumbang fasilitas laboratorium, sumber daya hayati, dan tenaga peneliti. Penelitian itu diperkiraan menghabiskan dana Rp 3 milyar. Riset itu merupakan kerja bersama antara LIPI dan National Institute of Technology and Evaluation (NITE), Jepang.

Kerja sama riset ini dipayungi MOU Ristek-NITE/NEDO, Jepang. Di LIPI sendiri, ada tiga pusat penelitian (puslit) yang terlibat, yaitu Puslit Bioteknologi, Puslit Biologi, dan Puslit Oseanografi. Latar belakang penelitian itu adalah bahwa tanker-tanker internasional --termasuk Jepang-- melalui jalur laut Indonesia, Selat Malaka, Sunda, dan Lombok. Kepadatan lalu lintas memungkinkan suatu saat bisa terjadi kecelakaan tanker yang dapat menyebabkan pencemaran minyak.

Dengan menguasai teknologi penanganan limpahan minyak, bila terjadi kasus pencemaran minyak, akan lebih mudah mengatasinya. Yaitu menggunakan bakteri pengunyah limbah yang akan mengubah minyak menjadi senyawa lain yang tidak berbahaya. Penelitian itu memang bertujuan mengisolasi dan mengarakterisasi bakteri pendegradasi minyak di laut tropis, terutama wilayah jalur tanker dari negara produsen minyak ke Jepang melalui Indonesia.

Telah dikoleksi 53 jenis mikroba pendegradasi senyawa minyak di laut. Penelitian itu difokuskan pada isolasi dan karakterisasi mikroba pendegradasi di laut. Sedangkan monitoring keberadaan mikroba sepanjang musim pada kondisi alami di laut tercemar juga merupakan bagian faktor yang diamati dan diteliti. "Mekanisme penguraian minyak atas peran bakteri-bakteri tersebut di amati, diteliti, dan dilakukan dalam skala lapangan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, " katanya.

Selanjutnya, di laboratorium, penelitian komposisi dan komunitas bakteri yang bertanggung jawab atas penguraian minyak di laut diamati menggunakan metode pendekatan molekuler, yang disebut teknik DGGE (denaturing gradient gel elektrophoresis). "Kami juga melakukan karakterisasi gen yang bertanggung jawab atas penguraian senyawa hidrokarbon beserta kloningnya, " kata Thontowi.

"Kami menduga, setiap bakteri yang bekerja untuk meremediasi minyak di laut punya peran sendiri-sendiri di habitat alamnya, " katanya. Dari hasil isolasi, bakteri tertentu dinyatakan dominan dan relatif memiliki kemampuan mendegradasi minyak yang signifikan (tinggi), yaitu Marinobacter, Oceanobacter, Alcanivorax, Thalassospira, Stappia, Bacillus, Novospingobium, Pseudomonas, Spingobium, dan Rhodobacter.

"Untuk di Indonesia, biasanya yang banyak dikenal Pseudomonas, " ujarnya. Jika minyak tumpah ke laut, yang terjadi adalah penguapan, dibawa ombak ke pantai, atau terendapkan. Minyak mentah sendiri terdiri dari empat jenis senyawa, yaitu saturates/parafin, aromatik termasuk PAH (polycyclic aromatic hydrocarbon), resin, dan aspalten.

"Kami menangani untuk pencemar hingga dua senyawa, saturates dan aromatik, " katanya. Secara teori, resin dan aspalten juga bisa diuraikan oleh bakteri. Namun itu memerlukan penelitian lebih lanjut. Adapun teknik untuk mengunyah minyak tersebut menggunakan bioremediasi atau biodegradasi. Bioremediasi adalah proses remediasi atau pemulihan area terpolusi menggunakan mikroba sebagai agen pendegradatornya.

Bioremediasi dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu bioaugmentasi dan biostimulasi. Bioaugmentasi adalah teknik menebarkan mikroba ketika terjadi pencemaran minyak. Sedangkan teknik biostimulasi menggunakan "pupuk " mineral untuk menumbuhkan mikroba di lingkungan yang tercemar. "Sehingga mikroba yang tumbuh itu siap menguraikan minyak menjadi senyawa yang lebih ramah lingkungan. Dan itu yang paling banyak direkomendasikan, meskipun tidak tertutup kemungkinan menggunakan teknik bioaugmentasi, " paparnya.

Thontowi mengingatkan bahwa mikroba yang bekerja menguraikan minyak tidak hanya sejenis, tapi suatu komunitas. Setiap setiap jenis mikroba memiliki kemampuan sendiri-sendiri dalam mengurai minyak. "Ada yang kemampuannya mengurai parafin, tugas selanjutnya dilakukan jenis lain, " katanya. Namun yang banyak dikenal mampu mengurai saturates dan aromatik adalah Alcanivorax borkumensis. "Dia memang dikenal memiliki kemampuan yang tinggi, " ujarnya.

Efektivitas bakteri dalam mengurai minyak bervariasi, bergantung pada jenis bakteri, dari 0 persen-100 persen. Efektivitas bakteri dalam mengurai minyak didasarkan pada jumlah minyak yang ada dalam larutan kultur dibandingkan dengan sesudah treatment bakteri, dihitung seberapa besar minyak yang tertinggal dalam larutan, termasuk bakterinya.

Monitoring dilakukan menggunakan GC-Mass, alat penera gas kromatografi yang dapat menganalisis komponen senyawa apa yang ada dalam larutan tersebut dan bermassa berapa, sehingga diketahui persis masih mengandung minyak atau tidak. "Dalam percobaan, setelah treatment dengan bakteri, minyak habis termakan bakteri, " katanya.

Prosesnya, sebelum makan minyak, bakteri menghasilkan surfactan. Yaitu sejenis enzim yang dapat menyatukan minyak dengan air. Setelah minyak dan air menyatu, mulailah bakteri makan minyak. "Ditandai dengan terpecah-pecahnya gumpalan minyak menjadi kecil-kecil, " tuturnya. Akhirnya minyak diubah menjadi senyawa lain yang tidak berbahaya.

"Dengan mengembangkan mikroba tropis Indonesia, akan mudah mengembangkan sistemnya karena telah sesuai dengan habitat tumbuh mikroba tersebut, " katanya. Di luar negeri, yang sudah mempraktekkannya adalah Jepang, Kanada, dan Amerika Serikat. Pencemaran tanker di sekitar perairan Jepang, Kanada, dan Amerika terjadi akibat tenggelamnya Exxon Valdez yang berisi 38.800 ton minyak pada 1989.

Rohmat Haryadi Gatra Nomor 22 [Terbit Kamis, 9 April 2009]