Konsep Dasar IPS, Pendidikan Guru Sekolah Dasar ( PGSD ) STKIP KUSUMA NEGARA JAKARTA. Pembelajaran IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat menonton dan ekspositoris sehingga peserta didik kurang antusias dan mengakibatkan pelajaran kurang menarik padahal guru IPS wajib berusaha secara optimum merebut minat peserta didik karena minat merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran IPS. Model pembelajaran IPS yang implementasikan saat ini masih bersifat konvensional sehingga peserta didik sulit memperoleh pelayanan secara optimal. Bahkan, banyak yang mementingkan aspek akademis dibandingkan dengan aspek-aspek non-akademis lainnya, seperti moral, atika, iman, dan taqwa. Tugas Makalah Model Model Pembelajaran Ips Yang Kreatif Mata Kuliah Konsep Dasar IPS Dosen : Ratih Oktavia, M.Pd.
Di Susun Oleh : Restu Avali Andi Hendro Kisworo Ihsan Darmawan FAKULTAS KEGURUAN JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN KUSUMA NEGARA JAKARTA 2017 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah, rahmah dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tugas mata kuliah Konsep Dasar IPS yang berjudul “Model-model Pembelajaran IPS ” ini. Makalah ini diharapkan dapat memberi pengetahuan tentang model-model pembelajaran IPS untuk masyarakat khususnya mahasiswa ilmu pendidikan yang nantinya akan menghadapi anak didik agar dapat dengan tepat memberikan pembelajaran yang kreatif dan mengimplementasikannya degan baik. Ucapan terimakasih penulis sampaikan untuk seluruh pihak yang telah ikut andil dalam penyelasaian makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik serta saran penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat untuk para pembaca. Jakarta, Desember 2017 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………… 1 DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………. 2 BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSAKA……………………………………………………………………………………… 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan IPS sudah lama dikembangkan dan dilaksanakan dalam kurikulum-kurikulum di Indonesia. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah salah satu mata pelajaran yang berusaha membekali wawasan dan keterampilan peserta didik sekolah untuk mampu beradaptasi dan bermasyarakat serta menyesuaikan dengan perkembangan dalam era globalisasi. Melalui mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, peserta didik diarahkan, dibimbing, dan dibantu untuk menjadi warga Negara Indonesia yang baik dan warga dunia yang efektif. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah bertujuan sebagai berikut:
Untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu dikembangkan model pembelajaran yang kondusif dan menggairahkan peserta didik agar bersemangat dalam mengikuti proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah. Salah satu kemampuan dasar yang harus dikuasai guru adalah keterampilan mengembangkan model pembelajaran, yaitu keterampilan yang berhubungan dengan upaya untuk mengembangkan model pembelajaran di kelas yang dapat memotivasi dan menggairahkan belajar peserta didik. Dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi; (2) pengetahuan pedagogic (pedagogical knowlegde) yang bisa dilihat dalam Permendiknas Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru; dan (3) Keterampilan mengajar (teaching skills). Dalam pelaksanaan pembelajaran IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat menonton dan ekspositoris sehingga peserta didik kurang antusias dan mengakibatkan pelajaran kurang menarik padahal guru IPS wajib berusaha secara optimum merebut minat peserta didik karena minat merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran IPS. Model pembelajaran IPS yang implementasikan saat ini masih bersifat konvensional sehingga peserta didik sulit memperoleh pelayanan secara optimal. Bahkan, banyak yang mementingkan aspek akademis dibandingkan dengan aspek-aspek non-akademis lainnya, seperti moral, atika, iman, dan taqwa. Salah satu upaya yang memadai untuk itu adalah dengan melakukan model pembelajaran. Dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, menuntut kreativitas guru dalam mengembangkan model pembelajaran yang mampu melibatkan peserta didik secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran. 1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Pembuatan Makalah
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Model Pembelajaran IPS Secara khusus, model diartikan sebagai karangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Setiap model pembelajaran mempunyai keunggulan dan kelemahan dibandingkan dengan yang lain. Tidak ada model pembelajaran yang paling efektif untuk semua mata pelajaran atau untuk semua materi. Sebagai seorang guru harus mampu memilih model pembelajaran yang tepat bagi peserta didik. Karena itu dalam memilih model pembelajaran yang diterapkan di kelas harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: tujuan pembelajaran, sifat materi pembelajaran yang akan diajarkan, ketersediaan fasilitas dan media, sumber-sumber belajar, kondisi peserta didik atau tingkat kemampuan peserta didik, dan alokasi waktu yang tersedia agar penggunaan model pembelajaran dapat diterapkan secara efektif dan menunjang keberhasilan peserta didik dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran sehingga proses belajar mengajar akan lebih menarik dan siswa belajar akan lebih antusias dan mampu mengubah persepsi siswa terhadap mata pelajaran IPS akan lebih positif dan akan lebih menyenangkan. 2.2 Model-Model Pembelajaran IPS Berikut diberikan beberapa contoh model pembelajaran yang memiliki kecenderungan berlandaskan paradigm konstruktivistik yaitu:
Reasoning merupakan bagian berpikir yang berada di atas level memanggil (retensi), yang meliputi basic thinking, critical thinking, dan kreative thinking. Selanjutnya, Johnson (1992) merangkum beberapa definisi critical thinking dari beberpa ahli, seperti Ennis (1987,1989), Lipman (1988), Siegel (1988), Paul (1989), dan McPeck (1981), yang disebut juga “the Group of Five”. Ia menyimpulan bahwa ada tiga persetujuan substansi dari kemampuan berpikir kritik. Pertama, berpikir kritis memerlukan sejumlah kemampuan kognitif; kedua, berpikir kritis memerlukan sejumlah informasi dan pengetahuan; dan ketiga, berpikir kritis mencangkup dimensi afektif yang semuanya menjelaskan dan menekankan secara berbeda-beda. Tujuan berpikir kritis adalah untuk menilai suatu pemikiran, menaksir nilai bahkan mengevaluasi pelaksaan atau praktik dari suatu pemikiran dan nilai tersebut. Dan problem solving adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Jadi, kemampuan pemecahan masalah dapat diwujudkan melalui kemampuan reasoning. Model reasoning and problem solving dalam pembelajaran memiliki lima langkah pembelajaran, yaitu:
Pada model pembelajaran ini guru berperan sebagai konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, fasilitator, pemikir tingkat tinggi. Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah sebuah metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih peserta didik menghadapi berbagai masalah baik pribadi atau perorangan maupun kelompok untuk dipecahkan sendiri atau bersama-sama. Ada empat tahap proses pemecahan masalah menurut Savage dan Amstrong sebagai berikut:
Adapun keunggulan metode problem solving, sebagai berikut:
Kelemahan metode problem solving, adalah sebagai berikut:
2. Model Inquiri Training Secara umum, istilah “inquiri” berkaitan dengan masalah dan penelitian untuk menjawab suatu masalah. Rogers (1969), misalnya menyatakan bahwa inkuiri merupakan suatu proses untuk mengajukan pertayaan dan mendorong semangat belajar para siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sebagai sebuah metode mengajar yang berorientasi pada latihan meneliti dan mempertanyakan, istilah ini sejajar dengan metode pemecahan masalah, berpikir reflektif dan atau ‘discovery’ (Hagen, 1969). Namun, Beyer (1971) mengatakan bahwa inkuiri lebih dari sekedar bertanya. Inkuiri adalah suatu proses mempertanyakan makna atau arti tertentu yang menuntut seseorang menampilkan kemampuan intelektual agar ide atau pemikirannya dapat dipahami. Pengunaan pendekatan ini memiliki keunggulan terutama untuk mengembangkan kemampuan berpikir maupun pengetahuan. Sikap dan nilai pada peserta didik dibanding dengan pendekatan klasikal atau tradisional. Menurut para ahli, pendekatan inkuiri merupakan upaya yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebosanan siswa dalam belajar di kelas. Pendekatan ini cukup ampuh karena proses belajar lebih terpusat kepada siswa (student-centred instruction) daripada kepada guru (teacher-centred instruction). Model inquiry training memiliki lima langkah pembelajaran, yaitu:
Sarana pembelajaran yang diperlukan adalah berupa materi konfrontatif yang mampu membangkitkan proses intelektual, strategi penelitian, dan masalah yang menantang peserta didik untuk melakukan penelitian. Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah strategi penelitian dan semangat kreatif. Langkah-langkahinquiry adalah sebagai berikut:
3. Model Problem-Based Intruction Problem-Based Intruction adalah model pembelajaran yang berandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan peserta didik dalam belajar dan pemecahan masalah otentik. Model Problem-Based Intruction memiliki lima langkah pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
4. Model Pembelajaran Perubahan Koseptual Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses mental yang lebih tinggi untuk memasukkan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi. Oleh karena itu, untuk memecahkan masalah, seorang peserta didik harus mematuhi aturan-aturan antara yang selaras dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep-konsep yang diperolehnya. Perubahan konseptual terjadi ketika peserta didik memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh pesera didik sebelum pembelajaran. Model pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah lembaran kerja peserta didik, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk peserta didik, dan untuk guru, peralatan demonstransi yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang mudah ditata untuk itu. Dampak pembelajaran model ini adalah sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif. 5. Model Group Investigation Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan yang utama, adalah: peserta didik hendaknya aktif (learning by doing), belajar hendaknya didasari motivasi intrinsic, pengetahuan berkembang tidak bersifat tetap, kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat peserta didik, pendidikan harus mencangkup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain artinya prosedur demokratis sangat penting, kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata. Gagasan Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group investigation.Model group investigation memiliki enam langkah pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
Sistem sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru. Sarana pendudkung model pembelajaran ini adalah lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk peserta didik dan guru, peralatan penelitian yang sesuai, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang mudah ditata untuk itu. Sebagai dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan, penelituan yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam. 6. Model Pembelajaran VCT (Value Clarification Technique) Teknik Mengklarifikasi Nilai (Value Clarification Technique) atau sering disebut VCT merupakan teknik pembelajaran untuk membantu peserta didik dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam mengahadapi persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri peserta didik.Tujuan menggunakan VCT yaitu:
7. Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (S-T-M) Pendekatan S-T-S dikembangkan sebagai sebuah pendekatan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berkaitan langsung dengan lingkungan nyata dengan cara melibatkan peran aktif peserta didik dalam mencari informasi untuk memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehariannya. Perkembangan sains dan teknologi sering kali menimbulkan dampak dalam proses perubahan masyarakat.Dengan digunakannya S-T-S dalam pembelajaran IPS akan dibangun suatu dimensi baru dalam pembaharuan pendidikan IPS terutama dapat menekankan segi pragmatis yaitu mengungkapkan hal-hal yang berguna dan berhubungan langsung dengan aspek kehidupan peserta didik. Program-program S-T-S pada umumnya memiliki karakteristik atau ciri-ciri sebagai berikut:
8. Model Portofolio Teori belajar yang mendasari pembelajaran portofolio adalah teori belajar konstruktivisme, yang ada prinsipnya menggambarkan bahwa peserta didik membentuk atau membangun pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungannya. Portofolio sebagai model pembelajaran merupakan usaha guru agar peserta didik memiliki kemampuan untuk mengungkapkan dan mengekspresikan dirinya sebagai individu maupun kelompok. Pembelajaran berbasis portofolio memungkinkan peserta didik untuk :
9. Pembelajaran Kontekstual Penerapan pembelajaran kontekstual di kelas melibatkan tujuh utama pembelajaran efektif, yaitu konstruktivisme (Constructivism), bertanya (questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Tahap-tahap dalam pelaksanaan pembelajaran kontekstual pada tingkat sekolah adalah sebagai berikut:
10. Model Inkuiri Sosial Model menghubungkan istilah inkuiri dengan pengembangan kemampuan peserta didik untuk menemukan dan merefleksikan sifat kehidupan sosial, terutama sebagai latihan hidup sendiri dan langsung dalam masyarakat. Guru berperan sebagai reflector dan pembimbing yaitu memberikan bantuan kepada peserta didik dalam menjelaskan kedudukan mereka dalam proses belajarnya. Terdapat tiga cirri pokok dalam model pembelajaran iinkuiri sosial, yaitu:
11. Model Pembelajaran Pengambilan Keputusan Pada uraian berikut ini, akan dibahas model desain pembelajaran pengambilan keputusan (decision making) yang dikhususkan untuk pembelajaran IPS. Apa dan mengapa model pembelajaran pengambilan keputusan? Makna konsep pengambilan keputusan (decision making) berkaitan dengan kemampuan berpikir tentang alternatif pilihan yang tersedia, menimbang fakta dan bukti yang ada, mempertimbangkan tentang nilai pribadi dan masyarakat. Apabila seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan tersebut maka kemungkinan jawaban yang muncul adalah pilihan yang tepat atau tidak tepat. Banks mengatakan bahwa kemampuan seseorang dalam pengambilan keputusan tidaklah muncul dengan sendirinya. Pengambilan keputusan adalah suatu keterampilan yang harus dibina dan dilatihkan. Bertitik tolak dari asumsi bahwa keterampilan pengambilan keputusan (decision-making-skills) dapat dibina dan dilatihkan pada siswa maka model pembelajaran ini merupaka alternatif bagi para guru dan calon guru untuk membina profresionalisme dalam proses belajar-mengajar. Savage dan Armstrong (1996) mengemukakan langkah-langkah proses pengambilan keputusan sebagai alternatif model pembelajaran dalam IPS sebagai berikut:
Selain Savage dan Armstrong, Banks (1990) mengemukakan pula urutan langkah atau prosedur dalam pengembangan keterampilan pengambilan keputusan dengan komponen esensial sebagai syaratnya. Menurut Banks, sedikitnya ada dua syarat untuk melaksanakan model pembelajaran pengambilan keputusan: (1) pengetahuan sosial; dan (2) metode atau cara mencapai pengetahuan. Demikian sejumlah model pembelajaran IPS yang dapat diterapkan oleh para guru di kelas. Namun untuk melaksanakannya, guru dapat memodifikasi model-model tersebut setelah ada penyesuaian konteks lingkungan dan kondisi serta kebutuhan peserta didik. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Model pembelajaran diartikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam pengorganisasian pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman untuk para perancang pembelajaran dan para pendidik dalam merencanakan atau melaksanakan aktivitas pembelajaran. Model pembelajaran yang sesuai dengan model pembelajaran IPS adalah model pembelajaran yang berlandaskan pendekatan paradigma konstruktivisme yaitu pembelajaran yang berdasarkan pada partisipasi aktif peserta didik dalam memecahkan masalah dan berpikir kritis. Model-model pembelajaran IPS berlandaskan paradigm konstruktivisme diantaranya yaitu: Model Reasoning and Problem Solving, ModelInquiry Training, Model Problem-Based Instruction, Model Pembelajaran Perubahan Konseptual, Model Group Investigation, Model Pembelajaran VCT, Pendekatan S-T-M atau S-T-S, Model Portofolio, Pembelajaran Kontekstual, Model Inkuiri Sosial. 3.2 Saran Sebagai calon tenaga pendidik terutama bagi guru pemula maka akan dibuat bingung mengenai strategi dan model pembelajaran efektif untuk dipakai peserta didik. Maka dari itu tugas seorang guru harus mempunyai keterampilan dalam memilih model pembelajaran yang tepat bagi peserta didik. sehingga proses belajar mengajar akan lebih menarik dan siswa belajar akan lebih antusias, tidak merasa bosan dan mampu mengubah persepsi siswa terhadap mata pelajaran IPS akan lebih positif dan akan lebih menyenangkan karena minat merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran IPS. DAFTAR PUSTAKA Dr. Huriah Rachmah, M.Pd. (2014). Pengembangan Profesi Pendidikan IPS. Bandung: Alfabeta.Dr. Sapriya, M.Ed. (2009). Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.Dr. Rudy Gunawan, M.Pd. (2011). Pendidikan IPS filosofi, Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Alfabeta. [1] Depdiknas, 2006, hal. 35. [2] Fajar, 2009, hal. 108. [3] Budimansyah, Suparlan, & Meirawan, 2010, hal. 6. [4] Hermawan, 2006, hal. 3. [5] Sumiati & Asra, 2007, hal. 92. [6] Sudjana, 2000, hal. 85-86. [7] Rosalin, 2008a, hal. 78. [8] Hermawan, 2006, hal. 27. [9] Menurut Sanjaya dalam (Taniredja, Faridli, & Harmianto, 2011, hal. 87) [10] Taniredja, Faridli, & Harmianto, 2011, hal. 88. [11] Fajar, 2009, hal. 34. [12] Fajar, 2009, hal. 45. [13] Sumiati & Asra, 2007, hal. 14. |